suatu pelecehan
terhadap kekudusan
Ibadah Perjamuan Kudus
Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Catatan Pendahuluan
PERJAMUAN
KUDUS bukanlah ketetapan yang dibuat oleh manusia, melainkan ketetapan yang
dibuat dan diperintahkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Hal ini dapat kita baca
dalam Injil Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:14-20; dan 1 Korintus
11:23-25. Apabila kita membaca ayat-ayat Injil yang disebutkan ini, kita akan
menemukan perbedaan-perbedaan di sana-sini. Namun demikian, semuanya
menyaksikan satu hal yang penting dan menentukan, yaitu: perintah Tuhan Yesus supaya
merayakan Perjamuan Kudus sebagai suatu peringatan akan Dia (Lukas 22:19; 1
Korintus 11:23-25).
Perjamuan
Kudus ini ditandai dengan makan roti dan minum anggur, yang melambangkan tubuh
dan darah Tuhan Yesus, yang dikorbankan bagi penebusan dosa dan keselamatan manusia.
Dengan demikian, perayaan Perjamuan Kudus merupakan suatu pemberitaan dan
kesaksian tentang Tuhan Yesus yang telah mengorbankan dirinya di Golgota,
sekaligus pemberitaan dan kesaksian tentang kedatangan-Nya nanti pada akhir
zaman. Mengenai hal ini, rasul Paulus
berkata dalam 1 Korintus 11;26: “Sebab
setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian
Tuhan sampai Ia datang.”
Dua alinea di
atas ini dikutip dari artikel saya berjudul, “Catatan atas: Tata Ibadah Perjamuan Kudus GMIT [cara baru perayaan sakramen], www.bianglalahayyom.blogspot.com
edisi Senin, 08 Agustus 2011).
Berdasarkan catatan
pendahuluan singkat ini, sebagai warga GMIT saya merasa terpanggil untuk mengemukakan
beberapa catatan atas tulisan berjudul, “Bolehkah Nira dan Marungga Ganti Roti
dan Anggur dalam Perjamuan Kudus?” yang
dimuat di koran Timor Express edisi Minggu, 12 Maret 2017, hlm.11). Setelah
saya baca, ternyata tulisan yang dimuat di koran Timex itu diunduh dari laman www.sinodegmit.or.id,
yang memberitakan bahwa pada bulan Oktober 2016 salah satu jemaat di Rote
merayakan Perjamuan Kudus sedunia dengan cara unik, yaitu roti dan anggur, unsur utama yang menjadi
simbol tubuh dan darah Tuhan Yesus dalam kebaktian perjamuan diganti dengan
daun marungga rebus dan nira lontar. Peristiwa ini memicu polemik. Sejumlah
komentar bernada menolak maupun menerima, beredar luas di media sosial
menanggapi model perjamuan yang tidak lazim di lingkungan jemaat GMIT. Catatan
sisipan: “nira lontar” adalah “air manis sadapan dari mayang pohon lontar” dan
“daun marungga rebus” adalah “daun tanaman marungga atau tanaman kelor yang
direbus [masakan sayur marungga].
Roti dan anggur yang diganti dengan daun marungga rebus dan nira lontar dalam kebaktian Perjamuan Kudus itu menimbulkan tanggapan tidak setuju dan setuju di kalangan pendeta dan warga GMIT.
Kelompok yang tidak setuju berpendapat: roti dan anggur memberi makna universal yang mengingatkan orang percaya pada perjamuan malam Tuhan dan dua belas murid-Nya sebelum Ia ditangkap. Karena itu roti dan anggur mengikat umat Kristen sepanjang abad pada momentum sakral tersebut.
Pendeta
Emeritus Selfina Meza-Tauk tidak setuju
roti dan anggur diganti dengan marungga rebus dan nira lontar, karena: pertama, belum ada keputusan sinodal
yang memperbolehkan roti dan anggur diganti; kedua, secara tradisional roti dan anggur telah mengakar dalam
pemahaman warga gereja. Jika hendak melakukan kontekstualisasi, jangan memakai
bahan mentah langsung. Sebaiknya daun marungga diolah terlebih dahulu
sedemikian rupa jadi tepung untuk dibuatkan roti; dan nira lontar diproses
menjadi anggur sehingga makna liturgis dan teologisnya tetap terjaga.
Pendeta Norma Folla, Ketua Majelis Jemaat Moria Liliba Kupang, yang pernah menjadi Ketua Klasis Rote Tengah menyatakan ketidaksetujuannya sebagai berikut: “Saya kira dalam banyak hal kita telah berusaha untuk membuat Injil diterima dalam konteks budaya dengan upaya teologia kontekstual, tetapi tidak semua hal bisa dikontekstualkan, karena bisa saja mengaburkan makna sakral dari sakramen. Bagi saya apabila formulasi kalimat perjamuan diubah, maka kita telah mengubah firman Tuhan, sementara alkitab bilang satu noktah saja tidak boleh hilang. Saya setuju buat jamuan kasih di gereja dengan makanan lokal tapi perjamuan kudus tetaplah roti.”
William
Dedi Mone dari Ende-Flores dan Otniel Liu warga jemaat Batu Karang kota Kupang
bisa memahami upaya kontekstualisasi tersebut namun bagi keduanya terasa
janggal bila formulasi liturgisnya berbunyi, “Marungga/nira yang dibagi-bagikan
ini adalah tanda persekutuan kita dengan tubuh Kristus” atau “Ubi/jagung bose
ini adalah menunjukkan pada kita bahwa Tubuh Kristus dipecahkan karena kita.”
Pada
pihak lain, kelompok yang setuju berpandangan bahwa roti dan anggur merupakan
makanan sehari-hari di Palestina dan Eropa yang bisa diganti dengan unsur lain
asal jemaat diberi pemahaman tentang substansi perjamuan kudus yakni
pengampunan dosa, keselamatan dan anugerah Allah telah datang ke dalam dunia
melalui Yesus Kristus. Tanda yang kelihatan dari anugerah Allah tersebut adalah
Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus.
Pendeta
Iswardi Lay, pelopor perjamuan kontekstual yang kontroversial tersebut mengaku
bahwa apa yang ia lakukan bukan yang pertama kali. Jemaat bersukacita mengikuti
perjamuan, meski masih ada satu dua orang yang enggan. Tidak ada persoalan
teologis karena dalam pelaksanaannya, jauh-jauh hari telah didiskusikan dengan
matang bersama majelis jemaat.
Paul
Bolla, S.Th., mantan jurnalis Pos Kupang mengatakan: “Saya sepakat dengan semua upaya kontekstualisasi itu. Itu
memang sudah seharusnya menjadi tugas para teolog dan awam untuk membuat semua
isi pesan alkitab diterima dan dimengerti dalam budaya aslinya. Pesan dari
perubahan perjamuan bukan pada kulit yang tampak: roti/anggur, laru/jagung,
moke/ubi, tuak marungga, tetapi substansi pengorbanan Yesus. Jika ada yang
masih terikat pada bentuk luar, maka silakan inovasi roti dalam bentuk dan rasa
jagung, ubi, marungga, sagu, labu, sorgum, dsb. Demikian juga anggur. Toh
selama ini GMIT sudah tolerir peserta perjamuan karena alasan kesehatan alergi
anggur cukup pakai air putih.
Pernyataan
Paul Bolla tidak mengagetkan saya, sebab Paul Bolla telah
mengkontekstualisasikan ilmu pengetahuan teologinya dalam dunia jurnalistik, setelah ia
menyelesaikan studinya dan menyandang gelar sarjana teologi. Namun sayang
sekali, ketika saya menyelisik di WorldCat
Identities dan Virtual International
Authority File (VIAF), Paul Bolla belum juga muncul. Yang muncul hanya
Peter Rohi, Aco Manafe, dan Yop Pandie—ketiganya jurnalis asal daerah NTT yang
latar belakangnya asal warga GMIT.
Dr. Eben Nuban Timo yang kini menjadi staf pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, mengatakan begini: di Rote ia ditanyai pendapatnya soal pergantian roti dan anggur. Ia jawab singkat, “Mengapa tidak? Roti dan Anggur itu ‘kan makanan dan minuman sehari-hari orang Palestina dan Eropa. Kita bukan Palestina atau Eropa. Kita boleh memakai makanan sehari-hari kita untuk melambangkan tubuh dan darah Kristus. Apa salahnya? Supaya formulasi kalimat liturgisnya tidak terdengar janggal, dikatakannya bahwa dalam proses kontekstualisasi, tidak bisa menggunakan terjemahan lurus. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan untuk menemukan rumusan yang tepat. Misalnya, rumusan “roti yang kami pecah-pecahkan ini, …dst-nya, diganti dengan “makanan yang kami bagi-bagikan ini…”
Berkenaan dengan penggunaan marungga rebus dan nira lontar sebagai pengganti roti dan anggur dalam kebaktian Perjamuan Kudus yang menimbulkan pendapat pro dan kontra sebagaimana dikemukakan di atas, Ketua Sinode GMIT Dr. Mery L. Y. Kolimon mengatakan bahwa secara teologis ia tidak keberatan. Secara pribadi dan sebagai teolog ia mengatakan bahwa “sepanjang telah ada percakapan dengan majelis dan jemaat dan mereka sepakat untuk itu, mengapa tidak? Namun di pihak lain kita (GMIT) bukan gereja kongregasional. GMIT berasaskan presbiteral sinodal artinya jemaat-jemaat berjalan bersama-sama menurut peraturan-peraturan yang mengatur tentang perjamuan kudus.
Dalam
perkembangan kemudian, perdebatan dan wacana mengenai bahan pengganti roti dan
anggur akhirnya dibahas dan diputuskan dalam Persidangan Majelis Sinode GMIT
ke-41 yang berlangsung pada 21 -25 Februari 2017 di Kupang. Majelis Sinode GMIT
memutuskan penggunaan elemen makanan
lokal sebagai pengganti roti dan anggur diperbolehkan dengan catatan hal itu
mesti dipercakapkan dengan jemaat dan majelis jemaat. Peraturan tentang hal
ini tercantum dalam pasal 7 ayat 2 peraturan pastoral pelayanan sakramen
perjamuan kudus yang berbunyi: “Dalam rangka kontekstualisasi atau dalam keadaan
tertentu roti dan anggur dapat diganti dengan bahan lain berdasarkan keputusan
persidangan jemaat.”
Mengkritisi penggantian roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus
Di
atas telah saya kutip pandangan-pandangan beberapa pendeta dan warga GMIT yang
pro maupun yang kontra terhadap pelaksanaan Perjamuan Kudus di mana roti dan
anggur diganti dengan sayur marungga rebus dan nira lontar.
Saya sungguh merasa
prihatin memperhatikan pendeta-pendeta GMIT yang berteologi kontekstual semau-maunya—hanya karena jabatan mereka sebagai pendeta—tanpa memiliki
pandangan teologis alkitabiah yang mendalam dan kuat. Bukti mengenai pernyataan
ini dapat disimak dalam artikel-artikel saya berjudul “Percaya pada Allah dalam
konteks NTT” yang mengkritisi pandangan teologis alkitabiah yang kemukakan oleh
Dr. Eben Nuban Timo; “Marginalia atas Janji
Baru 1.2” yang merupakan catatan kritis atas terjemahan Perjanjian Baru ke
dalam bahasa [dialek] Kupang ;
“Sekali lagi tentang Marginalia atas Janji
Baru 1,2,3” juga merupakan catatan kritis atas terjemahan Perjanjian Baru
ke dalam bahasa [dialek] Kupang; “Catatan atas Tata Ibadah Perjamuan Kudus GMIT
(cara baru perayaan sakramen)” yang
merupakan tanggapan atas kesemena-menaan Dr. Eben Nuban Timo mengadakan
Perjamuan Kudus menurut seleranya yang kebablasan; dan “Marginalia atas
Kristologi dalam Budaya Masyarakat NTT” yang merupakan catatan kritis terhadap pandangan
teologi kontekstual tentang kristologi dalam budaya masyarakat NTT. Semua
Artikel tersebut dapat dibaca di blog saya: www.bianglalahayyom.blogspot.co.id
edisi 08 Agustus 2011 dan edisi 07 September 2016. Dan berkenaan dengan upaya
berteologi kontekstual kali ini, “Roti dan Anggur” Perjamuan Kudus diganti
dengan “sayur marungga rebus dan nira lontar” atau bahkan makanan dan minuman
lokal apa saja asal ada kesepakatan majelis dan jemaat lokal, sebagaimana telah
dikemukakan di atas, keprihatinan saya semakin bertambah.
Saya berpihak pada kelompok yang tidak setuju apabila dalam Perjamuan Kudus unsur roti dan anggur diganti dengan “sayur marungga rebus dan nira lontar” dengan dalih teologi kontekstual. Saya juga sangat tidak setuju apabila roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus diganti dengan—seperti kata Paul Bolla—laru dan jagung, moke dan ubi, dengan alasan teologi kontekstual. Menurut pendapat saya, pelaksanaan Perjamuan Kudus dengan menggunakan sayur marungga rebus dan nira lontar, atau jagung dan laru, atau ubi dan moke, dan sebagainya dengan alasan teologi kontekstual itu pada gilirannya merupakan teologi kontekstual yang kebablasan—teologi kontekstual yang latah, yang melewati batas atau ketentuan universal (yang berlaku dalam persekutuan orang-orang percaya di seluruh dunia yang merayakan Perjamuan Kudus dari sepanjang zaman), sehingga telah terjadi pelecehan terhadap kekudusan Ibadah Perjamuan Kudus.
Begitu pula
dengan keputusan Majelis Sinode yang menyatakan, “Dalam rangka kontekstualisasi
atau dalam keadaan tertentu roti dan anggur dapat diganti dengan bahan lain berdasarkan
keputusan persidangan jemaat” pada
dasarnya merupakan pembenaran dan pengukuhan terhadap praktik perjamuan kudus
yang telah lakukan oleh Pdt. Iswardi Lay di Rote, dan membenarkan pendapat yang
dikemukakan oleh Paul Bolla, S.Th, serta pandangan Dr. Nuban Timo, dengan
alasan yang ditempelkan bahwa: Keputusan Majelis Sinode itu diambil “setelah
melalui pembahasan yang mendalam melalui diskusi dan seminar beberapa tahun
belakangan”.
Ah, suatu
pembenaran dan pengukuhan yang sangat naif! Unsur Perjamuan Kudus “roti dan
anggur” dibiarkan dipingpong oleh majelis jemaat dan jemaat dalam wilayah
pelayanan GMIT! Atau jangan-jangan pada waktu akan datang, menjelang saat
Perjamuan Kudus dilaksanakan di setiap jemaat, akan ada surat edaran pastoral
dari Sinode ke jemaat-jemaat setempat melalui Klasis, berkenaan dengan
penggunaan jenis makanan dan minuman lokal pengganti roti dan anggur dalam
Ibadah Perjamuan Kudus! Mudah-mudahan apa yang saya kemukakan ini tidak
terjadi!
Betapa
rapuhnya landasan teologis alkitabiah
yang di atasnya GMIT melakukan Ibadah Perjamuan Kudus, apabila roti dan anggur
diganti dengan unsur makanan dan minuman lokal. Jikalau mengenai penggunaan
jenis makanan dan minuman lokal sebagai pengganti roti dan anggur dalam Perjamuan
Kudus didiskusikan, dimusyawarahkan dan putuskan oleh majelis jemaat dan jemaat
setempat, pertanyaannya ialah: apakah semua majelis jemaat dan jemaat lokal
dalam denominasi GMIT “ahli teologi kontekstual”, sehingga mereka dapat mencapai suatu
kesepakatan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara teologis
alkitabiah?
Apakah Pendeta
sebagai Ketua Majelis Jemaat setempat dapat mengatasi perbedaan pendapat yang
dimbul dalam diskusi atau musyawarah yang dilakukan di antara majelis jemaat
dan jemaat setempat berkenaan dengan roti dan anggur Perjamuan Kudus yang
hendak diganti dengan jenis-jenis makanan dan minuman lokal itu? Atau, jangan
sampai dalam berdiskusi ada Pendeta yang “kalah” dalam berdiskusi dengan
anggota jemaat!
Apabila di
suatu jemaat lokal terdapat 200 anggota jemaat yang setuju terhadap penggantian
roti dan anggur dengan jenis makanan dan minuman lokal, misalnya sayur marungga
rebus dan nira lontar, tetapi ada beberapa anggota jemaat lainnya tidak setuju,
dan meminta agar roti dan anggur yang
harus digunakan dalam Ibadah Perjamuan Kudus, maka apakah permintaan mereka
akan disetujui dan mereka dapat dilayani secara khusus dengan menggunakan unsur
roti dan anggur yang sesuai dengan pesan Injil? Ataukah mereka yang minoritas
dan landasan teologis alkitabiah yang benar berada di pihak mereka tidak
dihiraukan, karena mayoritas warga jemaat yang menyetujui roti dan anggur
diganti dengan marungga rebus dan nira lontar merupakan suara terbanyak
(mayoritas) dituruti oleh Pendeta padahal landasan teologis alkitabiahnya tidak
benar?
Berdasarkan
pengamatan saya, untuk berdiskusi dan/atau memperdebatkan dasar-dasar ajaran saksi-saksi
Yehuwa, majelis jemaat dan warga jemaat GMIT masih kewalahan karena dasar
pengetahuan Alkitab yang terbatas dan kurang, apa lagi mau berdiskusi tentang
teologi kontekstual!
Di sisi lain, menurut pengamatan saya melalui
buku-buku, makalah-makalah dan artikel-artikel yang ditulis oleh beberapa orang Pendeta GMIT antara tahun 2004
sampai tahun 2016, terutama buku-buku karya Dr. Eben Nuban Timo, saya melihat, tidak
ada satu pun pendeta yang dapat disebut
“teolog”. Mereka hanya dapat disebut “sarjana teologi” karena telah
menyelesaikan studi teologi strata satu, strata dua, dan strata tiga.
Dr. Eben Nuban
Timo, sekalipun memiliki kreativitas dalam penulisan buku sehingga di WorldCat Identities terdapat 15 karya
tulis dalam dua bahasa yang tersimpan di 109 perpustakaan; dan di Virtual International Authority File (VIAF)
terdapat empat bendera yaitu bendera
Amerika, Australia, Belanda dan ISNI dicantumkan pada nama dan karya tulisnya,
menurut penilaian saya Dr. Eben Nuban Timo belum dapat digolongkan pada tataran
teolog. Penilaian yang saya kemukakan ini tidak mengada-ada, tidak dicetuskan
dari kesombongan (keangkuhan atau tinggi hati). Penilaian ini saya kemukakan
berdasarkan potensi yang ada dalam diri saya, karena saya banyak membaca
buku-buku teolog terkemuka antara lain: Dietrich Bonhoeffer, Rudolf Bultmann,
Paul Tillich, Reinhold Niebuhr, Karl Barth, John A. T. Robinson, dan lain-lain
yang tak dapat disebutkan di sini.
Pendapat
Dr. Eben Nuban Timo tentang roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus dapat diganti
dengan sayur marungga rebus dan nira lontar yang dikemukakan dengan nada
enteng: “Mengapa tidak? Roti dan Anggur itu ‘kan makanan dan minuman
sehari-hari orang Palestina dan Eropa. Kita bukan Palestina dan Eropa. Kita
boleh memakai makanan sehari-hari kita untuk melambangkan tubuh dan darah
Kristus. Apa salahnya?” Pendapat Dr.
Eben Nuban Timo yang tandas dan bernada enteng ini patut disesalkan, karena
landasan teologis alkitabiah dan pendekatan model semiotiknya tidak dapat
dibenarkan. Dalam hal ini Dr. Eben Nuban Timo dapat disebut seorang pakar balsem,
yaitu seorang pakar yang gemar mengomentari apa saja yang disukainya secara
enteng dan seenaknya.
Roti
tidak pernah diimpor oleh warga GMIT dari Palestina dan Eropa! Sesuai dengan
perkembangan zaman, ratusan tahun lamanya, “roti” yang Dr. Eben Nuban Timo
katakan “makanan sehari-hari orang Palestina dan Eropa telah mengglobal sampai
juga ke wilayah pelayanan GMIT, sehingga
warga GMIT doyan makan roti, bahkan banyak warga GMIT yang pandai dan terampil
membuat roti. Dan kalau ada warga GMIT yang belum tahu membuat roti, tidak
berarti bahwa mereka tidak tahu dan/atau tidak bisa makan roti. Dengan
demikian, roti telah menjadi sejenis makanan yang universal, dikenal dan
dilahap oleh warga masyarakat dan warga GMIT.
Demikian pula
dengan anggur. Sejak ratusan tahun yang lalu warga GMIT telah mengenal dan
meminum anggur yang diolah dari arak dan/atau sopi. Karena itu anggur bukan
minuman yang warga GMIT impor dari Palestina atau Eropa. Jadi, mengapa roti dan
anggur dalam Perjamuan Kudus harus diganti dengan moke atau arak, atau laru?
Sungguh kebablasan!
Jikalau
mau konsekuen melakukan teologi kontekstual dengan alasan seperti pandangan Dr.
Eben Nuban Timo bahwa roti dan anggur itu makanan sehari-hari orang Palestina
dan Eropa, bukan makanan sehari-hari warga GMIT, maka saya minta agar Dr. Eben
Nuban Timo dan pendeta GMIT yang latah
terhadap teologi kontekstual jangan
memakai setelan berdasi, berjas, bertoga, dan bersepatu, ketika memimpin kebaktian, karena semua
jenis pakaian itu bukan asli milik
masyarakat lokal yang menjadi warga
GMIT melainkan milik orang Eropa.
Berdasarkan
sedikit penjelasan di atas ini, maka penggunaan roti dan anggur dalam Perjamuan
Kudus tidak boleh disingkirkan oleh para pendeta GMIT dengan alasan teologi
kontekstual. Sebab berdasarkan pendekatan menurut model semiotik—salah satu
dari empat model teologi kontekstual yaitu model terjemahan, model semiotik,
model pembebasan, dan model metafora—dalam kontekstualisasi, tidak tercermin
dalam argumentasi yang dikemukakan oleh Dr. Eben Nuban Timo dan Paul Bolla,
S.Th. Kedua sarjana teologi ini (yang seorang dari level strata tiga dan
seorang lagi dari level strata satu) hanya berwacana gaya pakar balsem
sebagaimana telah saya katakan di atas. Catatan sisipan: kata atau istilah “pakar
balsem” itu terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan pertama Edisi
IV Tahun 2008. Kata atau istilah tersebut dipergunakan di sini dalam arti
sejatinya berkenaan dengan pembahasan dalam tulisan ini.
Roti dan
anggur seyogianya tetap dipertahankan dalam Ibadah Perjamuan Kudus. Sebab roti
dan anggur telah lama dikenal dan inheren dalam dinamika dan struktur
kebudayaan lokal di mana GMIT hadir untuk melayani dan mewartakan kabar
sukacita tentang keselamatan yang universal di dalam dan melalui kelahiran,
kematian, dan kebangkitan Yesus. Dengan demikian, apabila Dr. Eben Nuban
Timo—ketika ditanyai pendapatnya soal roti dan anggur diganti dengan sayur
marungga rebus dan nira lontar—menjawab dengan nada enteng, “Mengapa tidak?” Maka
berkenaan dengan perihal penggunaan roti dan anggur yang seyogianya tetap
dipertahankan dalam Perjamuan Kudus saya juga mau berkata tegas, “Mengapa
tidak?”
Saya minta Dr.
Eben Nuban Timo pertimbangkan ini: ketika Yesus dan rasul-rasul-Nya makan
Paskah, bukan saja roti dan anggur yang ada, melainkan juga daging domba
Paskah, yang sesuai ketentuan, orang harus menyembelih domba Paskah (Markus
14:12, Lukas 22:7-13). Ketika Yesus duduk makan bersama-sama dengan
rasul-rasul-Nya, Yesus tidak mengambil daging domba untuk diberkati dan dibagikan
kepada rasul-rasul-Nya untuk dimakan, melainkan “roti”, padahal Yesus adalah
“Anak domba Allah” (Yohanes 1:29, 36). Yesus tidak mengambil daging domba dan
darah domba untuk menyimbolkan tubuh dan darah-Nya, padahal dalam Yohanes 6:53
Yesus berkata: “…sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan
tidak minum darah-Nya, kamu tidak memperoleh hidup di dalam dirimu”. Yesus juga
tidak memberikan “air” kepada rasul-rasul-Nya untuk diminum, melainkan
“anggur”, padahal Yesus adalah “air sumber hidup” (Yohanes 7:30,38; 4:14,15).
Saya ingin bertanya kepada Dr. Eben Nuban Timo mengenai landasan teologis
alkitabiah: mengapa “daging domba” dan “air” yang ada pada saat makan Paskah
itu Yesus tidak gunakan, melainkan “roti” dan “anggur” yang Yesus gunakan pada
saat “Perjamuan Malam yang Ia adakan bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya?
Makan Paskah
yang dilakukan oleh Yesus dan rasul-rasul-Nya ketika tiba hari raya Roti tidak beragi
itu sekaligus merupakan momen [kairos]
yang tepat bagi Yesus untuk menetapkan dan melakukan “perjamuan terakhir”
bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya. Perjamuan terakhir yang Yesus lakukan
bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya itu adalah “perjamuan perpisahan”, karena setelah
itu Yesus ditangkap, kemudian diadili, disalibkan, mati, dikuburkan, tetapi
dibangkitkan oleh Allah pada hari ketiga.
Perjamuan yang Yesus lakukan dengan rasul-rasul-Nya itu, dilakukan ketika
sedang makan Paskah, akan tetapi perjamuan
yang Yesus lakukan itu bukan Perjamuan Paskah. Perjamuan itu adalah “perjamuan
yang terpisah” dari makan Paskah. Itulah sebabnya gereja secara universal
menyebut perjamuan itu, “Perjamuan Kudus”.
Kata kudus,
dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani, hagios,
dalam bahasa Inggris berarti holy (suci,
kudus), sacred (keramat), dan selain
itu kata Yunani, hagios juga berarti dipisahkan oleh Allah dan/atau dipisahkan untuk Allah; disisihkan oleh Allah dan/atau disisihkan untuk Allah; diasingkan oleh Allah dan/atau diasingkan untuk Allah. Dengan
demikian, Perjamuan Kudus berarti Perjamuan Suci dan/atau Perjamuan Keramat. Perjamuan yang dipisahkan
oleh Allah dan/atau dipisahkan untuk
Allah dari perjamuan lainnya; atau Perjamuan
yang disisihkan oleh Allah dan/atau disisihkan untuk Allah dari perjamuan
lainnya; atau Perjamuan yang diasingkan
oleh Allah dan/atau diasingkan untuk
Allah dari perjamuan lainnya. Ini berarti, Ibadah Perjamuan Kudus harus
dihormati dan muliakan sesuai dengan kodratnya (sesuai dengan sifat aslinya
atau sesuai dengan sifat bawaannya), sebagaimana tersurat dan tersirat dalam
Injil (Perjanjian Baru). Jadi, roti dan anggur yang digunakan dalam Ibadah
Perjamuan Kudus harus tetap dipertahankan, jangan diganti dengan unsur lain
dengan alasan kontekstualisasi yang kebablasan dan konyol. Pendeta-pendeta GMIT
harus insafi akan hal ini. Dan setiap warga jemaat GMIT harus pula menginsafi
akan hal ini.
Perlu
diperhatikan bahwa kontekstualisasi tidak semudah seperti ucapan yang keluar
dari mulut Dr. Eben Nuban Timo dan mulut Paul Bolla, S.Th. Sebab dalam istilah
kontekstualisasi itu sendiri tersirat dua makna yang bertentangan, yaitu
kontekstualisasi dapat mendatangkan dan
menambah kejelasan makna dan kontekstualisasi dapat memutarbalikkan fakta melalui penafsiran dan penerapan yang
keliru dari konteks. Arti (makna) kontekstualisasi yang kedua inilah yang telah
terjadi di GMIT dalam Perjamuan Kudus, yaitu: roti dan anggur sebagai sebuah
fakta yang inheren dalam Perjamuan Kudus sesuai dengan pesan Yesus sebagaimana
tertulis dalam Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:15-20 dan 1 Korintus
11:23-25 diputarbalikkan melalui penafsiran dan penerapan yang keliru dari
konteks lalu diganti dengan marungga rebus dan nira lontar maupun jenis makanan
lokal apa saja.
Berdasarkan
apa yang dikatakan di atas ini, saya menilai Pdt. Norma Folla, Ketua Majelis
Jemaat Moria Liliba yang juga mantan
Ketua Klasis Rote Tengah “lebih benar” jika dibandingkan dengan Dr. Eben
Nuban Timo dan Paul Bolla, S.Th., ketika Pdt. Norma Folla berkata: “Saya kira
dalam banyak hal kita telah berusaha untuk membuat Injil diterima dalam konteks
budaya dengan upaya teologia kontekstual, tetapi tidak semua hal bisa
dikontekstualisasikan, karena bisa saja mengaburkan makna sakral dari
sakramen…”
Dengan
demikian, roti yang atasnya Yesus mengucapkan berkat lalu dibagi-bagikan kepada
rasul-rasul-Nya untuk dimakan, dan cawan anggur yang atasnya Yesus mengucapkan
syukur lalu diberikan kepada rasul-rasul-Nya untuk diminum adalah unsur
Perjamuan Kudus yang esensial; unsur Perjamuan Kudus yang mendasar; unsur
perjamuan yang hakiki. Unsur ini merupakan
suatu simbolisme yang secara tepat menunjuk kepada hakikat pengorbanan Yesus.
“Roti”
(Yunani, arton ), dalam bahasa
Inggris, bread, artinya livelihood, berasal dari bahasa Inggris
Kuno, liflād, yang artinya jalan hidup; jalan kehidupan (Chambers Twentieth Century Dictionary, 1972:157,769).
Arti kata ini menunjuk kepada kata
Yesus: “Akulah roti hidup…” (Yohanes 6:35,48,51), dan kata Yesus: “Akulah
jalan, dan kebenaran dan hidup” (Yohanes 14:6).
“Anggur”
(Yunani, oinos) menyimbolkan “darah
(darah perjanjian)”, Yesus berkata: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang
ditumpahkan bagi banyak orang” (Markus 14:24). Dengan demikian, unsur “roti dan anggur dalam Ibadah Perjamuan
Kudus adalah suatu “simbol [suatu tanda sekaligus lambang yang berdasarkan
tradisi atau konvensi menggambarkan dan/atau mewakili kepercayaan/iman, inti
sari doktrin agama, atau ciri khas upacara keagamaan seperti Upacara Perjamuan
Kudus” (Chambers Twentieth Century
Dictionary, 1972:1367).
Berdasarkan
penjelasan ini, sesungguhnya sangat salah apabila Paul Bolla, S.Th., berkata
bahwa roti dan anggur itu hanyalah “kulit yang tampak”. Roti dan anggur sebagai
unsur Perjamuan Kudus bukan kulit yang tampak, melainkan unsur esensial sebagai
“simbol yang menggambarkan atau mewakili kepercayaan [iman], inti sari doktrin
agama, atau ciri khas upacara keagamaan seperti Upacara Perjamuan Kudus”
sebagaimana dikatakan di atas, yang benar-benar inheren dengan berita Injil.
Penjelasan di
atas ini memberi petunjuk bagi kita di dalam mengapresiasi “roti dan anggur”,
yang dapat saya jelaskan sebagai berikut: Apabila Dr. Eben Nuban Timo dan Paul
Bolla, S.Th., pergi ke kedai roti dan anggur untuk makan roti dan minum anggur, maka roti
dan anggur yang dimakan dan diminum itu
hanyalah sejenis makanan dan minuman berkadar alkohol yang dijual di kedai itu.
Tetapi jika Dr, Eben Nuban Timo dan Paul
Bolla, S.Th., menghadiri Ibadah Perjamuan Kudus, roti dan anggur yang disediakan
dalam Ibadah Perjamuan Kudus itu adalah simbol tubuh dan darah Yesus yang telah
dikorbankan di Golgota. Sebagai seorang yang telah belajar teologi, dan membaca
kitab Perjanjian Baru berulang-ulang kali, niscaya dalam pikiran Anda terjadi
“asosiasi” (tautan dalam ingatan) pada kisah Perjamuan Malam yang Yesus adakan
bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya (Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas
22-15-20 dan 1 Korintus 11:23-25), dan kisah penderitaan, penyaliban, kematian
dan kebangkitan-Nya niscaya muncul di benak Anda.
Akan tetapi jika
roti dan anggur diganti dengan sayur marungga rebus dan nira lontar dalam Ibadah
Perjamuan Kudus, maka sayur marungga rebus yang dimakan dan nira lontar yang diminum
itu hanyalah sejenis makanan dan minuman lokal yang tidak memiliki makna
teologis alkitabiah apa-apa, bahkan merusak asosiasi yang terjadi dalam pikiran
jemaat yang sadar benar akan amanat yang tersirat dalam Injil Matius, Markus,
Lukas, dan surat 1 Korintus yang ayat-ayatnya telah disebutkan di atas.
Catatan Akhir
Mengakhiri
tulisan ini, saya titipkan satu peribahasa dari Charles H. Spurgeon kepada Dr.
Eben Nuban Timo dan Paul Bolla, S.Th., untuk direnungkan: “A new gospel is no gospel. For what is true is not new, and what is
new in theology is not true. Tell me the old, old story” (Charles H. Spurgeon. Salt-Cellars. A Collection of Proverbs. Moody Press Chicago (tanpa
tahun penerbitan), hlm.18).
Dan penulis
Injil Lukas berkata: “Dan tidak seorangpun yang telah minum anggur tua ingin
minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu lebih baik” (Lukas
5:39). Renungkanlah ini di dalam berteologi kontekstual!
“Hormatilah
dan Kuduskanlah Ibadah Perjamuan Kudus pada 14 April 2017” dan “Selamat
Menyongsong Paskah pada 16 April 2017”. Kasih karunia Allah di dalam Yesus
Kristus dan persekutuan dengan Roh Kudus menyertai kita sekalian. ***
Kupang,
16 Maret 2017
A.
G. Hadzarmawit Netti
Penatua Jemaat Gunung
Sinai Naikolan
(Denominasi Gereja
Masehi Injili di Timor)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar