Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Catatan pendahuluan
Pada
hari Kamis, 6 April 2017, jam 03:45 dini hari, saya baca di situs web SINODE
GMIT sebuah artikel berjudul, “Tak ada Roti dan Anggur di Perjamuan Kudus” yang
ditulis oleh Pendeta Dr. Eben Nuban Timo (selanjutnya akan saya sapa, Nuban
Timo). Artikel Nuban Timo tersebut luput dari perhatian saya, karena saya hanya
menyinggahi situs web SINODE GMIT pada 14 Maret 2017 untuk membaca artikel
“Bolehkah Nira dan Marungga ganti Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus?”
Tanggapan terhadap artikel ini dengan judul, “Roti dan Anggur Diganti Dengan
Marungga Rebus dan Nira Lontar dalam Ibadah Perjamuan Kudus—Suatu Pelecehan
Terhadap Kekudusan Ibadah Perjamuan Kudus” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id Sabtu, 18 Maret
2017).
Artikel
Nuban Timo yang judulnya telah disebutkan di atas menggugah saya untuk membuat
sebuah artikel tanggapan lanjutan, sebab ternyata, Nuban Timo telah melakukan
sebuah kajian kritis-kontekstual yang
salah terhadap pelaksanaan Perjamuan Kudus di salah satu jemaat GMIT di pulau
Rote – Nusa Tenggara Timur Indonesia, di mana roti dan anggur perjamuan diganti
dengan sayur marungga (daun kelor) rebus dan nira lontar. Kesalahan kajian
kritis-kontekstual yang dilakukan oleh Nuban Timo ialah, Nuban Timo memberi
penjelasan terhadap model pelaksanaan Perjamuan Kudus di Rote itu dari
perspektif Perayaan Paskah Yahudi; padahal
jemaat GMIT di Rote itu bukan umat Yahudi
atau umat yang beragama Yahudi yang merayakan hari raya Roti Tidak Beragi, yang
disebut Paskah.
Kesalahan
selanjutnya yang dilakukan oleh Nuban Timo ialah, ketika ia menjelaskan bahwa
“Perjamuan Kudus yang kita rayakan itu khan berakar dari pesta Paskah orang
Yahudi. Pesta Paskah itu khan makan malam anggota keluarga. Masa makan malamnya
hanya roti seukuran satu sentimeter. Pastilah rotinya besar, malah ada yang
makan dua atau tiga potong roti. Minumnya juga ditambahkan dua tiga kali.
Namanya juga makan malam….” Ditegaskan lagi oleh Nuban Timo: “Sakramen
Perjamuan yang diperintahkan dan dicontohkan Yesus, berakar pada Perjamuan
Paskah Israel untuk memperingati keluaran dari Mesir…” Dan selanjutnya Nuban Timo berkata lagi: “Perjamuan
Kudus saat ini adalah upaya meliturgikan pesta Paskah. Dalam perayaan aslinya,
yang juga dilakukan Yesus, orang boleh makan dan minum dalam jumlah banyak…” Stop sejenak! Kelihatannya Nuban Timo sedang meracau tentang Paskah Yahudi, Perjamuan
Kudus, roti seukuran satu sentimeter, roti besar-besar, makan dua tiga potong
roti, minum tambah dua tiga kali, makan minum dalam jumlah banyak, lantaran membayangkan
kelezatan sayur rebusan sayur marungga (daun kelor) yang dilahap bersama sambal
sambil meneguk nira lontar.
Nuban
Timo terus meracau, bahwa sakramen Perjamuan Kudus saat ini adalah upaya
meliturgikan pesta Paskah… Coba baca Lukas 22:17-20. Di ayat 17 tertulis: “And he
took a cup, and when he had given thanks he said: take this, and divide it
among yourselves.” Ini terjadi setelah
ayat 14 yang mengatakan bahwa Yesus duduk makan bersama murid-murid-Nya. Kata
makan dalam ayat ke-14 adalah makanan pembuka yang terdiri dari sayur pahit,
sayur hijau dan semacam kuah. Makanan pembuka ini ditutup dengan cawan pertama
dalam perayaan Paskah Israel yang Lukas sebutkan dalam ayat 17. Dalam ayat 20
Lukas menyebut sebuah cawan lagi. Kali ini disebut sesudah mereka makan. Yang
disebut makan dalam ayat 20 adalah makanan inti dalam perayaan Paskah Israel
yakni daging anak domba Paskah yang dipanggang lalu disajikan di meja bersama
roti tidak beragi, sayur pahit, kuah buah-buahan dan air anggur. Jadi ada dua
buah cawan yang beredar dalam perjamuan malam terakhir yang Yesus adakan dengan
murid-murid-Nya.” Nuban Timo menutup
penjelasan ini dengan merujuk kepada Ridderboos dan Baarlink (Pemberitaan Yesus Menurut Injil-Injil
Sinoptik. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1975:184). Penjelasan Nuban Timo
sebagaimana dikutip di atas ini akan saya berikan beberapa catatan.
1.
Nuban
Timo mengutip Lukas 22:17 terjemahan bahasa Inggris tanpa menyebut Alkitab
bahasa Inggris versi apa. Akan tetapi rupanya Alkitab bahasa Inggris versi RSV
karena memang ayat yang Nuban Timo kutip itu cocok dengan RSV. Jikalau memang
demikian, maka ayat 20 yang Nuban Timo rujuk itu tidak terdapat dalam RSV sebab
dalam RSV ayat 19 langsung disambung dengan ayat 21, dengan catatan, ayat 20
dicantumkan pada catatan kaki. Dengan demikian, seharusnya Nuban Timo menyebut
Lukas 22:17-20 versi bahasa Indonesia terjemahan LAI.
2.
Menurut
hemat saya, Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh gereja saat ini bukan
upaya meliturgikan pesta Paskah orang
Yahudi seperti kata Nuban Timo, melainkan meliturgikan “perjamuan khusus” yang Yesus
adakan dengan murid-murid-Nya ketika acara makan Paskah diadakan. Paskah
Yahudi dilakukan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penyelamatan pada keluaran
dari Mesir. Sedangkan
Perjamuan Kudus masa kini yang dilakukan oleh gereja untuk memperingati penderitaan
dan pengorbanan Yesus, yang dipesankan dan disimbolkan oleh Yesus
kepada murid-murid-Nya melalui roti dan anggur: “Inilah tubuh-Ku yang
diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” “Cawan ini
adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu” (ucapan Yesus
menurut versi penulis Injil Lukas; bandingkan dengan versi Matius, Markus, dan
Paulus). Dengan demikian, penjelasan H. Ridderboos dan H. Baarlink yang dirujuk
oleh Nuban Timo, yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus sama seperti Perjamuan
Paskah adalah perjamuan korban, yakni perjamuan yang didasarkan pada korban
yang telah dipersembahkan, adalah sangat salah. Demikian pula pernyataan yang
berbunyi, “Perjamuan Kudus adalah perbuatan peringatan sekaligus perbuatan
pengharapan. Itulah sebabnya ia terus dirayakan. Dalam pengulangan itu pikiran kita tidak boleh lagi terikat hanya pada
roti dan anggur saja, tetapi lebih dari itu yakni kepada Tubuh dan Darah
Kristus yang diperlambangkan oleh roti dan anggur” (cetakan kursif, AGHN). Berkenaan
dengan kalimat cetak kursif ini saya ingin berkata begini: setiap anggota
jemaat yang sudah menyelesaikan ketekesis telah memiliki konsistensi iman,
bahwa roti dan anggur perjamuan kudus adalah simbol tubuh dan darah Yesus
seperti tertulis dalam Lukas 22:19-20, 1 Korintus 11:23-25). Setiap anggota
jemaat yang sudah menyelesaikan ketekesis, tidak melihat hanya pada roti dan
anggur saja pada saat mengikuti
Ibadah Perjamuan Kudus, melainkan mata imannya tertuju kepada penderitaan,
pengorbanan, dan kematian Yesus. Dan mereka sadar betul akan pesan Paulus, “…
setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian
Tuhan sampai Ia datang”. Roti Perjamuan
yang Nuban Timo katakan hanya berukuran satu centimeter itu merujuk kepada
“roti yang Yesus pecah-pecahkan” lalu bagikan kepada murid-murid-Nya. Dan
anggur yang berukuran satu seloki itu merujuk kepada “isi cawan, yaitu anggur,
yang dibagi-bagikan kepada murid-murid-Nya”. Dengan demikian, Nuban Timo tidak
usah meracau makan roti Perjamuan Kudus yang berukuran lima belas sentimeter
dan minum anggur Perjamuan Kudus sepoci demi kepuasan perut.
3.
Ternyata
Nuban Timo tidak mencermati perbedaan esensi antara makan Paskah yang dirayakan
orang Yahudi, dan “makan roti dan minum anggur” (perjamuan khusus) yang Yesus
adakan bersama-sama dengan murid-murid-Nya pada waktu makan Paskah. Dalam Lukas
22;15 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Aku sangat rindu makan Paskah ini
bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita.” Dengan demikian, roti dan anggur dalam Lukas 22:19-20 (par. Matius 26:26-28;
Markus 14:22-24; 1 Korintus 11:23-26)
adalah simbol bagi Yesus yang
mengalami penderitaan sampai mati, yang
diliturgikan dalam Kebaktian Perjamuan Kudus, yang dilakukan oleh gereja, yang telah
berlangsung 20 abad dan yang telah diterima secara universal sebagaimana
dikatakan oleh Nuban Timo sendiri.
4.
Ridderboos
dan Baarlink, sebagaimana dirujuk oleh Nuban Timo, berkata begini: “Dalam
Perjamuan Paskah Israel makanan yang dijadikan santapan utama bukan
roti tetapi daging anak domba.” Pernyataan
kedua orang ini bertolak belakang dengan pernyataan Nuban Timo. Sebab, menurut
Nuban Timo, makanan pembuka Paskah Yahudi terdiri atas sayur pahit, sayur hijau
dan semacam kuah, yang ditutup dengan cawan paskah pertama. Makanan pembuka ini
dihubungkan dengan Lukas 22:14. Setelah itu, ada makanan inti yakni daging anak
domba yang dipanggang yang disajikan di meja bersama roti tidak beragi, sayur
pahit, kuah buah-buahan dan air anggur, yang ditutup dengan cawan paskah kedua.
Makanan inti ini dihubungkan dengan Lukas
22:17. Saya tidak perlu mengutak-atik
menu makanan Paskah Yahudi, sebab di dalam Injil Matius, Markus, dan Lukas yang
dirujuk oleh Nuban Timo, tidak ada satu ayat pun yang menyebut sayur pahit,
sayur hijau dan semacam kuah. . Yang
disebutkan dalam Injil dan 1 Korintus 11: 23-23, berkenaan dengan perjamuan
khusus yang Yesus adakan dengan murid-murid-Nya, hanyalah roti dan anggur untuk
menyimbolkan tubuh dan darah Yesus.
5.
Kesalahan
selanjutnya yang dilakukan oleh Nuban Timo terdapat dalam pernyataannya yang
berbunyi: “Pemakaian roti dan anggur dalam perayaan Sakramen Perjamuan Kudus merupakan salah satu
agenda dominasi dan penaklukan…” , yaitu “pola-pola dominasi dan penaklukan
gereja muda pada agenda monokultur dari negeri asal para misionaris dianggap
sebagai hukum yang tidak dapat diubah. Tradisi gereja dimanfaatkan untuk
melegitimasi agenda tadi.” Menurut hemat
saya, pernyataan Nuban Timo sebagaimana dikutip di atas ini merupakan sebuah
fantasi yang “tidak berangkat dari Injil dan pulang kepada Injil!” Apakah dalam
Injil Matius, Markus, Lukas, dan surat 1 Korintus 11:23-27, roti dan anggur tidak
disebutkan berkenaan dengan “perjamuan khusus” yang Yesus lakukan dengan
murid-murid-Nya pada acara makan Paskah? Apakah roti dan anggur yang dipakai
dalam Perjamuan Kudus adalah merupakan praktik para misionaris untuk
mendominasi dan menaklukkan gereja-gereja muda dalam konteks ini di daerah
pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor? Apakah Yesus pada waktu makan
Paskah bersama murid-murid-Nya, kemudian
secara khusus melakukan jamuan dengan murid-murid-Nya sehubungan dengan penderitaan
yang bakal dialami-Nya “tidak mempergunakan roti dan anggur sebagai simbol
tubuh dan darah-Nya”?
6.
Satu
lagi pernyataan Nuban Timo yang patut digugat ialah: “Kalau tradisi gereja
dibuka dengan teliti menjadi jelas bahwa roti dan anggur merupakan bagian dari
pendangkalan terhadap perayaan Perjamuan Paskah! Pernyataan ini memberi
petunjuk bahwa “Nuban Timo adalah seorang penganut agama Yahudi, yang ingin
mempertahankan pelaksanaan perayaan Perjamuan Paskah orang Yahudi, dan
memandang penggunaan roti dan anggur
sebagai bagian dari pendangkalan terhadap perayaan Perjamuan Paskah orang
Yahudi. Selain itu, secara tidak langsung Nuban Timo menuduh Yesus juga telah
melakukan pendangkalan terhadap Perjamuan Paskah orang Yahudi, sebab Yesus
menggunakan roti dan anggur pada saat menetapkan “perjamuan khusus” kepada
murid-murid-Nya. Saya menduga, rupanya ada kerancuan dalam pikiran Nuban Timo,
khususnya pada lobus temporalis otak
kanan di mana agama dan teologi berpangkal di situ.
7.
Berkenaan
dengan roti dan anggur diganti dengan rebusan sayur marungga (daun kelor) dan nira
lontar yang dilakukan jemaat GMIT di Rote dalam Ibadah Perjamuan Kudus, ada
pertanyaan yang muncul: Apakah itu tidak merusak makna sakramen? Berkenaan
dengan pertanyaan ini, Nuban Timo berkata: “Untuk menjawab pertanyaan ini, kita
perlu berkonsultasi kepada Robert Schreiter. Terapi kedua yang patut dikerjakan
dalam berkonsultasi teologi kata Schreiter adalah membuka budaya.” Ah, ternyata
pendekatan kontekstualisasi model semiotik yang dianjurkan oleh Robert J. Schreiter
melalui bukunya, Constructing Local
Theologies bagi Nuban Timo lebih berharga dari amanat Yesus yang
disampaikan kepada murid-murid-Nya, sebagaimana terbaca dalam Injil Matius,
Markus, Lukas, dan surat Rasul Paulus. Pendekatan model semiotik Schreiter yang
rumit dan penuh resiko pendangkalan serta pengingkaran keluhuran amanat Injil
dan pendewaan semiotik, tidak dipikirkan
oleh Nuban Timo. Teologi kontekstual yang disebut “local theology” yang
dipahami sebagai suatu interaksi yang dialektik dan dinamis antara Injil,
gereja, dan budaya, sesungguhnya cukup
rumit, kompleks, dan terlalu akademis; tidak segampang merebus daun kelor
(sayur marungga) lalu dihidangkan sebagai pengganti roti untuk di makan, dan
tidak seenaknya mengambil nira lontar pengganti anggur untuk diminum dalam
Ibadah Perjamuan Kudus. Dapat saya tegaskan di sini bahwa sekelumit pandangan
Schreiter yang dikutip oleh Nuban Timo dalam artikelnya itu, apabila dicermati
secara mendalam, bukannya mendukung
praktik Perjamuan Kudus yang dilakukan jemaat GMIT di Rote di mana roti dan
anggur diganti dengan sayur marungga rebus dan nira lontar, melainkan kutipan
yang Nuban Timo wedarkan dalam artikelnya itu mengukuhkan jawaban atas pertanyaan:
apakah itu tidak merusak makna sakramen Perjamuan Kudus; sekaligus merupakan
lonceng peringatan agar orang harus berhati-hati dalam berteologi kontekstual.
Berdasarkan
keseluruhan tinjauan di atas, maka sekali lagi saya katakan: pelaksanaan
Perjamuan Kudus dengan menggunakan sayur marungga (daun kelor) rebus dan nira
lontar, atau jagung dan laru, ubi dan moke sebagai pengganti roti dan anggur
dengan alasan teologi kontekstual, pada gilirannya merupakan teologi
kontekstual yang kebablasan—teologi kontekstual yang latah, dan merupakan
pelecehan terhadap kekudusan Ibadah Perjamuan Kudus. Berkenaan dengan Ibadah Perjamuan
Kudus, makanan-makanan dan minuman-minuman lokal yang disebut di atas ini tidak
memiliki :akar-simbolisme” di dalam Injil. Fungsi makanan dan minuman lokal yang
disebutkan di atas ini hanya sebatas makanan dan minuman pengisi perut. Integritas
semiotik makanan dan minuman lokal yang disebutkan di atas tidak sebanding dan
tidak cocok dengan integritas semiotik roti dan anggur dalam menyimbolkan tubuh
dan darah Yesus. Ini telah saya tinjau dalam artikel pertama.
Oleh
karena itu, berkenaan dengan Ibadah Perjamuan Kudus, hanya roti dan anggur saja
yang memiliki “akar-simbolisme” yang inheren dan konsisten (tetap [tidak
berubah-ubah]; taat asas, ajek, selaras dan sesuai) dengan amanat Yesus
sebagaimana tersurat di dalam Injil (Perjanjian Baru); sehingga tradisi kristen
dan/atau tradisi gereja dari abad ke abad tetap menggunakan roti dan anggur
dalam Ibadah Perjamuan Kudus. Nuban Timo pasti mengakui bahwa GMIT selama ini,
sejak berdiri pada 31 Oktober 1947, di dalam melakukan Ibadah Perjamuan Kudus, tidak pernah memesan atau mengimpor roti dan
anggur perjamuan dari Palestina, atau Eropa. Tepung pembuat roti dapat diolah dari bahan makanan
lokal, begitu pula air anggur perjamuan dapat dibuat dari sopi atau arak lokal.
Pada zaman VOC, di Kupang, pedagang-pedagang Tionghoa telah berdagang terigu,
sopi, dan anggur manis. Di pulau Rote juga sudah ada pedagang orang Tionghoa
yang tinggal di Baa dan Pouk. Mereka juga menjual terigu, sopi atau arak. Dan
di Rote juga sudah ada industri penyulingan sopi sederhana, sebab sopi atau
arak termasuk salah satu hasil yang wajib berikan secara tetap sebagai upeti
kepada Kompeni Belanda di Kupang. Begitu pula di Kupang sudah ada industri
penyulingan sopi atau arak dan industri minuman anggur manis yang disebut
“gula-beer” (data yang saya kemukakan ini terdapat dalam dokumen VOC General missive, Tahun 1743
– 1749). Dengan demikian Nuban Timo
jangan meracau tentang roti dan anggur harus dihubungkan dengan Palestina dan
Eropa.
Mengakhiri
artikel ini saya ingin mengusulkan tiga
pesta gerejawi untuk GMIT: (1) Paskah Kristen adalah berkenaan dengan
Kebangkitan Yesus. Jikalau Yesus tidak dibangkitkan maka sia-sialah kepercayaan
kita. Atas dasar ini, jemaat boleh merayakan Paskah Kristen [yaitu kebangkitan
Yesus] dengan “Pesta Paskah” atau “Makan Paskah” bersama setelah selesai
kebaktian. Tradisi “Pawai Paskah” sudah
dipraktikkan, karena itu “Pesta Paskah” atau “Makan Paskah” sebagai tanda
sukacita atas Kebangkitan Yesus yang diliturgikan, dapat saja dilakukan. Menu makanan
dan minuman, boleh disiapkan dari bahan makanan dan minuman lokal. (2) Pada
puncak Kebaktian Bulan Keluarga yang bertepatan dengan peringatan hari
reformasi pada 31 Oktober, jemaat boleh merayakannya dengan Pesta Bulan Keluarga
sekaligus memperingati Hari Reformasi dengan acara makan bersama. Menu makanan
dan minuman boleh disediakan dari bahan makanan dan minuman lokal. (3) Pada
malam Natal (24 Desember), berkenaan dengan peringatan Kelahiran Yesus, jemaat
boleh makan bersama dalam suatu acara yang disebut Pesta Natal yang diawali
dengan Kebaktian Malam Natal. Dengan melakukan Pesta Natal ini, acara-acara
perayaan Natal yang dilakukan di rayon-rayon ditiadakan. Menu makanan dan
minuman boleh disediakan dari bahan makanan dan minuman lokal.
Sedangkan
Ibadah Perjamuan Kudus untuk mengenang dan/atau memperingati peristiwa Jumat
Agung (Peristiwa Penyaliban Yesus) yang berhimpitan dengan Paskah
Yahudi, Roti dan Anggur Perjamuan Kudus yang menjadi simbol tubuh dan darah Yesus, yang
akar-simbolismenya inheren dalam Injil (Perjanjian
Baru) janganlah dikorup. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar