Soekarno |
Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
JUDUL tulisan
ini adalah judul salah satu sajak karya penyair Chairil Anwar, “Persetujuan
dengan Bung Karno”, yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin
janji/ Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu/ digarami
oleh lautmu// Dari mula 17 Agustus 1945/ Aku melangkah ke depan berada rapat di
sisimu/ Aku sekarang api aku sekarang laut// Bung Karno! Kau dan aku satu zat
satu urat/ Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar/ Di uratmu di uratku
kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”. (H. B. Jassin. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Jakarta 1978:74).
Sajak Chairil
Anwar ini pernah dinilai sebagai ada persamaan dengan sajak Ezra Pound yang
berjudul “A Pact”. Persamaan itu dikaitkan dengan persamaan beberapa
kata/ungkapan yang terdapat pada sajak “A Pact” dan “Persetujuan dengan Bung
Karno”, yaitu: judul sajak “A Pact” dapat diterjemahkan dengan “Persetujuan”
sebagaimana terdapat pada judul sajak Chairil Anwar; dan larik “We have one sap one root” (larik
kedelapan sajak “A Pact”) yang konon dapat diterjemahkan “Kita punya satu zat
satu urat”, sehingga sama dengan larik keenam sajak “Persetujuan dengan Bung
Karno”.
Memang,
sepintas lalu kelihatannya ada persamaan antara “A Pact” dan “Persetujuan
dengan Bung Karno”. Dalam sajak “A Pact”, tokoh aku dilukiskan membuat persetujuan atau perjanjian dengan tokoh Walt Whitman. Dan dalam sajak
“Persetujuan dengan Bung Karno”, tokoh aku
(Chairil Anwar) membuat persetujuan atau perjanjian dengan tokoh Bung Karno. Namun apakah nosi dan emosi
yang tersirat dalam kedua sajak tersebut sama? Untuk mengetahui sama atau tidak
sama kedua sajak tersebut, berikut ini saya akan mengkaji terlebih dahulu sajak
“A Pact” karya Ezra Pound., yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “I make a pact with you, Walt Whitman--/ I
have detested you long enough./ I come to you as a grown child/ Who has had a
pig-headed father;/ I am old enough now to make friends/ It was you that broke
the new wood,/ Now is a time for carving./ We have one sap and one root--/ Let
there be commerce between us” (Ibid. hlm.51), yang diterjemahkan oleh
Rosadi Sani sebagai berikut: “Kubikin
persetujuan dengan kau, Walt Whitman/ Aku sudah menyia-nyiakan kau cukup lama/
Aku datang padamu seperti bocah yang dewasa/ Yang punya bapa dengan hati yang
membatu/ Aku sudah cukup lama sekarang membikin persahabatan/ Kiranya kau yang
telah mematahkan ranting-ranting muda/ Kini tiba waktunya untuk berbagi/ Kita
punya satu zat satu urat/ Biarkan dia bersatu dengan kita.”
“A Pact”
memang dapat diterjemahkan dengan “persetujuan” atau “perjanjian”. Namun
semangat persetujuan atau perjanjian dalam sajak “A Pact” sebenarnya melukiskan
suatu pernyataan kesediaan tokoh aku untuk
menjalin kerukunan dengan tokoh Walt
Whitman, setelah cukup lama tokoh aku
membenci tokoh Walt Whitman. Perhatikan
larik kedua yang berbunyi “I have
detested you long enough”, yang diterjemahkan oleh Rosadi Sani: “Aku sudah menyia-nyiakan kau cukup lama”. Terjemahan
ini kurang pas, sebab kata “detested” bukan berarti menyia-nyiakan”, melainkan
berarti “membenci” atau “sangat membenci”, atau “sangat tidak menyukai”. Jadi,
larik kedua itu sebaiknya diterjemahkan: “Aku sudah membencimu cukup lama”,
atau “Aku sudah sangat membencimu cukup lama”, atau “Aku sudah sangat tidak
menyukaimu cukup lama”.
Pernyataan
kesediaan tokoh aku untuk rukun
kembali atau menjalin kerukunan dengan tokoh Walt Whitman itu bukanlah suatu pernyataan yang bersifat pura-pura
atau munafik, melainkan suatu pernyataan yang jujur dan ikhlas. Hal ini
tersirat dalam larik ketiga yang berbunyi “I
come to you as a grown child”, yang diterjemahkan oleh Saini Rosadi: “Aku datang padamu seperti bocah yang dewasa”.
Frase “seperti bocah yang dewasa”, lebih pas diganti dengan “seperti seorang
anak yang sudah dewasa”. Larik ketiga ini mengesankan sikap pendekatan tokoh aku yang bebas dan bertanggung jawab
atas pengambilan keputusannya sendiri, tanpa terpengaruh oleh pertimbangan
siapapun juga, termasuk ayahnya sekali pun yang berwatak keras. Hal ini
tersirat dalam larik keempat yang berbunyi “Who
has had a pig-headed father”, yang diterjemahkan oleh Rosadi Sani: “Yang punya bapa dengan hati yang membatu”.
Terjemahan yang sesuai untuk “a pig-headed
father” adalah “seorang bapa yang keras kepala” atau “seorang bapa yang berwatak keras”.
Lebih lanjut,
dalam larik kelima tokoh aku berkata:
“I am old enough now to make friends”, yang
diterjemahkan oleh Rosadi Sani: “Aku
sudah cukup lama sekarang membikin persahabatan”. Terjemahan ini kurang pas,
karena itu larik kelima sebaiknya diterjemahkan: “Aku sudah cukup dewasa sekarang untuk menjalin persahabatan” atau “Aku sudah cukup berpengalaman sekarang
untuk menjalin persahabatan”. Larik ini mempertegas maksud yang tersirat
dalam larik pertama, kedua, dan ketiga. Dengan larik ini tokoh aku sekali lagi
mempertegas pengambilan keputusanya, bahwa niat untuk rujuk, tidak lagi
membenci dan melakukan pendekatan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh Walt Whitman, dapat
dipertanggungjawabkan secara pribadi oleh tokoh aku sebagai seorang yang sudah dewasa dan berpengalaman.
Lalu, apakah
gerangan maksud tokoh aku menonjolkan
faktor kedewasaan dan pengalaman dalam larik kelima itu? Rupanya faktor
kedewasaan dan pengalaman harus membuat seseorang berlaku kritis dan realistis.
Seseorang yang disebut dewasa harus bisa mengatakan yang benar itu benar dan
yang salah itu salah. Ia pun harus bisa mengambil inisiatif untuk memperbaiki
yang salah dan meluruskan yang benar. Rupanya atas dasar inilah tokoh aku menyatakan: “It was you that broke the new wood” (larik keenam). Larik ini
adalah larik simbolis, begitu pula larik ketujuh: “Now is a time for carving”. Rosadi Sani menerjemahkan kedua larik
ini dengan: “Kiranya kau yang telah
mematahkan ranting-ranting muda” (larik kelima), dan “Kini tiba waktunya untuk berbagi”.
Menurut saya,
terjemahan Rosadi Sani tersebut kurang memuaskan. Ungkapan “the new wood”
sebaiknya diterjemahkan secara simbolis dengan “patung pemujaan baru” atau
“idola baru yang terbuat dari kayu”(“the new idol made of wood”). Dan ungkapan
“for carving” sebaiknya diterjemahkan
“untuk mengukir” atau “untuk memahat”. Jadi, larik keenam dapat
diterjemahkan: “Kaulah yang menghancurkan
patung pemujaan baru itu”, atau “Kaulah
yang menghancurkan idola baru yang terbuat dari kayu”. Dan larik ketujuh
dapat diterjemahkan: “Sekaranglah
waktunya untuk mengukir”, atau “Sekaranglah
waktunya untuk memahat”. Apabila makna yang tersirat dalam ungkapan “patung
pemujaan baru” atau “idola baru yang terbuat dari kayu” itu adalah “nilai-nilai
kehidupan yang dijunjung bersama”, maka larik keenam menyarankan bahwa pokok
persoalan yang menimbulkan keretakan, kerenggangan, dan kebencian di hati tokoh
aku terhadap tokoh kau (Walt Whitman) itu bermula dari
sikap atau ulah tokoh kau (Walt Whitman) yang
telah menghancurkan nilai-nilai kehidupan yang seharusnya dijunjung bersama itu.
Dan agar bisa
terjalin kembali kerukunan/persahabatan, tokoh aku mengimbau kepada tokoh kau
(Walt Whitman): “Now is a time for carving” (Sekaranglah waktunya untuk
mengukir; Sekaranglah waktunya untuk memahat). Ya, Sekaranglah waktunya
untuk memperbaiki, memulihkan kembali persahabatan dan kerukunan dengan cara:
“mengukir atau memahat patung pemujaan yang dihancurkan itu”, yaitu “mengakui
dan menjunjung kembali nilai-nilai kehidupan yang telah hancurkan itu”. Jadi,
larik keenam dan ketujuh sebenarnya mengesankan kepada kita suatu pernyataan
sikap dari tokoh aku kepada tokoh kau (Walt Whitman) untuk menginsafi
kesalahan yang telah dibuat oleh tokoh kau
(Walt Whitman), sekaligus tokoh aku mengimbau
tokoh kau (Walt Whitman) untuk
menyelesaikan persoalan yang telah terjadi di antara mereka itu demi pemulihan
hubungan persahabatan (kerukunan), sebagaimana dilukiskan dalam larik kelima.
Mengapa tokoh aku mengutamakan jalinan persahabatan
dan kerukunan kembali dengan tokoh kau
(Walt Whitman) setelah cukup lama tokoh
aku sangat membenci tokoh kau (Walt
Whitman)? Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya telah disiratkan dalam
larik ketiga dan kelima, namun secara lebih tegas tokoh aku mengemukakan alasannya untuk membina kerukunan dengan tokoh kau (Walt Whitman) dalam larik kedelapan
yang berbunyi: “We have one sap and one
root”. Rosadi Sani menerjemahkan larik ini dengan “Kita punya satu zat satu urat”. Terjemahan ini kurang tepat,
karena Rosadi Sani mungkin terpengaruh dengan larik sajak Chairil Anwar
berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno” yang berbunyi: “Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat”.
Dalam bahasa Inggris,
perkataan “sap” (“vital juice” [cairan vital]) pada batang dan ranting tanaman
dapat disimbolkan dengan “blood” (darah) pada tubuh manusia. Dalam kamus,
perkataan “darah” arti kiasannya adalah “keturunan” atau “asal usul”. Dalam
bahasa Inggris, perkataan “root” (akar) arti kiasannya adalah “asal mula” (= leluhur yang menurunkan asal usul). Dengan
demikian, larik sajak “We have one sap
and one root” lebih pas diterjemahkan: “Kami
punya satu keturunan dan satu leluhur”, atau “Kami punya satu asal usul dan satu asal mula”. Karena alasan
inilah, tokoh aku rela menghapus kebencian yang sudah cukup lama
terpendam di hatinya terhadap tokoh kau
(Walt Whitman), dan tokoh aku bersedia melakukan pendekatan dengan tokoh kau (Walt Whitman) guna menjalin kembali
persahabatan/kerukunan. Alasan yang tersirat dalam larik kedelapan ini
sekaligus mencerminkan kedewasaan berpikir tokoh aku sebagaimana telah
disiratkan pula dalam larik ketiga dan kelima. Karena alasan sebagaimana
diuraikan di atas inilah, tokoh aku menyatakan
secara tegas keluhuran prinsipnya dalam larik kesembilan: “Let
there be commerce between us”.
Rosadi Sani
menerjemahkan larik tersebut dengan: “Biarkan
dia bersatu dengan kita”. Menurut pertimbangan saya, terjemahan ini tidak
tepat. Dalam larik tersebut tidak ada persona ketiga (dia), dan tidak ada kata maupun ungkapan yang menyatakan pihak
ketiga (dia) diterima atau dibiarkan
bersatu dengan kita. Jadi lebih tepat
larik itu diterjemahkan “Biarlah terjalin
pergaulan di antara kita”, atau “Biarlah
terjalin persahabatan di antara kita”, atau “Biarlah terjalin persatuan di antara kita”. Sebab dalam bahasa
Inggris, perkataan “commerce” dalam konteks umum berarti “perdagangan” atau
“perniagaan”; tetapi dalam konteks khusus berarti “intercourse” (pergaulan,
hubungan persahabatan), atau “communion” (persatuan).
Lalu,
bagaimanakah dengan sajak Chairil Anwar yang berjudul “Persetujuan dengan Bung
Karno”? Apakah nosi dan emosi yang tersirat di dalam larik-larik sajak tersebut
sama dengan sajak “A Pact” karya Ezra Pound?
Dalam tahun
1948 yang diselimuti berbagai kemelut perpecahan, ketidaksetiaan,
pengkhianatan, dan perongrongan yang bertujuan menghancurkan persatuan dan
kesatuan bangsa, Chairil Anwar menggubah sajaknya yang berjudul “Persetujuan
dengan Bung Karno”. Melalui sajak tersebut Chairil berseru lantang pada larik
pertama: “Ayo! Bung Karno kasi tangan
mari kita bikin janji”. Dengan larik ini Chairil secara tegas menyatakan “kata
sepakat” (= setuju, sependapat, mufakat) kepada Bung Karno. Kata sepakat yang
Chairil nyatakan kepada Bung Karno itu bukannya tanpa alasan, sebab pada larik
kedua Chairil berkata: “Aku sudah cukup
lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu/ digarami oleh lautmu”.
Dengan
larik-larik tersebut Chairil mau menyatakan bahwa semua gagasan,
pandangan/konsepsi yang dikemukakan oleh Bung Karno sebagai pemimpin bangsa
telah diresapi dan diyakini benar-benar (“Aku
sudah cukup lama dengan bicaramu” ). Bahkan Chairil pun menegaskan bahwa
sudah lama “semangatnya digelorakan oleh kebesaran semangat Bung Karno, dan
keteguhan hatinya/pendiriannya pun sudah lama ditempa dan dikebalkan oleh
keteguhan dan kebesaran jiwa Bung Karno” (arti figurative dari: “dipanggang atas apimu digarami oleh lautmu”).
Dengan semua pernyataan tersebut Chairil merumuskan dirinya dan presensinya
sebagai tanggapan atas berbagai kemelut yang berkembang dalam tahun 1948: bahwa
semangatnya tidak pudar, keteguhan hati/prinsipnya tidak goyah, loyalitasnya
terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan tidak luntur.
Sebagai penegasan
lebih lanjut, Chairil berkata: “Dari mula
tanggal 17 Agustus 1945/ Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu”. Larik
ini mempertegas loyalitas Chairil terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan,
dan juga kepada Bung Karno sebagai simbol republik. Dan demi cita-cita
proklamasi kemerdekaan serta demi republik, Chairil berkata: “Aku sekarang api aku sekarang laut”. Api
= fire = enthusiasm, artinya bergairah atau bersemangat.
Laut = sea = ocean = swell, artinya bergelora.
Dengan demikian larik yang berbunyi “Aku
sekarang api aku sekarang laut” menyiratkan patriotisme Chairil yang tidak
pudar. Loyalitas dan patriotisme Chairil sebagaimana dikemukakan di atas ini
diungkapkan sekali lagi secara lantang dan tegas dalam larik-larik: “Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita
berlayar/ Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”.
Zat = essence
= matter = element = principle, artinya asas atau pedoman
hidup. Urat = tendon = sinew = strength = force,
artinya kekuatan. Jadi, “satu zat
satu urat” artinya “satu asas satu kekuatan”
atau “satu pedoman hidup satu kekuatan”.
Di atas satu “asas” (pedoman hidup)
dan satu “kekuatan” inilah Chairil Anwar
berkata: “Kapal-kapal kita berlayar” dan
“kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”. Kapal-kapal = ships
= to engage for service, artinya menunaikan berbagai aktivitas untuk
melayani. Berlayar = to depart = to put off (from
shore) = sail = project, artinya rencana, rancangan,
proyek. Berlabuh = at anchor = anything that gives
stability or security (fig.), artinya segala sesuatu yang
menjamin stabilitas atau keamanan, keselamatan, kesejahteraan. Apabila
berbagai arti kata ungkapan ini kita hubung-hubungkan untuk memparafrase
larik-larik sajak Chairil Anwar yang berbunyi: “Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/ Di zatmu di zatku
kapal-kapal kita berlayar/ Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak &
berlabuh”, maka parafrasenya berbunyi sebagai berikut.
“Bung Karno! Kau dan aku satu asas/satu
pedoman hidup dan satu kekuatan. [Yang dimaksudkan dengan satu asas/satu
pedoman hidup dan satu kekuatan di sini adalah Pancasila dan UUD 1945].
Di atas satu asas/satu pedoman hidup dan satu kekuatan inilah kita bersama
menunaikan berbagai aktivitas, rencana, rancangan, proyek, untuk melayani
bangsa dan republik ini. Di atas satu asas/satu pedoman hidup dan satu kekuatan
inilah kita bersama memperjuangkan segala sesuatu yang menjamin stabilitas atau
keamanan, keselamatan, serta kesejahteraan bangsa dan republik ini”.
Berdasarkan keseluruhan
kajian di atas ini saya dapat simpulkan bahwa sajak “A Pact” karya Ezra Pound
dan sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar tidak terdapat
persamaan. Nosi dan emosi yang tersirat dalam larik-larik kedua sajak
tersebut sangat berbeda. Dan sebagai catatan akhir saya dapat berkata: nosi dan
emosi yang tersirat dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” yang digubah
oleh Chairil Anwar pada tahun 1948 itu tetap merelevansi dengan perkembangan dinamika
politik bangsa Indonesia dalam tahun 2009 menuju ke tahun 2014. Bahkan, demi
kelanggengan eksistensi bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia sepanjang
kurun waktu 2014—2048 dan seterusnya, nosi dan emosi yang tersirat dalam sajak
“Persetujuan dengan Bung Karno” tetap relevan dan patut diaktualkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar