Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Catatan
pengantar
Dalam
buku saya berjudul, Vibrasi Sejarah
Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia (B You
Publishing Surabaya 2010) telah saya analisis vibrasi kepeloporan enam Presiden
RI dan satu wakil Presiden, yaitu: vibrasi kepeloporan Presiden Soekarno,
vibrasi kepeloporan Wakil Presiden Mohammad Hatta, vibrasi kepeloporan Presiden
Soeharto, vibrasi kepeloporan Presiden B. J. Habibie, vibrasi kepeloporan Presiden
Abdurrahman Wahid, vibrasi kepeloporan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan
vibrasi kepeloporan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Vibrasi kepeloporan
Presiden Joko Widodo belum dibukukan, tetapi sudah dipublikasikan di blog www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi 03 Juli 2014.
Presiden
Soekarno wafat pada tanggal 21 Juni 1970, akan tetapi vibrasi kepeloporannya
bangkit dalam diri dan/atau melalui kepeloporan Megawati Soekarnoputri di
pentas politik nasional Indonesia pada tahun 1987 sampai tahun 1997/1998;
1998/1999; 1999/2001; 2001 – 2004; dan 2004 – 2009; 2009 – 2014 (Baca: Vibrasi
Kepeloporan Soekarno, hlm. 39 – 74; dan Vibrasi Kepeloporan Megawati
Soekarnoputri, hlm. 110 – 120). Sekalipun vibrasi kepeloporan Megawati
Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI (1999 – 2001) dan Presiden RI (2001 –
2004) sangat singkat, dan meskipun dua kali maju sebagai calon Presiden RI pada
Pemilihan Umum tahun 2004 dan tahun 2009 gagal menduduki kursi kepresidenan, namun
vibrasi kepeloporannya di pentas politik nasional Indonesia sangat kuat dan
menonjol hingga tahun 2018/2019 menuju tahun 2024.
Vibrasi
kepeloporan Megawati Soekarnoputri pada kurun waktu yang akan datang—setelah mengalami
stagnasi sekalipun—memiliki tahun kebangkitan vibrasi kepeloporan di pentas
politik nasional Indonesia. Peranan Puan Maharani (putri Megawati Soekarnoputri)
yang mulai menonjol di pentas politik nasional Indonesia dalam satu dekade
belakangan ini merupakan petunjuk nyata tentang kontinuitas vibrasi kepeloporan
Megawati Soekarnoputri di pentas politik nasional, sementara Megawati
Soekarnoputri masih eksis.
Begitu
pula dengan vibrasi kepeloporan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pentas
politik nasional Indonesia yang muncul pertama kali pada tahun 2001 dan
berhasil merealitaskan eksistensinya sebagai Presiden RI pada tahun 2004.
Vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono yang muncul pada tahun 2001
memiliki luas siklus vibrasi tiga tahunan yang dinamikanya bersifat politis
dan/atau politisasi yang dapat dipetakan kemunculannya sebagai berikut: 2001 – 2004 – 2007 – 2010 – 2013 – 2016 – 2019 – 2021 - 2024. Di samping dinamika vibrasi kepeloporan yang bersifat politis
ini, Susilo Bambang Yudhoyono memiliki dinamika vibrasi kepeloporan sebagai
presiden masa bakti lima tahunan, setelah dinamika vibrasi yang bersifat
politis mengukuhkan eksistensinya sebagai Presiden RI pada tahun 2004. Luas
siklus vibrasi kepresidenan ini mulai pada tahun 2004 – 2009 – 2014. (Baca: Vibrasi Kepeloporan Susilo
Bambang Yudhoyono, hlm. 121 – 131).
Luas
siklus vibrasi kepresidenan yang melekat pada Susilo Bambang Yudhoyono
sebagaimana dipetakan di atas ini dibatasi dan/atau diempang oleh ketentuan UUD
1945 yang telah diamendemen: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Karena ketentuan ini maka Susilo
Bambang Yudhoyono tidak dapat mencalonkan diri dan/atau dicalonkan untuk
mengikuti Pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014, padahal luas siklus vibrasi kepeloporannya
untuk jabatan Presiden akan mencapai kulminasinya pada tahun 2019 – 2024.
Luas
siklus vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono di pentas politik nasional
Indonesia sebagaimana dipetakan di atas ini memberi petunjuk bahwa kebangkitan
vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono akan eksis pada tahun 2019 – 2024,
bukan melalui eksistensi pribadinya, melainkan melalui dinastinya. Berdasarkan realitas
faktual dan realitas objektif, kebangkitan vibrasi kepeloporan Susilo Bambang
Yudhoyono di pentas politik nasional Indonesia pada tahun (kurun waktu) 2019 –
2024 - 2029 tersirat dan melekat pada tokoh Agus Harimurti Yudhoyono, yang
bayang-bayang kepeloporannya mulai muncul pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
tahun 2017 yang lalu.
Berdasarkan
dua catatan di atas maka saya ingin mengatakan ini: baik Puan Maharani (dari
dinasti Presiden Megawati Soekarnoputri yang menerima dan melanjutkan karisma
politik Soekarno) maupun Agus Harimurti Yudhoyono (dari dinasti Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono) yang eksis di pentas politik—terpanggil untuk hadap diri, tahu diri, dan terima diri untuk berinvestasi di pentas politik nasional Indonesia. Berbarengan
dengan hadap diri, tahu diri, dan terima diri untuk berinvestasi di pentas politik nasional Indonesia, maka kesadaran untuk jaga diri harus
ditumbuhkan sehingga tidak tergelincir atau jatuh dalam praktik-praktik yang
mereduksi, mencemarkan dan/atau meredupkan harga
diri. Dinamika vibrasi kepeloporan
seseorang akan mengalami stagnasi, apabila harga diri telah tercemar, atau apabila terang harga dirinya redup.
Kembali ke judul
artikel: kebangkitan vibrasi kepeloporan Soeharto di pentas politik nasional
Indonesia
Mengenai
Presiden Soeharto, vibrasi kepeloporannya muncul pertama kali pada tahun 1949;
setelah itu vibrasi kepeloporan yang tersirat dalam vibrasi tahun 1949 itu
terus berkembang dan bersiklus dengan vibrasi tahun 1962/1963; tahun 1964/1965;
tahun 1966/1967. Dan selanjutnya, vibrasi kepeloporan Soeharto mulai eksis
dengan mapan di pentas politik nasional Indonesia sepanjang periode 1968 – 1973; 1973 – 1978; 1978 – 1983; 1983 –
1988; 1988 – 1993; 1993 – 1998. Pada tahun 1998 Soeharto ditetapkan kembali
oleh MPR menjadi Presiden RI masa bakti 1998 – 2003, namun pada tanggal 21 Mei
1998 malam vibrasi kepeloporan Soeharto mengalami stagnasi karena berhasil
dibendung oleh kekuatan gerakan reformasi. Soeharto dilengserkan dari takhta
kebesarannya, Setelah itu Soeharto mengalami beberapa kemelut dalam jalan
hidupnya antara bulan Mei1998 sampai bulan Januari 2008.
Pada
hari Minggu, 27 Januari 2008, sekitar pukul 13.10 WIB, Soeharto wafat. Wafatnya
Soeharto pada tahun 2008 tetap terkait erat dengan luas siklus vibrasi kepeloporannya
sebagai Presiden RI lima tahunan sebagaimana dipetakan di atas antara tahun
1968 sampai tahun 1998. Seandainya vibrasi kepeloporan Soeharto tidak mengalami
stagnasi lantaran kekuatan reformasi mengempang dinamika vibrasi
kepeloporannya, niscaya Soeharto akan mengemban tugas kepresidenan antara bulan
Maret 1998 sampai bulan Maret 2003. Dan setelah itu bisa saja Soeharto ditetapkan lagi oleh MPR untuk menjadi
Presiden RI masa bakti 2003 - 2008 (Baca: Vibrasi kepeloporan Soeharto, hlm.75
– 95). Mengenai vibrasi kepeloporan Soekarno, Soeharto, Megawati Soekarnoputri,
dan Susilo Bambang Yudhoyono, perhatikan analisis yang saya lakukan secara
cermat dalam sketsa dan/atau grafis pada halaman 132 buku tersebut, serta
penjelasannya pada halaman 133. Analisis sejarah dengan teori vibrasi seperti
yang saya lakukan ini belum pernah
dilakukan oleh pakar sejarah manapun.
Dinamika
vibrasi kepeloporan Soeharto yang konstan dalam siklus lima tahunan sebagaimana
dipetakan di atas—sekalipun Soeharto telah wafat pada tahun 2008—secara senyap
terus berkembang sampai dengan tahun 2018.
Analisisnya begini: 2008 + 5 = 2013 + 5
= 2018. Dan seterusnya, luas siklus vibrasi kepeloporan Suharto yang
bangkit pada tahun 2018 akan eksis secara
objektif dan faktual di pentas politik nasional Indonesia sepanjang kurun waktu
lima tahunan mulai tahun 2019 – 2024 –
2029 – 2034 … dan seterusnya sesuai dengan dinamika vibrasi pesta demokrasi
lima tahunan sekali, yaitu pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden
berdasarkan ketentuan konstitusi yang berlaku.
Kebangkitan
vibrasi kepeloporan Soeharto di pentas politik nasional Indonesia yang luas
siklus vibrasinya bermuara pada tahun 2018
sebagaimana diwedarkan di atas, pada hakikatnya bukan lagi tersirat secara
senyap, melainkan telah tersurat secara gamblang dalam eksistensi Partai
Berkarya yang didirikan oleh Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto),
yang adalah putra Presiden Soeharto. Menurut berita yang saya baca di TEMPO.CO
edisi Kamis, 15 Maret 2018 dengan topik “11 Maret, Tommy Soeharto Dapat Mandat
Pimpin Partai Berkarya”, diberitakan bahwa pada Ahad, 11 Maret
2018, Hutomo Mandala Putra alias Tommy
Soeharto (yang semula sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya) resmi
mendapat mandat sebagai Ketua Umum Partai Berkarya menggantikan Neneng A.
Tutty. Vibrasi kepeloporan Soeharto di
pentas politik nasional Indonesia terkait erat juga dengan “Titiek Soeharto
yang memperoleh dukungan dan kesepakatan dalam Rapat pleno Partai Golkar untuk
menjadi Wakil Ketua MPR RI menggantikan Mahyudin” (Kompas.com – 18/03/2018 –
22:59 WIB).
Partai
Berkarya
adalah partai baru yang memenuhi persyaratan dan ketentuan undang-undang
kepartaian, dan telah disahkan oleh KPU sebagai partai peserta pemilihan umum
pada tahun 2019 yang akan datang. Dengan
demikian, Partai Berkarya—sama dan setara dengan partai-partai politik
yang lain—berjuang secara legal dan demokratis untuk memperoleh dukungan suara
rakyat, baik untuk eksistensinya di lembaga legislatif, maupun untuk memperoleh
dukungan suara rakyat pemilih bagi calon presiden yang diusung pada Pemilihan
Umum tahun 2019 dan juga pada tahun 2024 atau tahun 2029 dan seterusnya.
Berkenaan
dengan eksistensi Partai Berkarya di pentas politik nasional Indonesia, saya baca
di Kompas TV @ Kompas TV – 4th (08.06 AM – 14
Mar 2018) komentar yang berbunyi: “Indonesia terancam Sindrom Singosari. Secara
simbolis dapat terjadi di Indonesia antara dinasti Soekarno dan Soeharto.
Singosaren Sindrom ini makin kental dalam konstelasi politik saat ini.” Di halaman lain lagi saya baca: “Politik
Dinasti dan Singosaren Syndrome” -
Lifehood Education Channel Published on Mar 12, 2018 komentar yang
berbunyi: “Indonesia terancam Sindrom Singosaren: Saling bunuh antar Dinasti
Tunggul Ametung dengan Dinasti Ken Arok di Kerajaan Singosari (1222) secara
simbolis dapat terjadi di Indonesia antara dinasti Soekarno dan Soeharto.
Singosaren Syndrome ini makin kental dalam konstelasi politik saat ini.”
Pernyataan
atau komentar yang saya kutip di atas ini niscaya terkait dengan eksistensi Partai
Berkarya yang dipelopori oleh Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto
(sebagai dinasti Soeharto) di pentas politik nasional, yang dihadapmukakan
dengan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan yang dipelopori oleh
Megawati Soekarnoputri (dinasti Soekarno) dan putrinya Puan Maharani yang
sedang berjaya di pentas politik nasional Indonesia. Persaingan di pentas
politik dengan tujuan memperoleh
kekuasaan untuk memimpin republik ini wajar-wajar saja, tidak perlu
dipersoalkan; asal taat asas, demokratis, dan tidak bertentangan dengan
konstitusi, Akan tetapi jangan hanya dilihat terbatas pada dinasti
Soekarno dan dinasti Soeharto yang tampil dalam tokoh Hutomo Mandala Putra dan
Titiek Soeharto. Harus dilihat dan
diperhitungkan pula dinasti Susilo Bambang Yudhoyono yang tampil dalam tokoh
Agus Harimurti Yudhoyono sebagaimana telah dianalisis di atas.
Berdasarkan
teori vibrasi yang saya kembangkan, Agus Harimurti Yodhoyono memiliki vibrasi
kepeloporan yang mantap untuk maju sebagai calon Presiden RI masa bakti 2024 –
2029 berpasangan dengan Puan Maharani sebagai calon Wakil Presiden. Skor
vibrasi kepeloporan individual Agus Harimurti Yudhoyono 80; dan skor vibrasi
kepeloporan individual Puan Maharani juga 80. Sedangkan skor vibrasi kedua
tokoh ini jika bergandengan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden
pada pemilu tahun 2024 adalah 90/100. Ini memberi petunjuk bahwa Partai
Demokrat dan PDI-P
– demi kepentingan bangsa dan negara dalam kurun waktu tahun 2024 –
2029 dan 2029 – 2034 – seharusnya bisa membangun kerja sama di pentas politik
nasional Indonesia. Kalau untuk kebaikan bangsa dan negara serta kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia, mengapa tidak!?
Mengenai
vibrasi kepeloporan Hutomo Mandala Putra yang tampil di pentas politik nasional
Indonesia pada Pemilihan Umum tahun 2019
bersama Partai Berkarya, skor vibrasi kepeloporannya sebesar 20/30.
Dan pada pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang, vibrasi
kepeloporan Hutomo Mandala Putra dan Partai Berkarya memiliki skor
vibrasi kepeloporan sebesar 50. Ini memberi petunjuk bahwa
Hutomo Mandala Putra dan Partai Berkarya mendapat perhatian
dan sambutan di pentas politik nasional. Dari skor vibrasi kepeloporan politis
pada tahun 2019 sebesar 20/30 menjadi 50 pada tahun 2024 merupakan suatu
peningkatan.
Mengakhiri
tulisan ini saya merasa terpanggil untuk mengemukakan pendapat tentang prediksi
yang mengatakan bahwa “Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi pada
tahun 2030”. Prediksi ini saya baca di media internet Kompas.com – 22/03/2018. 12:54 WIB yang mengutip pernyataan Prabowo
Subianto begini: “Saudara-saudara! Kita
masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang
negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini. Tetapi, di
negara-negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia
sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030.”
Benarkah
Republik Indonesia akan sudah tidak ada lagi pada tahun 2030? Sebagai orang
pertama dan satu-satunya orang Indonesia yang melakukan penelitian sejarah
berdasarkan teori vibrasi terhadap sejarah pergerakan kemerdekaan dan eksistensi bangsa Indonesia, saya ingin mengutip kembali alinea
kedua dalam buku yang judulnya telah disebutkan di atas, sebagai berikut:
“Sebagai catatan
penutup bab ini saya ingin menggarisbawahi beberapa hal sebagai berikut: (1)
Teori vibrasi sejarah yang saya kembangkan untuk meneliti ulang vibrasi
pergerakan kemerdekaan dan eksistensi bangsa Indonesia antara tahun 1908 – 2008
memberi petunjuk bahwa vibrasi Kebangkitan Nasional dan Vibrasi Sumpah Pemuda
sangat menentukan dan mempengaruhi
eksistensi bangsa Indonesia. (2) Perkembangan eksistensi bangsa
Indonesia dalam abad ke-21 mulai tahun 2008/2009 menuju ke tahun 2028/2029
sampai ke tahun 2048/2049 dan seterusnya, sangat ditentukan oleh vibrasi
Kebangkitan Nasional dan vibrasi Sumpah Pemuda. (3) Vibrasi Kebangkitan
Nasional dan Vibrasi Sumpah Pemuda perlu diaktualkan kembali. Dan momen yang
tepat dan bersejarah untuk itu adalah tanggal 20 Mei yang diperingati sebagai
Hari Kebangkitan Nasional dan tanggal 28 Oktober yang diperingati sebagai Hari
Sumpah Pemuda. (4) Mengabaikan vibrasi Kebangkitan Nasional dan vibrasi Sumpah Pemuda
serta vibrasi Pancasila sebagai perekat kehidupan berbangsa dan bernegara,
Indonesia dibayang-bayangi gejala disintegrasi dan stagnasi” (hlm.37,38).
Berdasarkan
kutipan di atas ini saya hendak mengatakan bahwa sangat benar sekali pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada
wartawan bahwa: “ramalan (Republik
Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi pada tahun 2030 sebagaimana dikatakan
oleh Prabowo Subianto) tersebut bisa saja
terjadi jika persatuan dan kesatuan
Indonesia tidak dijaga. Kalau kita tidak betul-betul menjaga persatuan, bisa
saja terjadi seperti di Balkan, di Rusia, Uni Soviet, sering terjadi
perpecahan” (TRIBUNWOW.COM – Kamis,
22 Maret 2018 – 21:38).
Berdasarkan
kutipan di atas juga saya hendak mengatakan bahwa sangat benar sekali pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa: “Seharusnya kita memandang masa depan dengan
rasa optimisme. Kita memandang masa depan itu harus juga memberikan sebuah
harapan yang lebih baik kepada anak-anak muda kita, kepada rakyat kita.
(Indonesia) pasti akan menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan. Namun
Indonesia harus tetap kuat menghadapi tantangan. Sesulit apapun tantangan yang
ada, kita harus memberikan rasa optimisme, rasa harapan ke depan lebih baik” (Ibid).
Saja
ajak pembaca artikel ini untuk mencermati secara saksama kalimat yang berbunyi:
“Tetapi, di negara-negara lain mereka
sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik
Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Kalimat yang dicetak dengan huruf
tebal ini menyarankan makna: sebelum tahun 2030 Republik Indonesia sudah
mengalami disintegrasi dan stagnasi, sehingga pada tahun 2030 Republik
Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi. Apakah pernyataan ini tidak
tergolong khayalan (sesuatu yang
diangan-angankan seperti benar-benar adanya) yang tidak bertolak dari kenyataan
dan pulang ke kenyataan? Dengan demikian, pendapat Wakil Presiden Jusuf
Kalla sangat benar: “… pernyataan … bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030 adalah
fiksi…” (Jakarta, Kompas.com – 22/03/2018 – 12:54 WIB). Untuk menjawab
prediksi yang bersifat fiksi itu, semua komponen bangsa, seluruh rakyat
Indonesia harus merasa terpanggil untuk berikrar pada setiap 20 Mei, 1 Juni, 17
Agustus, dan 28 Oktober untuk “mengusir
roh-roh disintegrasi”.
Antara
tahun 2018 sampai tahun 2029 terdapat 12
hari keramat tanggal 20 Mei; 12 hari keramat tanggal 1 Juni; 12 hari keramat
tanggal 17 Agustus; 12 hari keramat tanggal 28 Oktober. Total hari keramat bagi
eksistensi bangsa dan Negara Republik Indonesia antara tahun 2018 sampai tahun
2029 sebanyak 48 hari keramat. Dan apabila 48 hari keramat bagi eksistensi
bangsa dan Negara Republik Indonesia tersebut dijunjung dan diperingati secara
intens, serta dijadikan sebagai momen “ikrar cinta bakti bagi persatuan dan
kesatuan bangsa dan Negara Republik Indonesia”, maka ramalan tentang “Republik
Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi pada tahun 2030” hanyalah ilusi.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar