Jonas Salean |
Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
MANUSIA
dan waktu sesungguhnya tak terpisahkan. Manusia berada dan memberada dalam
waktu, terkurung dalam waktu namun serentak mengatasi waktu, sehingga manusia
dapat bermenung tentang waktu. Manusia dapat bermenung tentang waktu karena
manusia sadar akan waktu. Ini berarti, manusia dapat menghayati waktu dalam
berbagai dimensi. Pertama, waktu kosmis, yaitu waktu yang dihayati manusia
berhubungan dengan gejala-gejala alam: pergantian hari, minggu, bulan, tahun
dan sebagainya. Kedua, waktu kesejarahan, yaitu penghayatan waktu yang
merentang antara apa yang sudah di
masa lampau, apa yang sedang di masa
kini, sampai dengan apa yang kelak di
waktu akan datang. Ketiga, waktu sebagai penghayatan eksistensial yang di
dalamnya manusia mengalami dirinya sebagai ada yang terus-menerus mengada di
tengah-tengah waktu kosmis dan waktu kesejarahan.
Eksistensi
manusia di tengah-tengah waktu sebagaimana digambarkan secara ringkas di atas
inilah yang membuat manusia sering mengalami pergumulan batin antara kesayuan
dan kebahagiaan; kepuasan dan ketidakpuasan; keremang-remangan dan
kecerah-ceriaan; kepastian dan ketidakpastian. Semuanya tersirat secara tak
tersadari dalam satu ungkapan singkat Karl Barth: “We live under the sign of
Not Yet” (The Faith of the Church, 1964:119).
Saya terjemahkan: “Kita hidup di bawah kurun waktu bertanda Belum.” Dan oleh karena itu, di dalam
dan/atau di tengah kurun waktu yang bertanda belum inilah kita bergumul antara
pengharapan dan harapan untuk memperoleh: kemenangan atau kekalahan; kesuksesan
atau kegagalan; kebangunan atau keruntuhan; kehidupan dan kematian.
Eksistensi
manusia di tengah-tengah waktu yang digambarkan di atas ini pula yang mendorong
penulis kitab Pengkhotbah berkata: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk
apapun di bawah langit ada waktunya…” (Pengkhotbah 3:1,dyb). Sedangkan William
Shakespeare berkata: “All the world’s a
stage, and all the men and women merely players. They have their exist and
their entrances, and one man in his time plays many parts” (Christopher Woodland - Garth Boomer, Creative Excursions Part 1, 1970:139).
Saya terjemahkan: “Seluruh dunia adalah sebuah pentas, dan semua laki-laki dan
perempuan hanyalah pelakon semata-mata. Mereka memiliki jalan keluar dan jalan
masuk sendiri-sendiri, dan setiap orang pada waktunya memainkan banyak bahagian
lakon kehidupan”.
Ya,
eksistensi manusia di tengah-tengah waktu—apakah dihayati sebagai waktu kosmis,
waktu kesejarahan, maupun waktu eksistensial—niscaya merambah ke masa depan
atau hari esok, betapapun absurdnya. Dalam momen seperti ini Lorenzo de
Magnificent, seorang penyair Zaman Renaisans, mengimbau kita lewat larik-larik
puisinya: “Naught ye know about tomorrow,
dance and play, let songs be sung. Let sweet Love your bosoms fire. In the
future come what may!” (Henry S. Lucas. The
Renaissance And The Reformation 1960:262). Saya terjemahkan: “Kendatipun
tidak kauketahui tentang hari esok, menarilah dan bermainlah, biarlah lagu-lagu
disenandungkan. Biarlah Kasih manis
membakar dadamu. Di hari mendatang kan muncul apa yang diharapkan!” Larik-larik
puisi ini menyarankan optimisme: Optimisme di dalam dan/atau berdasarkan Kasih Kristus. Dengan demikian, kita
sebagai manusia (pengikut Yesus) yang present
sebagai ada yang meng-ada di tengah-tengah ruang dan waktu
yang bertanda nama belum dan yang diwarnai
kemelut sekalipun, jangan mencemaskan hari esok. Kita harus optimistis dan
berpikir positif. Dengan uraian ini saya ingin mengajak pembaca (warga Kota
Kupang) untuk mampir sejenak di Terminal Kota Kupang, guna menyaksikan suatu
peristiwa penting yang terjadi pada
tanggal 1 Agustus 2017, hari Selasa: “Alih Mandat Wali Kota.”
Ya,
pada tanggal 1 Agustus 2017, hari Selasa—jikalau tiada aral—merupakan suatu
hari yang menjadi terminal: terminus ad quem (limit or the end to which: destination) bagi Jonas Salean, S.H.,
M.Si (selanjutnya akan saya sapa, Jonas Salean, tanpa menyebut gelar) berkenaan
dengan batas akhir tugas dan/atau jabatannya sebagai Wali Kota Kupang masa
bakti 2012 – 2017. Serentak dengan itu, tanggal 1 Agustus 2017 juga menjadi
suatu hari terminal: terminus a quo (the limit from
which: starting-point) bagi Dr. Jefry Riwu Kore (selanjutnya saya sapa, Jefry
Riwu Kore, tanpa menyebut gelar) akan menerima mandat dan tanggung jawab
sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022, kendati untuk sementara waktu tugas
Wali Kota Kupang diemban oleh Sekretaris Kota Kupang Bernadus Benu sebagai
Pelaksana Harian, sesuai surat Gubernur
NTT No. Pem/131/184/11/2017, hingga Dr. Jefry Riwu Kore dilantik sebagai Wali
Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022, jikalau tiada aral pada tanggal 22 Agustus
nanti.
Tanggal
1 Agustus 2017 yang saya katakan sebagai suatu terminal itu juga merupakan suatu estafette, asal kata bahasa Prancis dan Italia, staffetta – staffa,
cf. Old High German, stapho, artinya “a step” yang
bermakna ganda: “a stage downward” bagi Jonas Salean yang mengakhiri masa
jabatannya; dan “a step” yang bermakna
“a stage upward” bagi Jefry Riwu Kore yang kelak menerima mandat menjadi Wali
Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022 setelah dilantik nanti. Ya, pada hari
Selasa, 1 Agustus 2017, terjadi alih mandat di Terminal Kota Kupang. Alih
mandat dari Jonas Salean yang mengakhiri masa jabatannya sebagai Wali Kota
Kupang masa bakti 2012 – 2017; serentak terjadi pula penyerahan mandat kepada
Jefry Riwu Kore untuk mengemban jabatan sebagai Wali Kota Kupang masa bakti
2017 – 2022 pada saat pelantikannya nanti. Pada tanggal 1 Agustus 2017 secara
resmi Jonas Salean menemukan pintu keluar dan turun dari pentas jabatannya sebagai Wali Kota Kupang masa bakti
2012 – 2017. Dan Jefry Riwu Kore menemukan pintu masuk untuk naik ke pentas
jabatannya sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022 pada saat
pelantikan.
Berada
di Terminal Kota Kupang pada 1 Agustus 2017 seraya menyaksikan alih mandat
sebagaimana diwedarkan di atas, saya teringat kembali salah satu sajak berjudul,
“Di Terminal Bemo Kota Kupang” yang saya persembahkan kepada sahabat saya, S.
K. Lerik, ketika ia diserahi mandat sebagai Wali Kota Administratif Kupang,
menggantikan Drs. M. Amalo pada 26 Mei 1986 (tiga puluh satu tahun yang lalu). Pada
waktu itu, S. K. Lerik yang memandang saya sebagai penyair, meminta
masukan-masukan dari saya berkenaan dengan hal-hal yang perlu diperhatikan di
dalam membangun Kota Kupang. Lalu saya katakan, sebagai seorang yang berbakat
sastra, saya akan memberikan sumbangan pikiran terkait Kota Kupang dalam bentuk
puisi. Ada tujuh puisi yang saya persembahkan kepada S. K. Lerik pada waktu itu
berkenaan dengan kontemplasi saya tentang Kupang. Dua tahun berselang, tujuh
puisi itu saya muat sekaligus di koran KUPANG
POS, edisi tanggal 11 – 17 Februari
1988 di bawah judul, “Parade
Sajak-Sajak Prismatis Kota Kupang”. Salah satu sajak yaitu “Di Terminal Bemo
Kota Kupang” yang akan saya wedarkan di sini, larik-lariknya berbunyi sebagai
berikut:
“Di Terminal
beta duduk/ tunggu bemo/ di luar sadarku seorang kawan lama datang/ di hatinya
di hatiku/ keakraban tempo dulu membakar/ Dan bicara kami mengalir mesra/
melompat satu-satu tebing masa silam/ dalam bayang dan sinar/ tentang Kupang
hari kemarin/ kini dan esok./ Wajah kami mulai cerah/ berpeluk dengan cita dari
pusat hati/ buat berpesta dan senandung/ pecahkan suara angker dalam kata/ dan
irama/ bagi kasih dalam ratap kudus.// Lalu kami saling tanya:/ - kauteteskan
butir keringat dan air mata/ di sini?/ - ya, dan kau tanamkan segala kerinduan/
di padang tandus, bukit gundul/ dan tanah terlantar?/ - ya, kauyakin esok ada
kematian terbayang/ kalau hari ini tinggal menyepi sendiri?/ - ya, karena itu
mari kita bersumpah/ demi gunung dan pantai/ yang nyaman/ demi jalan-jalan dan
lorong kota/ yang bersih/ demi pekarangan dan lingkungan/ yang indah/ serta
alam yang lestari.// Peluklah Kupang cintamu/ Ciumlah Kupang kasihmu/ berikan
darahmu mendidih dalam gairah kerja/ sampai esok menjelang/ o, ya. Itu, bemo
datang/ untuk tempat yang kutuju.”
Sajak
di atas ini saya tulis pada tanggal 8 September 1986, kemudian dimuat di koran KUPANG POS, edisi 11 – 17 Februari 1988;
setelah itu dimuat di Mingguan DIAN, edisi bulan Mei 1992; dimasukkan pula
dalam buku, Kupang Dari Masa ke Masa (Pemerintah
Kabupaten Daerah Tingkat II Kupang, 1997: 199, 200; dan terakhir diabadikan
dalam kumpulan sajak-sajak bianglala yang dimasukkan sebagai Lampiran 2 dalam buku, Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi.
B You Publishing Surabaya, 2011:250). Nosi dan emosi imajinatif seputar
panggilan hidup, pengabdian, dan
motivasi kerja: menata dan membangun; menjaga dan memelihara semua yang
dibangun demi kesejahteraan umum, kenyamanan, keamanan, kebersihan, keindahan
kota serta alam dan lingkungan hidup yang lestari sebagaimana tersirat dalam
larik-larik sajak di atas ini telah ikut mewarnai Program Aman, Sehat, dan Indah (ASI)
di era kepemimpinan S. K. Lerik sebagai Wali Kota Administratif Kupang antara
tahun 1986 – 1996, dan sebagai Wali Kota Kupang antara tahun 1996 – 2007.
Nosi
dan emosi imajinatif seputar panggilan hidup, pengabdian, dan motivasi kerja
untuk menata dan membangun; menjaga dan memelihara semua yang dibangun
sebagaimana tersirat dalam larik-larik sajak di atas, telah diemban pula oleh
Daniel Adoe pada masa kepemimpinannya sebagai Wali Kota Kupang periode 2007 –
2012 dengan slogan khusus, “Kupang Green and Clean”. Dan pada masa
kepemimpinan Jonas Salean sebagai Wali
Kota Kupang selama lima tahun (2012 – 2017), nosi dan emosi imajinatif seputar
panggilan hidup dan motivasi kerja untuk menata dan membangun Kota Kupang
sebagaimana tersirat dalam larik-larik puisi di atas, telah diimplementasi dengan
baik dan memuaskan demi “Kupang – Aman – Sehat – Indah – Harmonis”, yang
kemudian menjadi “Kupang Kota Karya – Aman – Sehat – Indah – Harmonis”.
Demi
Kupang Kota Karya – Aman – Sehat – Indah - Harmonis, banyak sektor pembangunan
yang berhasil ditangani dan dibenahi oleh Jonas Salean. Warga Kota Kupang tidak
boleh menyangkali semua keberhasilan dan prestasi yang telah dicapai oleh Jonas
Salean bagi masyarakat dan lingkungan hidup di daerah Kota Kupang. Teristimewa berkenaan dengan janji-janji kampanye Jonas
Salean, yang dipaparkannya pada tahun 2012 ketika maju sebagai calon Wali Kota
Kupang, ternyata berhasil direalisasikan
semuanya secara sangat memuaskan. Saat kampanye pemilihan Wali Kota Kupang pada
tahun 2012, Jonas Salean berjanji kepada masyarakat Kota Kupang: pertama,
gratiskan beras raskin bagi penerima beras raskin; dan kedua, dana pemberdayaan
masyarakat sebesar 500 juta rupiah untuk setiap kelurahan. Kedua janji kampanye ini berhasil
direalisasikan dan bisa dirasakan masyarakat. Bahkan pada tahun 2017, akhir
masa jabatan Jonas Salean sebagai Wali Kota Kupang, dana pemberdayaan
masyarakat telah mencapai 750 juta rupiah untuk setiap kelurahan dan jumlah
perputarannya sudah mencapai 60 miliar rupiah. Selain itu, program KTP Sehat
untuk warga Kota Kupang, juga diluncurkan oleh Jonas Salean. Dengan program KTP
Sehat, APBD Kota Kupang bisa mengalami penghematan sebesar 20 miliar rupiah.
Sedangkan apabila semua warga Kota Kupang dialihkan ke BPJS, maka dana yang
dibutuhkan lebih besar, bahkan mencapai 78 miliar rupiah.
Selama
lima tahun memimpin Kota Kupang, Jonas Salean telah menerima tujuh
medali dari Presiden RI Joko Widodo, karena dinilai berprestasi dalam
merealitaskan program-program pembangunan demi kemaslahatan masyarakat. Selain
penghargaan dari Presiden, Jonas Salean sebagai Wali Kota Kupang juga menerima
penghargaan internasional AusAID (Australia) atas upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak;
penghargaan dari Menteri Dalam Negeri; Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi;
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Komisi Nasional HAM RI; dan
beberapa penghargaan lain dari Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ini
merupakan suatu kebanggaan, bukan saja
bagi Jonas Salean sebagai Wali Kota Kupang (an
sich); dan bukan pula suatu kebanggaan
bagi aparatur pemerintah Daerah Kota Kupang; melainkan
juga suatu kebanggaan bagi seluruh warga Kota Kupang.
Semua
prestasi yang telah diukir oleh Jonas Salean selama lima tahun menjadi Wali
Kota Kupang, merupakan bukti, bahwa Jonas Salean telah ikhlas “memeluk Kupang sebagai cintanya; mencium
Kupang sebagai kasihnya; dan memberikan darahnya mendidih dalam gairah kerja;
demi hari esok Kota Kupang yang lebih baik”, sebagaimana nosi dan emosi imajinatif
yang tersirat dalam bait terakhir sajak “Di Terminal Bemo Kota Kupang”.
Niscaya
terdapat juga kekurangan di sana sini.
Itu lumrah dan manusiawi! Dan apabila ada
kesalahan, atau ditemukan kesalahan, itu pun tidak mengagetkan, sebab: hominis
est errare (it belongs to man
to err)! Sebagai seorang yang memiliki bakat khusus untuk mendeteksi vibrasi
situasi yang terkait dengan manusia dan peristiwa, saya memperoleh petunjuk
bahwa vibrasi kepeloporan Jonas Salean sehubungan dengan jabatan Wali Kota
Kupang memiliki skor 80, dan vibrasi keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas
pembangunan sebagai Wali Kota Kupang
antara tahun 2012 – 2017 mencapai skor di atas rata-rata: 100 sampai 120.
Dengan
demikian, diharapkan Jefry Riwu Kore sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2017 –
2022 dapat mempertahankan dan/atau meningkatkan skor vibrasi keberhasilan yang
telah ditoreh oleh Jonas Salean. Warga Kota Kupang mencatat program-program
yang dikampanyekan oleh Jefry Riwu Koreh dan Hermanus Man: Program Kupang Senyum, Kupang Cerdas, dan Kupang Baru. Semoga
program-program ini dapat diimplementasikan dalam kurun waktu pengabdian antara
tahun 2017 sampai tahun 2022, agar warga masyarakat dapat mengalami dan
merasakan apa itu Kupang Senyum, apa itu Kupang Cerdas, dan apa itu Kupang Baru!
Mengakhiri
tulisan ini saya ingin mengutip lagi satu
sajak berjudul, “Kupang” (episode 1) yang larik-lariknya berbunyi
sebagai berikut: “Kupang milik kita
semua/ tanpa tanya dari mana kaudatang/ apa asal-usulmu// Kupang rumah kita
semua/mutlak dibenahi tanpa alasan/ itu bukan urusan beta// Kupang bukan cuma
tempat cari makan/ lantas ditinggalkan setelah berak/ di sana sini.”
Sajak
ini pun, sama seperti sajak “Di Terminal Bemo Kota Kupang”, saya tulis pada 8 September 1986, sebagai suatu
persembahan kepada S. K. Lerik dalam kapasitasnya sebagai Wali Kota
Administratif Kupang, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sajak ini adalah
sajak urutan pertama dari tujuh sajak di bawah judul “Parade Sajak-Sajak
Prismatis Kota Kupang”, dan sajak “Di Terminal Bemo Kota Kupang” adalah sajak
yang ditempatkan dalam urutan keempat. Ketujuh sajak yang menyiratkan nosi dan
emosi berkenaan dengan Kota Kupang itu dapat dibaca dalam kumpulan Sajak-Sajak Bianglala, Lampiran 2, dalam
buku Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam
Kontemplasi, do.ib.).
Sajak
“Kupang” (episode 1) yang larik-lariknya dikutip di atas ini sangat sederhana,
seperti diucapkan begitu saja tanpa lewat suatu proses pengendapan yang dewasa
di dalam benak. Orang bisa menggolongkan sajak ini sebagai sajak lugu. Namun ia
melukiskan suatu kesungguhan nosi dan emosi imajinatif yang sangat penting
tentang Kupang sebagai sebuah kota yang mempersatukan. Di situ tidak boleh
terdapat tembok-tembok pemisah di antara individu maupun kelompok, atau
puak-puak yang menghuninya. Kupang harus menjadi suatu tempat atau ruang
seperti kata penyair: “Kupang milik kita
semua/ tanpa tanya dari mana kaudatang/ apa asal-usulmu”. Bagi warga Kota
Kupang, ini berarti: “kesadaran memiliki” mesti ditumbuhkan, dikembangkan dan
dibina.
Tetapi
“kesadaran memiliki” saja belumlah cukup. Diperlukan pula “kesadaran
solidaritas” atau “kesadaran kemanunggalan” warga Kota Kupang dalam semua aspek
menyangkut Kota Kupang. Ia bukan saja harus dipandang sebagai milik kita semua,
melainkan juga sebagai rumah kita semua. Dengan pandangan, kesadaran, dan
penghayatan inilah, maka masalah pembenahan Kota Kupang akan merupakan masalah
yang bersifat niscaya bagi setiap individu, kelompok atau puak yang menghuni
Kota Kupang sebagai suatu tempat atau ruang lingkungan hidup. Sebab kepaduan
antara kesadaran memiliki dan kesadaran solidaritas atau kesadaran
kemanunggalan di benak setiap warga Kota Kupang akan melahirkan “kesadaran
bertanggung jawab bersama-sama”. Dengan demikian, akan terkikis mentalitas pengingkaran
(disown) atau mentalitas masa bodoh, yang sering tercermin dalam sikap: “itu
bukan urusan beta” di dalam membenahi
sesuatu yang sifatnya demi kepentingan umum.
Ya,
dengan demikianlah—yakni apabila setiap warga Kota Kupang telah memiliki
kesadaran memiliki, kesadaran kemanunggalan dan kesadaran bertanggung jawab
bersama-sama—barulah akan tampak pertanggungjawaban etis dalam hidup keseharian
setiap warga Kota Kupang, bahwa: “Kupang
bukan cuma tempat cari makan/ lantas ditinggalkan setelah berak/ di sana sini.”
Ya, barulah dengan demikian, yakni apabila setiap warga Kota Kupang telah
memiliki tiga faktor kesadaran sebagaimana disebutkan di atas, Kota Kupang akan
dipandang sesungguhnya sebagai suatu tempat (ruang lingkungan hidup) yang
niscaya harus dibenahi dan dilestarikan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan,
demi kebersamaan hidup yang serasi, selaras, seimbang dan penuh toleransi: “tanpa tanya dari mana kaudatang/ apa
asal-usulmu.”
Nosi
dan emosi yang tersirat dalam sajak “Kupang” (episode 1) yang telah diwedarkan
di atas ini telah dihayati, dan diejawantahkan oleh S. K. Lerik sebagai Wali
Kota Administratif Kota Kupang selama kurun waktu tahun 1986 – 1996 dan sebagai
Wali Kota Kupang selama kurun waktu tahun 1996 – 2007. Daniel Adoe sebagai Wali
Kota Kupang juga—sekalipun tidak pernah membaca kedua sajak di atas-- telah menghayati, dan mengejawantahkan nosi dan
emosi imajinatif yang tersirat dalam
sajak-sajak tersebut dalam kurun waktu tahun 2007 – 2012. Jonas Salean sebagai
Wali Kota Kupang pun tentu tidak pernah membaca kedua sajak yang saya wedarkan
di atas, namun telah menghayati, dan mengejawantahkan nosi dan emosi imajinatif
yang tersirat dalam sajak itu dalam kurun waktu 2012 – 2017, dan ada banyak
keberhasilan yang patut dipuji! Nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam
kedua sajak tersebut merupakan hasrat
insani yang ideal yang terkandung dalam diri setiap manusia yang berbudaya
dan/atau berkebudayaan. Dan kini, Jefry Riwu Kore mendapat kesempatan untuk
menghayati, dan mengejawantahkan nosi dan emosi yang tersirat dalam kedua sajak
itu bagi warga Kota Kupang serta ruang
dan lingkungan hidupnya dalam kurun waktu tahun 20017 – 2022.
Akhirnya,
pada “Alih Mandat Wali Kota di Terminal Kota Kupang, 1 Agustus 2017”, kepada
Jonas Salean saya ucapkan: “Selamat menempuh kehidupan purnabakti (setelah
berakhir masa bakti) sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2012 – 2017”; dan
kepada Jefry Riwu Kore saya ucapkan: “Selamat bekerja dan mengabdikan diri
sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2012 – 2022 setelah usai dilantik nanti”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar