Chairil Anwar |
Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti
Bagian pertama
MANUSIA
berwatak manusia otonom adalah manusia yang bebas berusaha untuk mengembangkan
diri seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Manusia yang berwatak manusia otonom
bercita-cita untuk menjadi seorang yang berkepribadian, dan sekiranya mungkin, ia
ingin menjadi seorang yang unggul dalam segala lapangan kebudayaan, atau
setidak-tidaknya unggul dalam salah satu lapangan kebudayaan tertentu.
Ciri-ciri manusia
yang berwatak otonom antara lain manusia itu harus mencari jalannya sendiri dan
menentukan sendiri pedoman yang hendak diterapkannya. Meskipun demikian, tidak
berarti bahwa manusia berwatak otonom itu adalah manusia jalang. Keotonoman
manusia berwatak otonom tidak berarti bahwa manusia berwatak otonom itu hidup tanpa
pedoman, melainkan manusia berwatak otonom itu tidak menerima pedoman hidupnya
dari instansi di atas atau di luar manusia berwatak otonom itu sendiri. Pedoman
yang diakui manusia yang berwatak otonom yaitu nilai-nilai yang diciptakannya
sendiri untuk diterapkan dalam hidupnya. Nilai-nilai itu disebut nilai-nilai
kemanusiaan.
Penyair
Chairil Anwar yang disebut penyair revolusioner dan/atau penyair yang menganut
paham individualisme adalah tokoh yang dapat saya tampilkan di sini sebagai
potret manusia berwatak otonom. Watak manusia otonom Chairil Anwar tersurat dan
tersirat dalam banyak sekali larik-larik puisi yang digubahnya. Coba perhatikan
sajaknya yang berjudul AKU, yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:
“Kalau sampai waktuku/ Kumau tak seorang kan
merayu/ Tidak juga kau/ Tak perlu sedu sedan itu// Aku ini binatang jalang/ Dari
kumpulannya terbuang// Biar peluru menembus kulitku/ Aku tetap meradang
menerjang// Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih perih// Dan
aku akan lebih tidak peduli/ Aku mau hidup seribu tahun lagi” (Maret 1943)
Judul sajak di
atas ini cukup jelas dan tegas. Aku,
bukan kami atau kita yang berada dalam suatu relasi atau ikatan. Aku, merupakan suatu pernyataan yang
menunjuk kepada diri sendiri; diri yang tunggal tanpa relasi atau ikatan dengan
siapa pun dan apa pun. Aku yang otonom. Aku yang berpikir, berkehendak,
mengambil keputusan secara bebas/merdeka. Aku yang berlaga sendiri serta
bersedia menanggung risiko, tidak peduli dengan siapapun dan apapun yang
mengerumuni di sekeliling dan/atau menghadang di depan. Ya, kalau sampai
waktuku untuk berbuat/bertindak: inilah aku, dengan seluruh tenaga hidup dan
gairah hidup yang berkobar-kobar. Aku, dengan tenaga dan gairah hidup yang tak
sudi kubiarkan untuk dikurung dan dikungkung oleh siapapun dan apapun, termasuk
ruang dan waktu: Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Demikianlah
watak manusia otonom Chairil Anwar. Sekalipun dalam sajaknya itu kita jumpai ungkapan
“aku ini binatang jalang”, tidak berarti bahwa Chairil adalah manusia jalang.
Larik sajak “Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang” adalah
pelukisan metafora. Dengan pelukisan metafora itu Chairil mau melukiskan
eksistensinya sebagai manusia berwatak manusia otonom dalam dunia sastra
(khususnya puisi) pada zamannya. Kehadirannya sebagai penyair berwatak manusia
otonom yang menganut paham individualisme di dunia sastra, niscaya ditolak oleh
kumpulan manusia zamannya yang masih kuat menganut paham realisme-romantisme,
dan realisme-sosialis. Dengan visinya yang jauh ke depan dan daya imajinasinya
yang tajam, Chairil memastikan bahwa kehadirannya dan eksperimen-eksperimennya
dalam dunia sastra pada zamannya niscaya mendapat kecaman dan tantangan. Terhadap
semuanya itu Chairil menyatakan tekadnya untuk tidak mundur, melainkan terus
maju, ada dan meng-ada tanpa mengenal
batas ruang dan waktu.
Ciri lain lagi
yang terdapat pada manusia berwatak manusia otonom, yaitu penolakan perikatan dengan
instansi di atas atau di luar manusia berwatak manusia otonom itu sendiri. Hal
ini disebabkan karena manusia berwatak manusia otonom itu mau menentukan
nilai-nilai yang hendak diterapkannya sendiri. Ciri ini pun kita temukan pada
Chairil Anwar. Coba perhatikan sikap Chairil yang tersurat dan tersirat dalam larik-larik
sajaknya yang lain, yang juga berjudul AKU (Juni 1943) yang larik-lariknya
berbunyi sebagai berikut:
“Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak/ Cumbu
buatan satu biduan/ Kujauhi ahli agama serta lembing katanya/ Aku hidup/ Dalam
hidup di mata tampak bergerak/ Dengan cacar melebar, darah dan nanah/ Dan
kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.”
Pada larik-larik
sajak di atas, khususnya larik ketiga, secara jelas dan tegas Chairil melukiskan
wataknya sebagai manusia berwatak otonom yang menolak perikatan bukan saja
dengan ahli agama, melainkan juga terhadap lembing kata ahli agama. Catatan:
“lembing kata” di sini artinya kata-kata pedas dan keras yang dikemukakan ahli
agama melalui khotbah, dan fatwa). Tanpa perikatan dengan ahli agama serta
ajaran, khotbah, dan fatwa yang disampaikan oleh para ahli agama, manusia
Chairil yang berwatak manusia otonom berkata: “Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak/ Cumbu buatan satu biduan. ……
Aku hidup/ Dalam hidup di mata tampak bergerak/ Dengan cacar melebar, darah
bernanah/ Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.” Dalam larik-larik ini tersirat watak manusia otonom
Chairil yang tegar dalam menghadapi setiap tantangan hidup.
Begitu pula
dalam sajak LAGU BIASA, kita dapat menilik watak manusia otonom Chairil dengan
paham individualismenya, yang tidak mengacuhkan nilai-nilai kekudusan agama
yang dijunjung dan diekspresikan oleh orang-orang beragama. Lagu “Ave Maria”
yang menggemakan pujaan yang menunjuk kepada Maria (Bunda Yesus) disifatkan
hanya sebagai lagu biasa. Lagu “Ave Maria” tidak punya daya gugah terhadap
Chairil untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tema lagu
tersebut. Inilah larik-larik sajak LAGU BIASA:
“Di teras rumah makan kami kini berhadapan/ Baru
berkenalan. Cuma berpandangan/ Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam// Masih
saja berpandangan/ Dalam lakon pertama/ Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.//
Ia mengerling. Ia ketawa/ Dan rumput kering terus menyala/ Ia berkata. Suaranya
nyaring tinggi/ Darahku terhenti berlari/ Ketika orkes memulai ‘Ave Maria’/ Kuseret
ia ke sana…” (Maret 1943)
Bagi orang
beragama yang menghormati Maria (Bunda Yesus), sudah tentu pada saat mendengar
lagu “Ave Maria” berkumandang, mereka akan mendengarkannya dengan perasaan
penuh khidmat. Kalbu mereka niscaya dipenuhi suasana kekudusan, perasaan hati
mereka akan tergerak dan alam pikiran/angan mereka akan terarah kepada Bunda
Maria, dan Yesus yang diimani. Lagu “Ave
Maria” niscaya membuai kalbu mereka.
Tetapi Chairil
tidak mempunyai keterikatan batin/rohaniah dengan lagu “Ave Maria” yang
menggemakan suasana kekudusan itu. Bagi Chairil, lagu “Ave Maria” hanyalah lagu
biasa, karena itu justru pada saat lagu “Ave Maria” mulai mengalun lembut,
naluri kedagingannya membara sehingga ia menyeret perempuan yang baru saja
dikenalnya di teras rumah makan itu ke sana…
Watak Chairil
sebagaimana dilukiskan di atas ini tersurat dan tersirat juga dalam sajak SORGA.
Dalam sajak ini kita memperoleh kesan bahwasanya Chairil tidak menghargai
hal-hal yang supernatural dan ontologi. Ia nekat mencemooh orang beragama yang
mempunyai keyakinan teguh tentang keadaan di surga, seperti yang dilukiskannya
dalam sajak tersebut. Perhatikan larik-larik sajak SORGA berikut ini:
“Seperti ibu + nenekku juga/ tambah tujuh
keturunan yang lalu/ aku minta pula supaya sampai di sorga/ yang kata Masyumi +
Muhammadiyah bersungai susu/ dan bertabur bidadari beribu// Tapi ada suara
menimbang dalam diriku,/ nekat mencemooh: Bisakah kiranya/ berkering dari kuyup
laut biru,/ gamitan dari tiap pelabuhan gimana?/ Lagi siapa bisa mengatakan
pasti/ di situ memang ada bidadari/ Suaranya berat menelan seperti Nina, punya
kerlingnya Yati?” (Februari 1947)
Chairil Anwar
ternyata lebih menghargai fakta dan berani menghadapi fakta yang riil tentang manusia. Hal-hal yang berada di
luar pembuktian akal sehat sulit ia terima (perhatikan larik-larik ke-10—12).
Memang demikianlah watak manusia otonom. Agama bagi mereka disifatkan hanya
sebagai ilusi belaka untuk menutupi kepahitan kenyataan hidup. Menurut manusia
berwatak manusia otonom, manusia sendirilah yang menjadi ukuran dari segala
sesuatu. Manusia harus berusaha mendapatkan patokan-patokan pasti bagi tindakan
manusia atas dasar akal sehat. Itulah sebabnya Chairil—dalam menanggapi hikayat
agama (perhatikan larik pertama sampai larik kelima)—merumuskan sikapnya pada
larik ke-6 sampai larik ke-12: “Tapi ada suara menimbang dalam diriku/ nekat
mencemooh: ………” (perhatikan larik-larik selanjutnya).
Kendatipun di
kalangan manusia berwatak otonom terdapat orang-orang yang mengakui adanya
ketuhanan dalam hatinya, namun patokan-patokan yang berasal dari sumber
ketuhanan tidak diterimanya. Sikap mereka adalah: mengakui dan menerima
patokan-patokan yang bersumber dari atas atau dari luar manusia itu sendiri
berarti manusia kehilangan kebebasannya. Itulah sebabnya, patokan-patokan yang
bersumber dari atas atau dari luar manusia, mereka tolak dengan gigih. Dalam
sajak Chairil Anwar yang berjudul DI MESJID, sikap Chairil yang berwatak
manusia otonom tersurat dan tersirat dengan jelas. Perhatikan larik-larik sajak
tersebut berikut ini:
“Kuseru saja Dia/ Sehingga datang juga// Kamipun
bermuka-muka// Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada/ Segala daya
memadamkannya// Bersimpuh peluh diri tak bisa diperkuda// Ini ruang/ Gelanggang
kami berperang// Binasa-membinasakan/ Satu menista lain gila” (Mei 1943)
Kita tahu
bahwa Mesjid sebagai tempat ibadah merupakan tempat umat yang mempunyai perikatan
dengan Allah, bersimpuh dengan penuh kerendahan dan khusyuk di hadapan Allah
yang disembah. Manusia yang mempunyai perikatan dengan Allah dengan sendirinya
tunduk kepada patokan-patokan-Nya, dan mengakui campur tangan-Nya dalam
kehidupan manusia. Dengan menerima dan berada dalam perikatan dengan Allah
berarti manusia bukan lagi otonom terhadap dirinya. Ini bertentangan sekali
dengan watak manusia otonom Chairil.
Dengan
melukiskan kehadirannya di Mesjid, Chairil mau menyatakan secara tegas penolakannya
terhadap perikatan dengan Allah. Ia mau mempertahankan keotonomannya. Ia mau
berdiri sendiri, mengatur dirinya sendiri, menentukan patokan hidupnya sendiri
dengan tidak mau menerima patokan dari Allah. Ruang Mesjid yang bernuansa kudus
dan khidmat bagi mereka yang sujud menyembah Allah dengan penuh kerendahan
hati, bagi Chairil menjadi suatu gelanggang peperangan antara dia dengan Allah:
“Ini ruang/ Gelanggang kami berperang// Binasa
membinasakan/ Satu menista yang lain gila.”
Timbul
pertanyaan: Apakah dengan demikian Chairil bermusuhan atau merasa bermusuhan
dengan Tuhan? Dalam buku Memahami Dan
Menikmati Puisi (1971:41) M. S. Hutagalung menafsirkan bahwa dalam sajak di
Mesjid Chairil merasa bermusuhan dengan Tuhan. Seakan-akan ia harus berkelahi
dengan Tuhan demikian hebat, karena ia tak mau “diperkuda Tuhan”. Tafsiran M.
S. Hutagalung sebagaimana dikutip di atas ini kurang memuaskan. Berdasarkan telaah
saya, Chairil tidak merasa bermusuhan dengan Tuhan, melainkan melalui sajak di
Mesjid Chairil ingin melukiskan dirinya sebagai manusia berwatak otonom yang
menolak perikatan dan campur tangan Tuhan dalam hidupnya. Menurut hemat saya,
menolak belum dan/atau tidak berarti memusuhi atau merasa bermusuhan.
Demikianlah
penyair Chairil Anwar dengan desah napas manusia berwatak otonom yang dapat
kita rasakan dalam beberapa sajaknya seperti yang telah kita ketahui di atas.
Ya, penyair Chairil Anwar yang berwatak manusia otonom yang optimis dalam
menelusuri liku-liku kehidupan. Dengan paham individualismenya yang kuat ia
berusaha menerobos rintangan-rintangan kehidupan. Dengan gairah hidup yang
menyala-nyala, Chairil secara vandalistis melukiskan dobrakan-dobrakannya menembusi
rintangan-rintangan kehidupan, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam sajak KEPADA
KAWAN, yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:
“Sebelum ajal mendekat dan menghianat,/ mencekam
dari belakang ketika kita tidak melihat,/ selama masih menggelombang dalam dada
darah serta rasa,// belum bertunas kecewa dan gentar belum ada,/ tidak lupa
tiba-tiba bisa malam membenam,/ layar merah terkibar hilang dalam kelam,// kawan,
mari kita putuskan kini di sini:/ Ajal yang menarik kita, jangan mencekik diri
sendiri!/ Jadi/ Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,/ Tembus jelajah dunia
ini dan balikkan/ Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,/ Pilih kuda
yang paling liar, pacu laju,/ Jangan tambatkan pada siang dan malam// Dan/ Hancurkan
lagi apa yang kau perbuat,/ Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,/ Tidak minta
ampun atas segala dosa,/ Tidak memberi pamit kepada siapa saja!// Jadi/ Mari kita putuskan sekali lagi:/ Ajal
yang menarik kita, ’kan merasa angkasa sepi,/ Sekali lagi kawan, Sebaris lagi:/
Tikamkan pedang hingga ke hulu/ Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!” (November 1946)
Demikianlah
nada vandalistis Chairil yang berwatak manusia otonom. Namun watak manusia
otonom yang optimistis pada penyair yang mati muda ini sering mengalami krisis
juga pada situasi-situasi tertentu, sehingga watak optimistisnya berubah
menjadi pesimistis pada saat pergulatan dan permenungannya terhadap hidup
menampilkan kenyataan-kenyataan yang tak mungkin teratasi, sekali pun ia dapat
memilih kuda yang paling liar buat berpacu laju! Watak manusia otonom Chairil yang
optimistis terasa luluh dan menjadi pesimistis dalam krisis, sebagaimana
tersurat dan tersirat dalam sajaknya yang berjudul “1943” berikut ini:
“Racun berada di reguk pertama/ Membusuk
rabu terasa di dada/ Tenggelam darah dalam nanah/ Malam kelam-membelam/ Jalan
kaku-lurus. Putus/ Candu./ Tumbang/ Tanganku menadah patah/ Luluh/ Terbenam/ Hilang/
Lumpuh./ Lahir/ Tegak/ Berderak/ Rubuh/ Runtuh/ Mengaum. Menggemuruh/ Menentang.
Menyerang/ Kuning/ Merah/ Hitam/ Kering/ Tandas/ Rata/ Rata/ Rata/ Dunia/ Kau/ Aku/
Terpaku.” (1943)
Dalam
kata-kata/ungkapan-ungkapan, dan larik sajak yang terdiri atas satu atau dua
kata saja sebagaimana terlihat di atas ini, tersurat dan tersirat rintihan
ketakberdayaan dan jeritan sukma Chairil dalam menghadapi krisis kehidupan yang
menghadang, kendatipun ada pergulatan untuk mengatasinya. Ya, terasa benar
napas dan nada penyerahan Chairil dalam bermuka-mukaan dengan krisis kehidupan
yang datang serbu-menyerbu silih berganti. Dan Chairil harus menerima
keterbatasannya sebagai manusia: bahwa ada waktunya ia sanggup terus berlari
menerjang, sekalipun peluru menembus kulitnya, serta luka dan bisa dialaminya;
bahkan walaupun ia dapat berpacu menembus jelajah dunia dan balikkan. Akan
tetapi ada pula waktunya ia tidak dapat berbuat apa-apa selain berserah,
terpaku tanda tidak berdaya, dan berserah.
Watak optimistis
manusia otonom Chairil yang luluh menjadi pesimistis dalam situasi-situasi
tertentu, tersurat dan tersirat juga dalam sajak KEPADA PEMINTA-MINTA. Jikalau
pada suatu ketika Chairil bersikap terhadap ahli agama dan Tuhan, “Kujauhi ahli
agama serta lembing katanya” dan “Ini ruang/ Gelanggang kami berperang/ Binasa
membinasakan/Satu menista yang lain gila”; maka dalam sajak KEPADA
PEMINTA-MINTA Chairil pasrah dan berkata:
“Baik, baik, aku akan menghadap Dia/ Menyerahkan
diri dan segala dosa/ Tapi jangan tentang lagi aku/ Nanti darahku jadi beku.// Jangan
lagi kau bercerita/ Sudah tercacar semua di mataku/ Nanah meleleh dari muka/ Sambil
berjalan kau usap juga.// Bersuara tiap kau melangkah/ Mengerang tiap kau
memandang/ Menetes dari suasana kau datang/ Sembarang kau merebah// Mengganggu
dalam mimpiku/ Menghempas aku di bumi keras/ Di bibirku terasa pedas/ Mengaum
di telingaku.// Baik, baik, aku akan menghadap Dia/ Menyerahkan diri dan segala
dosa/ Tapi jangan tentang lagi aku/ Nanti darahku jadi beku.” (Juni 1943)
Larik-larik
sajak yang dikutip di atas ini merefleksikan kesah napas ketidakberdayaan.
Segala kemampuan yang ada pada penyair benar-benar lumpuh. Penyair tidak sanggup
lagi untuk meradang menerjang. Penyair tak sanggup lagi untuk berlari dengan
kekuatan terakhir dalam menanggung segala luka dan bisa. Pedih perih krisis
kehidupan yang tercacar di mukanya ternyata tidak dapat dihilangkannya. Sikap
tegar hati yang “tidak minta ampun atas segala dosa”, telah berubah dalam
penyerahan: “Baik, baik, aku akan menghadap Dia. Menyerahkan diri dan segala
dosa.” Larik sajak ini secara eksplisit
merefleksikan nada keberagamaan Chairil. Ia menyatakan kesediaannya untuk
menghadap Dia (Tuhan), untuk menyerahkan diri dan segala dosa.
H. B. Jassin
menggolongkan sajak di atas ini sebagai puisi saduran Chairil Anwar dari sajak
William Elsschot yang berjudul TOT DEN ARME. Menurut Rob Niewenhuis, sajak
Chairil Anwar di atas ini dipandang sebagai adaptasi dari Elsschot. Benar,
tetapi bagaimanapun juga sajak KEPADA PEMINTA-MINTA itu tidak mungkin sepi dari ekspresi totalitas
dan integritas jiwa Chairil Anwar. Sajak Elsschot TOT DEN ARME niscaya
merupakan bahan yang punya arti bagi Chairil, punya hubungan jiwa dengan
Chairil. Suasana jiwa dalam sajak TOT DEN ARME telah lebur dan menyatu dengan
suasana jiwa Chairil, serentak bangkit dalam suatu ujud baru yang menjadi satu
kesatuan penuh milik Chairil dalam sajak KEPADA PEMINTA-MINTA.
Ketetapan
Chairil untuk menghadap Dia (Tuhan) buat menyerahkan diri dan segala dosa
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam sajak “Kepada Peminta-minta” kita temui
juga dalam sajak berjudul DOA, yang Chairil tujukan dan/atau persembahkan
kepada pemeluk teguh. Beginilah bunyi larik-larik sajak tersebut:
“Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut
namamu// Biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh seluruh// cayaMu panas suci/ tinggal
kerdip lilin di kelam sunyi/ Tuhanku// aku hilang bentuk/ remuk// Tuhanku// aku
mengembara di negeri asing// Tuhanku/ dipintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa
berpaling” (November 1943)
Larik-larik
sajak di atas ini merefleksikan pergeseran perasaan dan pandangan hidup penyair
pada momen tertentu. Melalui sajak ini kita dapat merasakan betapa Chairil
termangu (termenung, terdiam karena sedih, kecewa, bingung), merasa diri hampa
dan tidak berarti di hadapan Tuhan yang ia hampiri dan sapa. Kendatipun bagi
Chairil Tuhan itu masih terasa sulit untuk diimani, toh Chairil datang
menghampiri takhta Tuhan juga untuk menyapa nama-Nya, dan mengetuk pintu
rahmat-Nya. Ya, dalam DOA, Chairil berserah kepada Tuhan dengan segala
kesangsian dan ketidakberdayaannya. Ya, di hadapan Tuhan ia tidak dapat berbuat
apa-apa: “aku tidak bisa berpaling“.
Di hadapan Tuhan: “... Kau/ Aku/ Terpaku”
(tiga untaian kata pada bagian terakhir sajak berjudul, “1943”).
Chairil yang
semula bersikap terhadap sekelilingnya: “…orang ngomong, anjing gonggong; mari
berdiri merentak, diri sekeliling kita bentak”, ternyata tidak berdaya pada momen kehidupan yang melahirkan sajak DOA.
Chairil yang pernah menolak perikatan dengan Tuhan sebagaimana tersirat dalam
sajak DI MESJID, dan nekat mencemooh nilai-nilai supernatural dan ontologis
yang dinilai tidak masuk akal sebagaimana tersirat dalam sajak SORGA, ternyata
balik merangkul semuanya dengan suatu pandangan baru dan penghargaan baru, yang
sebelumnya sangat asing baginya. Sesuai dengan subjudul sajak DOA, yaitu “kepada
pemeluk teguh”, Chairil melukiskan suatu tanda uluran tangan kepada orang
sekelilingnya (orang-orang beragama dari kalangan “pemeluk teguh”, yaitu Islam),
untuk hidup berdampingan dalam realitas baru yang bersemi dalam hidupnya.
Hal yang sama
pula Chairil nyatakan dalam sajak berjudul ISA yang ditujukannya “kepada
Nasrani sejati”, sebagai subjudul sajak tersebut. Beginilah larik-larik sajak
ISA:
“Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah// rubuh/ patah// mendampar
tanya: aku salah?// kulihat Tubuh mengucur darah/ aku berkaca dalam darah/ terbayang
terang di mata masa/ bertukar rupa ini segera// mengatup luka// aku besuka// Itu
Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah” (November
1943).
Melalui sajak DOA
dan ISA Chairil Anwar secara tulus menyatakan solidaritasnya kepada orang
sekelilingnya yang beragama (baik Islam maupun Nasrani), bahwa ia tidak
tercerabut (terasing) dari lingkungannya, sesamanya, yang dilukiskannya sebagai
“pemeluk teguh” dan “nasrani sejati”, kendatipun ia menjalani hidupnya sebagai
seorang manusia berwatak otonom.
Dengan
demikian, siapakah dari orang Nasrani sejati yang tidak akan berserah khusyuk
apabila berkontemplasi sesuai dengan horizon harapannya sebagai seorang Nasrani
tentang penderitaan Yesus yang Chairil ungkapkan dalam sajak berjudul ISA? Dan
bagaimanakah dapat melupakan Chairil? Begitu pula siapakah dari setiap pemeluk
teguh yang bertaqwa kepada Tuhan yang tidak akan pasrah kepada Allah taala
dengan penuh khusyuk, ketika membaca dan menikmati sajak DOA? Dan dapatkah
melupakan penyairnya, yaitu Chairil? Ya, Doa Chairil adalah doa kita. Dan
kontemplasi Chairil tentang ISA adalah kontemplasi kita, umat Kristen, yang
berimankan Yesus, Juruselamat.
Bagian kedua
Berdasarkan
tinjauan bagian pertama di atas ini, saya ingin memberikan beberapa catatan
pertimbangan atas artikel berjudul, “Yesus yang Tersalib dalam Puisi Chairil
Anwar” yang ditulis oleh Mus. G. Mabilehi (Timor Express, edisi Minggu, 9 Juli
2017, hlm 11).
1. Latar belakang sajak ISA
Mengenai
“Yesus yang tersalib dalam puisi Chairil Anwar”, Mus G. Mabilehi (selanjutnya
saya sapa, Mabilehi) merujuk kepada sajak ISA. Mabilehi mengatakan bahwa puisi
ini “… dipersembahkan kepada ‘seorang
pribadi’ yang disebut sebagai ‘nasrani sejati’. Entah siapa yang dimaksudkan
dengan nasrani sejati. Mungkin kepada seorang kristen yang sangat ia kagumi
pada waktu itu, atau kepada Yesus sendiri dengan semacam pergeseran
identifikasi sehubungan dengan inspirasi yang telah diperolehnya. Entahlah.
Mengenai soal ini, sampai sejauh ini belum ada keterangan yang menolong memberi
kejelasan logis.” Selain itu, Mabilehi juga berkata: “Kita tidak mendapat informasi yang cukup tentang dari mana si penyair
belajar atau mendapat penjelasan yang luas tentang Yesus yang tersalib…”
Pernyataan
Mabilehi sebagaimana dikutip di atas ini jelas menunjukkan pengetahuannya yang
terbatas mengenai latar belakang sajak ISA yang ditulis oleh Chairil Anwar.
Rupanya Mabilehi hanya mengandalkan buku Pamusuk Eneste yang disebutkan dalam artikelnya
itu. Dan ini sangat pincang. Perlu kiranya Mabilehi ketahui bahwa judul kecil,
“kepada nasrani sejati” pada sajak ISA itu Chairil alamatkan kepada W. J. S.
Purwadarminta, seorang tokoh kristen yang dikenal baik dan dipandang oleh Chairil
sebagai seorang nasrani sejati (H. B. Jassin. Chairil Anwar pelopor Angkatan
45, Jakarta, 1978:49). Sedangkan sajak berjudul DOA dengan judul kecil “kepada
pemeluk teguh” sebenarnya bukan ditujukan kepada W. J. S. Purwadarminta
sebagaimana dikatakan oleh H. B. Jassin (Ibid), melainkan—berdasarkan hasil
penelitian saya—Chairil Anwar tujukan kepada “pemeluk agama Islam yang takwa”,
yang dilukiskannya sebagai “pemeluk teguh”.
Dengan
demikian, judul kecil “kepada Nasrani sejati” pada sajak ISA itu bukan Chairil ditujukan pula “kepada Yesus sendiri dengan semacam
pergeseran identifikasi sehubungan dengan inspirasi yang telah diperolehnya” seperti
yang diduga-duga dan/atau diraba-raba oleh Mabilehi, sebab “Yesus bukan nasrani sejati”, melainkan
“Yesus dari Nazaret (Kisah 2:22) adalah seorang Yahudi sejati, berasal dari
suku Yehuda” (Ibrani 7:14). Dan perlu dicatat bahwa Chairil Anwar tidak menyebut
Yesus, melainkan ISA, karena Chairil Anwar sendiri beragama Islam kendati pun ia
menjalani hidupnya sebagai seorang berwatak manusia otonom. Dan tokoh “aku”
dalam sajak ISA adalah “tokoh aku Chairil Anwar” yang menyajakkan tentang
penderitaan ISA.
Selain itu,
dalam sajak ISA Chairil Anwar tidak
mengungkapkan nosi dan emosi imajinatifnya tentang Yesus yang tersalib
sebagaimana dikisahkan dalam kitab Injil, melainkan hanya mengungkapkan nosi
dan emosi imajinatif tentang penderitaan ISA. Bait pertama yang terdiri atas
tiga larik, “Itu Tubuh/ mengucur darah/
mengucur darah” melukiskan tentang penderitaan ISA. Dan bait kedua yang
terdiri atas dua kata yang membangun dua larik, “rubuh/ patah” adalah ungkapan figuratif untuk melukiskan
ketidakberdayaan ISA yang mengalami penderitaan.
Akan tetapi
perlu diketahui pula oleh Mabilehi bahwa sajak
ISA itu (pinjam pernyataan Chairil Anwar sendiri), sesungguhnya “adalah suatu dunia yang dijadikan,
diciptakan kembali oleh si penyair…”
dengan mengambil atau memanfaatkan “bahan baku” dari sajak berbahasa Belanda yang
berjudul HET LAM artinya
“Anak Domba”, atau “Anak Domba itu” , atau “Itu Anak Domba”. Bait pertama sajak HET LAM yang terdiri atas dua larik yang berbunyi, “Er is een Lam, dat bloedt,/ Er is een Lam, dat bloedt” artinya: “Itu Anak Domba berdarah,/ Itu Anak Domba berdarah”, atau “Anak Domba itu berdarah,/ Anak Domba itu berdarah”.
“Anak Domba”, atau “Anak Domba itu” , atau “Itu Anak Domba”. Bait pertama sajak HET LAM yang terdiri atas dua larik yang berbunyi, “Er is een Lam, dat bloedt,/ Er is een Lam, dat bloedt” artinya: “Itu Anak Domba berdarah,/ Itu Anak Domba berdarah”, atau “Anak Domba itu berdarah,/ Anak Domba itu berdarah”.
Pada bait
terakhir sajak HET LAM larik yang berbunyi, “Er
is een Lam, dat bloedt -- …”, diulangi
kembali sebagai suatu repetisi demi aksentuasi nosi dan emosi imajinatifnya
tentang pengorbanan dan penderitaan HET LAM. Perlu dicatat di sini bahwa dalam
bahasa Belanda, “Het Lam” menunjuk kepada “Het Lam Gods”, artinya “Anak Domba
Allah”, yang Chairil sebut ISA pada judul sajaknya.
Dengan
memanfaatkan sajak HET LAM sebagai “bahan baku”, Chairil menciptakan kembali
sajak HET LAM itu menjadi suatu dunia baru kepunyaan Chairil berupa sajak
berjudul ISA. Patut dicatat di sini untuk Mabilehi ketahui bahwa dalam
bersajak, Chairil memiliki suatu konsepsi kepenyairan yang telah ia umumkan
secara terbuka sebagai suatu pertanggungjawaban dalam “Pidato Radio 1946”
sebagai berikut:
“Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu
dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya
kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideel dan
visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari
hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia,
dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam
bayangannya (verbleeding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada
dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu
kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia
kepunyaan penyair itu sendiri…” (H.
B. Jassin, do.ib., hlm.149).
Berdasarkan konsepsi
kepenyairan dan pertanggungjawaban Chairil Anwar dalam bersajak sebagaimana
dikutip di atas ini, maka sajak HET LAM sebagai bahan baku telah diolah menjadi
sajak ISA sebagai suatu dunia baru milik Chairil. Dan larik-larik yang
berbunyi, “Er is een Lam, dat bloedt,/ Er is een Lam, dat bloedt…”/ sebagai anasir-anasir atau unsur-unsur dalam sajak HET LAM telah
dilebur dan diolah menjadi “Itu tubuh/
mengucur darah/ mengucur darah”
sebagai suatu anasir atau unsur dunia baru kepunyaan Chairil dalam sajak ISA.
Begitu pula dengan larik-larik sajak lainnya yang terdapat dalam sajak HET LAM yang berbunyi: “En ik, die Het aanschouwen moet/ en van mij zelven zeggen moet:/ Ben
ik het, die U bloeden doet’// En dat ik U zo bloeden zag/ Zal ‘t mij behouden
enen dag/ Voor werder, werder zonden/ en roepen om Uw bloed// Wat ik U daarom
zeggen moet?/ Wat ik U zeggen moet?”
Semua larik-larik sajak ini tidak diterjemahkan oleh Chairil melainkan diolah,
dijadikan, diciptakan kembali menjadi suatu unsur dunia baru kepunyaan Chairil
dalam larik-larik sajak ISA yang berbunyi: “mendampar
tanya: aku salah?// kulihat Tubuh mengucur darah/ aku berkaca dalam darah//
terbayang terang di mata masa/ bertukar
rupa ini segara// mengatup luka// aku bersuka// …”
Nosi dan emosi
imajinatif yang tersirat dalam larik-larik sajak ISA hanyalah sebatas
penderitaan ISA yang dikontemplasikan oleh Chairil. Ya, hanya penderitaan ISA (an sich) yang menjadi fokus kontemplasi
Chairil. Jadi, Chairil sama sekali tidak berkontemplasi tentang Yesus yang
tersalib sebagaimana dikatakan oleh Mabilehi menurut horizon harapannya.
Larik-larik sajak yang berbunyi, “Itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah”
adalah pelukisan dan penalaran puitis tentang penderitaan ISA. Larik sajak yang
berbunyi, “rubuh/ patah” adalah pelukisan dan penalaran puitis tentang
“ketidakberdayaan ISA yang mengalami penderitaan”. Dalam berkontemplasi tentang penderitaan ISA, serta ketidakberdayaan ISA dalam
menanggung penderitaan itulah, membersit pertanyaan di benak Chairil: “aku
salah?” Pertanyaan yang membersit di benak Chairil ini dilukiskan dalam larik
sajak bermajas Interogasi: “mendampar
tanya: aku salah?”
Dengan
demikian, sangat salah apabila Mabilehi mengubah larik sajak yang berbunyi “aku
salah?” menjadi “aku bersalah?” Diksi
“salah” yang digunakan Chairil dalam larik “aku salah” bukan verba yang
menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan; melainkan adjektiva yang
menyarankan arti “tidak benar, keliru, khilaf, menyimpang dari yang seharusnya”
dalam hubungannya dengan kontemplasi tentang
penderitaan ISA. Jadi, dengan larik sajak bermajas Interogasi,
“mendampar tanya: aku salah?” Chairil Anwar mengajukan suatu interogasi untuk
direnungkan dan dijawab sendiri oleh Chairil: “Apakah Aku (Chairil Anwar yang
bukan seorang Nasrani sejati) tetapi berkontemplasi tentang penderitaan ISA itu
dapat dikatakan “salah, tidak benar, keliru, khilaf, atau menyimpang dari yang
seharusnya?”
Berkenaan
dengan majas Interogasi dalam bersajak atau berpuisi, Nesfield menjelaskan
sebagai berikut: “Pada umumnya majas
Interogasi dipergunakan dalam dua cara. Pertama, apabila pembicara atau penulis
mengungkapkan nosi (ide, gagasan, pendapat atau tanggapan) secara tidak
langsung dalam bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menggugah pendengar atau
pembaca untuk merenungkan nosi yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan
tersebut. Kedua, apabila pembicara atau penulis mengungkapkan suatu nosi dalam
bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menguraikan, menjelaskan, atau mengomentari
sendiri nosi yang telah diajukan dalam bentuk pertanyaan tersebut. Solilokui
(percakapan seorang diri atau berbicara kepada diri sendiri dalam bentuk
pertanyaan), atau senandika (wacana
seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri untuk mengungkapkan
perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau
untuk menyajikan informasi yang diperlukan
pembaca atau pendengar), terhisab ke dalam majas Interogasi cara kedua” (J. C. Nesfield. Figures Of Rhetoric,
hlm 246).
Dengan
memperhatikan penggunaan majas Interogasi yang dikemukakan oleh Nesfield
sebagaimana dikemukakan di atas ini, maka larik sajak yang berbunyi “mendampar tanya: aku salah?” dalam sajak ISA itu adalah larik bermajas
Interogasi menurut penggunaan cara kedua, tergolong pada solilokui atau
senandika. Dan mengenai larik bermajas Interogasi ini Chairil Anwar
mengungkapkan uraian, penjelasan, komentar atau tanggapannya dalam larik-larik
sajak selanjutnya yang dapat dijelaskan di bawah ini.
Larik sajak
yang berbunyi, “kulihat Tubuh mengucur
darah” adalah larik yang melukiskan tentang “visiun” (bayangan atau
gambaran fantasi tentang penderitaan ISA dalam imajinasi) Chairil Anwar. Dan
larik yang berbunyi “aku berkaca dalam darah” adalah larik yang
melukiskan tentang “refleksi” dan/atau “kontemplasi” Chairil Anwar tentang
penderitaan ISA. Ternyata, penderitaan ISA yang Chairil refleksikan dan/atau
kontemplasikan itu mencerahi visi Chairil,
sehingga Chairil berkata: “terbayang
terang di mata masa/ bertukar rupa
ini segara”. Ya, “terbayang terang”:
seakan-akan tampak atau dapat dilihat dengan jelas dalam persepsi Chairil Anwar
di tengah pentas kehidupan dan/atau tahapan masa perkembangan hidupnya ketika
sajak ISA digubahnya, ada sesuatu yang “bertukar
rupa” sebagaimana tersirat dalam
larik sajak yang berbunyi: “bertukar rupa
ini segara”.
Apakah
gerangan nosi dan emosi yang tersirat dalam larik “bertukar rupa ini segara”? Diksi “segara” artinya “laut” atau
“lautan”. Dalam larik ini diksi “segara” yang mengacu pada makna leksikal “laut” atau “lautan”, dipakai sebagai
ungkapan bermakna figuratif: “tantangan
hidup” dan/atau “cobaan hidup”. Diksi “laut” atau “lautan” yang mengacu pada
makna figuratif seperti ini Chairil pakai dalam sajaknya yang berjudul
PENGHIDUPAN, dalam larik yang berbunyi: “Lautan maha dalam/ mukul dentur
selama/ nguji pematang kita/ mukul dentur selama/ hingga hancur remuk redam/
…”; dan juga dalam sajak SUARA MALAM, pada larik yang berbunyi: “Seperti kapal
pecah di dasar lautan”.
Berdasarkan
nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam larik sajak yang berbunyi,
“terbayang terang di mata masa/ bertukar rupa ini segara” ketika Chairil Anwar
melakukan refleksi dan kontemplasi tentang penderitaan ISA sebagaimana dijelaskan
di atas, Chairil Anwar mengalami suatu suasana kedamaian dalam batinnya. Suasana
kedamaian yang dialami itu diungkapkan oleh
Chairil Anwar dalam dua larik pendek yang berdiri sendiri sebagai bait
sajak yang padat dan bernas: “mengatup
luka”// “aku bersuka”.
Diksi “luka”
dalam sajak ISA dipergunakan oleh Chairil Anwar untuk melukiskan tentang dampak
penderitaan yang dialami dan dirasakan seolah-olah nyata. Sama seperti diksi
“luka” dalam larik sajak AKU, “Luka dan bisa kubawa berlari”; atau larik yang berbunyi,
“selama kau darah yang mengalir dari luka” dalam sajak berjudul SAJAK PUTIH;
atau larik yang berbunyi, “Di tubuhku ada luka sekarang,” dalam sajak berjudul
KABAR DARI LAUT; atau larik yang berbunyi, “Nanah meleleh dari luka” dalam
sajak berjudul KEPADA PEMINTA-MINTA.
Dengan larik
yang berbunyi, “mengatup luka”, Chairil
Anwar hendak melukiskan tentang “dampak penderitaan yang dialaminya lenyap atau
pulih sama sekali”, ibarat luka yang sembuh sama sekali, ketika ia melakukan
refleksi dan berkontemplasi tentang
penderitaan ISA. Dan, “aku
bersuka” adalah larik yang di dalamnya tersirat nosi dan emosi “kegembiraan,
suka cita, dan kebahagiaan” yang Chairil Anwar alami ketika ia melakukan
refleksi dan kontemplasi tentang penderitaan ISA. Inilah yang menjadi alasan
penyair, mengapa tiga larik bait pertama ditulis kembali sebagai repetisi pada
bait terakhir sajak ISA; “Itu tubuh/
mengucur darah/ mengucur darah”.
Majas Repetisi
digunakan untuk mengaksentuasi dan mengintensifkan nosi dan emosi imajinatif yang
sangat diutamakan atau diistimewakan benar oleh penyair, yaitu: “Itu tubuh/
mengucur darah/ mengucur darah” yang telah menyembuhkan dan memulihkannya dari
penderitaan yang dialaminya. Jikalau Mahatma Gandhi yang bukan seorang Nasrani
sejati mengakui bahwa “makin suci penderitaan, makin besar kemajuan. Itulah
sebabnya, maka penderitaan Jezus cukup untuk membebaskan sedunia yang
menderita” (Prof. D. S. SARMA. GANDHI SUTRA, 1951, hlm 57), maka Chairil Anwar
yang bukan seorang Nasrani sejati mengalami kesembuhan dan pemulihan dari
penderitaan yang dialaminya ketika ia melakukan refleksi dan kontemplasi
tentang penderitaan ISA pada momen tertentu tertanggal 12 November 1943.
2. Latar belakang konteks
Latar belakang
konteks dan/atau situasi yang ada hubungannya dengan sajak ISA yang digubah
oleh Chairil Anwar patut diperhatikan. Dalam artikelnya yang berjudul, “Yesus
yang Tersalib dalam Puisi Chairil Anwar”,
Mabilehi mengatakan:
“Dari tanggal dan tahun puisi ini dirangkai,
jelas bahwa puisi ini ditulis dalam era perang revolusi mempertahankan
kemerdekaan, era perjuangan bersenjata bersimbah darah, era di mana kematian
dan kehancuran di ujung senjata merupakan cerita ngeri sehari-hari yang tidak
dapat dihindari…”
Pendapat yang
dikemukakan oleh Mabilehi sebagaimana dikutip di atas ini sangat salah. Sajak
berjudul ISA, Chairil Anwar gubah pada
12 November 1943. Tahun 1943 bukan era perang revolusi mempertahankan
kemerdekaan, melainkan era pendudukan Jepang. Pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang
mulai mendarat di Pulau Jawa dan pada tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Nederland
Indië menyerah tanpa syarat kepada Jepang (Dai Nippon) di Kalidjati. Era perang
revolusi mempertahankan kemerdekaan, yang Mabilehi katakan era bersimbah
darah,…” terjadi dalam kurun waktu tahun 1945 – 1949 yang dikenal dengan
sebutan zaman revolusi fisik.
Demikian pula
sangat salah apabila Mabilehi mengaitkan nosi dan emosi imajinatif yang
tersirat dalam sajak ISA dengan sajak AKU yang Chairil Anwar gubah pada bulan
Maret 1943. Mengapa saya katakan sangat salah? Ini jawabannya: nosi dan emosi
imajinatif yang tersirat dalam sajak AKU
bernada watak manusia otonom, sedangkan nosi dan emosi imajinatif yang tersirat
dalam sajak ISA menyiratkan nada keberagamaan Chairil. Nosi dan emosi
imajinatif yang tersirat dalam sajak ISA dengan judul kecil “kepada Nasrani
sejati” berkaitan erat dan tidak terpisahkan dari nosi dan emosi imajinatif
yang tersirat dalam sajak DOA dengan judul kecil “kepada pemeluk teguh”. Nosi
dan emosi imajinatif yang tersirat dalam kedua sajak ini mencerminkan
“keberagamaan Chairil Anwar”, yang Chairil tunjukkan sebagai suatu solidaritas (sifat
atau perasaan solider; sifat satu rasa, senasib; perasaan setia kawan) kepada
Nasrani sejati, dan kepada pemeluk teguh sebagaimana telah saya wedarkan di
bagian pertama artikel ini.
Selain itu, patut
digarisbawahi di sini bahwa nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam sajak
AKU juga tidak berhubungan dengan pendaratan Jepang di Pulau Jawa pada 1 Maret
1942 maupun peristiwa menyerahnya Pemerintah Nederland Indië tanpa syarat
kepada Jepang di Kalidjati pada 8 Maret 1942. Sajak-sajak Chairil Anwar yang
cocok dengan latar belakang sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia
pada tahun 1943 adalah sajak berjudul DIPONEGORO. Sajak berjudul SIAP-SEDIA
dengan subjudul “kepada angkatanku”, sesuai dengan konteks pergerakan pemuda
tahun 1944. Sajak berjudul PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO, dan KRAWANG-BEKASI,
sesuai dengan konteks krisis keamanan bangsa Indonesia pada tahun 1948.
Berdasarkan
uraian di atas ini maka “teologi dan/atau kristologi” yang Mabilehi paparkan di
bawah judul kecil, “Jalan Salib: Sebuah Pelajaran dalam sejarah bangsa kita”,
dalam artikel “Yesus yang Tersalib dalam Puisi Chairil Anwar” itu bukan suatu eksegesis yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya, melainkan merupakan suatu eisegesis yang sangat salah. Sekali lagi
saya tekankan di sini bahwa Chairil Anwar hanya menyajakkan tentang penderitaan
ISA (an sich). Chairil Anwar sama
sekali tidak menyajakkan tentang “Yesus yang disalibkan di Golgota”; Chairil
Anwar juga tidak menyajakkan tentang “kematian dan kebangkitan“ di dalam sajak
ISA.
Dengan
demikian, apabila Mabilehi “berteologi” dan/atau “berkristologi” dengan
berangkat dari penderitaan Jesus (an sich)
yang Chairil Anwar kontemplasikan dan refleksikan dalam sajak ISA, maka
“teologi” dan/atau “kristologi” yang Mabilehi lakukan itu “sia-sia”. Alangkah
baiknya Mabilehi—dalam berteologi dan/atau berkristologi—berangkat dari Alkitab
dan pulang ke Alkitab. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar