(Tiga Sastrawan Pemula asal Daerah NTT)
Oleh: A.G. Hadzarmawit Netti
Catatan pendahuluan
Ris Therik, Virga Belan dan Gerson Poyk
adalah tiga sastrawan asal daerah Nusa
Tenggara Timur yang tampil di pentas sastra Indonesia di Jakarta pada kurun
waktu yang sama, yaitu tahun 1961 – 1964. Sebelum terkenal sebagai sastrawan,
mereka berkecimpung di bidang jurnalistik, sebagai wartawan; kecuali Gerson Poyk
yang sebelumnya sebagai guru, kemudian menjadi wartawan, setelah itu sastrawan.
Mengenai Gerson Poyk, jejak langkah kesastrawanannya telah direkam oleh Yohanes
Sehandi dalam buku, Mengenal Sastra dan
Sastrawan NTT (2012) dan Sastra
Indonesia Warna Daerah NTT (2015). Dengan demikian, dalam tulisan ini jejak
langkah kesastrawanan Ris Therik dan Virga Belan lebih banyak ditinjau,
sedangkan berkenaan Gerson Poyk, saya
akan berikan beberapa catatan tambahan saja.
Pertama: Ris Therik
Ris Therik lahir di Pulau Rote pada tahun
1921. Bulan dan tanggal kelahirannya tidak dapat saya lacak. Ris Therik memang
seorang sastrawan. Ia tergolong sastrawan yang produktif. Namun dalam lembaran
buku-buku Sastra Indonesia, nama dan karya sastranya tidak ditemukan, karena
itu tidak dikenal orang. Berdasarkan data yang saya telusuri di internet
(WorldCat’ Identities, dan Virtual International Authority File), ada 31 karya
tulis Ris Therik yang saya temukan, yaitu:
(1)
3 Orang Putera
Radja. Penerbit Mumi Baru,
Jakarta 1961.
(2)
Puteri Kapuk. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1964.
(3)
Rani Mentjari Kasih (karya bersama Ris Therik dan Nj. A. Susilarodeya Sumakno). Penerbit:
Badan
Penerbit Kristen, Jakarta 1964.
(4)
Kutinggalkan Adikku
di Pulau
Tjengke; Berdjumpa di Hari Natal (karya bersama Ris Therik, Soetrisno, dan M. Poppy
Hutagalung). Penerbit: Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1964.
(5)
Batu Badaon. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1965.
(6)
Gedono Gedini: Kumpulan beberapa
dongeng. Penerbit Gaja Nadja 1965.
(7)
Istana di atas
Bukit. Penerbit Balai Pustaka,
Jakarta 1966.
(8)
Si Puteka dan Si
Mataboe (dongeng di Pulau
Rote): bacaan anak-anak umur 9-13 tahun.
Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1966.
(9)
Menangkap Ikan Paus. Penerbit Pustaka Jaya 1971.
(10)
Berburu Kuda di
Timor. Penerbit CV Murni,
Jakarta 1971.
(11)
Sang Musang Diadili. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1972.
(12)
Melati Kedungwuni. Penerbit Erlangga, Jakarta 1974.
(13)
Penemu Telepon. Penerbit Singkarak, Jakarta 1975.[ca].
(14)
Puteri Delima. Penerbit Endang, Jakarta Pusat 1975.
(15)
Bila Garambola
Sedang Berbuah. Penerbit Endang,
Jakarta Pusat 1975.
(16)
MINGGAT : untuk anak umur 12 – 14 tahun. Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta 1975.
(17)
Uci dan Tari. (karya bersama Ris Therik, K. Usman). Penerbit Balai
Pustaka, Jakarta 1975.
(18)
Mencari Ayah
Kandung: cerita untuk
anak-anak SD Kelas V. VII dan permulaan Sekolah Lanjutan. Penerbit Pradnya
Paramita, Jakarta 1975.
(19)
Thomas Alva Edison: penemu listrik. Penerbit Djambatan, Jakarta 1975.
(20)
Bau Wangi di Malam
Hari. Penerbit Djambatan,
Jakarta 1975.
(21)
Kolam Tawes Kak Sam (bacaan untuk anak-anak). Penerbit Teragung, Jakarta
1975.
(22)
FEMININ. Penerbit Endang, Jakarta 1978.
(23)
Berjumpa di Jogya. Penerbit Indra Press, Jakarta 1979.
(24)
Dr. Abdur Rivai:
pejuang dan wartawan.
Penerbit Ikhwan,
Jakarta 1980.
(25)
Tumbuh-tumbuhan
untuk ramuan obat. Penerbit Ikhwan,
Jakarta 1982.
(26)
Terbang melawat ke
Ibu Kota. Penerbit Erlangga,
Jakarta 1982.
(27)
Toyohiko dan Musim
Semi. Penerbit Erlangga,
Jakarta 1982.
(28)
Motor Roket. Penerbit Erlangga, Jakarta 1983.
(29)
Gugur di Selat
Sunda. Penerbit Erlangga,
Jakarta 1983.
(30)
Buta dari kecil
namun mencapai sarjana: Taha Husein. Penerbit
Ikhwan, Jakarta 1984.
(31)
Nusa Tenggara Timur
yang kaya cendana (cerita). Penerbit
Ikhwan, Jakarta 1985.
Kedua: Virga Belan
Mengenai Virga Belan hanya sedikit data yang
saya peroleh dari berbagai sumber bacaan. Nama Virga Belan, menurut Peter A,
Rohi, diambil dari zodiak “Virgo” dan “Belan” disingkatkan dari nama keluarga
“Seubelan” (http://www.laraspostonline.com/2017/04/siapa-virga-belan.html). Menurut hemat
saya, nama “Virga Belan” bukan nama sebenarnya melainkan nama samaran.
Orang-orang Rote tempo dulu tidak pernah
memberi nama kepada anak yang dilahirkan seperti itu. Kalau sudah menjadi
nasrani, nama yang diberikan kepada anak adalah nama nasrani misalnya: Viktor,
Samuel, Thobias, Anderias, Ayub, dan sebagainya. Ada kalanya nama salah satu leluhur dari marga ayah atau ibu yang
diberikan menjadi nama anak yang dilahirkan misalnya: Musa Lolok Hendrik, Samuel Muda Klaas
Anderias Saba Kolifai, dan
sebagainya. Nama yang dicetak dengan huruf miring: Lolok, Muda, dan Saba adalah
nama leluhur yang digandengkan pada nama nasrani.
Pada kurun waktu antara tahun1920-an sampai
1940-an ketika Virga Belan dilahirkan di Rote, masyarakat Rote belum mengetahui
nama-nama zodiak: akuarius, skorpio, kanser, gemini, virgo, libra, dan
sebagainya. Jadi, pemberian nama anak dengan nama-nama zodiak sangat mustahil
dalam masyarakat di Rote pada waktu itu/ Dengan demikian, “Virga Belan” bukan
nama sebenarnya melainkan nama samaran. Nama samaran ini dipakai ketika Virga
Belan berkelana ke Jawa. Bisa saja “Virga” berasal dari nama zodiak “Virgo” ;
karena “Virgo” itu digambarkan dengan perempuan kembar, maka “Virgo” diubah
menjadi “Virga” agar karakter perempuan kembar dihilangkan; dan nama marga
“Seubelan” dibuang “Seu-“ dan yang dipakai hanya “Belan” saja, sehingga jadilah
sebuah nama samaran, “Virga Belan”. Jikalau
ada pihak-pihak yang ingin merekam jejak langkah kepengarangan Virga Belan karena
menganggapnya sebagai seorang tokoh
sastra asal NTT yang jasanya patut diabadikan, saya persilakan menyelisik nama
asli dari tokoh yang disebut Virga
Belan.
Pada kurun waktu 1950-an sampai 1970-an, ada sastrawan
yang senang memakai nama samaran. Salah satu sastrawan yang “seangkatan” dengan
Virga Belan adalah AS Dharta. Sastrawan
ini, dalam karya-karya tulisnya sering mempergunakan beberapa nama samaran. Ada kalanya ia memakai nama samaran: Kelana
Asmara; alias Klara Akustia; alias Yogaswara, alias Gamaraputra, padahal nama
sebenarnya ialah Roji, lahir di Cibeber, Cianjur pada 7 Maret 1923. Roji,
alias AS Dharta, adalah salah seorang pendiri Lekra dan menjadi
sekretaris jenderal Lekra yang pertama. Selain AS Dharta, ada penyair bernama Ahmad
Rizani Asnawi tetapi memakai nama samaran Ani As., pada buku kumpulan puisinya
berjudul Bayang-bayang (Penerbit:
Puisi Indonesia, 1980). Dan penyair bernama
Sinaryu Indiah, memakai nama samaran
Diah Hadaning pada buku kumpulan puisinya yang berjudul Jalur-jalur Putih (Penerbit: Swadesi, 1980).
Pada bulan Mei 1961 Majalah Sastra diterbitkan di Jakarta. Ketua Majalah Sastra ialah HB. Jassin, dan redaktur penyelenggara ialah DS. Moeljanto.
Majalah Sastra mengutamakan karya-karya sastra berupa cerpen, puisi, kritik dan
esai. Pengarang-pengarang cerpen Majalah Sastra antara bulan Mei 1961 sampai
Desember 1961 yaitu: B. Sularto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip, Sori
Siregar, Gerson Poyk, Kamal Hamzah,
dan lain-lain.. Sedangkan penulis-penulis kritik yang sering memuat
kritik-kritiknya di Majalah Sastra yakni Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Virga Belan dan Salim Said. Selain menulis
kritik sastra, Virga Belan juga menulis cerpen dan puisi.
Apabila pada tahun 1961 Gerson Poyk mendapat penghargaan dan hadiah dari Majalah Sastra
karena cerpen “Mutiara di Tengah Sawah” yang dimuat di Majalah Sastra edisi
Tahun I, Nomor 6, Oktober 1961 dinilai sebagai cerpen terbaik, maka pada 16
November 1962 ada tiga cerpen yang dimuat di Majalah Sastra edisi Tahun II,
yang ditetapkan sebagai cerpen terbaik. Penulis tiga cerpen itu yakni Bur Rasuanto (penerima hadiah cerpen terbaik),
Motinggo Boesje (penerima penghargaan) dan Virga
Belan (penerima penghargaan). Di samping itu, ada beberapa orang yang
dipilih juga oleh HB. Jassin untuk menerima penghargaan, Namun tak
disangka-sangka, mereka (termasuk Virga Belan) menolak untuk menerima
penghargaan, Virga Belan menolak menerima penghargaan dari Majalah Sastra dengan
menggunakan alasan ideologis, dengan menekankan tuduhan bahwa Majalah Sastra
kontrarevolusioner.
Mencermati kalimat terakhir dari alinea di
atas ini yang dicetak miring, timbul pertanyaan; siapakah sebenarnya Virga
Belan, dan ideologi apakah yang
dianutnya? Inilah jawabannya: Virga Belan sebenarnya seorang pengarang
anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Pada mulanya Lekra belum
merupakan organ kebudayaan dari PKI. Tetapi ketika dalam gelanggang percaturan
politik di Indonesia, PKI makin kuat kedudukannya setelah tahun 1959, maka Lekra resmi
menjadi organ kebudayaan PKI.
Dan ideologi yang dianut
oleh Virga Belan adalah komunisme.
Di atas telah saya katakan bahwa Virga Belan
bukan saja dapat menulis kritik, dan cerpen, tetapi juga puisi. Ia lebih
dikenal sebagai penyair Lekra, dan ideologinya adalah komunisme yang berkiblat
ke Soviet (Leningrad). Untuk membuktikan apa yang saya katakan ini, simaklah salah satu puisinya yang saya
turunkan di bawah ini:
“Penerbangan Malam
ke Leningrad”
Dari Sochi ke daerah utara
Tidak terbentang segara
Hanya langit jingga
Dan udara malam raya.
Dan kabut tersapu di hadapan
Dan tertinggallah buih di lautan
Bumi Soviet ialah padang terluas di dunia
Dan Akulah sang musafir, dalam kelana.
Seorang di sampingku berkata: Leningrad
Dan kujawab: Cukup kukenal, kamerad
Ke sana!
Ke pusat api yang pernah menjulang dalam sejarah!
Ke sana!
Ke tempat kaum buruh menumbangkan kekuasaan durjana!
Ke Leningrad
Ya, ke Leningrad!
Kota revolusi daerah utara!
Juli 62 [13]
Puisi karya Virga Belan ini dimuat pertama
kali dalam Harian Rakyat, Minggu, 1 Desember 1963; dikutip dari Taufiq Ismail
dan D.S. Muljanto, Prahara Budaya: Kilas
Balik Ofensif Lekra/PKI. Bandung: Mizan, 1995,
hlm.228). Lalu, apakah ada karya sastra
Virga Belan dalam bentuk novel atau kumpulan cerpen yang diterbitkan? Hanya satu buku kumpulan puisi, Tembang Negeri Hijau (bunga rampai puisi
topik dibacakan di Yogyakarta, 30-31 Agustus 1981. Buku kumpulan puisi ini
hanya tersimpan di satu perpustakaan anggota World Cat. Tidak ada buku kumpulan cerpen dan kritik sastra yang
diterbitkan.
Memperhatikan jejak langkah kesastrawanan
Virga Belan sebagaimana diwedarkan di atas, timbul pertanyaan: “apakah urgensi
(keharusan yang mendesak dan/atau hal yang sangat penting) dari kehidupan dan
jejak langkah kesastrawanan Virga Belan sehingga ia harus diangkat ke permukaan
horizon kehidupan dan harapan generasi muda kini dan di sini, di Daerah
Provinsi NTT khususnya atau Indonesia umumnya? Apakah benar Virga Belan adalah seorang
Soekarnois sejati? Adakah bukti otentik
yang dapat dipercayai? Dari puisinya yang dikutip di atas, Virga Belan ternyata
seorang penyair Lekra sejati yang menganut paham komunisme sejati, yang
berada di bawah payung PKI, dan berkiblat
ke Leningrad (Soviet).
Ketiga: Gerson Poyk
Jejak langkah kesastrawanan Gerson Poyk telah
diwedarkan secara baik oleh Yohanes Sehandi dalam bukunya berjudul, Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015). Hanya saja karya sastra Gerson Poyk yang disebutkan oleh
Yohanes Sehandi dalam bukunya itu, masih kurang. Yohanes Sehandi hanya menyebut
27 judul buku saja. Sebenarnya, ada 43 buku yang diterbitkan oleh Gerson Poyk,
dan tersimpan di 418 perpustakaan (berdasarkan data WorldCat Identities bulan Mei 2017), namun berdasarkan data
tertanggal 18 November 2017, buku-buku Gerson Poyk tersimpan di 429
perpustakaan WorldCat Identities.
Catatan akhir
Memperhatikan dan mempertimbangkan jejak
langkah kesastrawanan Ris Therik, dan
Virga Belan sebagaimana saya wedarkan di atas, serta jejak langkah
kesastrawanan Gerson Poyk sebagaimana telah diuraikan oleh Yohanes Sehandi
dalam bukunya, dan sedikit catatan tambahan yang saya berikan di atas,
maka mengakhiri tulisan ini saya
memberikan beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama, meskipun
usia Ris Therik lebih tua 10 tahun dari Gerson Poyk, namun vibrasi kepeloporan kesastrawanan
Gerson Poyk dalam dunia sastra lebih unggul dari Ris Therik. Karya tulis
pertama Ris Therik diterbitkan pada tahun 1961; karya tulis pertama Gerson Poyk
juga diterbitkan pada tahun 1961. Karya tulis Ris Therik yang pertama itu
tergolong karya tulis biasa-biasa saja, dan tidak memperoleh penghargaan.
Sedangkan karya tulis Gerson Poyk yang pertama, dinilai sebagai karya tulis
terbaik dan mendapat penghargaan.
Kepeloporan kesastrawanan Gerson Poyk telah diuraikan oleh Yohanes Sehandi pada alinea ke-2 dan ke-3,
halaman 31 dalam buku Sastra Indonesia
Warna Daerah NTT. Saya kutip kembali di sini: “Memenangkan Hadiah Adinegoro
(1985, 1986); hadiah Sastra ASEAN untuk novel Sang Guru (1972); hadiah Sea
Write Award (1989); hadiah Lifetime
Achivement Award dari Kompas; menerima
Anugerah Kebudayaan tahun 2013 dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena
jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya.” Selain itu, Gerson Poyk telah menghasilkan
43 buah karya tulis, sementara Ris Therik menghasilkan 31 buah karya tulis. Ris
Therik tidak menerima penghargaan-penghargaan seperti Gerson Poyk. Di luar
negeri, karya tulis Gerson Poyk tersimpan di 429 perpustakaan, sedangkan karya
tulis Ris Therik tersimpan di 107 perpustakaan. Dengan demikian, penetapan 16
Juni sebagai Hari Sastra NTT, landasannya, bukan karena faktor usia Gerson Poyk
berdasarkan hari lahirnya pada 16 Juni 1931, melainkan karena faktor
kepeloporan kesastrawanan dan popularitas Gerson Poyk dalam dunia sastra.
Kedua, Ris Therik layak dicatat
sebagai sastrawan Indonesia asal daerah NTT, karena realitas faktual sebagaimana
hasil pelacakan di atas mengukuhkan kesastrawanannya. Ia adalah seorang
pengarang dan/atau sastrawan yang ternyata produktif. Kendatipun Ris Therik tidak
meraih penghargaan-penghargaan seperti yang diraih Gerson Poyk, namun karya
tulisnya diterbitkan oleh penerbit-penerbit terkemuka di Jakarta, dan dibaca
banyak kalangan mulai dari anak-anak SD, SMP/SMA, masyarakat umum dan kalangan
cerdik pandai.
Ketiga, Mengenai Virga
Belan, menurut hemat saya, biarkanlah namanya—termasuk jejak langkah
kesastrawan serta semangat perjuangannya yang komunistis
sebagaimana
tersirat dalam puisinya yang telah dikutip di atas—tetap terkubur di bawah
tebing sejarah masa lalunya yang telah longsor.
Generasi muda di Daerah Nusa Tenggara Timur
yang berbakat sastra, saya harapkan agar dapat memungut hikmat yang tersirat
dalam jejak langkah kesastrawanan Gerson
Poyk; dan mencontohi kreativitas menulis seperti Ris Therik. Perhatikanlah
tahun penerbitan buku-buku karya Gerson Poyk dan Ris Therik: berentet-rentet! Kalau
dari jejak langkah kesastrawanan Virga Belan, hikmat apa yang generasi muda di
daerah NTT mau pungut? ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar