Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
Kami yang kini
terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak
“Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang
tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju
dan berdegup hati?
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang
tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa
yang kami bisa
Tapi kerja belum
selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami
punya jiwa
Kerja belum selesai,
belum bisa memperhitungkan arti
4—5 ribu nyawa
Kami Cuma
tulang-tulang berserakan
Tapi adalah
kepunyaanmu
Kaulah lagi yang
tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami
melayang untuk kemerdekaan,
kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk
apa-apa,
Kami tidak tahu, kami
tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang
berkata
Kami bicara padamu
dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah
jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di
garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal
tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring
antara Krawang-Bekasi.
(1948)
Pendekatan Perspektivisme
1. Menurut sejarah penciptaan
Sajak Krawang-Bekasih yang digubah oleh Chairil
Anwar sebagaimana dikutip di atas ini dipublikasikan pertama kali dalam majalah Mimbar Indonesia, Tahun II, No.47, edisi tanggal 20 November 1948.
Pada tahun 1954 sajak ini dipublikasikan lagi dalam majalah Siasat, Tahun VIII, N0.351, edisi
tanggal 28 Februari 1954 bersama-sama dengan sajak The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLeish yang dikutip dari
majalah Reader’s Digest, Tahun 1945
Vol.XLVII, No.281, halaman 74.
Dengan
ditemukan dan diterbitkannya sajak The
Young Dead Soldiers karya Archibald MacLeish sebagaimana dikatakan di atas,
maka berkembanglah polemik di kalangan pengamat sastra pada waktu itu (bahkan
hingga kini) tentang ‘keaslian’ sajak Krawang-Bekasih
gubahan Chairil Anwar. Ada pengamat yang menilai bahwa
sajak Krawang-Bekasih merupakan hasil
jiplakan dari sajak The Young Dead
Soldiers sehingga Chairil dituduh sebagai plagiator. Tetapi ada pengamat
yang menggolongkan sajak Krawang-Bekasih sebagai
sajak saduran dari The Young Dead
Soldiers karya Archibald MacLeish sehingga Chairil Anwar dianggap sebagai
penyadur (H.B.Jassin, 1978:34,40,41).
2. Menurut konsepsi kepenyairan
Chairil Anwar
Polemik
tentang Chairil Anwar sebagai plagiator (penjiplak) maupun penyadur terjadi
ketika Chairil telah tiada (meninggal dunia). Dengan demikian, Chairil tidak
sempat melakukan pembelaan diri. Pengamat sastra yang gigih membela Chairil
Anwar adalah H. B. Jassin, yang kemudian terkenal sebagai seorang kritikus
sastra Indonesia
yang terkemuka.
Kendatipun
Chairil Anwar mati muda sehingga ia tidak sempat melakukan pembelaan atas semua
tudingan terhadap dirinya, namun sebenarnya ia (Chairil Anwar) telah
meninggalkan suatu pesan bagi kita lewat “Pidato Radio 1946”. Menurut hemat
saya, isi “Pidato Radio 1946” itu merupakan “konsepsi kepenyairan Chairil Anwar”.
Beginilah kata Chairil Anwar dalam “Pidato Radio 1946”:
“Kawan-kawan pendengar,
Sebuah sajak yang menjadi adalah
suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair.
Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideel
dan visueel) alam dan Penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan
dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan
dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk
dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang
sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi
satu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru,
dunia kepunyaan penyair itu sendiri…” (H. B. Jassin. Ibid,hlm.149).
Berdasarkan
konsepsi kepenyairan Chairil Anwar sebagaimana dikutip di atas ini, maka saya
dapat berkata: ternyata sajak The Young
Dead Soldiers karya Archibald MacLeish telah menjadi bahan/hasil kesenian
yang berarti bagi Chairil; ternyata sajak The
Young Dead Soldiers adalah
bahan/hasil kesenian yang berhubungan jiwa dengan Chairil. Pikiran-pikiran dan
pendapat Archibald MacLeish mengenai para prajurit yang mati muda di medan perjuangan demi perdamaian dan harapan baru,
ternyata identik dengan pikiran-pikiran dan pendapat Chairil mengenai prinsip
perjuangan rakyat Jakarta
dan sekitarnya dalam menghadapi gempuran tentara Sekutu di daerah
Krawang-Bekasi. Ya, ternyata semangat dan nilai patriotisme yang tersirat dalam
sajak The Young Dead Soldiers telah
meresap masuk dalam bayangan Chairil; anasir-anasir/unsur-unsur yang tersirat
di dalam sajak TheYoung Dead Soldiers diolah,
dijadikan, dihubungkan, dikawinkan dengan fakta dan pengalaman sejarah
perjuangan yang terjadi di Krawang-Bekasi dalam imajinasi/fantasi Chairil
sehingga menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah dan mengharukan) dan baru,
suatu dunia baru, dunia kepunyaan Chairil.
Berdasarkan
pertimbangan di atas ini, maka menurut hemat saya, sajak Krawang-Bekasi punya nilai tersendiri yang khas Chairil sebagai
seorang anak manusia Indonesia, yang serius menggumuli nasib bangsanya dalam
perkembangan sejarah perjuangan antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1948
(saat sajak Krawang-Bekasi digubah
dan dipublikasikan dalam media Mimbar
Indonesia, Tahun II, No.47, edisi November 1948).
3. Menurut tempat, waktu dan
peristiwa
Menurut H. B.
Jassin (1978:34), sajak Krawang-Bekasi digubah
oleh Chairil Anwar pada akhir tahun 1948. Apabila pernyataan H. B. Jassin ini
benar, maka ada kemungkinan Chairil Anwar menggubah sajak ini beberapa waktu
sebelum sajak ini diserahkan dan dimuat di majalah Mimbar Indonesia, Tahun II, No.47, edisi 20 November 1948.
Jikalau kita
sependapat dengan kesimpulan di atas ini, maka sajak Krawang-Bekasi tergolong sajak yang bergaya visi (vision). Dengan gaya ini Chairil melukiskan suatu peristiwa atau
pengalaman masa lampau yang dilihatnya atau yang dipertimbangkannya sebagai
suatu peristiwa atau pengalaman yang tetap aktual dan relevan dengan peristiwa
maupun perkembangan di kekinian (pada saat Chairil Anwar menggubah sajaknya
itu). Dan apa yang dilukiskan dalam sajak Krawang-Bekasi
yang bergaya visi itu bersifat tanggapan terhadap sesuatu yang sedang
terjadi dan/atau sesuatu yang akan terjadi (J. C. Nesfield. Figures Of Rhetoric, 1938:247).
Berdasarkan
keterangan di atas ini maka pengamatan terhadap sajak Krawang-Bekasi dalam kaitannya dengan tempat, waktu, dan peristiwa,
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, Di suatu tempat, waktu, dan peristiwa yang terjadi atau berkembang dalam tahun 1948, Chairil
Anwar tergugah untuk merenungkan kembali secara intens patriotisme yang
dibuktikan oleh para pejuang kemerdekaan di medan laga Krawang-Bekasi pada
tanggal 19 Desember 1945.
Kedua, Patriotisme para pejuang
kemerdekaan yang menonjol di medan laga Krawang-Bekasi yang direnungkan kembali
secara intens oleh Chairil Anwar dalam tahun 1948 itu, tentunya tidak dapat
dipisahkan dari semangat proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang
dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, serta berbagai
runtunan perkembangan peristiwa yang terjadi sesudah itu sampai dengan saat
Chairil Anwar menggubah sajak Krawang-Bekasi.
Ketiga, Ketika merenungkan semua
runtunan perkembangan peristiwa sebagaimana disebutkan di atas ini, visi dan imajinasi Chairil Anwar menyatu dengan visi dan imajinasi Archibald
MacLeish yang tersirat di dalam sajak The
Young Dead Soldiers. Sesuai dengan konsepsi kepenyairan Chairil Anwar sebagaimana
telah dikatakan di muka, maka anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada di
dalam sajak TheYoung Dead Soldiers, Chairil
Anwar jadikan, hubungkan, kawinkan dengan
peristiwa dan patriotisme para pejuang kemerdekaan yang terbukti di medan laga
Krawang-Bekasi menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan), dan
baru, sehingga terciptalah suatu dunia baru, dunia kepunyaan Chairil Anwar
sendiri…, dalam wujud sajak yang diberi judul “Krawang-Bekasi”.
Keempat, Berdasarkan visi sebagaimana dijelaskan di atas
inilah, sajak Krawang-Bekasi yang Chairil
Anwar publikasikan dalam tahun 1948 itu bersifat refleksi terhadap sesuatu
(runtunan perkembangan peristiwa) yang sedang terjadi dan/atau sesuatu
(runtunan perkembangan peristiwa) yang dibayangkan akan terjadi. Untuk
mengetahui runtunan perkembangan peristiwa yang terjadi pada tahun 1948 yang
menggugah Chairil Anwar mempublikasikan sajak
Krawang-Bekasi saya mencatat
beberapa runtunan peristiwa sebagai berikut.
1. Memasuki
bulan Januari 1948, tembak-menembak antara militer Belanda dengan tentara Indonesia
belum juga berhenti. Pada tanggal 13 Januari terjadi Perundingan Kaliurang,
sementara Perundingan Renville masih berlangsung sampai akhir penandatanganan
Perjanjian Renville diadakan pada tanggal 17 Januari, disusul dengan instruksi
penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari. Perjanjian ini menempatkan
Indonesia
pada posisi yang bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung
oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Kesulitan ini semakin diperparah oleh
blockade ekonomi yang dilakukan secara ketat oleh Belanda.
2. Belanda
terus melakukan politik adu-domba dan politik memecah-belah untuk melemahkan
kedudukan Republik Indonesia.
Pada tanggal 23 Januari 1948, berdirilah suatu negara boneka baru yaitu “Negara
Madura”. Dalam bulan Februari 1948, di Jawa Barat, terjadi gerakan “Darul
Islam” di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Pada tanggal 16
Februari, “Negara Jawa Barat” atau “Negara Pasundan” secara resmi dinyatakan
berdiri. Pembentukan Negara Pasundan ini ditentang oleh para pemuda Jawa Barat
yang pro Republik. Di Bandung dan Yogyakarta,
para pemuda yang pro Republik melakukan demonstrasi. Poster-poster mereka
bertuliskan slogan: “Tolak Negara
Pasundan”. “Rakyat Pasundan 100% Tukangeun Karno-Hatta”.
3. Pada tanggal
24 Maret 1948, berdiri lagi “Negara Sumatera Timur, sementara di Jakarta van
Mook menyusun “Pemerintah Federal Sementara” yang kemudian mengadakan sebuah Konferensi
Federal di Bandung pada tanggal 29 Mei 1948.
4. Sementara
persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
dirongrong oleh berbagai negara boneka buatan kolonial Belanda, pada tanggal 18
September 1948 terjadilah Pemberontakan PKI/Peristiwa Madiun. Dan pada tanggal
16 November 1948, Belanda berhasil menciptakan lagi sebuah negara boneka yaitu
“Negara Jawa Timur”.
Berbagai
runtunan peristiwa dalam tahun 1948 sebagaimana disebutkan di atas, termasuk
Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 dimana lapangan terbang
Maguwo dan Yogyakarta diduduki serta Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.
Hatta dan beberapa pejabat lain ditawan, tidak terlepas dari runtunan peristiwa
yang berkembang antara tanggal 19 Desember 1945 (gempuran Sekutu atas daerah
Krawang-Bekasi), dan peristiwa-peristiwa lain yang berkembang dalam tahun 1946
dan tahun 1947. Dan rupanya dalam merenungkan berbagai peristiwa yang merebak
dalam tahun 1948 yang hakikatnya merongrong cita-cita/semangat proklamasi
kemerdekaan bangsa Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 itu, visi dan
imajinasi Chairil Anwar digugah
secara intens oleh getaran patriotisme para pejuang yang berlaga dan
mengorbankan nyawanya secara ikhlas di medan juang Krawang-Bekasi, yang
ternyata identik dengan patriotisme para pejuang yang dilukiskan oleh Archibald
MacLeish dalam sajak TheYoung Dead
Soldiers. Idealisme dan patriotisme para pejuang yang dilukiskan oleh
Archibald MacLeish di dalam sajaknya, ternyata identik dengan idealisme dan
patriotisme para pejuang kemerdekaan di Krawang-Bekasi, yakni demi
mempertahankan kemerdekaan, kemenangan, dan harapan. Ya, demi mempertahankan
persatuan dan kesatuan bangsa serta kedaulatan rakyat.
Rupanya
berdasarkan latar belakang perenungan sebagaimana dikemukakan di atas inilah,
Chairil Anwar menggubah sajak Krawang-Bekasi
yang dipublikasikan lewat media Mimbar
Indonesia, Tahun II, No.47 edisi 20 November 1948. Dengan sajak ini Chairil
Anwar membuktikan kesadaran dan keterpanggilannya sebagai seorang warga negara
yang konsisten terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan
sekaligus Chairil Anwar terpanggil untuk menggugah generasi zamannya yang
mengalami disintegrasi guna menemukan kembali patriotisme sejati yang
mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta perjuangan untuk membela/mempertahankan
eksistensi bangsa dan negara republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan
berdaulat.
Ya, dengan
menonjolkan kembali patriotisme rakyat Jakarta dan sekitarnya yang bertarung
mati-matian di medal laga Krawang-Bekasi dalam menghadapi gempuran Sekutu pada
tanggal 19 Desember 1945, Chairil Anwar menggugah generasi zamannya dalam tahun
1948 yang mengalami disintegrasi untuk merenungkan kembali keluhuran semangat
perjuangan dan pengorbanan para pahlawan bangsa yang telah berkorban demi
kemerdekaan, kemenangan dan harapan sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan 17
Agustus 1945. Dalam sajak Krawang-Bekasi,
Chairil Anwar mempergunakan kata ganti persona kami untuk mewakili para pejuang/pahlawan bangsa yang telah gugur
di medan laga Krawang-Bekasi, dan kata ganti persona kau dipergunakan untuk mewakili angkatan/generasi tahun 1948
sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa.
Ada tiga larik dalam
sajak Krawang-Bekasi yang sering
ditafsirkan secara harafiah, yaitu larik-larik yang berbunyi: “Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/
Menjaga Bung Sjahrir”. Dengan larik-larik ini orang-orang yang menafsirkan
secara harafiah menganggap Chairil Anwar mengkultusindividukan Bung Karno, Bung
Hatta, dan Bung Sjahrir. Penafsiran seperti ini sangat sempit dan dangkal.
Sebab, menurut ilmu majas (gaya
bahasa), larik-larik sajak tersebut sebenarnya bermajas sinekdoke (J. C. Nesfield, do.
Ib. hlm.242). Pada majas ini, nama individu (Bung Karno, Bung Hatta, Bung
Sjahrir) dipergunakan untuk citra
persatuan dan kesatuan bangsa/negara republik Indonesia hasil proklamasi
kemerdekaan 17 Agustus1945, serta citra kedaulatan rakyat.
Berdasarkan
catatan sejarah, Bung Karno dan Bung Hatta adalah simbol persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara republik Indonesia
yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini
tercermin dalam pedoman perjuangan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia
(GAPKI) yang menegaskan bahwa “Soekarno-Hatta adalah lambang perjuangan dan
persatuan bangsa Indonesia”
(Ruben Nalenan, 1970). Selain itu, tercermin pula dalam pernyataan kebulatan
tekad para pemuda dan rakyat Jawa Barat yang pro Republik ketika melakukan
demonstrasi menentang pembentukan “Negara Pasundan”. Kebulatan tekad mereka
berbunyi: “Rakyat Pasundan 1000% Tukangeun Karno-Hatta” (30 Tahun Indonesia Merdeka, Jilid 1, 1985:173).
Jikalau Bung
Karno dan Bung Hatta adalah simbol persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Republik
Indonesia, maka Bung Sjahrir adalah simbol kedaulatan rakyat, karena ketika
Sekutu menggempur Krawang-Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945, Bung Sjahrir
pada waktu itu memangku jabatan Perdana Menteri Kabinet Parlementer Pertama,
yang latar belakang pembentukannya dimaksudkan untuk “memberlakukan kedaulatan
rakyat atau menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi” (Ibid, hlm.62-63).
Berdasarkan
pertimbangan di atas inilah saya sependapat dengan Ajip Rosidi (1973:39), yang
antara lain mengatakan secara tegas bahwa “Chairil Anwar menaruh minat yang
besar terhadap masalah-masalah politik”. Bahkan lebih jauh, menurut pendapat
saya, Chairil Anwar ternyata sungguh-sungguh menghayati dan mendalami
prinsip-prinsip perjuangan kemerdekaan bangsa yang fundamental. Di dalam
berbagai kemelut yang merongrong sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia sepanjang tahun 1945 sampai tahun 1948, ternyata Chairil Anwar tetap menunjukkan
kesetiaannya dan dukungannya terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan 17
Agustus1945. Chairil Anwar tidak membelot dan/atau mendukung kaum pembelot yang
mengkhianati cita-cita proklamasi kemerdekaan dan patriotisme, melainkan secara
konsekuen dan konsisten ia menyatakan kesetiaan serta dukungannya terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa/negara Republik Indonesia.
Dengan
demikian tidaklah keliru apabila tim penyusun buku 30 Tahun Indonesia
Merdeka mencatat Chairil Anwar sebagai seorang penyair dan pejuang (Ibid, hlm.75). Dan tidak keliru pula
jika setiap tanggal 28 April ada sekelompok orang yang menggeluti dunia sastra
memperingati kepeloporan penyair Chairil Anwar. Berkenaan dengan kepeloporan
Chairil Anwar sebagaimana dipertahankan secara gigih oleh H. B. Jassin antara
tahun 1950-an sampai tahun 1970-an, ternyata diakui dan dikukuhkan pula oleh A.
Teeuw yang antara lain berkata:
“Chairil Anwar
adalah penyair Indonesia
yang pertama kali melaksanakan di dalam dan karena sajak-sajaknya cita-cita revolusi
sejati: persamaan mutlak, kesamaan derajad internasional bagi manusia Indonesia; dan
yang mengalami kemenangan terakhir bagi kesenian serta menyampaikannya kepada
bangsanya sambil melalui segala alangan serta mengatasi ‘kesementaraan segala’.
Dalam pada itu ia seolah-olah sambil lalu dan sebagai hal yang sudah sewajarnya
saja (tetapi bagi orang luar itulah agaknya keajaiban yang sebesar-besarnya
tentang timbulnya itu), dengan sekali pukul mendorong naik pula bahasanya:
Bahasa Indonesia mencapai kesempurnaan derajat. Setelah Chairil Anwar, maka
keragu-raguan tentang Bahasa Indonesia…, tidak pada tempatnya lagi” (A. Teeuw, 1958:76).
Kontemplasi
dan interpretasi perspektivisme integral
“Kami yang kini terbaring antara
Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat
senjata lagi”
Dua larik sajak ini melukiskan
tentang pengorbanan yang terjadi dalam suatu episode perjuangan rakyat Indonesia
dalam mempertahankan kemerdekaan sesuai fakta sejarah. Fakta sejarah tersebut
terjadi di daerah Krawang-Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945. Itulah sebabnya
sajak ini Chairil Anwar beri judul, Krawang-Bekasi.
Mereka yang terbaring antara
Krawang-Bekasi itu adalah patriot-patriot bangsa yang dengan ikhlas
mempertaruhkan jiwa-raganya demi mempertahankan kemerdekaan, kemenangan dan
harapan bangsa dari rongrongan Sekutu. Ya, demi mempertahankan eksistensi Indonesia
merdeka yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945
itulah, mereka rela mempertaruhkan segala-galanya.
Mereka sudah tidak bisa teriak
“’Merdeka’ dan angkat senjata lagi”, sebab mulut mereka telah dibungkamkan oleh
dentuman mortir, dan tangan mereka telah diremukkan oleh mata peluru. Mereka
sudah tiada, sebelum sempat mengalami cerahnya fajar pengharapan merekah penuh
di cakrawala Indonesia
merdeka yang bersatu dan berdaulat.
“Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar
deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegup hati?”
Larik sajak ini merupakan sebuah
interogasi yang diarahkan langsung ke hati nurani kita. Dengan larik ini Chairil
Anwar mau menggugah kesadaran kita agar kita tidak sampai melupakan mereka yang
sudah tiada itu. Sebab, mereka adalah para pahlawan bangsa, yang jasa-jasa dan
pengorbanannya patut kita kenang selalu. Pendengaran imajinatif kita harus peka
untuk dapat menangkap pesan suci perjuangan yang mereka tinggalkan. Kesadaran
kita harus hidup untuk dapat menyimpan amanat perjuangan yang mereka wariskan.
Mereka sudah tiada, namun pengorbanan mereka punya bahasa sendiri yang bisa
menuturkan kepada kita untuk apa mereka rela mempertaruhkan jiwa-raganya di medan juang. Oleh karena
pengorbanan para pahlawan bangsa itu punya bahasa sendiri, maka lebih lanjut
Chairil Anwar berkata: “Kami bicara
padamu dalam hening di malam sepi/ Jika
dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”
Benar, bahwasanya pengorbanan suci
para pahlawan itu punya bahasa tersendiri. Dalam situasi tertentu yang genting
dan mencemaskan, pendengaran imajinatif kita dapat menangkap bahasa itu; hati
nurani kita yang terjaga dapat tergugah oleh sentuhan bahasa itu: “Kami mati muda. Yang tinggal tulang
diliputi debu…”
Pertama,
Seakan-akan itulah yang para pahlawan mau menyatakan kepada kita. Mereka
mati muda. Kini hanya tinggal tulang-tulang diliputi debu. Entah itu di
makam-makam pahlawan, di nisan bertanda nama maupun di nisan tak bertanda nama.
Entah itu masih berserakan dan telah tertimbun tanah di lembah-lembah, di
hutan-hutan, maupun terbenam di dasar laut. Entahlah. Namun, lewat imajinasi
Chairil Anwar, mereka hanya mau mengingatkan kita bahwasanya mereka mati muda.
Kiranya apa sebab mereka mati muda
tidak perlu dipertanyakan sebagai sesuatu yang misterius. Sebab sajak Krawang-Bekasi seutuhnya memberi kesan
secara eksplisit kepada kita, bahwasanya mereka mati muda karena tekad
mempertahankan kemerdekaan bangsa; karena tekad mempertahankan eksistensi
bangsa/negara Indonesia hasil proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945
sebagai bangsa/negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Ya, karena itu atau
untuk itulah mereka rela mati muda.
Kedua,
Kendatipun demikian, kematian mereka tidaklah sepi pada dirinya sendiri,
melainkan kematian mereka punya bahasa dan daya gugah tersendiri terhadap kita
yang lagi hidup kini dan di sini: “Kenang,
kenanglah kami”
Patut dicatat bahwa para pahlawan
yang telah gugur sebagai bunga bangsa itu tidak pernah cengeng sebelum berpeluk
dengan maut. Mereka tidak pernah minta untuk dikasihani maupun minta untuk
dikenang. Akan tetapi di manakah di kolong langit ini yang terdapat suatu
bangsa yang tidak menghargai sejarah bangsanya dan jasa para pahlawannya yang
telah berkorban dengan ikhlas demi kebangkitan dan kejayaan bangsanya?
Rupanya Chairil Anwar menyadari akan
hal ini sedalam-dalamnya. Ya, rupanya Chairil Anwar sungguh-sungguh menyadari
serta menghayati prinsip perjuangan bangsanya yang fundamental. Dan kesadaran
serta penghayatannya yang mendalam itu berhasil diungkapkannya secara puitis
dalam rangka berkomunikasi dengan lingkungannya, dengan bangsanya sendiri (baik
dengan generasi sezamannya pada tahun 1949, maupun dengan generasi yang
kemudian—termasuk kita yang lagi hidup kini dan di sini) tentang arti sekian
ribu nyawa yang dipertaruhkan di mata peluru, serpihan granat, mortir, dan bom
di medan
pertempuran Krawang-Bekasi.
“Kenang,
kenanglah kami…” Demikianlah imbauan yang seakan-akan membelah angkasa di medan laga Krawang-Bekasi.
Imbauan yang tak tertimbus oleh pergantian waktu. Imbauan yang gemanya
memantul-mantul di setiap gerbang pergantian generasi dan tonggak-tonggak
sejarah. Dan terhadap kita yang lagi hidup kini dan di sini, ya…, kita sebagai
generasi abad ke-21 sebagai generasi pewaris dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa dan cita-cita reformasi untuk membangun tatanan hidup berbangsa dan
bernegara yang demokratis, menjunjung supremasi hukum dan hak asasi manusia,
imbauan itu menggugah kita untuk sejenak berkontemplasi dengan sejarah
pergerakan dan perjuangan bangsa. Kita seolah-olah digugah untuk berkontemplasi
dengan idealisme perjuangan bangsa pascakebangkitan nasional, dengan idealisme
perjuangan bangsa yang berhasil mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan,
dengan idealisme para pahlawan pembela Pancasila dan UUD 1945. Dengarlah
pernyataan mereka yang sudah tiada itu, yang tersirat dalam pernyataan puitis
seorang penyair Chairil Anwar:
“Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa
memperhitungkan arti
4—5 ribu nyawa”
Ya, sesungguhnya demi mempertahankan
kemerdekaan, kemenangan, dan harapan; demi Pancasila dan UUD 1945, mereka sudah
coba apa yang mereka bisa—bahkan
berikan mereka punya jiwa. Betapa luhurnya pengorbanan para pahlawan
itu. Namun melalui imajinasi Chairil Anwar mereka dengan tulus dan rendah hati
mengaku: “Tapi kerja belum selesai, belum
apa-apa; Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4—5 ribu nyawa”.
Dengan
menempatkan diri pada posisi para pahlawan yang sudah tiada, Chairil Anwar
menyingkapkan suatu kesadaran dalam larik-larik sajak tersebut: bahwasanya apa
yang telah dibuat oleh para pahlawan itu, yaitu pengorbanan jiwa dan raga yang
mereka berikan di medan laga Krawang-Bekasi itu hanyalah baru demi “merdeka dari” dan berusaha untuk
mempertahankan “merdeka dari” semata-mata. Itulah sebabnya “ini” (“merdeka dari”) belum apa-apa.”Ini”
(“merdeka dari”) belum selesai,
belum bisa memperhitungkan arti 4—5 ribu nyawa, jika perjuangan dan pengorbanan
tidak diteruskan demi “merdeka untuk”.
Akan
tetapi guna merealitaskan “merdeka untuk”
sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 tidaklah mudah. Ibarat
suatu perjalanan, maka perjalanannya tidaklah pendek dan bebas dari
tantangan-tantangan. Perjalanannya memerlukan, memerlukan ketabahan dan
kesungguhan, memerlukan kewaspadaan, memerlukan kesetiaan dan pengorbanan
lanjut. Dan modal dasar untuk semuanya itu adalah kesadaran nasional, kesetiaan
nasional, serta tanggung jawab nasional yang dijiwai oleh Pancasila dan UUD
1945. Bahwasanya “merdeka dari” dengan
nilai-nilai luhurnya yang kita warisi kini dan di sini haruslah kita
pertahankan dan teruskan, harus kita bina dan kembangkan demi “merdeka untuk” dengan nilai-nilai yang
didambakan. Menyadari akan hal ini, lebih lanjut Chairil Anwar menyingkapkan
kesah pengharapan dari sela-sela timbunan pengorbanan para pahlawan bangsa
lewat larik-larik:
“Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai
tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
Kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa
berkata
Kaulah sekarang yang berkata”
Kesah pengharapan ini bukan saja
Chairil Anwar tujukan kepada generasi zamannya pada tahun 1948, tetapi
ditujukan juga kepada kita selaku generasi pewaris dan penerus cita-cita
proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
yang hidup dalam kurun waktu yang bertanda nama abad ke-21. Kesah pengharapan
ini mau mengingatkan kita, bahwa kendatipun pengorbanan yang diberikan oleh para
pahlawan bangsa yang telah lama mendahului kita itu masih jauh dari tujuan
akhir yang mau dicapai, namun adalah kepunyaan kita. Ya, adalah kepunyaan kita “untuk apa” mereka telah rela berkorban.
Juga, adalah kepunyaan kita “kerja yang
belum selesai dan belum apa-apa”, untuk kita lanjutkan dan selesaikan serta beri wujud apa-apa.
Dengan persuasif kita dihimbau untuk
menghayati nilai-nilai pengorbanan para pahlawan: apakah nilai-nilai
pengorbanan para pahlawan yang begitu ikhlas kita bina dan teruskan, ataukah
nilai-nilai pengorbanan para pahlawan itu kita khianati dan hancurkan, lalu
kita ganti dengan nilai-nilai lain yang sama sekali tidak diharapkan oleh para
pahlawan sebelumnya. Jelas, bahwasanya yang disebutkan terakhir ini bukanlah
harapan para pahlawan. Akan tetapi, karena kemungkinan pengkhianatan dan
penghancuran nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan itu
bisa saja terjadi sebagaimana Chairil Anwar alami dan saksikan sendiri dalam
tahun 1948, maka dengan mempergunakan majas ulang demi mengaksentuasi nosi dan
emosi imajinatif, Chairil Anwar mengulangi sekali lagi larik-larik sajak yang
berbunyi: “Kami bicara padamu dalam
hening di malam sepi/ Jika dada rasa
hampa dan jam dinding yang berdetak”
Larik-larik sajak yang diulangi ini
dimaksudkan untuk mempertegas peringatan kepada kita, bahwa para pejuang
kemerdekaan bangsa itu kendatipun sudah tiada namun semangat pengorbanan mereka
punya bahasa tersendiri yang akan senantiasa menggugah hati nurani kita,
menyadarkan kita tentang dasar perjuangan yang harus tetap dipertahankan, serta
tujuan perjuangan yang mau dicapai sesuai dengan cita-cita proklamasi
kemerdekaan. Teristimewa pada saat-saat bangsa dan negara dicengkam situasi
yang genting dan mencemaskan: apakah persatuan dan kesatuan serta keselamatan
bangsa dan negara Pancasila yang kita cintai ini masih punya sejarah yang
berkelanjutan ataukah tidak, misalnya pada situasi tahun 1948 yang diwarnai
krisis disintegrasi multi dimensi; atau krisis tahun 1965 yang diwarnai oleh
G-30-S/PKI; atau situasi krisis multi dimensi yang terjadi pada tahun 1998
ketika terjadi gerakan reformasi… Pada saat-saat dan situasi seperti itulah
para pahlawan kemerdekaan yang sudah tiada itu seakan-akan hidup dan berbicara
guna menginsafkan kita akan makna pengorbanan yang telah mereka pertaruhkan
demi kejayaan dan kelanggengan eksistensi bangsa dan negara. Dalam sajak The Young Dead Soldiers, Archibald
MacLeish berkata:
“They have a silence that speaks for them at
night
And when the clock counts”
Parafrasenya
dalam bahasa Indonesia:
“Mereka punya bahasa gaib yang dapat
bersaksi tentang diri mereka di malam hari
Dan jika jam dinding yang berdetak”
Larik sajak
Archibald MacLeish tersebut Chairil Anwar olah dan gubah kembali menjadi larik
yang berbunyi: “Kami bicara padamu dalam
hening di malam sepi/ Jika dada rasa
hampa dan jam dinding yang berdetak”.
Larik sajak yang Chairil Anwar olah
dan gubah kembali tersebut sangat kaya makna. Setiap kata benar-benar ia
‘gali-korek’ dan ‘jinakkan’ untuk mendukung nosi dan emosi imajinatifnya
tentang semangat pengorbanan para pahlawan bangsa di medan juang Krawang-Bekasi. “Kami bicara padamu…” Frasa ini
mengandung nada gugahan yang bertujuan menyadarkan kita, bahwasanya para
pahlawan bangsa yang telah tiada itu punya bahasa tersendiri yang dapat
berbicara kepada kita lewat suara hati kita. “Dalam hening di malam sepi” (“in the still of night), adalah frasa
figuratif yang menyarankan arti: “Dalam
situasi yang mencekam”. “Jika dada rasa hampa”: “dada” (“breast”), adalah
ungkapan figuratif yang menyarankan arti: “suara
hati; kasih sayang” (“conscience, affection”); “hampa” (“empty”), adalah ungkapan figuratif yang menyarankan arti:
“tak ada artinya lagi” (“meaningless”).
Jadi, frasa “Jika dada rasa hampa” adalah frasa figuratif yang menyarankan arti: “Jika suara hati terasa tak ada artinya
lagi”, atau “Jika kasih sayang terasa
tak ada artinya lagi”.
“Dan
jam dinding yang berdetak”: “jam dinding”(“clock”), adalah ungkapan
figuratif, menurut Shakespear, menyarankan arti: “sentakan waktu yang menjagakan” (“the striking of the hour”); “yang berdetak” (“counts”), adalah
ungkapan figuratif yang menyarankan arti: “pertimbangan
yang memintakan perhatian dan kesetiaan seseorang berkenaan dengan masalah
perlindungan keamanan dan keselamatan” (“consideration demanding one’s
obedience about a defence, means of security”). Jadi, frasa “Dan jam dinding yang berdetak” adalah
frasa figuratif yang menyarankan arti: “Dan
sentakan waktu yang menggugah perhatian, pertimbangan dan kesetiaan berkenaan
dengan masalah perlindungan keamanan dan keselamatan”. (Catatan:
Perbandingan arti kata maupun frasa dengan ungkapan figuratif bahasa Inggris
yang dikemukakan di atas ini, saya sarankan untuk membaca Chambers Twentieth Century Dictionary, New Edition 1972. W & R
Chambers Ltd London).
Dengan larik-larik yang bermakna
figuratif sebagaimana artinya/maknanya diuraikan di atas itulah Chairil Anwar
mau melukiskan situasi politik dan pergolakan yang sangat mencekam dalam tahun
1948, sekaligus ia mau menggugah perhatian, pertimbangan, kesadaran, kesetiaan
generasi zamannya berkenaan dengan masalah perlindungan keamanan dan
keselamatan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia berdasarkan semangat
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Untuk maksud itulah Chairil Anwar menempatkan
dirinya pada para pahlawan yang telah gugur di medan juang Krawang-Bekasi
seraya berkata: “Kenang, kenanglah kami/
Teruskan, teruskanlah jiwa kami”.
“Kenang,
kenanglah kami”, artinya: kenang atau ingatlah selalu akan arti serta tujuan
perjuangan dan pengorbanan kami. “Teruskan,
teruskanlah jiwa kami”, artinya: teruskan atau lanjutkanlah semangat dan
cita-cita perjuangan kami: “Menjaga Bung
Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir”.
Di atas telah saya jelaskan bahwa
Bung Karno dan Bung Hatta adalah simbol perjuangan bangsa, simbol persatuan dan
kesatuan bangsa, simbol Republik, dan Bung Sjahrir adalah simbol kedaulatan
rakyat atau simbol demokrasi. Dengan demikian larik-larik yang berbunyi “Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga
Bung Sjahrir” adalah larik-larik figuratif yang menyarankan arti: ”Menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa, atau menjaga persatuan dan kesatuan negara
republik Indonesia sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang
dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta, serta menjaga kedaulatan rakyat atau
menjaga demokrasi di republik yang bertanda nama Indonesia”. Sebab, lantaran
cita-cita luhur itulah para pahlawan kemerdekaan telah rela mempertaruhkan jiwa
raganya sampai berpeluk dengan maut.
“Kami sekarang mayat”
Benar, para pejuang/pahlawan
kemerdekaan, kemenangan dan harapan bangsa yang bertarung di medan laga
Krawang-Bekasi itu sudah lama menjadi mayat. Kini, mereka hanya tinggal
tulang-tulang diliputi debu. Batu-batu nisan di makam-makan pahlawan adalah
potret, betapa mereka sudah berlaga dengan ikhlas dan gagah berani demi
cita-cita proklamasi kemerdekaan. Mereka sudah tiada, namun lewat imajinasi kreatif
Chairil Anwar mereka minta: “Berilah kami
arti”
Hanya itulah permintaan mereka. Permintaan
yang singkat, tetapi padat makna. Seolah-olah dengan permintaan itu mereka mau
katakan kepada kita yang sementara hidup kini dan di sini sebagai generasi
pewaris dan penerus cita-cita perjuangan bangsa: Indonesia merdeka yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945 telah kami perjuangkan dan pertahankan untukmu. Kami
juga sudah punya cita-cita luhur untuk direalisasikan dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Cita-cita luhur itupun
sudah kami pahatkan dan wariskan kepadamu di dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk
semuanya itulah secara singkat kami minta: ”Berilah
kami arti”, dan….“Berjagalah terus di
garis batas pernyataan dan impian”
Ya, Berjagalah terus dan jangan
lengah dalam mempertahankan eksistensi bangsa/negara Indonesia merdeka, bersatu dan
berdaulat, yang telah kami bangun di atas alas Pancasila dan UUD
1945.Berjagalah terus dan jangan lengah dalam setiap upaya untuk mengisi
kemerdekaan. Berjagalah terus dan jangan lengah antara kenyataan dan harapan,
serta harapan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Berjagalah
terus dan jangan lengah di setiap tonggak-tonggak sejarah perkembangan bangsa.
Berjagalah terus dan jangan lengah di dalam menghadapi gelombang dan arus
perkembangan dunia yang kian pesat dan penuh kompleksitas.
“Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi”
Dengan tiga larik sajak yang
terakhir ini Chairil Anwar sekali lagi mau mengajak dan mendorong kita, agar
kita jangan sampai lupa terhadap masa lampau. Sebenarnya, Chairil Anwar tidak
saja mengajak atau mendesak kita untuk mengenang para pejuang/pahlawan bangsa
yang telah mendahului kita ke alam baka, melainkan Chairil Anwar juga mau
mengajak dan mendesak kita untuk senantiasa memiliki kesadaran imajinatif terhadap
sejarah bangsa kita. Sebab pahlawan dan semangat kepahlawanannya, pahlawan dan
cita-cita perjuangannya adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah suatu
bangsa.
Dan memang, suatu bangsa yang mau
hidup terus sebagai bangsa yang utuh dan berkepribadian maka bangsa itu harus
mencari manfaat dari pengalamannya yang paling kaya, yakni dari sejarahnya
sendiri. Ia (bangsa itu) harus mampu membuka diri terhadap masa lampau dan
dapat berkontemplasi dengan peristiwa-peristiwa bersejarah masa lampaunya, sekaligus
mempersiapkan langkah-langkah positif, kritis dan kreatif untuk maju ke masa
depan dengan tatapan mata (pandangan) yang terarah pasti.
Kiranya dapat diakui bahwasanya
banyak nilai yang bisa kita pungut dari sejarah masa lampau demi kebangunan
bangsa, sebab sejarah masa lampau adalah cermin yang mampu merefleksikan pesan
dan kesan yang dapat dijadikan sebagai pedoman maupun peringatan, atau sebagai
sumber inspirasi yang bermanfaat dalam membangun masa depan. Sebab sejarah
telah meninggalkan bekas-bekasnya yang tahan uji, yang di dalamnya tidak saja
terkandung nilai-nilai material yang agung—melainkan juga nilai-nilai spiritual
yang luhur, yang dibina dan dikembangkan oleh mereka yang hidup sebelum kita.
Itulah sebabnya wajar bila kita
sering berkontemplasi dengan sejarah masa lampau (namun jangan sampai terlena),
karena dengan demikian kesadaran imajinatif kita bisa menjalin suatu dialektika
antara kenyataan-kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan, atau antara kenyataan
dan harapan, sehingga kita sebagai bangsa yang sedang membangun suatu masa
depan yang berpengharapan akan bergerak menurut irama atau ritme tertentu yang
berkesinambungan, sehingga tidak mudah mengalami disintegrasi. ***
Daftar Pustaka
Jassin, H. B.
1978. Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45.
Jakarta: PT Gunung Agung..
MacDonald, A. M.
1972 Chambers Twentieth Century
Dictionary.
London: W & R Chambers
Ltd.
Nalenan, Ruben.
1970. “Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Sesudah Proklamasi
17 Agustus 1945”
(Artikel), termuat dalam majalah
KOMUNIKASI. Jakarta.
Nesfield, J.C.
1938. Figures Of Rhetoric. London: MacMillan &
Co.
Pradopo, Rachmat
Djoko.1994. Prinsip-Prinsip Kritik
Sastra.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rosidi, Ajip.
1973.Masalah Angkatan
Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A.1958. Pokok dan Tokoh II. Jakarta: PT Pembangunan.
30 Tahun Indonesia Merdeka (1) 1945 – 1949. Cetakan
keenam tahun 1985.
Hak Cipta
Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Diterbitkan
oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada. Jakarta.
***
A. G. Hadzarmawit Netti
Penulis Buku:
1. Kristen
Dalam Sastra Indonesia, BPK Gunung Mulia 1977;
2.
Kupang Dari Masa Ke Masa, Pemda Kabupaten Kupang
1997;
3.
Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Dan
Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia, B You Publishing Surabaya 2010;
4.
Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi, B
You Publishing Surabaya 2011;
5.
Bilangan Super Dalam Konteks Religi Dan Budaya
Etnis Rote Ndao, B You Publishing Surabaya 2012;
6.
Natal dan Paskah dalam Kontemplasi Penyair, B
You Publishing Surabaya 2013;
7.
TAO Tentang Penyelamatan oleh ALLAH Melalui
Kelahiran,Kematian, dan Kebangkitan YESUS, B You Publishing Surabaya
2014;
8.
Gerakan Cinta Hari Esok Kabupaten Timor Tengah
Utara Memasuki Abad ke-21, Hanfed Institut Jakarta 2015;
9.
Petualangan Nelayan Tradisional Indonesia ke
Perairan Australia dan Pulau Pasir dari Masa ke Masa, B You Publishing Surabaya
2017
Alamat Domisili: Jl. Kesekrom No 1 Naikolan, Kupang,
Prov. NTT.
Mobile Phone: +6282339419871.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar