(Oleh: A. G.
Hadzarmawit Netti)
Judul tulisan ini saya angkat dari judul sajak karya
Hans Ch. Louk yang diturunkan dalam Tajuk Harian Independen NTT Ekspres edisi Sabtu, 23 Desember
2000. Sajak tersebut saya angkat untuk dikaji bukan lantaran faktor pencapaian
nilai keindahan strukturnya yang memuaskan dan/atau tidak memuaskan, melainkan
lantaran faktor nosi dan emosi imajinatifnya yang aktual dan relevan dengan
konteks kehidupan kita sebagai bangsa yang hingga kini masih terus dikungkung
berbagai kemelut. Apa kata Hans Ch. Louk dalam sajak berjudul Sekadar Bertanya itu?
“Ada Natal,
ada Idul Fitri/ Ada Tahun Baru, ada Milenium Baru/ Ada Nyepi, ada Waisak, ada
Imlek/ Ada aku, ada kau, ada kamu.”
“Ada
penguasa, ada pesuruh/ Ada pengusaha, ada buruh/
ada pedagang, ada petani/ Ada
aku, ada kau ada kamu.”
“Ada yang
melayang, ada yang berjalan kaki/ Ada yang di
hotel, di gedung, di gubuk, di tenda/ Ada yang
kenyang, ada yang busung lapar/ Ada
aku, ada kau, ada kamu.”
“Ada yang
Berkeringat, ada yang ongkang-ongkang/ Ada yang
pangkutangan, ada yang bantingtulang/ Ada yang
berutang, ada yang mau gampang/ Ada
aku, ada kau, ada kamu.”
“Ada yang
berebut kursi, pangkat, jabatan/ Ada yang menuduh, memfitnah, plin-plan/ Ada
yang tekun, telaten, teladan/ Ada aku, ada kau, ada kamu.”
“Ada Flores,
ada Sumba, ada Timor, ada Alor/ Ada Jawa, Ada Batak, Ada Minang, ada Bali, Ada
Sasak/ Ada Bugis, ada Ambon, ada Irian/ Ada aku, ada kau, ada kamu/ Siapa aku,
siapa kau, siapa kamu, siapa kita.”
Melalui sajak ini Hans Ch. Louk melukiskan kemajemukan
realitas matriks-matriks kehidupan, yang di dalamnya manusia sebagai ada yang meng-ada di tengah-tengah waktu senantiasa bergumul dengan aneka
masalah dan tantangan demi pemenuhan hasrat kodratinya: kehausan akan
kebahagiaan. Namun ironisnya, manusia tidak selamanya keluar sebagai pemenang
yang mengatasi. Manusia sering terperangkap dan menyadari eksistensinya sebagai
yang terdampar, tersingkir, dan terkungkung dalam aneka realitas
matriks-matriks kehidupan. Akibatnya, manusia sebagai ada yang meng-ada dalam konteks “aku ada, kau ada, kamu ada yang
seharusnya merelasi secara bebas dan
bertanggung jawab di dalam konteks kita
ada yang inklusif, terjebak dan terperangkap dalam konteks ada aku, ada kau,
ada kamu yang eksklusif”.
Apa yang dikatakan di atas inilah yang tersirat di
dalam sajak Hans Ch. Louk sebagaimana dikutip di atas. Bait pertama melukiskan
tentang eksklusivisme keagamaan: “Ada
aku, ada kau, ada kamu” dalam matriks eksklusivisme keagamaan senantiasa
bercorak “dari, oleh, dan untuk dirinya (agamanya) sendiri.”
Bait kedua melukiskan tentang eksklusivisme dalam
matriks-matriks profesi dan status sosial; bait ketiga melukiskan tentang
eksklusivisme dalam matriks-matrik tingkat kelayakan dan kepantasan hidup
insani: kemewahan dan kemelaratan, keberuntungan dan kemalangan. Bait keempat dan
bait kelima melukiskan tentang kebusukan mentalitas manusia dalam dunia kerja
dan pengabdian. Dan bait keenam larik pertama sampai larik ketiga melukiskan
tentang eksklusivisme dalam matriks-matriks kesukuan.
Dalam kemajemukan realitas matriks-matriks kehidupan
tersebut “ada aku, ada kau, ada kamu” menyiratkan naluri dan semangat egoisme
sempit: “dari, oleh, dan untuk diri sendiri (kelompok sendiri, golongan
sendiri, suku sendiri)”. Atas dasar itulah Hans Ch. Louk mengakhiri sajak yang
digubahnya itu dengan larik yang berbunyi: “Siapa
aku, siapa kau, siapa kamu, siapa kita.” Nosi dan emosi yang tersirat dalam larik
inilah yang menentukan mengapa sajak itu diberi judul Sekadar
Bertanya.
Ya, “Siapa aku,
siapa kau, siapa kamu, siapa kita.” Larik ini dibangun dalam majas Interogasi. Dengan larik yang bermajas Interogasi ini, penyair mengarahkan
perhatian kita kepada persoalan eksklusivisme sebagaimana diungkapkan dalam
sajaknya itu untuk kita renungkan dan pecahkan. Siapa aku, siapa kau, siapa
kamu yang hidup tanpa relasi dalam dunia kehidupan ini? Tidak ada. Setiap aku,
kau, dan kamu, hanya akan dapat mengembangkan dirinya secara baik dan memuaskan
dalam relasi dengan orang lain sebagai sesamanya. Dengan demikian, setiap aku,
kau, dan kamu didorong untuk secara ikhlas mengenal “who’s who” seperti kata
Shakespeare: “mengenal dan menerima kehadiran, keterlibatan, peranan dan
pengaruh setiap insan yang ada di sekelilingnya dengan tidak membeda-bedakan
atau mempertentangkan latar belakang asal-usul, golongan, agama, maupun suku”
(A.M. Macdonald. Chambers Twentieth
Century Dictionary, 1972:1557).
Analis atau pengamat sastra (puisi) yang secara kaku
berpegang pada teori-teori sastra (puisi) pasti akan menggolongkan sajak Sekadar Bertanya karya Hans Ch. Louk
yang saya kutip di atas ini sebagai puisi mbeling,
karena sajak ini kelihatannya hanya merupakan sebuah pengungkapan kesan
sekilas mengenai fakta kehidupan secara lugas; apalagi penggunaan kata ada di dalam sajak ini terdapat sebanyak
57 kali, yang dalam sastra Inggris dapat
disebut dengan istilah “redundancy” (kelewat banyak; mubazir).
Namun perlu dicatat di sini bahwa keberhasilan sebuah
sajak tidak melulu dan tergantung pada kata. Melainkan keberhasilan sebuah
sajak ditentukan oleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: (a) apakah sajak
tersebut mencerminkan adanya pendalaman masalah yang menjadi nosi dan emosi
penyairnya; (b) apakah sajak tersebut menyuratkan dan/atau menyiratkan wawasan
cipta sang penyair secara padu; (c) apakah sajak tersebut menyuratkan dan/atau
menyiratkan keterlibatan sang penyair secara intens dan luas dengan
masalah-masalah manusia dan kemanusiaan; dan (d) apakah pencapaian estetik sang
penyair dalam karya sajaknya itu betul-betul personal.
Jawaban atas keempat untaian pertanyaan di atas ini
tersurat dan tersirat di dalam sajak Sekadar
Bertanya karya Hans Ch. Louk. Masalah/persoalan utama yang sangat urgen
yang menjadi nosi dan emosi imajinatif Hans Ch. Louk dalam sajak Sekadar Bertanya yaitu masalah/persoalan
eksklusivisme. Ya, masalah/persoalan eksklusivisme yang menggejala dan
mengental di dalam berbagai matriks kehidupan, bukan saja dalam ruang lingkup
kedaerahan, melainkan dalam ruang lingkup nasional.
Berkenaan
dengan masalah/persoalan eksklusivisme inilah, Hans Ch. Louk menyodorkan kepada
kita sebagai ada yang meng-ada (baik sebagai anak-anak daerah
maupun sebagai anak-anak bangsa) seuntai pertanyaan: “Siapa aku, siapa kau, siapa kamu, siapa kita” untuk kita renungkan bersama. Dengan larik
yang bermajas Interogasi ini kita
digugah untuk hadap diri, agar tahu diri, dan terima diri di dalam membangun
kebersamaan.
Ya, setiap aku, kau, dan kamu, harus merasa terpanggil
untuk membangun ke-kita-an: yang
bersifat atau berciri kita; yang mengutamakan kesatuan perasaan dan pikiran
antara kita; yang memupuk dan mengembangkan sifat mementingkan kebersamaan
dalam menanggung suka duka (saling membantu, saling menolong, saling
menghiraukan). Ya, ke-kita-an, yang menjunjung paham yang berciri pada
kepentingan bersama: memperjuangkan dan mewujudkan commune bonum (kebaikan umum). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar