Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Selasa, 16 Februari 2016

Tentang Penciptaan, Taman Eden, Adam Dan Hawa (Tanggapan Terhadap Ioanes Rakhmat) Bagian II


Oleh: A. G.Hadzarmawit Netti

 
Gambar: jawaban.com
Catatan pengantar
Ioanes Rakhmat dalam bukunya (2013:202-207) menyindir habis-habisan orang beragama yang menjunjung kisah penciptaan, taman Eden, Adam, dan Hawa sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama (kitab Kejadian). Kisah penciptaan (Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4a); Taman Eden, Adam, dan Hawa (Kejadian 2:8-25; 3:1- 24) merupakan mitos, dongeng, fiksi teologis, yang direndahkan sampai pada taraf tak bermakna yang patut disingkirkan. Hal ini ia lakukan dengan terlalu nekat karena ia telah menjadi seorang agnostik dan/atau ateis, serta mengambil posisi konflik abadi dengan agama yang semula dianutnya.

Akan tetapi kenekatan Ioanes Rakhmat merendahkan dan menafikan mitos, fiksi teologis tentang kisah penciptaan, Taman Eden, Adam dan Hawa yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian, sesungguhnya  sangat konyol. Mengapa saya katakan kenekatan Ioanes Rakhmat sangat konyol? Sebab, di bagian lain dari bukunya, Ioanes Rakhmat berkata begini: “Teologi ternyata juga memerlukan dan memang memakai fiksi-fiksi atau kisah-kisah imajinatif sebagai wahana-wahana sastra komunikatif untuk menyampaikan pesan-pesannya. Fiksi juga menyandang suatu nilai religius. Dengan fiksi juga, orang dapat membuat banyak hal dalam dunia ini make sense, bermakna, dapat dimengerti dan masuk ke dalam akalnya. Fiksi memang bisa membangun suatu moralitas yang bagus pada diri seorang beragama, dan bisa juga membuatnya lebih berhikmat, imajinatif, berbahagia dan terhibur dalam arti-arti tertentu, dan dapat membantunya masuk ke dalam berbagai pengalaman religius yang diproses dalam organ otak manusia.” (2013:52).


Jikalau Ioanes Rakhmat mengakui manfaat fiksi-fiksi atau kisah-kisah imajinatif dalam teologi sebagaimana dikutip di atas ini, mengapa Ioanes Rakhmat begitu nekat menafikan kisah (mitos) tentang penciptaan, Taman Eden, Adam, dan Hawa sebagaimana diwedarkannya dalam bukunya (2013:202 – 207)? Apakah kisah tentang penciptaan, Taman Eden, Adam, dan Hawa tidak mengandung nilai-nilai religius dan tidak menyampaikan pesan-pesan moral? Rupanya Ioanes Rakhmat mengalami suatu gangguan mental-psikologis yang berat ketika mulai menjadi seorang agnostik dan/atau ateis yang mengambil posisi konflik abadi dengan agama yang dianutnya semula.

Berkenaan dengan kisah (mitos) tentang penciptaan maupun fiksi atau kisah imajinatif tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa dalam kitab Kejadian, saya ingin merangsang otak Ioanes Rakhmat dengan wedaran-wedaran yang saya kemukakan di bawah ini. Mudah-mudahan setelah membaca wedaran ini, kondisi kerja otak Ioanes Rakhmat bisa normal kembali, sehingga lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak kanannya bisa menjadi sinkron dan harmonis memberikan kesadaran, bahwa mitos tentang penciptaan dalam kitab Kejadian, kisah-kisah  imajinatif atau fiksi-fiksi teologis, mengandung nilai-nilai kebenaran deskriptif demi kearifan yang melampaui kebenaran instruksional demi kecekatan.

Tentang Kejadian 1:1-2:1-4a
Pada tahun 2012 salah satu buku saya yang sangat sederhana berjudul, BILANGAN SUPER Dalam Konteks Religi dan Budaya Etnis Rote Ndao diterbitkan oleh B You Publishing Surabaya. Dalam buku tersebut saya uraikan tentang bilangan super 3, 6, 9, yang, filosofis, merupakan pangkal adanya bilangan 1, 2, 4, 5, 7, 8. Bagaimana menjelaskan adanya bilangan super 3, 6, 9 ini?

Mengenai bilangan super 3, 6, 9, dapat dijelaskan sebagai berikut: 3 tidak perlu dijumlahkan dengan 6, atau 6 tidak perlu dijumlahkan dengan 3 sebab hasil penjumlahannya, 9, sudah ada.  Demikian pula 9 tidak perlu dikurangi 6 sebab hasil pengurangannya, 3, sudah ada; dan juga 9 tidak perlu dikurangi 3 sebab hasil pengurangannya, 6, sudah ada. Selanjutnya, 9 tidak perlu dibagi 3 sebab hasil pembagiannya, 3 sudah ada; dan 3 tidak perlu dikalikan dengan 3 karena hasil perkaliannya, 9, sudah ada. Bilangan super yang dapat dibagi untuk memperoleh bilangan baru hanyalah 6 dibagi 3, yang hasil pembagiannya ialah 2.  Dengan hadirnya bilangan 2 yang diperoleh dari hasil pembagian 6 : 3, maka bilangan-bilangan lain dapat diperoleh dalam suatu harmoni susunan sebagai berikut: 3 – 2 = 1; sehingga tersusunlah bilangan 1, 2, 3. Kemudian, 3 + 1 = 4; 3 + 2 = 5; sehingga tersusunlah bilangan 1, 2, 3, 4, 5, 6. Setelah itu, 3 + 4 = 7 dan 3 + 5 = 8; sehingga tersusunlah bilangan-bilangan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, secara harmonis yang dikenal sebagai bilangan pokok.

Dari manakah saya peroleh pengetahuan bahwa bilangan 3, 6, 9  itu adalah bilangan super?  Jawabnya singkat dan tegas: bukan dari Higgs Boson dan/atau supernovae atau orang-orang yang mendewakan Higgs Boson dan/atau supernovae; dan bukan pula dari Pythagoras maupun orang-orang Pythagorean; melainkan saya peroleh dari kredo demi kearifan yang diwedarkan dalam kitab Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4. Apabila dunia diibaratkan sebagai pentas tempat manusia dan semua makhluk ada dan berlakon, masing-masing dengan caranya, maka pada tiga (3) hari pertama ALLAH  menjadikan pentas dan dekorasinya yang kelak bermanfaat dan menunjang manusia dan semua makhluk hidup yang berlakon di atasnya. Dan pada tiga (3) hari kedua  barulah ALLAH  menjadikan para pelaku (makhluk-makhluk hidup dan manusia) yang akan menghuni dan berlakon di pentas kehidupan yang telah dibuat oleh ALLAH.  Di samping itu, dalam penciptaan ada tiga (3) macam pemisahan, dan tiga (3) macam penguasa, yang dapat diuraikan sebagai berikut.

Pada hari pertama, ALLAH memisahkan terang dari gelap. Terang itu dinamai siang, dan gelap itu malam (1:4), sejajar dan saling isi-mengisi dan jalin-menjalin dengan hari keempat, ALLAH menjadikan benda penerang yang besar (matahari) untuk menguasai siang, dan benda penerang yang lebih kecil (bulan) untuk menguasai malam, dan juga bintang-bintang pada cakrawala (1:14-18).

Pada hari kedua, ALLAH  memisahkan air yang ada di bawah cakrawala dari air yang ada di atasnya, dan cakrawala itu dinamai langit (1:7), sejajar dan saling isi-mengisi dan jalin-menjalin dengan hari kelima, ALLAH  menjadikan makhluk yang hidup berkeriapan dalam air, burung beterbangan di atas bumi melintasi cakrawala, binatang-binatang laut yang besar, segala makhluk hidup yang bergerak (1:20-21).

Pada hari ketiga, ALLAH  memisahkan darat yang kering dari air (laut) lalu menjadikan tumbuh-tumbuhan yang berbiji, pohon-pohon yang menghasilkan buah (1:9-12), sejajar dan saling isi-mengisi dan jalin-menjalin dengan hari keenam, ALLAH  menjadikan binatang ternak dan binatang liar dan segala jenis binatang melata di muka bumi, setelah itu ALLAH menjadikan manusia (laki-laki dan perempuan) untuk menguasai bumi, dan semua makhluk lain yang hidup (1:24-27). Kesejajaran dan saling isi-mengisi serta jalin-menjalin antara penciptaan pada hari ketiga dan hari keenam dapat dibaca pada ayat 29-30.

Dari uraian di atas terlihat dengan jelas keteraturan dan harmoni susunan eksistensi bilangan super tiga (3) dan (6) secara konsisten dalam kisah penciptaan langit dan bumi serta segala isinya yang dilakukan oleh ALLAH. Dalam kisah penciptaan itu pula terdapat tiga (3) intensitas pernyataan/penegasan yang berbunyi: “ALLAH  melihat bahwa terang itu baik”; “ALLAH melihat bahwa semuanya itu baik”; dan ALLAH melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”. Tiga intensitas pernyataan ini terdapat dalam tujuh (7) ayat (1:4, 10, 12, 18, 21, 25, 31). Dan tiga intensitas pernyataan yang terdapat dalam tujuh ayat tersebut terkait erat dan tak terpisahkan dari sembilan (9) pernyataan yang berbunyi: “Berfirmanlah ALLAH…”   yang terdapat dalam sembilan (9) ayat (1:3, 6, 9, 11, 14, 20, 24, 26, 29).

Lebih lanjut, perhatikanlah keteraturan dan harmoni susunan bilangan super 3, 6, 9 dalam enam (6) hari penciptaan berdasarkan patokan pola dasar perkalian sebagai berikut: Hari pertama (bilangan pokoknya, 1): 3 x 1 = 3; 6 x 1 = 6; 9 x 1 = 9. Hari kedua (bilangan pokoknya, 2): 3 x 2 = 6; 6 x 2 = 12 (1 + 2) = 3; 9 x 2 = 18 (1 + 8) = 9. Hari ketiga (bilangan pokoknya, 3): 3 x 3 = 9; 6 x 3 = 18 (1 + 8) =9; 9 x 3 = 27 (2 + 7) = 9. Hari keempat (bilangan pokoknya, 4): 3 x 4 = 12 (1 + 2) = 3; 6 x 4 = 24 (2 + 4) = 6; 9 x 4 = 36 (3 + 6) = 9. Hari kelima (bilangan pokoknya, 5): 3 x 5 = 15 (1 + 5) = 6; 6 x 5 = 30 (3 + 0) = 3; 9 x 5 = 45 (4 + 5) = 9. Hari keenam (bilangan pokoknya, 6): 3 x 6 = 18 (1 + 8) = 9; 6 x 6 = 36 (3 + 6) = 9; 9 x 6 = 54 (5 + 4) = 9.

Berdasarkan hasil kerja di atas ini saya mencatat keteraturan dan harmoni susunan bilangan super 3, 6, 9, yang merupakan hasil perkalian dengan bilangan pokok hari-hari penciptaan sebagai berikut:  Hari pertama memiliki susunan hasil perkalian bilangan super 3, 6, 9 yang sama dengan hari keempat. Hari kedua memiliki susunan hasil perkalian bilangan super 6, 3. 9 yang sama dengan hari kelima. Hari ketiga memiliki susunan hasil perkalian bilangan super 9, 9, 9 yang sama dengan hari keenam. Dan pada hari ketujuh (bilangan pokoknya, 7), ALLAH menyelesaikan pekerjaan yang dibuat-Nya memiliki keteraturan dan harmoni bilangan super sebagai berikut: 3 x 7 = 21 (2 + 1) = 3; 6 x 7 = 42 (4 + 2) = 6; 9 x 7 =63 (6 + 3) = 9. Kenyataan ini memberi petunjuk bahwa bilangan super 3 dan 6 sebagai lambang keteraturan dan harmoni dasar berperan dalam saling isi-mengisi dan memberi makna di dalam membangun serta mewujudkan keteraturan dan harmoni yang sempurna, yang dilambangkan oleh bilangan super 9.

Memperhatikan hasil analisis sederhana di atas ternyata ALLAH yang diimani dan disembah oleh orang-orang beragama itu sungguh mahabesar dan mahakuasa; ALLAH pencipta yang diimani dan disembah oleh orang-orang beragama itu sungguh sebagai perancang mahacerdas. “Pada mulanya bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya,” (1:2);   Roh ALLAH  melayang-layang di atas permukaan air” (1:2), setelah itu ALLAH berfirman dalam proses penciptaan, maka terciptalah segala sesuatu yang dikisahkan dalam matriks enam (6) hari penciptaan. Pada Kejadian 1:2 itu pun ALLAH sebagai Pencipta dicitrakan dalam 3 citra, yaitu: ALLAH; ROH (ALLAH); dan FIRMAN (ALLAH).  

Ya, ALLAH yang diimani dan disembah oleh orang-orang beragama jauh lebih perkasa dari supernovae yang diagungkan oleh Ioanes Rakhmat yang berkata: “Tanpa supernovae, tak ada kehidupan apapun dalam jagat raya kita. Tanpa bintang-bintang yang meledak, tak kan ada komponen-komponen dasariah molekul DNA. Tanpa DNA, tak akan ada bentuk kehidupan apapun dalam jagat raya” (IR, 2013:203); dan “tanpa Higgs Boson, tak akan ada materi massif dan kohesif dalam jagat raya, dus jagat raya tak akan terbentuk, juga tubuh anda dan kancing-kancing baju anda, dan, maaf, dua puting susu anda” (IR, 2013:118). Demikianlah pemuliaan yang Ioanes Rakhmat rumuskan untuk yang diimaninya: supernovae dan/atau Higgs Boson.

Berkenaan dengan Kejadian 1:1-2:4a yang saya analisis di atas, Ioanes Rakhmat (2013:328, 329), berkata begini: “Jika analisis internal atas kisah penciptaan langit dan Bumi selama 6 hari dalam Kejadian 1:1-2:4a dilakukan, kita akan menemukan informasi-informasi yang tak sesuai dengan fakta-fakta sains, sehingga kita harus menyimpulkan kisah ini bukan kisah sejarah. Beberapa kejanggalan yang menonjol dapat disebutkan. Dalam kisah itu (sampai ayat 13), ‘hari pertama’, ‘hari kedua’ dan ‘hari ketiga’ yang ditetapkan berdasarkan tibanya ‘petang’ dan tibanya ‘pagi’, sudah ada kendatipun Matahari baru diciptakan pada ‘hari keempat’ (ayat 14-19). Kejanggalan lainnya ada pada pernyataan bahwa tetumbuhan sudah ada dan hidup, tumbuh, bertunas dan berbuah, pada ‘hari ketiga’ (ayat 11-12), sementara Matahari yang cahayanya dibutuhkan untuk proses fotosintesis baru ada pada ‘hari keempat’ (ayat 14-18)…”

Analisis berdasarkan metode penulisan ilmu demi kecekatan yang lazim dalam penelitian dan penulisan sains modern seperti yang dilakukan oleh Ioanes Rakhmat atas Kejadian 1:1-2:4a sebagaimana dikutip di atas ini, memang kelihatan benar pada permukaannya. Kelihatannya terdapat kejanggalan-kejanggalan seperti yang ditunjukkan oleh Ioanes Rakhmat. Akan tetapi, analisis berdasarkan kredo demi kearifan, sebagaimana telah saya lakukan guna melihat kesejajaran informasi yang saling terkait, isi-mengisi dan jalin-menjalin di antara hari-hari penciptaan antara ‘hari pertama’ dengan ‘hari keempat’, ‘hari kedua’ dengan ‘hari kelima’ dan ‘hari ketiga’ dengan hari keenam’ yang dibuktikan dengan kesamaan urutan bilangan super: 3, 6, 9 (hari pertama dan hari keempat); 6, 3, 9 (hari kedua dan hari kelima); 9, 9, 9 (hari ketiga dan hari keenam) sungguh sangat menakjubkan dan menggugah perhatian, sebab kenyataan ini membuktikan bahwa otak penulis Kejadian 1:1-2:4a dituntun oleh  kuasa ilahi yang bersumber dari ALLAH, mengutamakan keteraturan dan harmoni yang tersirat di dalam cetak biru penciptaan oleh ALLAH. Dalam pewedaran tentang penciptaan, penulis kitab Kejadian melakukan inversi pada wedaran penciptaan hari pertama dan penciptaan hari keempat. yang tidak dipahami oleh Ioanes Rakhmat. Sebab inversi yang dilakukan oleh penulis kitab Kejadian itu hanya dapat dipahami oleh orang beragama yang memiliki kearifan, atau orang-orang yang kondisi kerja otaknya normal, di mana lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak kanan bekerja secara sinkron dan harmonis!

Pada pihak lain, Ioanes Rakhmat benar, ketika menyimpulkan bahwa kisah Kejadian 1:1-2:4a ditulis dalam suatu kebudayaan yang sudah mengenal sistem penanggalan yang membagi 1 minggu ke dalam 7 hari, yang dipakai sebagai bingkai kisah tentang Allah menciptakan langit dan Bumi selama 6 hari, dengan ‘hari ketujuh’ (Ibrani: Sabath) sebagai saat Allah ‘berhenti’ dari segala kegiatannya (2:2-3)”. Hal ini pun telah saya uraikan di atas. Tetapi, Ioanes Rakhmat salah apabila mengatakan bahwa dalam kisah ini muncul enam pernyataan bahwa segala hal yang Allah telah kerjakan dalam hari-hari penciptaan, ‘semuanya baik adanya’ (ayat 10, 12, 18, 21, 25, 31); sebab yang sebenarnya, ada tiga intensitas pernyataan “baik” berkenaan dengan karya penciptaan ALLAH yang terdapat dalam tujuh (7) ayat, yakni: [1] “Allah melihat bahwa terang itu baik” (1:4); [2] “Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (1:10, 12, 18, 21, 25); dan [3] “Allah melihat segala yang dijadikannya itu, sungguh amat baik (1:31).

Selain itu, Kejadian 1:1-2:4a sesungguhnya bukan syahadat Yahudi sebagaimana dikatakan oleh Ioanes Rakhmat, melainkan kredo Yahudi. Alasannya, kata syahadat artinya [1] persaksian (perihal bersaksi); [2] Isl. Persaksian dan pengakuan (ikrar) yang benar, diikrarkan dengan lisan dan dibenarkan dengan hati bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah. Sedangkan kredo artinya, pernyataan kepercayaan, atau pernyataan keyakinan, dan dasar tuntunan hidup. Dengan demikian, Kejadian 1:1-31 dan 2;1-4a itu merupakan wedaran pernyataan kepercayaan, atau wedaran pernyataan keyakinan, dan dasar tuntunan hidup umat Yahudi yang percaya akan ALLAH sebagai pencipta langit dan bumi serta segala isinya, termasuk manusia, yang mereka [umat Yahudi] imani dan sembah.

Demikianlah Kejadian 1:1-31 dan 2:1-4a itu semestinya diarifi, karena ia adalah kredo demi kearifan, yang mengandung kebenaran deskriptif, yaitu kebenaran yang bersifat menguraikan sesuatu secara jelas dan terperinci apa adanya berdasarkan iman/kepercayaan; bukannya suatu laporan hasil penelitian ilmiah demi kecekatan  yang mengandung kebenaran instruksional, yaitu kebenaran eksak yang dapat diukur dan dibuktikan detail-detailnya berdasarkan teori-teori sains modern.

Berkenaan dengan bilangan super 3, 6, 9 yang tersirat dalam enam hari penciptaan dan hari penyelesaian pekerjaan yang dilakukan oleh ALLAH yaitu hari ketujuh, maka bilangan super 3, 6, 9 itu pun ALLAH sangat utamakan dan siratkan  dalam cetak biru karya penebusan/penyelamatan-Nya melalui Yesus. Dalam Markus 15:25 dikatakan bahwa, “Pada jam sembilan pagi Yesus disalibkan.”  Dalam teks Yunani, transkripsinya berbunyi, ēn de hōra tritē kai estaurōsan auton. [Teks Indonesia jam sembilan, merupakan terjemahan kontekstual dari teks Yunani hōra tritē, yang secara harafiah berarti jam ketiga]. Pada Markus 15:23 (Matius 27:45; Lukas 23:44) dikatakan bahwa, “Pada jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga”. Dalam teks Yunani, transkripsinya berbunyi, Kai genomenēs hōras hektēs stokos egeneto eph holēn tēn gēn hōras enatēs. (Teks Indonesia jam dua belas merupakan terjemahan kontekstual dari teks Yunani hōras hektēs, yang secara harafiah berarti jam keenam; dan teks Indonesia  jam tiga merupakan terjemahan kontekstual dari teks Yunani hōras enatēs, yang secara harafiah berarti jam kesembilan).

Perlu kiranya Ioanes Rakhmat insaf bahwa bilangan super 3, 6, 9 yang tersirat dalam cetak biru karya penciptaan dan karya penyelamatan sebagaimana diuraikan di atas ini bukan diatur oleh Higgs Boson dan/atau supernovae yang Ioanes Rakhmat puja dan agung-agungkan, melainkan ditata oleh ALLAH yang diimani di dalam Yesus Kristus. Dan, selain itu,  keberadaan bilangan super 3, 6, 9, tidak dapat disadari dan direnungkan oleh kera-kera besar simpanse dan bonobo, melainkan hanya dapat disadari dan direnungkan oleh manusia yang memiliki  kesadaran dan penyadaran diri, karena  nesyama” dan/atau  nismat hayyim (napas hidup) yang ALLAH berikan kepada manusia.

. Untuk mengetahui selengkapnya tentang eksistensi bilangan super 3, 6, 9 sebagai suatu realitas transenden, baca saja buku saya, Bilangan Super Dalam Konteks Religi dan Budaya Etnis Rote Ndao (B You Publishing Surabaya, 2012:9 – 36).

Taman Eden, Adam, dan Hawa
Lalu, bagaimanakah dengan Taman Eden, Adam, dan Hawa? Sekali lagi saya ulangi di sini bahwa Ioanes Rakhmat dalam bukunya (2013:202-207) menyindir habis-habisan orang beragama yang menjunjung kisah taman Eden, serta Adam dan Hawa sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama (kitab Kejadian). Akan tetapi pada bagian lain, Ioanes Rakhmat berkata: “Teologi ternyata juga memerlukan dan memang memakai fiksi-fiksi atau kisah-kisah imajinatif sebagai wahana-wahana sastra komunikatif untuk menyampaikan pesan-pesannya. Fiksi juga menyandang suatu nilai religius. Dengan fiksi juga, orang dapat membuat banyak hal dalam dunia ini make sense, bermakna, dapat dimengerti dan masuk ke dalam akalnya. Fiksi memang bisa  membangun suatu moralitas yang bagus pada diri seseorang beragama, dan bisa juga membuatnya lebih berhikmat, imajinatif, berbahagia dan terhibur dalam arti-arti tertentu, dan dapat membantunya masuk ke dalam berbagai pengalaman religius yang diproses dalam organ otak manusia…” (2013:52).

Pernyataan Ioanes Rakhmat sebagaimana dikutip di atas ini benar sekali, dan sepatutnya Ioanes Rakhmat menunjukkan toleransinya. Namun anehnya, Ioanes Rakhmat mengejek dan menafikan kisah tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa; bahkan ALLAH  yang dilukiskan secara anthropomorf  diejek pula.  Bagi Ioanes Rakhmat, kisah tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa, serta ALLAH yang dilukiskan secara anthropomorf adalah dongeng sepenuh-penuhnya yang lucu dan tak bermanfaat (2013:202-207).

Taman Eden, artinya Taman Kesenangan; Taman Kenikmatan; Taman Kesukaan yang sangat besar; Taman tempat Adam dan Hawa hidup menurut kisah kitab Kejadian. Terlepas dari dongeng, fiksi, dan mitos, setiap orang, kini dan di sini, kapan pun dan di mana pun, senantiasa berharap dan rindu untuk hidup dalam suatu lingkungan hidup yang penuh kesenangan, kesukaan, kenikmatan, bahagia. Tetapi untuk dapat menikmati kehidupan seperti itu, setiap orang harus hidup sesuai dengan rambu-rambu yang ditentukan atau ditetapkan. Berdasarkan uraian singkat ini, maka Taman Eden yang dikisahkan dalam kitab Kejadian punya pesan dan nilai moral serta nilai religius yang tidak sepatutnya Ioanes Rakhmat ejek dan nafikan.

Adam (Ibrani, adam), manusia pertama [maskulin] yang diciptakan (dijadikan) oleh  ALLAH. Adam dijadikan dari debu tanah (Ibrani, adamah). Demikianlah “cara/tahap pertama” ALLAH  bekerja dengan mempergunakan bahan, unsur, atau zat (pelikan) ketika menciptakan manusia. Kemudian, ALLAH menghembuskan “napas hidup” (Ibrani, nesyama, atau nismat hayyim) ke dalam hidung tubuh manusia yang ALLAH bentuk (jadikan) itu. Ini merupakan “cara/tahap kedua ALLAH melakukan pekerjaan-Nya dalam menciptakan manusia. Dan, sebagai hasil (akibat) dari “menyatunya napas hidup yang dihembuskan ALLAH  dengan “tubuh manusia yang dibentuk dari debu tanah itu”,  terjadilah “suatu kehidupan yang sama sekali baru, atau sama sekali lain”, yaitu: “manusia (yang semula dibentuk dari debu tanah itu)” menjadi “makhluk yang hidup” (Ibrani, nefes hayya). Dengan demikian, “manusia sebagai makhluk yang hidup” (nefes hayya) adalah sintesis dari pemberian “napas hidup” (nesyama, atau nismat hayyim)  dari ALLAH “ dengan “tubuh material (yang dibentuk dari debu tanah)”. Manusia (Kejadian 2:7) sebagai “makhluk yang hidup” (nefes hayya), sama dengan “makhluk yang hidup” (nefes hayya) lainnya (Kejadian 1:20,21,24, dyb) karena tubuh materialnya berasal dari pelikan. Akan tetapi “makhluk yang hidup” (nefes hayya) yang disebut manusia lebih tinggi martabatnya dari “makhluk yang hidup” (nefes hayya) lainnya, karena manusia, secara khusus, diberikan “napas hidup” (nesyama, atau nismat hayyim) oleh ALLAH.

Hawa (Ibrani, khawwa), adalah perempuan pertama [ibu semua yang hidup] dan istri dari laki-laki Adam. Dalam kitab Kejadian 2:21,22, dikisahkan bahwa Hawa dijadikan dari salah satu rusuk Adam. Terlepas dari dongeng, fiksi, dan mitos, kisah penciptaan Hawa yang dilakukan oleh ALLAH  dari salah satu rusuk Adam menyiratkan makna simbolik suatu “pembedahan [operasi] fisik yang murni”. Setiap laki-laki memiliki ‘bayangan’ personalitas  keperempuanan yang berfungsi untuk mengimbangi kodrat kelaki-lakiannya yang dominan. Dengan demikian, asal Hawa dari salah satu rusuk Adam menyarankan secara simbolis pemisahan gabungan dua jenis kelamin yang pada mulanya ada pada Adam. Kejadian 2:21 yang berbunyi: “Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging”, secara simbolis menyarankan “pembiusan yang dilakukan terhadap seseorang ketika hendak dilakukan pembedahan [operasi]”. Kemudian, ayat 22 yang  berbunyi: “Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-nya kepada manusia itu”; bukankah ayat ini secara simbolis menyarankan teknik “clone hypodermic” sebagaimana dilakukan  oleh Dr. Jerry Hall pada tahun 1994?

Selanjutnya, camkanlah pernyataan Adam, ketika ALLAH membawa  Hawa kepadanya: “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku…” (ayat 23). Bukanlah pernyataan ini menyiratkan pesan kemanunggalan laki-laki dan perempuan serta kesetaraan perempuan dan laki-laki?  

Ayat 24 dan 25 memberi petunjuk secara jelas bahwa relasi Adam dan Hawa di Taman Eden adalah relasi suami dan istri.   Dengan demikian, Adam dan Hawa (dalam relasi sebagai suami dan istri) niscaya melaksanakan fungsi kesuami-istrian, namun penulis kitab Kejadian tidak mewedarkan hal-hal yang bertalian dengan pelaksanaan fungsi kesuami-istrian, maupun “rangsangan seksual, berahi, dan lain-lain, termasuk pusar, seperti yang disindir oleh Ioanes Rakhmat” (2013:41, 205), karena hal-hal tersebut bukan merupakan ide sentral yang harus diuraikan.

Demikianlah warna kehidupan Adam dan Hawa di Taman Eden: “And the man and his wife were both naked, and were not ashamed” (RSV). Berkenaan dengan ayat ini, saya mau katakan begini: “And the man and his wife were both naked, and they were quite without shame” (Dan laki-laki dan istrinya, keduanya telanjang, dan mereka tanpa perasaan malu sama sekali)”. Mengapa? Karena keduanya masih suci, bersih, belum ada noda, belum berdosa. Pikiran dan suara hati mereka belum tercemar.  Pada saat keduanya jatuh ke dalam dosa, barulah keduanya insaf bahwa keduanya telanjang, dan berupaya menutupi ketelanjangan mereka (Kejadian 3:7).

Dosa (Ibrani, khattat; khata) adalah “moral offence especially from the point of view of religion” (pelanggaran moral, penyimpangan moral, atau kejahatan moral terutama dari sudut pandang agama). Inilah dosa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa terhadap ALLAH dan diri mereka sendiri di Taman Eden. Penulis kitab Kejadian yang mendongeng tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa, menuturkan bahwa di Taman Eden, ALLAH menempatkan “pohon moral”, yang disebut “pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat”, buahnya tidak boleh dimakan, karena berakibat “kematian”. Dalam perkembangan kemudian, lantaran tergoda oleh rayuan “ular yang cerdik”, Hawa memetik buah itu lalu memakannya, dan diberikannya juga kepada Adam, dan Adam pun memakannya… Demikianlah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, dan memperoleh ganjaran hukuman dari ALLAH….!

Dalam kehidupan masyarakat di dunia modern dewasa ini maupun di masa depan, siapakah penjahat yang telah ditelanjangi kejahatannya yang tidak berupaya menutupi ketelanjangan dosanya dengan berbagai cara dan dalih? Adam tidak ikut memetik buah; ia hanya ikut memakan buah, karena diberikan oleh Hawa yang memetik buah. Namun Adam pun ikut dihukum, karena ikut menikmati hasil kejahatan yang dilakukan oleh Hawa. Dewasa ini, dalam kehidupan masyarakat modern, orang yang membeli barang hasil curian disebut penadah, sehingga—selain si pencuri dihukum—penadah   pun ikut dihukum. Orang yang melakukan korupsi dihukum, dan orang yang menerima aliran dana korupsi pun akan dihukum, sekalipun ia tidak ikut melakukan korupsi.

Sesungguhnya ada banyak pesan moral yang dapat kita peroleh dari kisah tentang kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa. Setiap orang yang memiliki kondisi kerja otak yang normal karena lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak kanannya sinkron dan harmonis, pasti akan menemukan pesan-pesan moral yang tetap “up to date” dari kisah yang disebut mitos atau dongeng ini. Jikalau Piccaso berkata: “Art is a lie that makes us realize the truth” (Kesenian adalah kebohongan yang menyebabkan kita sadar akan hal yang benar); maka dengan meminta permisi kepada Piccaso, saya ingin mengatakan: “Myth or fairy-tale is a lie that makes us realize the truth” (Mitos atau cerita dongeng adalah kebohongan yang menyebabkan kita sadar akan hal yang benar).

Hanya Ioanes Rakhmat saja yang tidak sanggup menyadari akan adanya kebenaran  yang tersirat dalam “kebohongan mitos dan/atau cerita dongeng”, lantaran lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak kanannya tidak sinkron dan harmonis. Apa yang saya katakan ini dapat disimak dalam komentar-komentar sarkastis tentang Taman Eden, Adam, dan Hawa dalam bukunya, Beragama dalam Era Sains Modern (2013:204 – 207).  Saya tidak perlu menanggapi semua komentar sarkastis itu, karena sifatnya kekanak-kanakan, dan useless [tidak berguna, sia-sia]. Tetapi untuk membuktikan ketidaknormalan otak Ioanes Rakhmat, saya ingin mengutip alinea ketujuh pada halaman 204 buku tersebut, yang berbunyi sebagai berikut: “Hanya dalam dongeng saja, curiosity atau rasa ingin tahu yang besar pada diri Hawa yang mendorongnya memetik dan memakan buah pohon moral itu, harus dikutuk dan dijadikan alasan untuk menghukum manusia, sementara dalam dunia real modern masa kini curiosity-lah, selain kebutuhan survival manusia, yang membuat sains maju dan terus berkembang di tangan manusia-manusia cerdas dan pemberani, seperti dicontohkan oleh Hawa dalam mitos Taman Eden.”

Ketika mencermati pernyataan Ioanes Rakhmat sebagaimana dikutip di atas ini dengan tatapan tenang seperti  ketika menatapi lukisan tiga dimensi, saya melihat di balik pernyataan tersebut “Ioanes Rakhmat menunggangi Hawa” dalam upaya pembelaan dan pembenaran diri. Curiosity atau rasa ingin tahu yang besar pada diri Hawa yang mendorongnya memetik dan memakan buah pohon moral itu, pada hakikatnya menunjuk kepada curiosity atau rasa ingin tahu yang besar pada diri Ioanes Rakhmat yang mendorongnya memetik teori-teori sains modern, dan melahap  temuan hasil penelitian sains modern sehingga ia menjadi seorang agnostik dan/atau ateis.

Hawa, karena pelanggaran moral yang dilakukannya mendapat kutukan dan dikeluarkan dari Taman Eden oleh ALLAH, identik dengan Ioanes Rakhmat—karena menjadi seorang agnostik dan/atau ateis—disiasati oleh the benign mother-nya, dikucilkan dari kemah peribadatannya, sehingga ia memilih posisi konflik abadi dengan agama yang semula dianutnya.

Menurut Ioanes Rakhmat, selain kebutuhan survival manusia, curiosity-lah yang membuat sains maju dan terus berkembang di tangan manusia-manusia cerdas dan pemberani. Pernyataan ini benar, tetapi Kazuo Murakami (ahli genetika terkemuka dunia) mengatakan: “Setiap orang bebas untuk menetapkan keyakinan mereka pada ilmu pengetahuan jika memang itu pilihan mereka, tetapi saya beranggapan bahwa ilmu pengetahuan sendiri tidak akan dapat memecahkan segalanya….” “Secara pribadi, saya melihat bahwa baik ilmu pengetahuan dan agama berasal dari sebuah sumber yang sama, dan oleh karenanya saya mencari cara untuk menyatukan mereka….” “Ada banyak hal yang masih tidak kita pahami mengenai hidup. Cita-cita saya adalah terus menjelajahi inti dari kehidupan tidak hanya dari sudut pandang ilmiah, tetapi juga dari perspektif spiritual dan keagamaan.” (The Divine Message of the DNA, 2007:195,216).

Pernyataan pendapat dan sikap yang dikemukakan oleh Kazuo Murakami yang menghabiskan waktu lebih dari 40 tahun dalam penelitian tentang genetika dan ilmu tentang kehidupan sebagaimana dikutip di atas ini,  lahir dari kondisi kerja otak- nya yang normal, di mana lobus temporalis otak kiri dan lobus temporalis otak kanan sinkron dan harmonis. Kalau Ioanes Rakhmat, kondisi kerja otaknya rancu, karena—sama seperti Saul (1Samuel 16:14)—Roh ALLAH telah mundur dari padanya, dan sekarang ia diganggu (dan disesatkan) oleh roh jahat yang berasal dari pada ALLAH, sehingga ia menilai, memuji, dan mengagungkan,  bahwa Hawa adalah contoh manusia cerdas dan pemberani dalam mitos Taman Eden (2013:204, alinea ketujuh).  

Benarkah Hawa—lantaran curiosity-nya—adalah contoh manusia cerdas dan pemberani dalam mitos di Taman Eden, seperti kata Ioanes Rakhmat? Jawabnya tegas: Tidak!

Curiosity Hawa untuk memetik dan memakan buah pohon  tentang pengetahuan yang baik dan yang jahat itu bukan motivasi intrinsik dari dalam benak Hawa, melainkan motivasi ekstrinsik dari ular yang cerdik. Pengamatan, penilaian, dan curiosity (keingintahuan) Hawa berhasil dipengaruhi, diwarnai, dan dijuruskan oleh motivasi ekstrinsik yang dilancarkan secara meyakinkan oleh si ular yang cerdik (Kejadian 3:6a); sehingga selanjutnya Hawa mengambil keputusan, berbuat/bertindak (ayat 6b); untuk mencapai, memperoleh, menjadi, menikmati atau mengalami kualitas kehidupan yang lebih baik…, sebagaimana dikatakan secara meyakinkan oleh si ular yang cerdik: “sekali-kali kamu tidak akan mati…, matamu akan terbuka…, kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat” (ayat 4 dan 5). Dengan analisis singkat yang saya wedarkan di atas ini saya ingin catat tiga hal sebagai penutup:

Pertama, dalam mitos tentang percakapan ular yang cerdik dan Hawa di Taman Eden (Kejadian 3:1-7) tersirat dasar-dasar ilmu komunikasi modern yang sangat efektif dalam rangka memotivasi orang untuk bertindak ke arah tujuan yang mau dicapai.

Kedua, berdasarkan analisis singkat yang saya kemukakan di atas, maka buyarlah argumentasi Ioanes Rakhmat yang memuliakan, memuji, dan mengagungkan, bahwa Hawa—lantaran curiosity-nya—adalah contoh manusia cerdas dan pemberani dalam mitos Taman Eden.

Ketiga, otak Ioanes Rakhmat memang benar-benar rancu. Ia mencela, meremehkan, dan tidak mempercayai dongeng dan mitos dalam kitab Kejadian, tetapi ia berusaha mengambil hikmah dalam rangka pembenaran diri berkenaan dengan curiosity (keingintahuan) dengan menunggangi manusia (perempuan) bernama Hawa yang ia katakan tanpa pusar (2013:41), seraya memuliakan, memuji, dan mengagungkan Hawa sebagai contoh manusia cerdas dan pemberani dalam mitos Taman Eden. Apakah ini tidak membuktikan kerancuan pikiran Ioanes Rakhmat, sekaligus apakah ini tidak menyarankan bahwa cara kerja otak Ioanes Rakhmat dalam keadaan tidak normal? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar