Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 18 Februari 2019

Marginalia: Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila Bergereja dengan Cita Rasa Indonesia


(Bagian ketiga)


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


Catatan pengantar
Dalam tulisan bagian ketiga ini, saya ingin meninjau idealisme Nuban Timo tentang menggereja secara baru di Indonesia. Yang saya maksudkan dengan idealisme Nuban Timo di sini ialah cita-cita, harapan dan pelayanan  Nuban Timo dalam meng-hari-ini-kan Injil di bumi Pancasila serta meng-hari-ini-kan Gereja di Indonesia, sebagaimana diwedarkan dalam kesimpulan akhir: “Menggereja Secara Baru di Indonesia” (hlm. 463). Namun sebelum masuk ke dalam percakapan tentang menggereja secara baru di Indonesia versi Nuban, saya ingin mengutip alinea terakhir bab 16 (“Gereja sebagai Tanda Kerajaan Allah”) sebagai pintu masuk pembahasan.

Marginalia pertama
Pada alinea terakhir bab 16 (hlm.462) Nuban Timo berkata begini: “Sekarang kita tinggal melakukan evaluasi model pelayanan macam apa yang sedang dilakoni Gereja-gereja di Indonesia: apakah pelayanan yang antipati, pelayanan yang setengah hati, ataukah pelayanan yang sepenuh hati? Menjauhkan diri dari sikap pelayanan antipati dan setengah hati adalah kebajikan. Menjalankan pelayanan sepenuh hati adalah pilihan yang tepat bagi Gereja dalam upaya untuk meng-hari-ini-kan Injil sekaligus menghadirkan diri secara baru sebagai agen perubahan. Untuk itu perlu ada keberanian dari warga Gereja dan para pemimpinnya untuk menggunakan semua sumber daya yang ada padanya. Pesan orang Samaria yang Murah Hati kepada pemilik penginapan setelah memberikan dua dinar: “Rawatlah dia, dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali” (Luk.10:33) patut menjadi pegangan Gereja-gereja di Indonesia untuk terus bekerja menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di Timor Tengah Utara (huruf kursif tebal, AGHN).

Frasa kalimat, “patut menjadi pegangan Gereja-gereja di Indonesia untuk terus bekerja menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di Timor Tengah Utara”, membuat saya sebagai seorang warga GMIT dan juga warga Gereja di Indonesia terperanjat dan bertanya: mengapa Nuban Timo tidak bergumul dan berupaya untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di Indonesia antara Sabang sampai Merauke, tetapi hanya mau bekerja keras, serta mengajak semua warga Gereja dan para pemimpin Gereja di Indonesia untuk terus bekerja menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah di sepotong wilayah di pulau Timor yang bernama Timor Tengah Utara?  Mengapa daerah Timor Tengah Utara yang tidak ada sangkut pautnya dengan pokok bahasan eksistensi Gereja-gereja di Indonesia, bahkan tidak memiliki suatu “keistimewaan” apa pun dalam pelayanan dan pemberitaan Injil dalam  lembaran sejarah Gereja-gereja di Indonesia,  tiba-tiba muncul dalam buku Nuban Timo, alinea terakhir bab 16, frasa kalimat terakhir pada halaman 462, sebagai suatu wilayah pelayanan superprioritas Gereja-gereja di Indonesia dalam rangka menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah? Sungguh sangat rancu! Apakah ini tidak memberi petunjuk bahwa Nuban Timo meracau ?  Apakah ini tidak memberi petunjuk bahwa cara berpikir genetik Nuban Timo mengalami distorsi pada lobus temporalis otak kanan yang melahirkan wedaran ilmu-ilmu demi kearifan termasuk filsafat, agama, teologi yang terkait erat dengan peranan intuisi, inspirasi, dan wahyu ketika alinea terakhir bab 16 bukunya itu disusun? Saya sangat harapkan kesabaran dan ketenangan Nuban Timo untuk mempertimbangan apa yang saya kemukakan di atas ini. Sekiranya Nuban Timo telah melakukan suatu kesalahan sebagaimana saya kemukakan di atas, maka bagaimanakah kesalahan wedaran itu dapat buatkan ralatnya agar dapat diedarkan kepada setiap orang baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang telah membeli dan membaca buku tersebut?

Marginalia kedua
Kerancuan selanjutnya yang akan saya tanggapi terdapat dalam wedaran “Kesimpulan Akhir: Menggereja secara baru di Indonesia”. Nuban Timo berkata: “Semua yang sudah kita katakan tentang upaya Gereja di Indonesia meng-hari-ini-kan Injil membawa kita pada kesimpulan berikut. Indonesia dengan segala kekurangan dan keterbatasan, tragedi serta harapan adalah Gereja (eklesia)” (do. ib. hlm. 463). Berkenaan dengan kata eklesia untuk menyebut Gereja, dalam tulisan ini saya pergunakan kata ekklēsia, yaitu transkripsi dari kata Yunani έκκλησία.

Pada catatan kaki, Nuban Timo menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan Indonesia adalah “Negara Pancasila dengan cita-cita dan tujuan, ideal, serta impian yang sangat mendasar, yakni kesetaraan semua komponen bangsa dan tekad untuk menegakkan keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan ketertiban dunia”.

Tidak terpikirkan mengapa dan/atau apa alasan Nuban Timo menyebut “Indonesia (Negara Pancasila) adalah Gereja (ekklēsia)”! Pada artikel bagian pertama telah saya jelaskan bahwa kata “adalah” memiliki tiga arti secara harfiah: 1 identik dengan; 2 sama maknanya dengan; 3 termasuk dalam kelompok atau golongan. Dengan demikian, apabila Nuban Timo menegaskan bahwa “Indonesia (Negara Pancasila) adalah Gereja (ekklēsia)” , maka penegasan itu sama artinya dengan: 1 Indonesia (Negara Pancasila) identik dengan Gereja (ekklēsia); 2 Indonesia (Negara Pancasila) sama maknanya dengan Gereja (ekklēsia); 3 Indonesia (Negara Pancasila) termasuk dalam kelompok atau golongan Gereja (ekklēsia)! Pertanyaan yang muncul ialah: Indonesia (Negara Pancasila) terhisab ke dalam Gereja (ekklēsia) aliran apa dan/atau denominasi apa?

Nuban Timo telah membaptiskan bangsa dan negara Republik Indonesia dengan sebutan ekklēsia, sebuah sebutan yang (sangat) inheren dengan kamus Gereja dan agama Kristen. Karena itu, sebutan ekklēsia perlu dibicarakan di sini.

Berdasarkan latar belakang asal kata, ekklēsia adalah nama atau sebutan bagi pertemuan, rapat, musyawarah rakyat dalam sistem pemerintahan demokratis di Yunani purba (kota Athena) yang berkembang sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi. Pertemuan, rapat, atau musyawarah rakyat pada waktu itu terbuka bagi setiap penduduk laki-laki berusia di atas 20 tahun yang digolongkan sebagai penduduk yang mempunyai hak memilih, tanpa membeda-bedakan golongan kelas masyarakat, termasuk pula narapidana yang terancam hukuman mati sekalipun. Mereka dipanggil dengan sepatutnya dan memiliki kewenangan politis dan fungsi yuridis untuk berpartisipasi dalam pertemuan, rapat, atau musyawarah rakyat yang diselenggarakan tersebut,  serta bertanggung jawab atas pernyataan perang, strategi militer, pemilihan penyelenggara pemerintahan, pemilihan pejabat-pejabat kota yang bertindak sebagai hakim pada pengadilan rendah.

Memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan secara tegas bahwa bangsa dan/atau negara Yunani purba (kota Athena) bukan ekklēsίa, melainkan yang disebut ekklēsίa ialah “suatu perkumpulan rakyat, pertemuan rakyat, rapat rakyat, dalam sistem pemerintahan demokratis yang diberlakukan di Yunani purba (kota Athena)”. Jika diaplikasikan dalam konteks bangsa dan negara Republik Indonesia, maka bangsa dan negara Republik Indonesia bukan ekklēsia sebagaimana dianggap oleh Nuban Timo; melainkan lembaga, badan, atau dewan perwakilan rakyat, majelis permusyawaratan rakyat yang merepresentasikan kedaulatan rakyat yang dapat dianggap sebagai ekklēsia..

Dalam perkembangan kemudian, ketika Perjanjian Lama bahasa Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani yang dikenal dengan sebutan Septuaginta pada zaman Ptolomais II Filadelphus (246-245 SM) dan revisi-revisi terjemahan Septuaginta sampai dengan abad ke-2 SM; para komentator Septuaginta mempergunakan kata ekklēsίa untuk menyebut komunitas umat Yahudi. Dari situlah kata ekklēsίa kemudian diadopsi dan dipergunakan untuk menyebut persekutuan (umat) Kristen dan/atau Gereja sebagai umat Allah dalam hubungannya dengan Yesus (Mesias) (Chambers Twentieth Century Dictionary New Edition 1972:409; Alan Richardson. A Theological Word Book Of The Bible, 1962:47-48).

Dalam Perjanjian Baru Indonesia–Yunani (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 2002) saya temukan 101 kata ekklēsia; 97 kata diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata jemaat; 1 kata ekklēsia dalam Kisah Para Rasul 19:32 diterjemahkan dengan kata kumpulan (orang); 1 kata dalam Kisah Para Rasul 19:39 diterjemahkan dengan sidang rakyat; 1 kata lagi dalam Kisah Para Rasul 19:40 diterjemahkan dengan kumpulan rakyat; dan 1 kata ekklēsia dalam Kisah Para Rasul 7:38 diterjemahkan dengan kata  sidang jemaah yang merujuk kepada kumpulan atau rombongan orang Yahudi yang dipimpin oleh Musa  yang menjadi pengantara di padang gurun… Patut dicatat bahwa 97 kata ekklēsia yang diterjemahkan dengan kata jemaat itu merujuk kepada persekutuan orang-orang percaya (umat Allah) yang berimankan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat atau Jemaat Allah dalam hubungannya dengan Yesus Kristus.  Ada ekklēsia (jemaat) rumah; jemaat lokal; jemaat wilayah; jemaat sedunia. Catatan: Dalam tulisan ini saya tidak membahas asal kata Gereja sebagai badan atau lembaga agama Kristen!

Berkenaan dengan tinjauan di atas ini maka Nuban Timo sangat keliru, jika menganggap bahwa bangsa dan/atau negara Republik Indonesia adalah Gereja atau ekklēsia. Mengapa? Sebab Gereja, jika merujuk kepada ekklēsia menurut Perjanjian Baru, sesungguhnya adalah persekutuan orang-orang percaya (umat Allah) yang berimankan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat  atau Jemaat Allah dalam hubungannya dengan Yesus Kristus. Dengan demikian, sangat jelas: “Indonesia, yaitu Negara Pancasila bukan Gereja; negara Republik Indonesia bukan badan atau lembaga agama Kristen yang disebut “Gereja”.   Negara dan bangsa Indonesia juga bukan ekklēsia (bukan jemaat atau persekutuan umat Allah dalam hubungannya dengan Yesus Kristus)”. Bahkan sangat irasional (tidak masuk akal) jika Nuban Timo menyatakan secara tandas: “Itu sebabnya kami menegaskan bahwa Indonesia sebagai satu bangsa, dengan Pancasila dan UUD 1945-nya, adalah juga Gereja…” (Nuban Timo, 2017:30). Menurut pertimbangan saya, yang dapat dibandingkan atau disebut sebagai ekklēsia adalah majelis permusyawaratan rakyat, dewan (perwakilan) rakyat baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah, jika kita merujuk dan/atau melakukan perbandingan dengan ekklēsia yang  disebut dalam  Kisah Para Rasul 19:32, 39,  40.

Marginalia ketiga
Berkenaan dengan ekklēsia dalam arti persekutuan orang-orang percaya (umat Allah) yang berimankan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat atau Jemaat Allah dalam hubungannya dengan Yesus Kristus, Nuban Timo mengutip pendapat Gerrit Singgih: “… Dua kali kata ekklesia (Gereja atau Perhimpunan jemaat) muncul dalam Kitab Matius, yakni 16:18 dan 18:17. Yang dimaksudkan dengan ekklesia dalam kedua teks itu adalah sebuah kelompok khusus, kumpulan orang-orang pilihan atau ekklektos (Mat 22:14 dan 24:22, 24, 31)…” (Nuban Timo, 2017:247). Menurut pertimbangan saya, ekklēsia yang disebut dalam Matius 16:18 dan 18:17 tidak mengacu kepada eklektos yang disebut dalam Matius 22:14 dan 24:22, 24, 31. Apabila diperhatikan secara saksama, ekklēsia yang dimaksudkan dalam Matius 16:18 dan 18:17 adalah Jemaat Allah dalam hubungannya dengan Yesus Kristus atau persekutuan orang-orang percaya (umat Allah) yang berimankan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Jemaat (Umat Allah) ini, menurut rumusan penulis surat 1 Petrus 2:9 adalah bangsa yang terpilih (eklekton)… ; yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang… (baca selengkapnya ayat 9, 10) . Akan tetapi eklektos yang dimaksudkan dalam Matius 24:22, 24, 31 itu bukan merujuk kepada Jemaat atau Umat Allah, melainkan merujuk kepada orang-orang pilihan Allah, yang dipilih oleh Allah dari kalangan umat Allah, maupun dari luar kalangan umat Allah berdasarkan rancangan dan kemurahan kasih Allah. Orang-orang pilihan Allah, menurut  hemat saya, diberi atau memperoleh privilese (Roma 8:33; Lukas 18:7; 2 Timotius 2:10; Markus 13:20; Matius 24:22).

Sedangkan orang-orang yang dipilih oleh Allah guna melaksanakan tugas khusus, dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani disebut έĸλοƴή (eklogē), suatu bentuk “Hebraistic genitive” yang sama dengan eklektos. Paulus, misalnya, adalah orang pilihan (eklogē) yang Tuhan pakai untuk memberitakan nama-Nya di hadapan bangsa-bangsa lain… (Kisah Para Rasul 9:15). Mengenai orang-orang pilihan atau orang-orang yang terpilih oleh Allah ini dalam konteks tertentu disebut sebagai suatu (kelompok) sisa (yaitu the Messianic remainder atau the Messianic remnant) (Roma 11:5). Catatan sisipan: berkenaan dengan eklektos dalam Matius 22:14 sesungghnya tidak merujuk kepada orang-orang yang dipilih, melainkan merujuk kepada proses pemilihan oleh Allah berdasarkan respons orang-orang yang dipanggil-Nya. Camkan sebaik-baiknya makna ayat 14 itu dalam hubungannya dengan perumpamaan tentang perjamuan kawin yang dikemukakan dalam Matius 22:1 – 13.

Marginalia keempat
Pada kesimpulan akhir halaman 463, Nuban Timo berkata begini: “Indonesia dengan  segala kekurangan dan keterbatasan, tragedi serta harapan adalah Gereja (eklesia). Allah memanggil manusia Indonesia keluar dari kesatuan suku-suku yang terbelenggu dalam ketidak-setaraan, terpisah dan tertutup bahkan bermusuhan untuk menjadi satu bangsa (umat atau kaum) yang sederajat dalam keberagamaan, hidup berdamai, membangun kemanusiaan utuh dan transformatif…” (kursif, dari AGHN).

Berkenaan dengan pernyataan Nuban Timo yang dikutip di atas ini, dalam uraian sebelumnya saya telah menegaskan bahwa tidaklah benar jika bangsa dan negara Republik Indonesia disebut Gereja (ekklēsia). Karena itu, terkait dengan pernyataan Nuban Timo dalam kalimat kedua yang saya tandai dengan huruf kursif tebal, saya mau mengatakan begini: “Indonesia dengan segala dinamika sosial politiknya adalah suatu bangsa yang bernegara. Para pemimpin politik dan pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia sejak zaman pergerakan kemerdekaan antara tahun 1908 sampai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 mengafirmasi bahwa teritorial dan manusia Indonesia yang diperjuangkan eksistensinya sebagai bangsa yang menegara adalah manusia Indonesia yang menghuni teritorial yang disebut Hindia Belanda atau Nederlands Oost Indiё. Dengan demikian, teritorial dan manusia di bagian pulau Kalimantan yang diduduki Inggris serta teritorial dan manusia di bagian Timur pulau Timor yang diduduki Portugal serta enklave OEkusi yang termasuk pula dalam teritorial yang diduduki Portugal tidak termasuk dalam teritorial Indonesia yang menegara, atau Indonesia sebagai bangsa yang menegara.

Perjuangan para pejuang kemerdekaan dan para pemimpin pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia untuk menegara, sama sekali “tidak memanggil manusia Indonesia keluar dari kesatuan suku-suku yang terbelenggu dalam ketidak-setaraan,… untuk menjadi satu bangsa (umat atau kaum)…” sebagaimana dikatakan oleh Nuban Timo; bahkan “Allah sama sekali tidak memanggil manusia Indonesia keluar dari suku-suku yang terbelenggu dalam ketidak-setaraan….,” seperti yang diafirmasi oleh Nuban Timo! Yang sebenarnya harus dikatakan, begini: Manusia Indonesia yang bineka suku yang terbelenggu lebih dari tiga ratus tahun di bawah kekuasaan kolonialis Belanda di teritorial yang bernama Hindia Belanda atau Nederlands Oost Indiё, kemudian terjajah selama lebih kurang tiga setengah tahun di bawah kekuasaan Jepang tidak dipanggil keluar dari kesatuan suku-sukunya, melainkan dimerdekakan oleh para pejuang kemerdekaan dan para pemimpin pergerakan kemerdekaan dari kekuasaan penjajah untuk membangsa dan menegara yang disebut bangsa dan negara Indonesia. Manusia Indonesia yang bercita-cita dan berjuang untuk memerdekakan diri dari penindasan kaum penjajah—karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan—demi  membangsa dan menegara adalah manusia Indonesia yang bertuhan. Itulah sebabnya pada Pembukaan UUD RI Tahun 1945, alinea ketiga,  para perumus Pembukaan UUD Tahun 1945 mengafirmasi: Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa… (dst.); dan untuk menata eksistensi bangsa Indonesia yang menegara, para perumus Pembukaan UUD Tahun 1945 mengafirmasi Pancasila, yang Sila pertamanya berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa…

Sebenarnya masih banyak pokok pikiran yang dapat saya kemukakan, tetapi rasanya perlu dibiarkan ada ruang terbuka demi terciptanya refreshment (penyegaran) yang memungkinkan proses bercermin diri, bagi pengembangan nosi dan emosi imajinatif yang kreatif dalam bidang intelektualisme (ketaatan/kesetiaan terhadap latihan daya pikir dan pencarian sesuatu berdasarkan ilmu). Dan untuk mengakhiri artikel yang bersifat marginalia ini saya patut menyatakan pujian terhadap Nuban Timo yang ikhlas menggugurkan pandangan teologis-alkitabiah-nya tentang unsur roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus. Semula, Nuban Timo bersikukuh bahwa unsur roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus dapat diganti dengan bahan makanan lokal dan minuman lokal, ketika ia membenarkan penggunaan “sayur marungga (daun kelor) rebus” dan “nira (air manis sadapan dari mayang pohon lontar)” sebagai pengganti “roti dan anggur” yang dilakukan oleh salah satu Pendeta Jemaat GMIT di Kabupaten Rote Ndao, Provinsi NTT. Baca artikel saya: “Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus – Tanggapan terhadap Opini Dr. Eben Nuban Timo” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi Senin, 5 Maret 2017, yang dipublikasikan kembali pada Senin. 05 Maret 2018); serta “Roti dan Anggur diganti dengan Marungga rebus dan Nira Lontar dalam Ibadah Perjamuan Kudus” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi Sabtu, 18 Maret 2017, yang dipublikasikan kembali pada Minggu, 04 Maret 2018).

Nuban Timo yang pada mulanya berupaya untuk “menyingkirkan unsur roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus dengan konsepsi teologi kontekstual yang dianutnya secara fanatik”, pada akhirnya sadar akan keuniversalan amanat Injil, sehingga dalam buku Meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila – Bergereja dengan Cita Rasa Indonesia, pada halaman 329, Nuban Timo secara tegas berkata: “… Konkretnya, baiklah simbol-simbol universal—roti dan anggur—tetap dipertahankan dalam Sakramen Perjamuan Kudus…” (Baca selengkapnya pandangan Nuban Timo dalam bukunya, 2017: 329). Kejujuran Nuban Timo dalam mengubah pendapat/pandangan teologi kontekstual (in loco) yang dianutnya sebagaimana disebutkan di atas, patut dipuji dan dihormati. ***

1 komentar:

  1. Best Casino Online for 2021 - Dr.MCD
    Find the best casino online for real 순천 출장마사지 money 2021. We give you the 통영 출장안마 best casino 광명 출장샵 bonuses, 광주 출장샵 games and services 동해 출장샵 to play for free.‎Payment Methods · ‎Mobile Payment Options

    BalasHapus