Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 05 Juni 2020

“Renungan di pusaran siklus Covid-19”


(berpangkal pada doa Musa, abdi Allah—Mazmur 90)
 
Pdt. ABE Poli & A. G. Hadzarmawit Netti
adonai ma`on  'atta
hayita  lanu bedor wador.
« Tuhan,
Engkaulah tempat perteduhan kami
turun temurun. »

Ayat ini pun dapat diparafrasa:
« Tuhan,
Engkau adalah
tempat pengungsian bagi kami
dari generasi ke generasi. »

Kata kunci adalah ma`on:
tempat pengungsian,
tempat pelarian,
tempat perteduhan; perlindungan.
Namun idealnya, sebagai tempat tinggal
atau tempat kediaman,
sebagai rumah keramahan
yang tentu pada instansi pertama ideal bagi umat Israel,
ketika sedang dalam pengembaraan:
Tuhan adalah tempat perteduhan,
yang bersuasana aman
dan nyaman dalam perlindungan,
bagi masa depan
umat panggilan dan pilihan-Nya!

Mengapa mengungsikan diri,
Mengapa melarikan diri.
Mengapa mencari tempat perteduhan bagi diri.
Yakinkah si pengungsi (umat Israel)
akan hidupnya di tempat
kediaman yang baru selaku rumah
yang disediakan Tuhan?

Sebegitu parahkah kehidupan umat Israel
di tempat kediaman sebelumnya?

Mazmur ini adalah satu-satunya yang
ditulis nabi Musa
di penghujung masa tugasnya
menuntun pengungsian Israel
dari tempat kediaman yang tertekan di Mesir.
Di kekinian-pada-tempo itulah umat Israel diberi
pemahaman baru, penuh kekuatan
tapi bukan tanpa keharuan.
Penuh arahan
tapi bukan tanpa keluhan.
Penuh bayang-bayang kegelapan
tapi bukan tanpa pengharapan
Kekuatan tersebut  tersaring dalam
sebuah pengakuan iman pada
ayat 1 dan dipertegas dengan ayat
yang berikut. .... 'atta  'el.  « Engkaulah Allah! »

Keyakinan harus dipegang!
Tapi tak boleh lupa
kesulitan bukan tak datang!
Kematian adalah fakta
tapi kehidupan bukan lepas makna!
Karena Mazmur  ini adalah doa
atau nyanyian doa Musa
sang lelaki pengabdi Allah,
maka berarti dalam doa,
Musa bernyanyi.
Dalam nyanyi, Musa berdoa.

Tefilla le mosheh 'ish ha 'Elohim.
Suatu nyanyian doa penyerahan diri Musa
secara total kepada Allah,
Suatu nyanyian doa penyerahan diri yang total
bersama umat kepada Allah,
yang diimani tempat perteduhan yang kekal!
.........

'adonai  ma`on 'atta
hayita lanu bedor wador.

Engkau adalah, hayita, Engkau bukan
hanya  ada  tetapi  terlebih
a d a  yang  hidup!
Sang  Ada  yang hidup untuk menaungi
serta melindungi
demi sebuah masa depan!
Kekuatan iman nabi Musa
tampak deras mengalir
meski bukan tanpa pergulatan
lewat panasnya tempaan padang pasir
serta kesulitan air dan makanan.

Kematian demi kematian anggota
keluaran seakan mempertanyakan
tujuan exodus.
Itulah sebabnya doa ini terasa
begitu mencekam ketika ia renungkan,
Engkau mengembalikan manusia
kepada debu, /tasheb 'enosh ad-dakka/.

Bayangkan: dalam doa Musa, terlintas
bayangan kematian. Bayangan kesedihan,
aneka bayangan pahit
dan  d e b u  sebagai ujung terpahit,
ia pahami sebagai keniscayaan hidup:
Tak 'kan bisa dihindari, harus dihadapi!

Hidup pada akhirnya, hanya kembali
kepada debu dan itu ditandaskan
lewat kehendak-Nya: dan berkata,
kembalilah hai anak-anak manusia.
/watomer shubu benei 'adam./

Bagaimana hebatnya  h i d u p,
akhirnya harus berakhir! Apalagi
kalau secara tragis dan Israel harus
menangis. Terasa hidup hanya untuk
menunggu perintah waktu, di situ,
tanpa harus bertanya, mengapa begitu!

Ya, betapa gelisahnya hidup
ketika datang perintah, k e m b a l i l a h
/shubu/
hai anak-anak manusia
/benei-'adam./
Sampai dengan ayat 10, Mazmur  90,
sangat menyiratkan paparan keterbatasan
dan ketidakberdayaan anak-anak manusia;
sementara dalam ayat 9  tekanan pada
waktu yang menyandera manusia:
Sungguh, hari-hari kami /ki kol-yomenu/
seakan menuntun sang nabi dan
umat yang ia pimpin mau tak mau harus
menyerah,
pada saat Tuhan berkehendak lain,
lantaran kemurkaan bercampur kasih!
Inikah nasib karena aib?
Kelihatannya begitu!
Tetapi tak seluruhnya seperti itu!
Masih ada celah agar sinar kesadaran
menembus masuk ke dalam perspektif iman.
Masih ada peluang!
Ketika sang nabi bertanya
tentang ujung keterbatasan manusia.
Siapakah yang mengetahui:  /mi-yodea`/who knows?/

Kelihatannya sebuah pertanyaan yang
sulit untuk dijawab! Sebab situasi
begitu mencekam. Sudah sejauh itu
sang nabi dan umat berjalan tetapi
Tanah Perjanjian belum kelihatan
dan Musa belajar mengajar bagaimana
dengan iman, melampaui keterbatasan
melihat manusia, walaupun tak semudah
seperti yang dipikirkan:

siapakah yang mengetahui murka-Mu?

Kepada siapakah Murka-Mu tertuju,
dan karena apakah murka-Mu bangkit?
Suasana hati berupa pergumulan batin dan emosi
begitu kian memuncak dalam bentangan
nyanyian doa yang hebat ini.

Sesaat ia terdiam dalam sunyi malam
padang pasir, malam pergumulan doa
yang ia sampaikan kepada  Tuhan,
ya, malam
dari malamnya malam, dan ia teruskan
nyanyian doanya. Kecapi  masih di
tangannya. Pertanyaan telah ia sudahi
dan ia tak ingin menjawabnya sendiri
tetapi bersama umat ia dengan tulus
meneruskan doanya
...... … …

'adonai ma`on 'atta
hayita lanu bedor wador


Pengakuan iman pemazmur 90
lahir dari aneka cobaan yang ditempuh
dengan taruhan hati
yang bertahan
karena maut yang menanti
silih berganti
sejak perjalanan keluaran.

Setelah pengakuan tersebut
paparan sebab pergulatan terjawab
dengan begitu mengemuka
meski hidup cukup terluka
bahkan seakan membebani
apa yang telah diyakini
di sini
dalam nyanyian doa sang nabi.

Ayat 12  terkesan
tak menyangkal apa yang dikawal
alasan perjalanan derita Israel
bahkan bisa belajar sejarah
yang sarat pengalaman pahit
tapi tak terbantah berkat pun terkait:

« ajarlah kami menghitung-hitung
hari-hari kami sedemikian,
hingga kami beroleh hati
yang bijaksana. »

limenot yomenu ken hoda`
wenabi' lebab khokma

Kata kunci di sini adalah
yomenu « hari-hari kami »
yomenu yang bagaimana?
yomenu ken « hari-hari kami sedemikian! »
Sedemikian pahit hari-hari kami
yang puncaknya apalagi

kalau bukan kegelisahan
terhadap hari-hari kematian
yang sedemikian tragis.

Ya, hari-hari kami, yang secara tegas
dalam ayat  9  dikatakan, /sungguh
segala hari-hari kami/ki-kol yomenu/,
berlalu karena gemas-Mu.
Itulah hari-hari kematian
yang tak terhindarkan yang dilukiskan dengan tajam
seperti dalam ayat 3a,
«Engkau mengembalikan manusia
kepada debu.» tasheb 'enosh 'ad-dakka/
Mengapa? Sebab karena  dosa,
hari-hari kami dinilai Tuhan
dalam kajian sang Nabi   sebatas hari kemarin
dan sebatas giliran jaga di waktu
malam (ayat 4), hari-hari tersebut  seperti
mimpi, begitu cepat, seperti rumput,
begitu segera lisut
dan layu di petang (ayat 5 dan 6).

Masa hidup kami 70 tahun, jika kuat 80 tahun,
kebanggaannya adalah kesukaran
dan penderitaan, lalu lenyap (ayat10).
Kemudian yang menegangkan
pada ayat 11, siapa yang mengenal gemas-Mu?
Berdasarkan bentangan kesaksian
pergumulan nyanyian doa nabi Musa
yang mencekam ini, maka ayat 12 dari
Mazmur  90 dapat secara interpretatif
diterjemahkan,

"Ajarlah kami merenungkan hari-hari
kematian kami, agar kami beroleh
hati yang berhikmat".

Dengan demikian, maka kematian
yang setiap saat mengintip
hari-hari kehidupan manusia
haruslah tidak sia-sia,
meski mencekam, namun tetap
menjadi hari-hari pembelajaran
yang sarat kesadaran berhikmat
dalam keragaman
demi masa depan kemanusiaan:
memohon  pengajaran yang sarat hikmat
melalui tuntunan Tuhan
agar kehidupan bertahan
bersama seluruh ciptaan.
… … … …
Kebutuhan kemanusiaan global
Dalam dunia kontemporer (pada masa kini; dewasa ini)
perlu terus-menerus dikawal
yakni ma`on, bukan saja sebagai
tempat pengungsian atau tempat tinggal yang bernilai
tapi juga penuh pesona mulia,
saling hormat harkat sesama
meski berbeda suku, warna kulit, serta agama!

Salah satu kesulitan dunia saat ini
adalah masalah jutaan pengungsi
di mana-mana, bukan saja di Afrika
dan Timur Tengah yang membanjir
ke Eropa dan lain-lain tempat pengungsian di Asia,
tapi juga wabah covid-19 yang menjepit nadi
kehidupan umat manusia hampir sedunia,
  tak terkecuali nadi kemanusiaan manusia di Indonesia,
yang tak kunjung henti ditebari roh penistaan,
dendam, dan iri hati yang disebarkan
oleh kelompok radikalisme dan ekstremis
di tengah bencana wabah virus corona
yang sedang diupayakan penanggulangannya
yang entah kapan mengalami stagnasi!
… … …

Oleh karena itu renungan
nyanyian doa Mazmur ini boleh
menjadi daya kesadaran iman kita.
Puncak pergumulan nyanyian doa
Mazmur ini bagi kita di Indonesia 
boleh ditandai dengan pengharapan
menyeluruh merawat kehidupan,
dalam era new normal—tatanan normal baru;
merasakan kemurahan Tuhan,
sambil saling bergandengan tangan
dalam kedamaian dan saling pengertian
kita bangun, rawat, dan jaga negeri tercinta ini, Indonesia,
… … …
selaku wujud angan
yang teguh tertuntun di padang gurun perjuangan membangun bangsa,
menuju tanah perjanjian kejayaan bangsa:
meski bukan tanpa tantangan baru!
Karena kanji-panji radikalisme dan ekstremisme
terus dikibarkan di mana-mana!

"Kiranya kemurahan Tuhan, Allah kami,
atas kami, dan teguhkanlah perbuatan
tangan kami, ya, perbuatan tangan kami,
teguhkanlah itu"

Itulah juga makna nyanyian doa
pengakuan iman nabi Musa:

'adonai ma`on 'atta
hayita lanu bedor wador

« Tuhan, Engkaulah
tempat pengungsian kami,
turun-temurun. »

Intinya, bagi Israel di bawah tuntunan Musa keluar dari Mesir
pada zaman baheula membutuhkan ma`on,

Dalam konteks bangsa Indonesia,
yang bineka warganya, tak bisa hidup tanpa ma`on.
maka menghargai hidup serta kehidupan,
menghargai manusia serta kemanusiaan,
adalah landasan iman dan ibadah sejati bagi semesta kemanusiaan
yang memuliakan keagungan Allah.

Kapan lagi, kita bisa menjadi
tempat pengungsian yang aman
bagi tetangga dan sesama kita?
Atau kita sendiri menjadi penyebab
tetangga dan sesama kita yang
terstigma minoritas
hanya karena berbeda warna kulit,
landasan iman, dan lain-lain,
terpinggirkan dan terusir
tanpa kehidupan masa depan
yang jelas, turun temurun? Amin!


Kupang – Bogor;
Bogor-Kupang, 31 Mei 2020
Renungan bersama antara
A. G. Hadzarmawit Netti
dan Pdt (Emeritus) ABE Poli, M.Th.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar