Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 24 Desember 2020

Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana?

Pembukaan Bulan Bahasa; Minggu, 6-5-2018

GMIT Kefas. Pos Kupang-Tribunnews.com


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

Warta Pelayanan Jemaat Gunung Sinai Naikolan edisi Minggu, 19 Januari 2020 menyajikan tema khotbah, “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana?” Pembacaan Alkitab yang dipilih untuk mewedarkan tema ini diambil dari Perjanjian Lama, Yeremia 15:1-4. Sebagai seorang warga Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) yang terhisab dalam persekutuan Jemaat Gunung Sinai Naikolan, saya merasa tergugah oleh tema khotbah tersebut yang merupakan sebuah interogasi. Sontak saya teringat akan sebuah gaya bahasa yang disebut interogasi, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Interogasi adalah kata adaptasi atau kata pungutan dari bahasa Inggris, “interrogation”, yang disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Kata “interrogation” dalam bahasa Inggris itu sendiri berasal dari bahasa Latin, interrogare, interrogatum; inter, artinya “di antara” dan rogare, artinya “bertanya”. Dalam bahasa Indonesia, interogasi diartikan dengan “hal menanyai (biasanya pada suatu penyelidikan)”, atau “mengajukan pertanyaan dengan harapan memperoleh jawaban secara wajar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa cetakan pertama, edisi ke-4 tahun 2008, “interogasi” diartikan dengan “pertanyaan; pemeriksaan terhadap seseorang melalui pertanyaan lisan yang bersistem”.

Dalam sastra, interogasi tergolong salah satu gaya bahasa yang memiliki fungsi dan daya gugah tersendiri. Menurut Nesfield, gaya bahasa interogasi pada umumnya dipergunakan dalam dua cara. Pertama, apabila pembicara atau penulis mengungkapkan nosi dan emosi (pendapat, tanggapan, gagasan) secara tidak langsung dalam bentuk pertanyaan dengan maksud menggugah pendengar atau pembaca untuk merenungkan nosi dan emosi yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan tersebut. Kedua, apabila pembicara atau penulis mengungkapkan suatu nosi dan emosi dalam bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menguraikan, menjelaskan, atau mengomentari sendiri nosi dan emosi yang telah diajukan dalam bentuk pertanyaan tersebut. “Soliloquy” (percakapan seorang diri), yaitu apabila pembicara atau penulis mengemukakan suatu nosi dan emosi dalam bentuk pertanyaan bagi dirinya kemudian pertanyaan tersebut dijawabnya sendiri, terhisab pada penggunaan gaya bahasa interogasi cara kedua (J.C. Nesfield. Figures Of Rhetoric, hlm.246). Kata “soliloquy” telah dipungut ke dalam bahasa Indonesia menjadi “solilokui” yang sama artinya dengan kata “senandika”, yaitu “wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar” (KBBI, hlm.1266, 1328).

          Memperhatikan dua cara penggunaan gaya bahasa interogasi sebagaimana diuraikan di atas, maka tema khotbah “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana?” tergolong pada penggunaan gaya interogasi cara kedua yaitu pengkhotbah atau penyusun khotbah mengungkapkan suatu nosi dan emosi (pendapat, gagasan, tanggapan, renungan) yang dirumuskan dalam sebuah tema bergaya interogasi (pertanyaan), “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana” dengan maksud untuk menguraikan, menjelaskan, atau mengomentari  nosi dan emosi yang diajukan dalam bentuk interogasi  tersebut kepada Jemaat melalui sebuah khotbah atau renungan tentang gereja pada zaman modern.

Menurut pertimbangan saya, tema khotbah “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana?” sangat mengambang (tidak jelas, tidak mengena, tidak kontekstual). Tema khotbah ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

(1) Yang dimaksudkan dengan gereja dalam tema khotbah itu ialah gereja yang mana? Gereja dalam arti “persekutuan yang kudus dan am dari orang-orang percaya yang melintasi sekat pemisah suku, bangsa, ras dan teritorial” di zaman modern, yang dipertanyakan, mau dibawa ke mana? Jikalau ini yang dimaksudkan, niscaya sangat absurd untuk diwedarkan melalui khotbah mimbar.

(2) Jikalau yang dimaksudkan dengan tema itu ialah eksistensi gereja dalam konteks bangsa Indonesia di zaman modern yang dipertanyakan mau dibawa ke mana, maka ini pun tetap sangat absurd, mengambang dan tidak kontekstual, sebab di Indonesia terdapat sekitar 324 aliran kekristenan, masing-masing dengan tradisi peribadatannya dan doktrin gerejanya; sementara di Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat sekitar 22 aliran kekristenan. Tema khotbah itu pun menimbulkan pertanyaan:

(3) Siapakah yang mau membawa gereja di zaman modern ini ke ….arah lain sehingga menimbulkan kesangsian dan pertanyaan?

(4) Apakah yang mengajukan interogasi itu adalah seorang pengamat atau pemerhati gereja yang risau atas arah gereja di zaman modern ini, yang telah melenceng dari panggilannya sebagai gereja yang diutus ke dalam dunia? Sesungguhnya masih banyak pertanyaan yang dapat diajukan.

Terlepas dari empat butir pertimbangan berkenaan dengan tema khotbah “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana” yang mengambang sebagaimana dikemukakan di atas, sebagai warga GMIT yang sadar akan presensinya sebagai salah satu “batu hidup” GMIT, saya terpanggil untuk mengemukakan beberapa catatan terkait dengan tema khotbah tersebut sebagai berikut.

Pertama, Pembacaan Alkitab pada kebaktian Minggu, 19 Januari 2020 diambil dari Yeremia 15:1-4. Perikop ini menegaskan tentang sikap dan keputusan Allah untuk menghukum Yehuda. Menurut Dr. C. Barth dalam Theologia Perjanjian Lama 4. BPK GM Jakarta, 2001:71,72, pehukuman (yang disebut sebagai malapetaka) itu terjadi sekitar tahun 586 sebelum Masehi. Peristiwa yang tersirat dalam perikop ini tidak memiliki relevansi sama sekali dengan “Gereja di zaman modern” pada abad ke-21. Dengan demikian, tema ”Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke  Mana” tidak memiliki landasan pijak. Perlu diketahui bahwa tema, transkripsi kata (bahasa) Yunani, tithēmi, artinya: menaruh, meletakkan, menempatkan. Berdasarkan arti “tema” sebagaimana dijelaskan ini, maka bagian manakah dari perikop Yeremia 15:1-4 itu, yang dijadikan landasan pijak oleh penyusun khotbah atau pengkhotbah untuk menaruh, meletakkan, menempatkan asumsi “Gereja di zaman modern mau dibawa ke mana?”

Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari beberapa pihak, pembacaan Alkitab yang diambil dari Yeremia 15:1-4 dan tema khotbah “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana” katanya diturunkan dari Sinode GMIT. Informasi ini rupanya benar, sebab perikop dan tema khotbah tersebut dikhotbahkan pada Kebaktian Minggu, 19 Januari 2020 di Jemaat Gunung Sinai Naikolan dan Jemaat Kefas. Di Jemaat Imanuel Oepura, perikop Alkitab dari Yeremia 15:1-4 dibacakan untuk dikhotbahkan juga, akan tetapi tema “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana” diabaikan dan diganti oleh Pendeta Jemaat Imanuel Oepura dengan topik, “Hatiku tidak akan berbalik kepada bangsa ini” (Yeremia 15:1b).

Menurut pendapat saya, topik khotbah “Hati-Ku tidak akan berbalik kepada bangsa ini” sangat tepat dan benar (terlepas dari isi khotbah yang diwedarkan), jika dibandingkan dengan tema khotbah “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana”. Mengapa? Jawabannya: karena topik khotbah “Hati-Ku tidak akan berbalik kepada bangsa ini” bukan saja memiliki landasan pijak dalam perikop Yeremia 15:1b saja, melainkan ayat 1 sampai ayat 4 secara utuh. Perlu diketahui pula bahwa topik, transkripsi kata (bahasa) Yunani, topos, topou, artinya: tempat, letaknya, bagian (di [dalam] Kitab Suci). Dengan demikian, topik “Hati-Ku tidak akan berbalik kepada bangsa ini” merelevansi dengan perikop Yeremia 15:1-4; sehingga apabila di dalam tafsiran khotbah “Yehuda sebagai bangsa kepunyaan TUHAN” hendak di-simile-kan dengan “Gereja” di zaman modern ini, maka Gereja-lah yang akan dihukum oleh TUHAN karena ulah pemimpin dan pejabat Gereja, seperti halnya “apa yang dilakukan oleh Manasye bin Hizkia, raja Yehuda, di Yerusalem. Inilah “exegesis similitative” atas teks Yeremia 15:1-4, terkait Yehuda dan pemusnahan Yerusalem pada tahun 586 sebelum Masehi, yang sempat disaksikan oleh nabi Yeremia sebelum ia terpaksa harus mengungsi ke Mesir (Barth, in.loc.cit.).

Kedua, topik “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana” yang tidak memiliki landasan pijak dalam Yeremia 15:1-4 itu, rupanya dimanfaatkan oleh Pendeta yang merumuskan topik khotbah Kebaktian Minggu, 19 Januari 2020 sebagai suatu podium untuk mengemukakan “tegur ajar” (celaan, kritikan, sentilan) terhadap [sesama] pelayan gereja di zaman modern ini yang telah mendewakan hal-hal duniawi sehingga merasuki banyak aktivitas pelayanan gereja; nilai-nilai rohani dan Alkitab mulai ditinggalkan; keanggotaan gereja mulai hanya bersifat tradisi dan kebiasaan; terjebak dalam sikap hidup manusia modern yang lebih dipusatkan pada manusia (antroposentris) dan menolak hal-hal yang bersifat spiritual dan adikodrati (baca, ringkasan khotbah dalam Warta Pelayanan Jemaat GSN, Minggu, 19 Januari 2020 dan bandingkan pula dengan ringkasan khotbah  [alinea pertama] dalam Warta Pelayanan Jemaat Kefas, Minggu, 19 Januari 2020).

Yang menjadi pertanyaan ialah: terhadap gereja manakah “tegur ajar” Pendeta yang menyusun khotbah dengan topik mengambang, “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana” itu ditujukan? Terhadap semua [sekitar 324] aliran kekristenan di Indonesia? Terhadap semua [sekitar 22] aliran kekristenan di daerah Provinsi NTT?  Menurut pertimbangan saya, tidak! Penyusun khotbah dengan topik “Gereja Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana?” adalah Pendeta GMIT, karena itu, topik khotbah niscaya harus dibatasi begini: “Gereja Masehi Injili di Timor Di Zaman Modern Mau Dibawa Ke Mana?”

Berdasarkan topik khotbah yang dibatasi sebagaimana dikemukakan di atas ini maka akan muncul pertanyaan: “Siapakah yang mau membawa Gereja Masehi Injili di Timor di zaman modern ini ke arah lain?” Menurut hemat saya, pertanyaan ini paling pantas dijawab oleh Sinode GMIT! Sebab tidak mungkin ada warga gereja [awam] dapat menjuruskan dan/atau membawa Gereja Masehi Injili di Timor ke arah lain. Warga GMIT yang awam hanya dapat melakukan hijrah ke denominasi gereja kristen lain untuk beribadah, sekiranya mereka sudah tidak betah lagi di GMIT lantaran “ibadah dan tata ibadah GMIT menjemukan mereka.

Ketiga, Warta Pelayanan Jemaat Gunung Sinai Naikolan, Jemaat Kefas, dan Jemaat Imanuel Oepura edisi Minggu, 19 Januari 2020 menyebutkan bahwa Kebaktian Minggu, 19 Januari 2020 terhisab dalam masa Epifani. Dengan demikian, seharusnya pembacaan Alkitab dan perikop Alkitab yang hendak dikhotbahkan berkaitan dengan masa Epifani!

Anehnya, pembacaan Alkitab dan khotbah pada Kebaktian Minggu, 19 Januari 2020 diambil dari Yeremia 15:1-4 dan topik khotbahnya tentang ”Gereja di zaman modern mau dibawa ke mana”, sungguh sangat jauh melenceng dari masa Epifani! Contoh lain lagi: Kebaktian Minggu, 12 Januari 2020 yang masih terkait erat dengan Epifani (6 Januari), pembacaan Alkitab diambil dari Ibrani 13:8-16 dan topik khotbah “Gereja Dalam Dunia Yang Terus Berubah”, juga sama sekali tidak ada kaitannya dengan masa Epifani.

Kebaktian Minggu, 02 Februari 2020 yang masih terkait erat dengan Epifani (6 Januari), pembacaan Alkitab diambil dari 1 Timotius 2:1-7 dan topik khotbah “Gereja yang berdoa”, juga tidak ada kaitannya dengan masa Epifani. Kebaktian Minggu, 16 Februari 2020 yang masih terkait dengan masa Epifani (6 Januari), pembacaan Alkitab diambil dari 1 Tawarikh 23:1-6 dan topik khotbah “Pengelolaan dan Pelayanan Gereja” sama sekali tidak terkait dengan masa Epifani.

Beberapa contoh pembacaan Alkitab dan topik khotbah yang dikemukakan di atas, benar-benar tidak mempedulikan “Pemberitaan Firman Pada Hari Raya-Hari Raya Gerejawi”. Sungguh aneh! Dan yang sangat aneh ialah pembacaan Alkitab pada Kebaktian Minggu, 26 Januari 2020 (masih dalam masa Epifani) kok diambil  dari Kisah Para Rasul 2:41-47 dengan topik khotbah “Gereja yang  digerakkan oleh Roh Kudus”.  Pembacaan kitab Kisah Para Rasul 2:41-47 dan topik khotbah tersebut sewajarnya dibacakan dan dikhotbahkan pada masa Keturunan Roh Kudus!

Memperhatikan beberapa hal yang diwedarkan di atas, saya berharap, semoga Sinode GMIT masa pelayanan 2020 – 2023 dapat menunjukkan ke-taat-asas-an dalam bidang pemberitaan firman yang berkaitan dengan hari raya-hari-raya gerejawi. Dalam bidang inilah GMIT terpanggil untuk menunjukkan kesetiaan dan ketaatannya di dalam bersaksi dan melayani, sesuai dengan identitasnya sebagai Gereja-Masehi-Injili… [yang ditumbuhkan oleh Roh Kudus] … di Timor, pada 31 Oktober 1947, tanggal dan bulan yang bertepatan dengan gerakan reformasi yang dilakukan oleh Martin Luther pada 31 Oktober 1517.

Mempertimbangkan berbagai topik khotbah  yang diwedarkan di atas, saya ingin mengemukakan beberapa catatan  dan/atau usul-saran berikut:

Dalam dunia pedagogi dan sains modern yang terus berkembang maju dewasa ini, “pejabat-pejabat Gereja [Pendeta]” (GMIT) harus menyadari panggilannya untuk mewartakan Firman Allah secara taat asas. Pembacaan Alkitab dan topik khotbah harus disesuaikan dengan Pemberitaan Firman menurut takwim gerejawi.

Bahasa khotbah dalam ibadah umum di Jemaat kota, seyogianya mempergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Unsur-unsur Liturgi (Tata Ibadah) harus dirumuskan dengan baik dan benar pula! Sebab, kekhidmatan (suasana hormat dan takzim) dalam ibadah turut dipengaruhi oleh bahasa khotbah dan unsur-unsur Liturgi (Tata Ibadah).

Mimbar gereja adalah mimbar orasi (khotbah) pada saat ibadah. Dengan demikian, mimbar gereja jangan dijadikan mimbar komedi banyolan untuk membuat jemaat mempertawakan banyolan yang dilakukan pengkhotbah  sementara ibadah. Unsur-unsur Liturgi (Tata Ibadah) harus menggugah dan membangkitkan batin jemaat untuk beribadah dengan khusyuk (penuh penyerahan dan kebulatan hati; sungguh-sungguh dan penuh kerendahan hati). Kekhusukan ibadah inilah yang perlu diamalkan dan dihidupsuburkan dalam setiap lapangan hidup dan kerja, karena ibadah seperti inilah yang Paulus katakan: tēn logikēn latreian humōn (Roma 12:1, Perjanjian Baru Bahasa Yunani). LAI menerjemahkan ayat ini, “Itulah ibadahmu yang sejati”.

Apabila Roma 12:1 dalam Perjanjian Baru Bahasa Yunani itu diterjemahkan secara harfiah maka dapat dibaca begini: “Itulah ibadahmu yang rasional (Itulah ibadahmu menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; Itulah ibadahmu menurut pikiran yang sehat, masuk akal). Implementasi “ibadah yang rasional” yang tersirat dalam Roma 12:1 itu dapat dibaca dan disimak dalam Roma 12:2-8. Ibadah yang sejati, atau ibadah yang rasional sebagaimana dikemukakan di atas inilah yang harus diimplementasikan oleh setiap warga gereja dalam dunia modern: dalam setiap lapangan kehidupan, pekerjaan, tugas dan jabatan.

Apabila kita mengimplementasikan Roma 12:7-8 sebagai “teks” ke dalam lingkungan kehidupan di bidang sosial dan setiap bidang pengabdian kita masing-masing sebagai “konteks”, maka dapatlah kita katakan begini:

Jikalau Saudara sebagai pegawai negeri sipil (abdi negara dan abdi masyarakat), maka laksanakanlah tugas Saudara sebaik-baiknya dengan penuh disiplin dan tanggung jawab serta loyalitas yang tinggi; sebab untuk itulah Saudara digaji oleh negara untuk menjadi abdi negara dan abdi masyarakat.

Jikalau profesi Saudara sebagai guru, maka ajarlah dan didiklah para siswamu sebaik-baiknya dengan penuh kesungguhan dan rasa tanggung jawab sebagai seorang guru yang baik; karena berdasarkan profesimu itulah—di samping gaji yang Saudara peroleh—Saudara pun diistimewakan untuk mendapatkan  tunjangan guru. 

Jikalau Saudara seorang penegak hukum, laksanakanlah tugas Saudara sebaik-baiknya demi tegaknya kebenaran dan keadilan hukum. Jikalau Saudara seorang petugas keamanan, laksanakanlah tugas Saudara sebaik-baiknya demi tercipta dan terjaminnya stabilitas keamanan yang mantap.

Jikalau Saudara terpilih sebagai Wakil Rakyat, maka laksanakanlah tugas-tugas perwakilan sebaik-baiknya di forum Dewan Perwakilan Rakyat; karena untuk itulah rakyat telah memberikan dukungannya/kepercayaannya kepada Saudara pada waktu pemilihan umum (A. G. Hadzarmawit Netti. “Peranan Pemuda Gereja di Indonesia dalam Konteks Pembangunan Bangsa” [Artikel terbaik] Majalah BUSOS Surabaya, edisi No.114 Tahun XIV – Oktober 1985).

Dan seterusnya: demikianlah para Pendeta harus memenuhi panggilannya sebagai gembala jemaat dengan penuh tanggung jawab, karena kesetiaan jemaat mempersembahkan air susu domba yang berbau harum di mazbah persembahan. Demikianlah para penatua dan diaken harus diperlengkapi sebaik-baiknya oleh Pendeta untuk melayani jemaat,  dengan penuh rasa tanggung jawab, karena mereka  telah mengikrarkan kesetiaan melayani jemaat di hadapan Allah dan jemaat sebagai saksi. Itulah ibadahmu yang sejati. Itulah ibadahmu yang rasional! Itulah Ibadahmu menurut pikiran yang sehat, masuk akal! Tēn logikēn latreian humōn (Roma 12:1).

Mengakhiri tulisan ini saya sangat memperhatikan dan menghargai keterbukaan GMIT yang meng-konon-kan bahwa “… GMIT dalam waktu 70 tahun adalah GMIT yang terlibat, GMIT yang peduli, GMIT yang tidak anti kritik, GMIT yang terbuka, GMIT yang perlu dikoreksi” (70 Tahun GMIT Berhikmat & Berbagi… Penerbit: Kandil Semesta 2017: hlm.ix). Berdasarkan pernyataan GMIT sebagaimana dikutip di atas ini, saya berharap agar artikel yang saya serahkan ini dapat diterima sebagai sumbangan pikiran yang semoga bermanfaat bagi GMIT. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar