Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 07 Januari 2021

Epifani

 


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

Epifani berasal dari kata Yunani, epiphaneia, artinya “penampakan”; “kedatangan”. Kata Yunani ini diserap ke dalam  bahasa Inggris, epiphany. Kata dalam bahasa Inggris ini yang dimasukkan ke dalam KAMUS TEOLOGI Inggris – Indonesia (Henk Ten Napel. BPK Gunung Mulia Cet. Ke-12 Tahun 2012) dan diindonesiakan menjadi epifani.  Dalam KAMUS ISTILAH TEOLOGI (R. Soedarmo. BPK Gunung Mulia Cet. Ke-19 Tahun 2009), kata Yunani, epiphaneia diindonesiakan juga dengan epifani.

Henk Ten Napel dalam kamusnya menjelaskan kata epiphany (baca, epifani) sebagai berikut: 1 Hari Raya Epifani: hari dirayakan tanggal 6 Januari untuk memperingati penyataan diri Kristus kepada bangsa-bangsa, yang diwakili oleh ketiga orang majus yang berkunjung ke Betlehem; 2. Penampakan diri Allah (do.ib. hlm.126). Penjelasan Henk Ten Napel ini sebagian benar, sebagian lainnya perlu dijelaskan. Yang perlu dijelaskan yaitu, penyebutan “tiga orang majus”, sebenarnya tidak disebutkan dalam Injil Matius [kanon], tetapi disebut dalam Injil apokrifa bahasa Arab, bahasa Armenia dan Injil Thomas mengenai bayi Yesus. Dalam Injil-injil Apokrifa tersebut ada tiga nama orang majus disebutkan yaitu Melkhon atau Melchior dari Persia, Balthassar dari India, dan Gaspar atau Kaspi atau Caspar dari Arabia. Selain itu, arti kedua dari istilah epifani yaitu, penampakan diri Allah, juga tidak benar karena penampakan diri Allah istilah teologisnya adalah teofani.

Soedarmo menjelaskan kata epifani sebagai berikut: “Epifani (berasal dari bahasa Yunani), artinya,  Pernyataan. Perayaan Epifani adalah perayaan memperingati kedatangan para orang majus ke Betlehem (Mat.2). Peristiwa ini menyatakan kedatangan Yesus kepada orang bukan Yahudi.”

Penjelasan singkat yang diberikan oleh Soedarmo sudah tepat. Akan tetapi arti kata epifani yang Soedarmo katakan, pernyataan, sesungguhnya tidak pas benar. Sebaiknya kata pernyataan diganti dengan kata penyataan, sebab makna kata pernyataan yaitu: (1) “hal menyatakan”; “tindakan menyatakan”; (2) “permakluman”; “pemberitahuan”.  Sedangkan penyataan berarti “proses, cara, perbuatan menyatakan” yang berhimpitan erat dengan “penampakan” yang  artinya “proses, cara, perbuatan menampakkan”.

W. R. F. Browning dalam buku Kamus Alkitab (2009:95) menjelaskan sebagai berikut: “Epifani… berarti ‘manifestasi’ atau ‘penyataan’, dan sama dengan ‘teofani’ atau ‘penyataan ilahi’. Dalam PL terdapat beberapa contoh mengenai hal ini, khususnya penyataan Allah kepada Musa dalam semak belukar yang menyala (Kel.3:2). Bagi umat Kristen, penyataan Allah yang tertinggi adalah dalam inkarnasi, dan untuk memperingatinya ada dua hari raya dalam kalender kekristenan Barat dan Timur. Sejak pertengahan abad ke-5 M Gereja di Roma memperingati penyataan Kristus kepada orang-orang bukan Yahudi, yang ditandai  kunjungan orang majus kepada bayi Yesus (Mat.2:11), pada tanggal 6 Januari. Dari Roma perayaan ini menyebar di Barat, bersama dengan perayaan Hari Natal pada tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus, yang diadakan paling lambat sejak tahun 336. Namun, tidak selalu demikian. Di Timur, sejak abad ke-3 Epifani pada 6 Januari tidak hanya diperingati sebagai hari kelahiran Yesus – termasuk kunjungan orang majus – tetapi juga mencakup pembaptisan Yesus, dan bahkan mukjizat pertama-Nya di Kana (Yoh.2:1 – 11). Pada akhir abad ke-4 Epifani dipusatkan pada pembaptisan Yesus, sedangkan 25 Desember, di pinjam dari Barat, untuk memperingati kelahiran Yesus.”  

Penjelasan Browning sebagaimana dikutip di atas lebih luas—dibandingkan dengan penjelasan Henk Ten Napel dan R. Soedarmo—dan menghubungkan latar belakang historis mengenai epifani dan natal.  Kendati demikian, ada beberapa bagian penjelasan yang rancu pula.

Harper’s Bible Dictionary menjelaskan  tentang hari raya epifani sebagai berikut: epifani dirayakan (diperingati) pada tanggal 6 Januari untuk memperingati penampakan diri Kristus (Yesus); atau manifestasi diri Kristus (Yesus); atau penyataan diri Kristus (Yesus) kepada dunia. Perayaan ini pada mulanya dilakukan untuk bangsa-bangsa yang memperingati dan/atau mengenang pembaptisan Yesus (Markus 1:9) dan air yang diubah-Nya menjadi anggur di perjamuan Kana (Johanes 2:1-11; dan kemudian perkunjungan orang-orang Majus ke Betlehem untuk menyembah bayi Yesus yang dilahirkan oleh Maria [Matius 2:1-12] (Harper’s Bible Dictionary, hlm.274).

Gereja Katolik merayakan epifani sebagai Hari Tiga Raja (para majus), untuk memperingati penampakan Kristus setelah kelahiran-Nya pada waktu Ia disembah oleh para majus; pada waktu Ia dibaptis oleh Yohanes Pembaptis; dan pada waktu Ia melakukan mukjizat pertama di Kana.

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) tidak mengenal perayaan pesta pembaptisan Tuhan. Oleh karena bagi GMIT tanggal 6 Januari hanya tercatat sebatas hari epifani  dengan arti “penampakan diri Kristus (Yesus) kepada bangsa-bangsa yang diwakili oleh orang-orang majus yang berkunjung ke Betlehem untuk menyembah Yesus. Dengan demikian maka peringatan hari epifani tidak berkembang lebih dari itu sehingga menjadi suatu “masa hari raya berkepanjangan”.

Berdasarkan catatan di atas ini maka Warta Pelayanan Jemaat Gunung Sinai Naikolan (JGSN) dalam denominasi GMIT, edisi hari Minggu tertanggal 04 Januari 2015; 11 Januari 2015; 18 Januari 2015; 25 Januari 2015; bahkan Warta Pelayanan Minggu, 19 Januari 2020 yang mewartakan bahwa: “Epifania berarti ‘membuat nyata/jelas’. Masa Epifania dimulai pada tanggal 06 Januari, lamanya bervariasi tergantung penetapan Paskah. Selambat-lambatnya masa Epifania berlangsung sampai Minggu Septuagesima, 64 hari sebelum Paskah. Gereja Protestan merayakan Epifania sebagai hari penampakan Yesus setelah dibaptis atau hari Perjamuan kudus yang pertama…, ”  merupakan pewartaan mimbar yang rancu, karena GMIT sejak awal berdirinya pada 31 Oktober 1947 tidak menganut pembagian minggu-minggu hari raya gerejawi seperti itu. Perlu dicatat di sini bahwa hakikat hari raya epifani tidak ada kaitannya dengan Minggu Septuagesima, melainkan epifani (6 Januari) terkait sangat erat dengan natal (25 Desember). Karena perayaan natal yang pertama kali dilakukan oleh Gereja purba ialah pada 6 Januari, yang dalam perkembangan kemudian dilakukan pada 25 Desember.

Catatan sela: Sekadar penjelasan tambahan mengenai arti kata epifani, saya kutip kamus A Pocket Lexicon To The Greek New Testament. Dalam kamus ini, pada halaman 95, transkripsi kata Yunani epiphaneia artinya: appearing, manifestation (of a conspicuous intervention from the sky on behalf of a worshipper). “Epifani, artinya: penampakan, manifestasi (tentang suatu interaksi yang istimewa dari langit atas nama dan/atau untuk kepentingan [seorang] pemuja). Berdasarkan arti kata epifani seperti ini, maka penampakan yang Yohanes Pembaptis lihat sebagaimana disaksikan dalam Yohanes 1:32, “Aku telah melihat Roh turun dari langit seperti merpati, dan tinggal di atas-Nya” adalah, juga merupakan suatu epifani tentang Roh yang turun dari langit seperti merpati dan tinggal di atas Yesus [Anak Allah], ketika dibaptis.  Peristiwa yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 2:1-2, “Ketika tiba hari Pentakosta, mereka semua berkumpul di suatu tempat. Tiba-tiba terdengarlah bunyi dari langit seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, di mana mereka duduk; dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti lidah api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing”, adalah suatu epifani pula. Akan tetapi epifani sebagaimana disaksikan oleh Yohanes Pembaptis ketika membaptis Yesus, dan epifani yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 2:1-2 itu bukan epifani yang dimaksudkan dengan peristiwa kelahiran Yesus yang diperingati pada 6 Januari! Dengan demikian, epifani yang dirayakan dan/atau diperingati pada 6 Januari adalah epifani tentang kelahiran Yesus yang dimanifestasikan sebagai bintang istimewa yang dilihat oleh para majus: “Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia” (Matius 2:2).

Memperhatikan uraian di atas ini, maka “peristiwa yang dilakukan oleh Yesus pada saat perjamuan kawin di Kana itu (Yohanes 2:1-11) bukan suatu epifani, melainkan suatu mukjizat, ketika Yesus pertama kali melakukan pelayanan-Nya.

Selain epifani yang dipaparkan di atas, maka Minggu Septuagesima yang dihubungkan dengan epifani perlu dibahas pula. Yang dimaksudkan dengan Minggu Septuagesima adalah Minggu pertama, kedua, dan ketiga sebelum masa pra-Paskah. Penetapan tanggal, hari pertama dari minggu pertama Septuagesima adalah tujuh puluh hari sebelum Paskah. Septuagesima (dari bahasa Latin), artinya tujuh puluh. Penetapan Septuagesima adalah untuk mempermudah penetapan tujuh minggu prapaskah, sebelum memperingati hari kematian, dan hari kebangkitan (Paskah) Yesus. Untuk mempermudah penjelasan, perhatikanlah kalender tahun 2020. Penetapan hari Kematian Yesus jatuh pada hari Jumat, 10 April 2020. Dengan demikian, Paskah jatuh pada hari Minggu, 12 April 2020. Tujuh puluh hari sebelum Paskah—jika dihitung mundur sebelum Paskah, 12 April 2020—jatuh pada hari Minggu, 2 Februari 2020. Berdasarkan perhitungan ini maka hari pertama Minggu Septuagesima pertama jatuh pada tanggal 2 Februari 2020; Minggu Septuagesima kedua dimulai pada tanggal 9 Februari 2020; dan Minggu Septuagesima ketiga jatuh pada tanggal 16 Februari 2020. Dan sesudah Minggu Septuagesima ketiga maka dimulailah masa prapaskah pertama pada 23 Februari 2020; masa prapaskah kedua pada 1 Maret 2020; masa prapaskah ketiga pada 8 Maret 2020 ; masa prapaskah keempat pada 15 Maret 2020; masa prapaskah kelima pada 22 Maret 2020; masa prapaskah keenam pada 29 Maret 2020; dan masa prapaskah ketujuh pada 5 Maret 2015.

Sebagai perbandingan, kita tinjau lagi kalender gereja tahun 2017. Pada kalender gereja tahun 2017, Paskah ditetapkan pada hari Minggu, 16 April. Dengan demikian, Kematian Yesus ditetapkan pada hari Jumat, 14 April. Hari pertama Septuagesima adalah 70 hari sebelum Paskah, yaitu pada tanggal 5 Februari. Oleh karena 5 Februari adalah hari Minggu, maka tanggal 5 Februari merupakan Minggu Septuagesima pertama; Minggu Septuagesima kedua pada 12 Februari; dan Minggu Septuagesima ketiga pada 19 Februari.

Dengan demikian, tanggal 26 Februari seharusnya menjadi Minggu pertama prapaskah, akan tetapi pada kalender 2017 Gereja Kristen Immanuel Bandung, masa prapaskah pertama ditetapkan pada 5 Maret; masa prapaskah kedua pada 12 Maret; masa prapaskah ketiga pada 19 Maret; masa prapaskah keempat pada 26 Maret; masa prapaskah kelima pada 2 April; masa prapaskah keenam pada 9 April. Dan karena Minggu Paskah ditetapkan pada 16 April 2017, maka Hari Kematian Yesus ditetapkan pada hari Jumat, 14 April 2017.

Kalender 2017 Gereja Kristen Immanuel Bandung yang saya ambil sebagai perbandingan dalam artikel ini, dapat diperdebatkan kebenaran penetapan masa prapaskah-nya, karena hanya ditetapkan enam masa prapaskah saja—seyogianya tujuh masa prapaskah. Menurut saya, Kalender 2017 Gereja Kristen Immanuel Bandung seyogianya mencantumkan masa prapaskah pertama pada 26 Februaribukan pada tanggal 5 Maret. Dengan menetapkan masa prapaskah pertama pada 26 Februari, maka masa prapaskah ketujuh jatuh pada hari Minggu, 9 April 2017, di mana Kematian Yesus jatuh pada hari Jumat, 14 April, dan Kebangkitan Yesus (Hari Paskah) jatuh pada hari Minggu, 16 April 2017.                                    

Kembali ke topik Epifani, saya tegaskan sekali lagi bahwa hari Epifani tidak terkait dengan minggu-minggu Septuagesima, melainkan hari Epifani sangat erat kaitannya dengan hari raya Natal 25 Desember, di mana penentuan hari raya Oktaf Natal 1 Januari adalah untuk mengukuhkan keterkaitan erat antara hari raya Natal 25 Desember dan hari Epifani 6 Januari. Itulah sebabnya, di kalangan Gereja Protestan (main stream), rancangan homiletis Natal dan Epifani merupakan suatu kesatuan. Ini dapat dijelaskan—dengan terlebih dahulu meninjau penjelasan dalam Warta Pelayanan Jemaat Gunung Sinai Naikolan—sebagai berikut.

 Berkenaan dengan natal, dalam Warta Pelayanan JGSN 27 Desember 2015 tercatat sebagai berikut: “… Natal berasal dari perayaan agama kafir Romawi, hari kemenangan dewa matahari yang dirayakan tanggal 25 Desember. Pada tahun 336 (abad ke-4) Gereja ‘mengkristenkan’ perayaan ini dengan jalan merayakan hari ini pada tanggal 25 Desember bukan lagi kemenangan dewa matahari tapi peringatan ini dipilih sebagai peringatan kelahiran Yesus. Secara teologis kita bisa mengerti sikap Gereja abad ke-4, bahwa Yesus Kristus adalah sang Matahari Kebenaran dan Terang Dunia. Sejak itu perayaan Natal pada 25 Desember masuk dalam kehidupan Gereja dan menjadi tradisi yang dipakai hingga saat ini… 

Penjelasan tentang latar belakang sejarah perayaan natal sebagaimana tercatat dalam Warta Pelayanan JGSN 27 Desember 2015 di atas ini rancu (tidak teratur; campur aduk; kacau [tentang berpikir, dan berbahasa]), karena itu perhatikanlah penjelasan dan/atau uraian di bawah ini.

Gereja purba merayakan natal mula-mula pada tanggal 6 Januari. Di Mesir, dirayakan sekitar abad ke-3; di Gallia (Prancis) pada tahun 360; dan di Spanyol, pada tahun 380. Tanggal 6 Januari pada zaman itu adalah hari lahir Aion, ilah (dewa) bangsa Yunani yang mewakili “waktu yang kekal”. Perayaan ulang tahunnya bersifat rahasia. Gereja pada waktu itu bertekad meniadakan perayaan kafir tersebut, dan menggantinya dengan suatu pesta Kristen (perayaan natal) pada tanggal yang sama, yaitu tanggal 6 Januari. Mula-mula niscaya perayaan natal pada 6 Januari itu masih dilakukan  dengan rupa-rupa pandangan dan kebiasaan masyarakat pada zaman  itu.

Kemudian, Gereja di kota Roma (Italia) merayakan natal pada akhir abad ke-4, tetapi bukan pada tanggal 6 Januari, melainkan pada tanggal 25 Desember. Dari Roma, perayaan natal yang dilakukan pada tanggal 25 Desember itu cepat sekali tersebar di seluruh Italia dan di daerah-daerah lain pada waktu itu. Ketika itu, di Roma, orang-orang kafir merayakan pesta Sol Invictus (matahari yang tidak terkalahkan). Pesta itu dirayakan berhubung dengan “hidup-kembalinya matahari”, dan merupakan pesta yang sangat penting ketika kaisar Aurelianus pada akhir abad ke-3 mengklaim dewa matahari menjadi dewa istana dan negara. Gereja pada waktu itu mau meniadakan pesta kafir itu dengan merayakan hari kelahiran (natal) Yesus Kristus pada hari yang sama, yaitu tanggal 25 Desember, dan memproklamasikan Yesus sebagai Terang baru dan satu-satunya Matahari Yang Benar; Yesus adalah Sol Iustitiae, Matahari Kebenaran, yang dinubuatkan oleh nabi Maleakhi (Maleakhi 4:2).

Dalam perkembangan selanjutnya, Gereja-gereja di sebelah Timur mengikuti pelaksanaan perayaan natal pada tanggal 25 Desember  seperti yang dilakukan di Roma. Kemudian di Asia Kecil hari raya ini muncul dari Kapadokia. Gregorius dari Naziane memperkenalkan hari raya ini kira-kira pada tahun 379 di Konstantinopel. Chrusostomus pada tahun 386 (atau 388 ?) memperkenalkan hari raya ini di Antiokia.

Mesir yang pada awalnya merayakan natal pada 6 Januari mulai merayakan natal pada 25 Desember pada tahun 430 (atau 433?). Demikian pula dengan Gereja-gereja di Gallia (Prancis) dan Spanyol yang pada mulanya merayakan natal pada 6 Januari, kemudian ikut merayakan natal pada 25 Desember. Dan Palestina (Yerusalem sebagai pusat) merayakannya pada abad ke-6 atau ke-7. Dengan perkembangan sedemikian, maka perayaan natal pada tanggal 25 Desember yang “diperjuangkan” oleh Gereja/Jemaat-jemaat di Roma (Italia) yang berlangsung lebih-kurang satu abad lamanya itu diikuti oleh semua gereja yang pada mulanya merayakan natal pada tanggal 6 Januari.

 Namun demikian, persoalan natal yang semula dirayakan pada 6 Januari dan yang kemudian dirayakan pada 25 Desember belumlah selesai. Tanggal 6 Januari tidak boleh dibengkalaikan lantaran natal telah dirayakan pada tanggal 25 Desember. Tanggal 6 Januari harus diberi isi pemberitaan dan kesaksian  yang baik untuk tetap diperingati oleh Gereja.

Maka lahirlah penetapan: “tanggal 6 Januari sebagai hari epifani”. Dan agar hubungan antara natal yang telah dirayakan pada 25 Desember dengan 6 Januari sebagai hari epifani tetap ada dan dipertahankan, maka gereja pada waktu itu menetapkan suatu hari raya sistem oktaf, yaitu pelaksanaan hari raya yang diadakan pada hari kedelapan (oktaēmeros) yang dihitung mulai dari tanggal 25 Desember. Dengan demikian maka tanggal 1 Januari ditetapkan menjadi hari raya oktaf natal, sehingga pada Sinode ke-2 di Tours (tahun 567), 1 Januari ditetapkan sebagai hari raya gereja.

Dengan demikian, tanggal 1 Januari yang semula adalah “hari pertama dari bulan kafir” (Januari—Latin, Januarius, berasal dari nama ilah [dewa] Janus, dewa berwajah dua: wajah yang satu menghadap ke belakang, tahun lama yang telah berlalu, dan wajah yang satu lagi mengarah ke depan, tahun baru yang dimasuki) ditetapkan oleh gereja  menjadi “hari pertama dari bulan pertama [tahun kristen], sebagai hari peringatan akan penyunatan Yesus ketika Ia genap berumur delapan hari (Lukas 2:21)”. Dengan demikian, Yesus adalah Alfa dan Omega dalam rotasi bumi dan waktu.

Berdasarkan tinjauan di atas, jelas terlihat bahwa hari raya natal, 25 Desember dan Epifani, 6 Januari memiliki hakikat yang erat dan tak terpisahkan. Epifani erat hubungannya dengan natal; sama halnya dengan “orang-orang majus melihat bintang-Nya di Timur, dan mereka datang untuk  menyembah Yesus di Betlehem”.

Catatan sela: “… melihat bintang-Nya di Timur…” yang tertulis dalam Matius 2:2 itu adalah epifani atau suatu penampakan atau manifestasi tentang kelahiran dan/atau kehadiran Yesus, sehingga dapat dilihat dan diketahui oleh bangsa-bangsa kafir. Selain itu, tidak ada alasan historis hari-hari raya Gereja Protestan (dalam konteks ini GMIT) yang menyatakan bahwa “masa epifani dimulai pada tanggal 6 Januari dan berlangsung selambat-lambatnya sampai Minggu Septuagesiama, 64 hari sebelum Paskah”. Mengapa? Sebab sesudah masa epifani, gereja [seharusnya] mulai mewartakan Kisah Pelayanan Yesus, karena itu Kisah Pelayanan Yesus-lah yang terkait dengan Minggu Septuagesima, di mana sesudah Minggu ketiga Septuagesima masa prapaskah pertama dimulai.

Dan juga tidak ada alasan historis hari-hari raya Gereja Protestan (GMIT) yang menyatakan bahwa “Gereja Protestan (GMIT) merayakan epifani sebagai hari penampakan Yesus setelah dibaptis atau hari perjamuan kudus yang pertama.”  Tokoh GMIT yang juga tercatat sebagai tokoh DGI (PGI), J.L.Ch. Abineno yang menulis buku Pemberitaan Firman Pada Hari Raya-Hari Raya Gerejani (BPK Gunung Mulia Jakarta, 1970), secara baik dan sangat memuaskan menguraikan hubungan/keterkaitan antara natal, 25 Desember dan epifani, 6 Januari pada halaman 33 sampai 58 dalam bukunya itu.

Menurut pertimbangan saya, apa yang dikemukakan oleh J.L.Ch. Abineno dalam bukunya itu sangat layak menjadi pandangan GMIT, termasuk pembabakan hari-hari raya gerejawi yang diuraikan, yaitu: Adven, Natal (dan Epifani), Sengsara, Kematian, Kebangkitan, Kenaikan dan Keturunan Roh Kudus. Catatan sela: setelah  akhir masa natal & epifani, masa berikutnya diisi dengan kisah pelayanan Yesus diwartakan sampai memasuki masa prapaskah, kemudian hari kematian Yesus, dan kebangkitan-Nya.

Setelah saya mencermati, kelihatannya Warta Pelayanan Jemaat Gunung Sinai Naikolan yang mewartakan bahwa “Epifania berarti “membuat nyata/jelas”. Masa Epifania, … lamanya bervariasi tergantung pada penetapan Paskah, selambat-lambatnya masa Epifania berlangsung sampai Minggu Septuagesima, atau 64 hari sebelum Paskah…” itu, dikutip dari “Situs Komunitas Gereja Kristen Indonesia (GKI)”, hanya saja terdapat satu perbedaan yaitu “Masa Epifania yang dimulai pada tanggal 6 Januari” yang tertulis dalam Situs Komunitas Gereja Kristen Indonesia, diubah dalam Warta Pelayanan JGSN  menjadi “Masa Epifania dimulai pada tanggal 04 Januari…”  Dan hal ini tidak dapat dibenarkan. Selain itu, tidak benar pula apabila dikatakan bahwa masa Epifani dimulai pada tanggal 6 Januari. Sebaiknya dikatakan,  Epifani diperingati  atau dirayakan pada tanggal 6 Januari; sama halnya dengan Natal diperingati pada tanggal 25 Desember.

            Berkenaan dengan takwim gerejawi, saya usulkan kepada GMIT agar petunjuk yang terdapat pada halaman ketiga setelah lagu Kidung Jemaat Nomor 476, 477 dan 478, lebih baik diperhatikan dan diterapkan di dalam ibadah. Petunjuk itu tercatat sebagai berikut:

·         Penantian Mesias dan Masa Adven;

·         Kelahiran Yesus dan Masa Natal;

·         Akhir Masa Natal dan Epifania;

·         Kisah Pelayanan Yesus;

·         Masa Prapaskah;

·         Sengsara dan Jumat Agung;

·         Kebangkitan Yesus dan Masa Paskah;

·         Hari Kenaikan;

·         Roh Kudus dan Hari Pentakosta.

   Pada petunjuk tersebut terlihat bahwa masa Natal dan Epifani dihubungkan menjadi satu, karena memang berdasarkan latar belakang sejarahnya natal dan Epifani tak terpisahkan. Setelah masa Natal dan Epifani maka gereja harus mewartakan Kisah Pelayanan Yesus, karena kisah pelayanan Yesus terkait erat dengan masa Prapaskah serta Sengsara dan Jumat Agung.

            Semoga tulisan ini dapat diterima sebagai suatu koreksi yang berguna, dan sebagai suatu penyampaian informasi yang bermanfaat bagi setiap warga jemaat dalam denominasi Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).

Catatan penutup

            Inilah artikel bagian ketiga yang saya persembahkan kepada Sinode GMIT, sebagai respons atas tema khotbah “Gereja di Zaman Modern Mau Dibawa ke Mana?” yang diwedarkan di mimbar Gedung Kebaktian Jemaat Gunung Sinai Naikolan pada Ibadah Hari Minggu, 19 Januari 2020. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar