Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 27 September 2012

SASTRA DAN KRITIK SASTRA


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

PADA awal bulan Juni 2012 lalu, ada seorang pemuda bertamu ke rumah saya. Pemuda itu memperkenalkan diri sebagai mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kota Kupang, yang berminat terhadap sastra. Ketika berbincang-bincang tentang sastra, pemuda tersebut mengemukakan beberapa pernyataan sastrawi seraya memintakan komentar atau pendapat saya. Pemuda itu berkata begini, “Bapa, ada orang mengatakan, ‘bila sastra terlalu teori, maka sastra hanyalah sebuah barang rongsokan. Bila tak ada naluri dalam sastra, maka hanya artifisial. Kalau dogma ditimpakan atasnya, maka sastra seperti jenazah yang tak mau dikuburkan. Sastra adalah bukan untuk dimengerti, tetapi untuk dinikmati.’ Bisakah Bapa jelaskan kepada saya pernyataan ini?” Sang pemuda mengakhiri pembicaraannya seraya menatap saya. Dari tatapannya, saya memperoleh kesan bahwa sang pemuda itu sungguh-sungguh mengharapkan komentar atau jawaban saya.
Saya balik bertanya kepada sang pemuda, “Dari buku apa Anda kutip pernyataan itu? Atau, dari siapakah Anda peroleh penjelasan itu?” Sang pemuda tidak menjawab pertanyaan yang saya ajukan kepadanya. Ia terdiam saja. Namun dari ekspresinya saya memperoleh kesan bahwa ia enggan berterus terang. Ada sesuatu yang mengganjalnya. Tetapi ketika saya menunjukkan perhatian yang lebih akrab untuk berbagi pengalaman tentang sastra, sang pemuda pun berkata, “Begini Bapa. Rumusan mengenai sastra yang saya kemukakan tadi, saya baca dalam Jurnal Sastra Santarang, sebuah media kreasi bagi penulis muda yang tergabung dalam Komunitas Dusun Flobamora yang ada di Kupang. Dan yang mencetuskan  rumusan itu adalah Dr. Marsel Robot.”
“O, begitu. Mudah-mudahan sebuah buku segera ditulis oleh Dr. Marsel Robot, dan diterbitkan untuk menjelaskan pernyataan yang luar biasa itu. Eheem…, bila sastra terlalu teori, maka sastra hanyalah sebuah barang rongsokan; bila tak ada naluri dalam sastra, maka hanya artifisial; kalau dogma ditimpakan atasnya, maka sastra seperti jenazah yang tak mau dikuburkan; sastra adalah bukan untuk dimengerti, tetapi untuk dinikmati.” “Bapa tidak setuju dengan pernyataan itu?” tanya sang pemuda dengan nada serius. “Ya, saya tidak setuju. Itu rumusan sastra yang kabur, yang tidak jelas juntrungannya!” begitulah jawab saya dengan nada tegas.
Sejenak, sang pemuda melongo, lalu berkata dalam nada sangsi, “Bapa tidak sedang bercanda?” “Ya, saya tidak sedang bercanda! Sebab, tidak ada sastra yang mewedarkan teori; tidak ada sastra yang tidak bernaluri; tidak ada sastra yang mewedarkan dogma. Dan hendaknya dicamkan: tanpa pengertian, sastra tidak dapat dinikmati.  Itulah sebabnya, sastra seyogianya dimengerti untuk dapat dinikmati.” Inilah penggalan percakapan antara saya dengan pemuda yang bertamu ke rumah saya.
Ya, sastra pada hakikatnya adalah suatu pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa. Sastra lahir dari subyektivitas seorang sastrawan yang mengalami dan mengamati dunia kehidupan yang diliputi misteri dan kemungkinan-kemungkinan. Sastra merupakan suatu kebulatan yang utuh, spesifik, dan otonom, serta merupakan suatu dunia keindahan dalam ujud bahasa yang pada dirinya sendiri telah dipenuhi dengan kehidupan dan realitas. Yang mendorong lahirnya sastra adalah keinginan dasar manusia (sastrawan) untuk mengekspresikan diri, lantaran menaruh minat yang besar terhadap sesama manusia dan dunia kehidupan, serta dunia angan-angan yang difantasikan sebagai dunia nyata. Hakikat sastra sebagaimana dikemukakan ini bukan sastra non-imajinatif, melainkan  sastra imajinatif. Dalam sastra imajinatif, sastrawan tidak mewedarkan teori; sastrawan tidak mewedarkan dogma; dan sastra imajinatif itu bukan gua yang berisi kadaver; melainkan suatu dunia kehidupan, dunia kreasi sastrawan yang di dalamnya terkandung seluruh kemanusiaan seorang sastrawan, baik pancaindera, imajinasi, intelek, cinta, nafsu, naluri, darah dan roh.
Berbeda halnya dengan sastra non-imajinatif. Di dalam sastra non-imajinatif pengarang bisa berteori tentang sastra; pengarang bisa berdogma tentang sastra; pengarang bisa berfilsafat dan berteologi tentang sastra sejauh hasil penelusuran, pendalaman, dan pertemuan yang terjadi antara pengarang sastra non-imajinatif dengan pengarang sastra imajinatif dengan sekalian faktor-faktor subyektivitasnya yang tersirat di dalam sastra imajinatif yang dihasilkannya, yang menjadi ‘bahan’ observasi dan kajian seorang pengarang sastra non-imajinatif.  Dan perlu dicatat bahwa hasil karya sastra yang disebut sastra non-imajinatif itu juga pada gilirannya merupakan suatu dunia kehidupan baru, dunia re-kreasi, yang juga penuh dengan imajinasi, intelek, cinta, nafsu, naluri, darah dan roh. Dengan demikian, pernyataan sastrawi yang termuat di Jurnal Sastra Santarang  itu rasanya sangat mengada-ada.
Lantas, apakah itu kritik sastra? Bardasarkan tinjauan di atas, kritik sastra pada hakikatnya adalah sastra non-imajinatif, yang dihasilkan oleh seorang pengarang yang disebut kritikus sastra. Kritik sastra baru ada setelah orang mempertanyakan apa itu sastra, dan apakah sastra itu mempunyai nilai atau manfaat. Oleh karena itu, umur sastra lebih tua dari kritik sastra. Dalam perkembangan selanjutnya setelah munculnya kritik sastra, orang mulai bertanya: apa gerangan fungsi kritik sastra, serta apa dan/atau bagaimana hubungan antara kritik sastra dengan sastra. Dengan demikian, berbicara tentang kritik sastra berarti berbicara tentang hubungan kritik sastra dengan karya sastra. Dan berbicara tentang karya sastra juga berarti berbicara tentang pencipta sastra dan penikmat sastra.
Hendaknya dicamkan bahwa sastra yang sudah diciptakan oleh sastrawan belum tentu langsung dapat dinikmati oleh pembaca. Mengapa? Karena persoalannya: apakah pembaca siap membaca karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan itu dengan modal pengetahuan dan kepekaan estetis yang ada pada dirinya? Sesungguhnya bisa terdapat jurang pemisah antara karya sastra yang dihasilkan sastrawan dengan pembaca sastra. Jurang pemisah itu bertanda nama pengertian. Sebab pada hakikatnya penikmatan bisa terjadi bila [sudah] ada pengertian. Dengan demikian jelaslah bahwa faktor pengertian tidak dapat dipinggirkan atau disepelekan. Apabila pandangan, alam pikiran, visi kepengarangan, sikap pengarang jauh berbeda dan/atau sama sekali asing bagi pembaca, maka bagaimana mungkin pembaca dapat menikmati sastra yang dibacanya? Apabila faktor bahasa yang digunakan oleh pengarang tidak dapat dipahami dan/atau dimengerti sebaik-baiknya oleh pembaca, maka bagaimana mungkin si pembaca dapat menikmati karya sastra yang dibacanya? Berdasarkan tinjauan ini, saya tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa pernyataan yang dikemukakan di Jurnal Sastra Santarang yang berbunyi, “sastra adalah bukan untuk dimengerti, tapi untuk dinikmati” adalah sebuah pernyataan yang lahir dari pemikiran yang kabur.
Sesungguhnya sastra bukan saja untuk dinikmati, tetapi  untuk dimengerti. Sastra juga bukan hanya untuk dimengerti melainkan lebih dari itu sastra harus dinikmati, dihayati, dan diinterpretasikan. Aktivitas ini hanya dapat terjadi dan berlangsung dengan baik dan memuaskan, jikalau ada pemahaman dan/atau pengertian yang baik dan memuaskan. Untuk semuanya itu, peranan kritik sastra yang dihasilkan  oleh kritikus sastra sangat diperlukan.
***

(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Kamis, 27 September 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar