Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

KRITIK SASTRA & ALIRAN PUKUAFU


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti



Pertama, Kritik Sastra 

Kritik sastra merupakan salah satu bidang studi sastra di samping teori sastra, dan sejarah sastra. Kritik sastra merupakan studi sastra yang langsung berhubungan dengan sastra, dan secara langsung membahas karya sastra dengan penekanan pada penilaiannya. Menurut H.B. Jassin (1977:95), kritik sastra ialah pertimbangan baik atau buruk sesuatu hasil karya sastra, penerangan, dan penghakiman karya sastra.
Ada tiga kegunaan kritik sastra. Pertama, untuk memperkembangkan ilmu sastra, yang bertalian dengan penyusunan teori sastra dan sejarah sastra.  Kedua, untuk memperkembangkan kesusastraan suatu bangsa atau suatu daerah dengan menjelaskan baik buruknya, dan menunjukkan daerah-daerah jangkauan persoalan karya sastra. Dengan demikian sastrawan dapat mengambil manfaat dari kritik sastra, sehingga mereka dapat memperkembangkan penulisan karya sastra mereka, demi perkembangan kesusastraan. Ketiga, untuk penerangan bagi masyarakat pada umumnya melalui proses menganalisis, menginterpretasi, dan menilai karya sastra, sehingga masyarakat umum dapat mengambil manfaat kritik sastra bagi pemahaman dan apresiasinya terhadap karya sastra (Pradopo, 1988:17-23).
Analisis, interpretasi, dan penilaian merupakan aspek-aspek pokok kritik sastra. Karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks, sehingga untuk memahaminya diperlukan analisis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Sebuah karya sastra memiliki struktur yang rumit, berisi pemikiran-pemikiran yang rumit, serta ditulis dengan medium bahasa yang rumit pula. Itulah sebabnya karya sastra perlu diinterpretasi untuk memperjelas artinya, dan analisis merupakan salah satu sarana interpretasi.
Interpretasi dalam arti luas adalah penafsiran  semua aspek  karya sastra. Dalam arti sempit, interpretasi adalah penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kesamar-samaran, kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya. Oleh karena karya sastra adalah karya seni, maka kritikus harus menerangkan sampai sejauh manakah nilai seni karya sastra yang dianalisis dan/atau diinterpretasi itu.  Selain itu, analisis dan interpretasi karya sastra harus dihubungkan dengan penilaian. Dengan demikian analisis, interpretasi, dan penilaian saling berhubungan erat dan saling menentukan, sehingga tidak  dapat dipisahkan dalam aktivitas kritik sastra.
Dari sekelumit uraian di atas terlihat bahwa kritik sastra memiliki peranan sebagai jembatan penghubung antara sastra dengan penikmat sastra; sebagai perantara antara pengarang dan masyarakat pembaca. Analisis, interpretasi, komentar dan sumbangan pikiran kritikus sastra yang dikemukakan dalam kritik sastra, bisa merangsang dan menimbulkan minat pembaca, sekaligus dapat menjadi penuntun bagi pembaca dalam menikmati karya sastra. Selain itu, kritik sastra juga dapat menjadi alat pemandu bakat bagi pengarang muda, dan juga dapat mematangkan pengarang yang telah berkreasi. Lebih dari semuanya itu, kritik sastra pada gilirannya telah mempromosikan pengarang dan karya sastranya yang dianalisis, diinterpretasi, dan dikomentari di dalam kritik sastra yang dihasilkan oleh kritikus sastra.
Sudah tentu, seorang kritikus sastra tidak boleh serampangan di dalam melakukan kritik. Kritikus harus benar-benar tahu akan sastra, memiliki pengertian sastra yang benar, memiliki  prinsip dan pengertian penilaian yang jujur, serta bijaksana di dalam menyiasati, menilai, dan mengkritik. Kritikus harus memiliki ketajaman pikiran, dan kehalusan cita rasa. Kritikus harus dapat menggugah dan membangkitkan kesadaran, membina akal budi, dan menghidupkan suara hati nurani. Kritikus harus dapat berperan sebagai pendidik dalam berupaya membina dan menumbuhkembangkan kebatinan dan kejiwaan suatu masyarakat; serta mengajak dan membimbing pembaca sastra menelusuri liku-liku dan lorong-lorong sastra yang terkadang remang-remang dan gelap. 

Kedua, Aliran Pukuafu

            Ketika pada tahun 1977 BPK Gunung Mulia Jakarta menerbitkan buku saya, Kristen Dalam Sastra Indonesia, secara bergurau saya katakan kepada sahabat-sahabat saya: inilah  buku “kritik sastra aliran Pukuafu”. Alasannya: karena pengarangnya, A.G. Hadzarmawit Netti, tinggal di Rote, dan selat yang  memisahkan pulau Rote dengan pulau Timor [termasuk Semau], terkenal dengan nama selat Pukuafu. Sesungguhnya latar belakang penyebutan kritik sastra aliran Pukuafu, tidak berbeda dengan penyebutan kritik sastra aliran Rawamangun, kritik sastra Ganzheit, dan kritik sastra aliran Sawo Malina.           
Kritik sastra aliran Rawamangun yang dimunculkan pada tahun 1970-an oleh M.S. Hutagalung, adalah aliran kritik sastra dari sekelompok sarjana sastra Universitas Indonesia yang pada waktu itu berada di Rawamangun, Jakarta. Termasuk di dalam kelompok itu adalah kritikus-kritikus sastra seperti S, Effendi, Saleh Saad, J.U. Nasution, Boen Sri Oemarjati dan lain-lain. Kelompok kritik sastra aliran Rawamangun melakukan kritik berdasarkan “New Criticism” yang menekankan analisis yang memusatkan perhatiannya hanya pada karya sastra. Sastrawan yang tidak menyetujui metode ini mengibaratkan kritik ini bagai membedah karya sastra di meja kadaver.
            Kritik sastra Ganzheit merupakan kritik sastra yang menandingi kritik sastra aliran Rawamangun. Bagi aliran Ganzheit, karya sastra merupakan keseluruhan. Karya sastra tak dapat dipisahkan dari pengarangnya. Karena itu, menganalisis karya sastra, sesungguhnya mengadakan pertemuan yang intim dengan pengarangnya, berdialog secara merdeka antara subjek dengan subjek, bukan antara subjek dengan objek. Tokoh utama aliran ini adalah Goenawan Mohamad dan Arief Budiman. Sedangkan Kritik sastra aliran Sawo Manila adalah aliran kritik sastra yang dimunculkan pada tahun 1980-an oleh sarjana sastra dari kampus Universitas Nasional, yang beralamat di Jalan Sawo Manila Jakarta.
            Terinspirasi oleh munculnya aliran kritik sastra sebagaimana diuraikan di atas ini, maka antara tahun 1970-an sampai dengan tahun 1990-an saya bercita-cita untuk memunculkan satu aliran kritik sastra yang namanya terambil dari nama tempat yang ada di daerah NTT, sebagai simbol kehadiran saya dalam dunia kritik sastra. Untuk mewujudkan cita-cita ini saya memilih nama “Pukuafu”, yaitu nama selat yang memisahkan pulau Timor [Semau] dengan pulau Rote.
            Nama selat Pukuafu saya pilih, karena selat itu memendam kenangan masa lalu yang luar biasa. Selama 25 tahun tinggal di pulau Rote, setiap kali berlayar ke Kupang, selat Pukuafu niscaya harus diseberangi. Selat Pukuafu ada kalanya ramah, namun ada kalanya mendebarkan dan mengerikan, lantaran terpaan gelombang yang menyatu dengan angin kencang dan arus deras pada musim atau waktu-waktu tertentu. Dinamika dan karakter selat Pukuafu itulah yang tersirat di dalam kritik sastra yang saya hasilkan.
Dengan mengandalkan metode “perspektivisme yang komprehensif dan integral”, serta ada kalanya dikombinasi dengan metode  reductio ad absurdum, dinamika dan karakter kritik sastra aliran Pukuafu  dapat dirasakan dan dialami dalam hasil karya saya,  Kristen Dalam Sastra Indonesia (BPK GM Jakarta 1977); artikel-artikel sastra yang telah dimuat di berbagai media cetak antara tahun 1980-an sampai tahun 2000-an; Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam kontemplasi (B You Publishing Surabaya 2011). Dan masih ada beberapa  naskah buku apresiasi sastra yang akan diterbitkan pada tahun-tahun depan, untuk mempertegas eksistensi kritik sastra aliran Pukuafu.
*** 
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Jumat, 5 Oktober 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar