Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

BIARIN, TAK SUDI, DAN SURAT KIRIMAN


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

DALAM tulisan ini ada tiga sajak penyair Yudhistira Ardi Nugraha yang akan saya bahas. Ketiga sajak itu yakni, “BIARIN”, “TAK SUDI”, dan “LAGU KIRIMAN”. Sajak-sajak ini digolongkan sebagai puisi lugu atau puisi mbeling. Untuk kepentingan pembahasan, saya akan kutip larik-larik sajak yang berjudul “BIARIN” berikut ini.  Larik-larik sajak saya pisahkan dengan garis miring tunggal ( / ),  dan  bait-bait  sajak saya pisahkan dengan garis miring  ganda ( // ).
“Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin/ kamu bilang hidup ini ngak punya arti. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku ngak punya kegembiraan. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku ngak punya pengertian. Aku bilang biarin// habisnya, terus terang saja, aku ngak percaya sama kamu/ Tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana/ cuma karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang/ seperti itu// kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku perampok. Aku bilang biarin// soalnya, kalau aku ngak jadi bajingan, menjadi apa coba, lonte?/ aku laki-laki. Kalau kamu ngak suka kepadaku sebab itu/ aku rampok hatimu. Tokh ngak ada yang ngak perampok di/ dunia ini, iya ngak? Kalau ngak percaya tanya saja sama polisi// habisnya, kalau ngak kubilang begitu mau apa coba/ bunuh diri? Itu lebih brengsek dari pada membiarkan hidup ini/ berjalan seperti kamu sadari sekarang ini// kamu bilang itu menyakitkan. Aku bilang biarin”
Mungkinkah sajak penyair Yudhistira yang berjudul “BIARIN” ini merupakan suatu refleksi berkenaan dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat kota yang sering menunjukkan sikap pesimis, skeptis, individualistis, anarkistis, apatisme (acuh tak acuh, tidak peduli, masa bodoh)? Ya, agaknya begitu. Terasa benar bahwa melalui larik-larik sajak ‘BIARIN” penyair mengaksentuasikan nosi dan emosi imajinatifnya pada masalah perbedaan paham, perbedaan penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan, perbedaan pengertian serta visi yang melahirkan pertentangan, penolakan, saling tidak menerima, curiga-mencurigai, tuduh-menuduh, fintah-memfitnah, yang melahirkan sikap pesimis, skeptis, individualis, anarkis, dan apatisme. Suasana yang dilukiskan oleh penyair terasa tiada keselarasan, tiada keseimbangan, dan tiada keharmonisan. “Aku” dan “kau”  berada dalam suatu dunia ketidakpedulian melulu.
Bagaimanakah dengan puisi berjudul “TAK SUDI” yang larik-lariknya berbunyi: “Kalau di tiap tak sudi orang boleh minggir/ itu namanya: kiri!/ Kalau di tiap tak sudi orang tak boleh minggir/ itu namanya: bukan kanan!/ Ada abstraksi? Kiri atau bukan kanan orang tetap bilang: tak sudi!”
Permainan kata-kata atau permainan logika melulu? Saya pikir, tidak. Bersifat banal, tidak berbobot, atau Kitsch? Tunggu dulu! Baiklah kita pertimbangkan dengan cermat. Agaknya nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam puisi “TAK SUDI” menyarankan suatu dinamika masyarakat kota yang bersifat apatis, dan defaitisme. Sikap apatis, dan defaitisme ini sangat kuat mempengaruhi pertimbangan, dan penentuan sikap warga masyarakat. Perhatikan nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam larik yang berbunyi: “Kalau di tiap tak sudi orang boleh minggir/ itu namanya: kiri!” Ungkapan kiri dalam larik ini bukan menyarankan makna radikal, melainkan menyarankan makna kelemahan, ketakberdayaan, dan masa bodoh di dalam menghadapi dan memecahkan masalah yang tersirat dalam ungkapan di tiap tak sudi.  Perhatikan pula larik yang berbunyi: “Kalau di tiap tak sudi orang tak boleh minggir/ itu namanya: bukan kanan!”  Ungkapan bukan kanan dalam larik ini menyarankan makna bukan berkecenderungan selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, sekaligus makna sikap bertahan, sikap radikal, sikap ekstrem dalam menuntut perubahan.  Dengan demikian, antara makna yang disarankan oleh ungkapan kiri pada larik pertama, dan makna yang disarankan oleh ungkapan bukan kanan yang terdapat pada larik kedua, ada abstraksi, seperti kata penyair Yudhistira. Dan ada abstraksi dalam puisi ini menyarankan arti: ada kebingungan, ada kelinglungan, ada ketidakpastian. Akibatnya orang tidak dapat menjatuhkan pilihan di antara opsi: atau kiri, atau bukan kanan. Itulah sebabnya pada larik terakhir penyair berkata: “Kiri atau bukan kanan orang tetap bilang: tak sudi!
Lalu, bagaimanakah pula dengan puisi berjudul “LAGU KIRIMAN” yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “(dengan ucapan: salam kompak selalu)/ Sekarang kita dengarkan kembali/ satu nomor dari (tak terbaca)/ Listrik mati./ Banyak salam tak jadi dikirim/ Apa boleh buat./ Banyak orang tak berdaya/ tak pernah jadi terhibur.”
Pada tahun 1976, ketika Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menetapkan Yudhistira sebagai salah satu pemenang dalam pemilihan penulis buku puisi terbaik, Sutardji Calzoum Bachri pernah melontarkan kritik/penilaian bahwa puisi ini hanya merupakan suatu catatan secara datar mengenai apa yang didengar dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah percakapan yang banal dari siaran radio amatir sudah bisa menjadi sajak, hanya dengan memindahkannya begitu saja di atas kertas. Dua baris terakhir menguji berapa kedalaman hidup yang bisa diberikan penyair ke dalam sajaknya. Ternyata kebanalan belaka. Yudhistira tampaknya hanya ingin melucu saja dalam sajaknya itu. Begitulah penilaian Sutardji Calzoum Bachri.
Tetapi menurut pertimbangan saya, penyair Yudhistira tidak ingin melucu melalui puisi lugunya itu. Sebenarnya, secara lugu Yudhistira menyingkapkan kenyataan yang hampir tak disadari oleh manusia moderen, bahwa sesungguhnya pada situasi-situasi tertentu, manusia telah terperangkap di bawah dominasi permesinan dan teknologi moderen yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Memang benar, bahwa permesinan dan teknologi moderen dalam kenyataannya memberikan manfaat yang tak terkatakan bagi manusia yang mempergunakannya. Manusia merasa puas dan sangat terhibur berkat jasa mesin dan teknologi. Namun apabila kita berpikir dan merenungkan secara mendalam,  maka bukankah benar pula bahwa rasa puas dan rasa terhibur yang diberikan oleh jasa mesin dan teknologi moderen itu sewaktu-waktu dapat berubah secara tiba-tiba menjadi rasa kecewa dan ketiadaan daya, sebagai akibat dari kemacetan atau kerusakan pada mesin atau teknologi moderen yang diandalkan oleh manusia itu?
Peristiwa kecil yang, kendati pun secara lugu, dilukiskan oleh penyair Yudhistira dalam puisi “LAGU KIRIMAN” : listrik mati di studio radio amatir, sehingga penyiar tidak dapat membacakan salam, dan lagu kiriman tidak dapat diperdengarkan/diudarakan, jelas menunjuk kepada apa yang telah dikemukakan di atas ini. Dengan demikian maka larik-larik yang berbunyi: “Banyak salam tak jadi dikirimkan/ Apa boleh buat./ Banyak orang tak berdaya/ tak pernah jadi terhibur”, secara lugu namun tepat melukiskan keterperangkapan manusia di bawah dominasi permesinan dan teknologi moderen pada situasi-situasi tertentu, ketika mesin dan/atau teknologi moderen yang diandalkan itu mengalami kemacetan/ kerusakan. Dan ini pun merupakan secuil gejolak hidup yang dialami oleh masyarakat maju umumnya di kota-kota, dan kota metropolitan di berbagai negara di dunia ini, pada situasi-situasi tertentu. 
*** 
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Selasa, 18 Desember 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar