Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

SAJAK-SAJAK BIANGLALA



Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


1. Kupang (episode I)

Kupang milik kita semua
Tanpa tanya dari mana kaudatang
Apa tujuanmu
Kupang rumah kita semua
Mutlak dibenahi tanpa alasan
Itu bukan urusan beta
Kupang bukan cuma tempat cari makan
Lantas ditinggalkan setelah berak
Di sana sini.

                                           (coretan 1986)

2. Kupang (episode II)

Kupang yang ceria
tiba-tiba murung
bersama hujan petang
 yang garang

paras kota jadi sirna
oleh luapan air menghanyutkan
sampah dan tanah
dari selokan tak terurus.

bis kota dan bemo meluncur
 tanpa irama lagu
bawa penumpang berwajah murung
adalah aku di antara mereka
 yang murung
jelajahi jalur induk depan kantor bupati
yang becek dan kotor berserakan.

tiba-tiba kebahagiaan kota pun tertimbus
oleh alam yang berduka
dan menangis
ketika di depan gereja kota Kupang
ada bemo yang batuk-batuk
 lalu mogok
di tengah jalan yang membanjir.

                            (coretan 1986)


3. Kupang (episode III)


di labuhan batu besi
aku terjebak
dalam hujan yang tak kenal ampun
di sebuah gubuk kecil yang pengap
aku nyelinap hindari basah
tapi, aduh ampun
bau tengik sampah
amis ikan
dan macam-macam kotoran pantai
membuat aku pusing.

Ah, ‘mai eh’
aku jadi jijik dan rasanya mau muntah
ketika lalat-lalat bagai sekawan lebah
kerumuni diriku
terbayang di benakku muntaber
dan segala macam penyakit lainnya
yang mengerikan.
Ini juga kualami di pasar inpres naikoten satu
ketika sekali waktu hujan menghadangku
di sana.

Lalu ke mana mau lari
cari kebersihan dan keindahan?

Ah, jauh  di sana,
ada terpampang pemberitahuan
Kupang yang bersih
dan indah
milik kita semua
tanggung jawab kita semua.


                                          (coretan 1986)


4. Di Terminal Bemo Kota Kupang

Di terminal aku duduk
tunggu bemo.
Di luar sadarku,
seorang kawan lama datang,
di hatinya, di hatiku,
keakraban tempo dulu membakar
dan bicara kami mengalir mesra
 melompati satu-satu tebing masa silam
dalam bayang dan sinar
tentang Kupang hari kemarin
kini dan esok.

wajah kami mulai cerah
berpeluk dengan cita dari pusat hati
buat berpesta dan senandung
 pecahkan suara angker dalam kata
dan irama
bagi kasih dalam ratap kudus.

Lalu kami saling tanya:
-- kau teteskan butir keringat dan airmata
di sini?
-- ya, dan kau tanamkan segala kerinduan
di padang tandus, bukit gundul,
dan tanah terlantar?
-- ya, kau yakin esok ada kematian terbayang
kalau hari ini tinggal menyepi sendiri?
-- ya, karena itu mari kita bersumpah
demi gunung dan pantai
yang nyaman
demi jalan-jalan dan lorong kota
yang bersih
demi pekarangan dan lingkungan
yang indah
serta alam yang lestari.

peluklah Kupang cintamu
ciumlah Kupang kasihmu
berikan darahmu mendidih
dalam gairah kerja
sampai esok menjelang.

O, ya. Itu bemo datang
untuk tempat yang kutuju.


                        (coretan 1986)



5. Monolog Terminal


Kupang lagi mekar
bagai anak dara menanjak usia
paras, ya, paras ia. Tapi masih tersipu-sipu
lantaran canggung dengan tubuh sendiri
juga kikuk dengan lenggok sendiri
belum mantap dalam keseimbangan.

Kujumpa gadis-gadis ayu
mirip-mirip Meriam Belina
penampilan model Tina Masri
lady rocker kota buaya
ai, ai, hebatnya.

Tapi di Terminal
kutatap sebentuk wajah gadis kuning cendana
bersandar lesu pada tiang Terminal
tertunduk menatap lantai berdebu
terlukis di pipinya serentetan kisah
terbayang di lekuk matanya kesuraman kelabu
sebab Kupang baginya bukan pangku mama
bukan juga bidang dada ketulusan
jaka pilihan
tempat buang sauh pengharapan
dan cita.
Tiba-tiba “TELUK MUTIARA” mencium
pinggiran Terminal
bersama “KERINDUAN” mengalun
menebar pesona.
Serentak gadis kuning cendana meningkah
dengan lunglai pergi ia
dengan tunduk.

Hancur hatiku kala ia menjauh
Baru kuinsaf “KERINDUAN” memagut
sukmanya.

Wahai, siapakah yang telah biarkan kaupergi
padahal kepergianmu kutahu
bukan pilihanmu yang ikhlas.
Kepada siapa hendak kutanya suka-dukamu
dari mana datangmu, ke mana pergimu
berapa lama sudah kaukerasan di pusat kota ini
melangkahi menyusuri jalur induk
dan lorong-lorong kota yang gelap?
Wahai, kutangisi langkah hidupmu, gadis,
sebab kutahu
“KERINDUAN” adalah suara hatimu.

                                           (coretan 1986)


6. Kerinduan Terminal

Adalah perjumpaan tak terduga
dengan gadis kuning cendana
pernah kutatap di Terminal.
Cuma kali ini
dalam goncangan “BREAK DANCE” jurusan strat A
kami saling kerling
ketika padanya kuhadiahkan sekuntum senyum
ia menunduk dan meremas jari.
Terbayang sebuah kenangan singgahi hati
pelan-pelan diangkatnya wajahnya
ketika Meriam Belina dalam “KERINDUAN”
mendesah: kesetiaan ini bukannya sandiwara,
wajah gadis kuning cendana mendadak suram.

Nestapa, tragedy tanpa kata
mengapa gadis ini begitu sentimentil
mengapa ia begitu melankolis
adakah keparahan di benaknya
tak mungkin tersapukan?

Kalau dirundung duka nestapa ia
mengapa tak dihempaskan saja pada gemuruh kota
tapi tetap dibelainya begitu mesra?

Wahai, kerinduan adalah suka
tapi kerinduan juga duka

Kerinduan adalah pengharapan
tapi kerinduan juga tak berpengharapan

Kerinduan adalah kubu perlindungan
tapi kerinduan juga daerah pelarian.

Yang berpijak di bumi keras
kerinduan adalah kepastian.

Yang berpijak di bumi retak pecah
kerinduan adalah nestapa.

                        (coretan 1986)

7. Episode di sudut kota

kemarin ada remaja putri drop out es em pe
hamil tua pada usia lima belas
bapa dan mamanya kecewa
lantaran remaja putri yang malang
tidak tahu persis
siapa dari sembilan lelaki yang pernah
tidur dengannya
bisa diharapkan sebagai suami.
satu di antaranya adalah gurunya
sendiri.

hari ini remaja putri lahirkan satu bocah
di luar program ka be.

remaja putri menitik air mata penyesalan
sang bapa termangu

tapi sang mama masih coba senandung
bo lele bo, diamkan tangis sang bocah.

esok sang bocah kan dewasa
ditempuhnya dunia tanpa tanya
mama, siapa bapaku.


                                (coretan 1986)


8. Kelam atas gugus pulau
Di sebuah siang yang garang

   Adalah kelam atas gugus pulau di sebuah siang
yang garang
mencengkam menghimpit insan-insan putih
dalam detik adventus menyambut natal
bersama segala gairah cinta lagi menyala
manusia tepekur
pasrah dalam kebimbangan kelabu
ketika diterjang amuk gelombang ganas yang lapar
ketika diterpa puing-puing dan bongkah-bongkah
tanah dahaga.

Di sana ada rintih  di balik reruntuhan sikka
ada desah keputusasaan dari flores timur
ada ratap derita dari ende dan ngada:
‘eli, eli, lama sabakhtani……’

Adalah itu rintih bocah-bocah kehilangan ayah bunda
adalah itu ratap derita para istri kehilangan suami
dan para suami yang kehilangan istri anak terkasih
Adalah itu kesah duka orang-orang kecil
karena segala yang berarti bagi mereka sirna
dalam amukan gemuruh gempa dan jilatan lidah tsunami.
Kelam atas gugus pulau di sebuah siang yang garang
teramat mencemaskan
sebab matahari seakan kehilangan
kecerlangannya,
angin kesejukannya
dan air kejernihannya.
Wahai kelana yang merambah tapak-tapak usia tersisa
atas gugus pulau remang kelabu:
Kekelaman wajahmu adalah kekelamanku
Rintih deritamu adalah rintih deritaku
Di sini aku meneteskan airmata dan pengharapan
di palungan desember beralaskan lampin.

                                        (coretan 15121992)


9. Adalah sebuah imbauan

  Adalah sebuah imbauan penuh harap
dari ibuku dan ibumu
bagiku dan bagimu
bagi semua yang cicipi manisnya pangku ibu,
di sini, di balik proses belajar-mengajar terjadi
di balik perpustakaan dan laboratorium

imbauan itu adalah kesah rindu ibu sendiri
kepada anak dicinta di pusat-pusat kota:
pulanglah anak, otakmu telah bernas
dan tanganmu terampil sudah

Dengarkah kau imbauan itu, wahai taruna
yang lagi melahap ayat-ayat ilmu
dan rumus-rumus teknologi,
yang lagi menanti diwisuda bagi satu nama
sarjana?

Pulanglah taruna
pulanglah buah hati
yang telah habiskan air susu ibu!

Jalan-jalan desa dan jembatan reot menantimu
petak-petak sawah dan tegalan kerdil
mengharapkanmu
bukit-bukit gundul dan padang tandus,
adalah tangan-tangan yang terulur
dengan mulus menggapaimu
rumah-rumah tua yang bungkuk dan pengap,
 adalah harapan-harapan di dada
dengan gembira menyambutmu.

Pulanglah taruna,
pulang bawa cerita nyata yang membahagiakan
tentang peningkatan dan pemerataan pembangunan,
tentang kelimpahan padi dan jagung,
tentang suburnya sayuran dan buah-buahan,
tentang gemuknya ternak-ternak,
lantaran dirawat dengan kasih dan kemengertian;
tentang tegaknya rumah-rumah yang dihuni
oleh pribumi yang sehat sejahtera.
Semua telah kaubaca berbilang tahun
dari saf-saf buku yang mahal
bukan untuk siapa-siapa
kecuali untuk ibu tercinta.

Wahai taruna,
Desa adalah ibu  yang sedang mengimbau penuh harap
desa adalah ibu yang sedang merindu
tangan-tangan pengabdian ikhlas
demi kejayaan, kebahagiaan dan harmoni
desa adalah ibu yang setia menunggu
dari tahun ke tahun.

Terpujilah taruna yang menyunting desa
dengan otak yang dikuras,
dengan keringat yang mengucur,
dengan kasih dan ketulusan membara
tanpa korupsi.

Adalah sebuah imbauan penuh harap
dari ibuku dan ibumu
bagiku dan bagimu
bagi semua yang cicipi manisnya pangku ibu
di sini, di balik proses belajar-mengajar terjadi
di balik perpustakaan dan laboratorium.
Pulanglah!

                                                      (coretan 1992)

10. Di geladak kapal NKRI

Di geladak kapal NKRI
kami termangu
dalam kebimbangan
mengental.

Di hati tanya membersit
antara pengharapan
dan harapan
untuk memperoleh
kepastian dermaga tempat kapal
bersandar,
untuk memperoleh
 sejengkal tanah kedamaian
tempat ibadah dirayakan
dengan hati yang lapang,
dan kenyamanan  kaki berpijak
di atas lahan sendiri
merambah hari esok samar terbayang.
Di geladak kapal NKRI
kami saling tatap
redup bola mata yang kosong
menyingkap kepingan hati yang kelam
dan hampa
lantaran semua yang terindah
tinggal kenangan,
lantaran madu kehidupan
menjadi empedu.
Pahitnya, ah, pahitnya
tertumpah di dada!
Perihnya, ah, perihnya
menyesak di kalbu!

Di geladak kapal NKRI
kami saling tanya,
kapan fajar baru menyibak kekelaman,
mengelus wajah sendu
lantaran kebebasan ibadah yang dikerdilkan,
menghangatkan keping-keping hati
duka yang rana
lantaran gedung kebaktian terus diteror?

Di geladak kapal NKRI
yang diterpa badai
dan gelombang roh zaman gulung-gemulung
kami berdoa dalam keterasingan
walau di rumah sendiri

Ya, Santu dari kesekian santu
dan Raja di atas segala raja,
hampirilah umat-Mu
dengan tangan kanan-Mu.
   Pancarkanlah  cahaya pembebasan
dari wajah-Mu kepada kami,
lindungilah kami yang diliputi kegamangan.

Ya, Raja sumber kebahagiaan
lenyapkanlah bayangan
 yang menggelapkan jiwa kami

Ya, Pencipta semesta,
Kami meratap, dengarkanlah kami,
Kami mohon, kasihanilah kami,
Engkaulah Bapa kami,
yang pengasih,
lenyapkanlah nestapa
yang mengungkung  kami
Ya, Terang dunia
Engkaulah  Junjungan  kami yang agung
Ya,  Gembala yang baik,
luputkanlah kami
dari bayang kekelaman
yang merisaukan
memasuki kurun abad ini
                                                     (coretan 2000)


11. Pohon-pohon menelanjangi dirinya

      Mula jadi
 adalah bumi yang polos
ilalang belum lagi tumbuh
semua putih,
awan putih bergumpal
tukar warna,
kelam.

Adalah hembusan angin
menggelisah
datang bersama panas
membakar.

Lalu awan kelam teteskan
air bening
mengalir, meresap
ke rahim bumi.

bersemilah atas kulit bumi
benih pohon-pohon lurus
ilalang, rimba dan taman,
lalu bunga-bunga bermekaran
dan buah-buah bergantungan di ranting
tanpa noda.

Tapi tiba-tiba gemuruh
dan gempa dahsyat menggegerkan segala
dan tanah terban di tengah malam.
Batang-batang pohon bertumbangan
daun-daun  gugur
buah-buah berserakan
di siang yang garang
hijau, coklat, kuning
cemas.

Adalah tanya tercetus di hati
mengapa berguguran daun-daun emas
mengapa renyuk bunga-bunga sutra
mengapa bertebaran buah-buah perunggu
dan pohon-pohon menelanjangi dirinya?

Terdengar jawaban di tengah kesangsian dan harap:

Bumi tidak lagi seimbang dalam pusingan
pada sumbu yang bergeser,
dan taufan baru menerpa
penjuru memenjuru
menyongsong pergolakan dahsyat
tahun dua kosong empat delapan
                                                  (coretan 1998)


12. Perjalanan

Dalam perjalanan ke titian perbatasan
aku dan dia bersenggolan
di kelokan terjal.

Dia menatapku sayang
Aku menatapnya pasrah

dan sorotan mata kami bermuara
di terminal keinsafan.

Kami lantas saling membalut
dalam dekapan hati yang lapang

lalu dahiku dibelai dan diciumnya
sebelum perjalanan kuteruskan.

                                               (coretan 2001)

13. Kekasihku

Kekasihku datang
di senja yang lengang
kudengar suaranya memanggil
di lorong yang kelam

Menghangat damai di kalbu
ketika pundakku dielus
dan tanganku dijabat
aku senang.
                                             (coretan 2002)




14. Cincin

Terima cincin ini
emas jati kemilau
tanda sebentuk cinta

Cincin melilit jari manis
membelit hati manis
tanda kita bertunangan

Bersabarlah sejenak
di penantian senja
esok kita nikah di awan-awan.
                                      (coretan 2004)




15.Di Wajahmu

Di wajahmu kuselami deritaku
Di wajahmu tersirat harapanku
Di wajahmu terpancar kedamaianku

                                                   (coretan 2004)


16. Syahadat

Dalam tangis di palungan Betlehem
Kudengar suara kasih menyibak malam

Pada rintih di palang Golgota
Kudengar lagu kehidupan membelah zaman

Di liang kubur Yusuf Arimatea
Kutemukan keabadian bersama-Mu

                                                    (coretan 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar