Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

PELUKISAN DAN PENALARAN DALAM SAJAK “SETASIUN TUGU”


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

DALAM  buku Bimbingan Apresiasi Puisi (1974;139-142), Drs. S. Effendi membahas pula tentang “pelukisan dan penalaran” dalam sajak “Setasiun Tugu” karya Taufiq Ismail. Untuk mencermati apakah pembahasan Effendi memuaskan atau tidak, di bawah ini saya kutip sajak “Setasiun Tugu” seutuhnya. Pemisahan larik-larik sajak ditandai dengan garis miring tunggal ( / ) sedangkan pemisahan bait-bait sajak ditandai dengan garis miring ganda ( // ). Beginilah bunyi larik-larik sajak “Setasiun Tugu”
“Tahun empat puluh tujuh, suatu malam di bulan Mei/ Ketika kota menderai dalam gerimis yang renyai/ Di tiang barat lentera merah mengerjap dalam basah/ Menunggu perlahan naiknya tanda penghabisan// Kleneng andong terputus di jalan berlinang/ Suram ruang Setasiun, beranda dan tempat menunggu/ Truk menderu dan laskar berlalu lagu perjuangan/ Di Tugu seorang ibu menunggu, dua anak di pangku// Berhentikah waktu di setasiun Tugu, malam ini/ Di suatu malam yang renyai, tahun empat puluh tujuh/ Para penjemput kereta Jakarta yang penghabisan/ Hujan pun aneh di bulan Mei, tak kunjung teduh// Di tiang barat lentera mengerjap dalam basah/ Anak perempuan itu dua tahun, melekap dalam pangkuan/ Malam makin lembab, kuning gemetar lampu setasiun/ Kakaknya masih mencoba nyanyi Satu Tujuh Delapan Tahun// Udara telah larut ketika tanda naik pelan-pelan/ Seluruh penjemput sama tegak, memandang ke arah barat/ Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena/ Berkata lambaikan tanganmu dan panggilan bapak// Wahai ibu muda, sepanjang hari atap-atap kota untukmu berbasah/ Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Kelender/ Kini seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah/ Dan uap ungu berdesir menyeret gerbang jenazah yang terakhir.”
Menurut Effendi, sajak “Setasiun Tugu” senada dengan sajak “Karangan Bunga”. Dijelaskan bahwa bait pertama sajak ini melukiskan kota, malam dan gerimis, serta tiang, lentera dan tanda kereta, pada tahun empat puluh tujuh. Bait kedua melukiskan tentang  andong di jalan, ruang setasiun dan berandanya, truk dan laskar, ibu dan anaknya. Bait ketiga melukiskan tentang setasiun Tugu, malam dan hujan, penjemput dan kereta dari Jakarta, pada tahun itu juga. Demikianlah selanjutnya sajak itu hanya melukiskan sepenggal pengalaman pada suatu tempat dan pada suatu waktu, dengan pengimajian yang konkret dan cermat. Lukisan itu pun jadi hidup dalam penglihatan dan pendengaran imajinatif. Lukisan itu benar-benar sugestif terhadap pembaca. Tanggapan atau komentar terhadap lukisan itu tidak dinyatakan tegas-tegas, apalagi amanat.  Semuanya itu seakan-akan diserahkan  sepenuhnya kepada pembaca. Nadanya benar-benar tersirat.
Penjelasan Effendi kurang memuaskan. Ada beberapa pelukisan dalam sajaknya itu yang ternyata terlangkaui oleh Effendi, padahal lukisan-lukisan tersebut patut dicermati. Sebab, dari lukisan-lukisan itu dapat diketahui: apakah penyair hanya melukiskan sepenggal pengalaman pada suatu tempat dan pada suatu waktu, ataukah penyair melukiskan pengalaman orang lain yang menggugah, dan menawan batinnya. Di samping itu, cara/bentuk pengucapan yang terdapat dalam sajak juga harus diperhatikan, teristimewa pada larik-larik tertentu, karena ada kemungkinan  di situ nada dan pesan penyair bukannya tersirat, melainkan tersurat.
Menurut hemat saya, lukisan-lukisan dalam sajak “Setasiun Tugu”, merupakan wahana bagi nosi dan emosi tertentu yang penyair mau ungkapkan. Nosi dan emosi tertentu itu ialah: “suatu pengalaman tragis yang dialami oleh seorang ibu muda dengan dua anaknya yang masih kecil, yang sementara menunggu dengan penuh harap akan kembalinya suami dan/atau bapak  tercinta kedua anak itu bersama kereta Jakarta di setasiun Tugu.” Cermatilah larik keempat bait keempat, serta larik kedua sampai larik keempat bait kelima. Dari larik-larik tersebut kita ketahui bahwa ibu muda dengan dua anaknya yang dikisahkan nasibnya itu merupakan tokoh sentral sajak “Setasiun Tugu”, namun penyair sengaja menyembunyikannya dengan cermat di antara para penjemput kereta Jakarta. Apakah gerangan pengalaman tragis yang menimpa ibu muda dan kedua anaknya yang masil kecil itu, yang mau diungkapkan oleh penyair?
Dari larik ketiga dan keempat bait kelima, terdapat petunjuk: “Ibu muda menjagakan anaknya yang kantuk dalam lena/ Berkata lambaikan tanganmu dan panggillah bapak.”  Namun ternyata sang bapak tidak membalas lambaikan tangan, dan juga tidak membalas panggilan anaknya sesuai anjuran sang ibu muda. Mengapa? Jawabannya tersirat dalam bait keenam yang diawali dengan larik bermajas eksklamasi: “Wahai ibu muda, sepanjang hari atap-atap kota untukmu berbasah”.” Larik ini mengungkapkan rasa haru/kesedihan yang mendalam.  Dengan larik ini penyair meratapi nasib sang ibu muda dengan kedua anaknya, yang terpaksa harus menempuh hari-hari kehidupan yang suram, yang terbentang di muka, tanpa didampingi lagi oleh suami dan/atau bapak kedua anak terkasih.
Dalam bait keenam itu penyair tidak secara tegas menyatakan kematian bapak dari kedua  anak dan/atau suami dari sang ibu muda yang dilukiskan dalam sajak “Setasiun Tugu”. Secara halus penyair menyiratkan kematian bapak kedua anak dan/atau suami sang ibu muda itu di dalam larik kedua sampai larik keempat bait keenam: “Karena kezaliman militer pagi tadi terjadi di Kelender/ Kini seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah/ Dan uap ungu berdesir menyeret gerbang jenazah yang terakhir.”
Dari pelukisan dan penalaran tersebut kita memperoleh petunjuk bahwa suami sang ibu muda dan/atau bapak kedua anak yang masih kecil itu telah gugur sebagai bunga bangsa di Kelender. Sang bapak kedua anak yang masih kecil  dan/atau suami sang ibu muda itu tidak kembali dalam keadaan selamat, melainkan dalam keadaan mati, terbujur diam dan kaku dalam gerbong  jenazah yang terakhir. Karena peristiwa yang tragis inilah, penyair berkata dalam larik ketiga dan keempat bait keenam: “Kini seluruh republik menundukkan kepala, nestapa dan resah/ Dan uap ungu berdesir menyeret gerbong jenazah yang terakhir.” Itulah nosi dan emosi terutama dalam sajak “Setasiun Tugu” yang ternyata lolos dari pengamatan Effendi.
Berdasarkan analisis di atas ini, maka nada dalam sajak “Setasiun Tugu” tidak sama dengan  nada dalam sajak “Karangan Bunga”. Nada dalam sajak “Karangan Bunga” bersifat manifestasi  yang datar, karena sajak tersebut tidak lahir dari suatu proses pengendapan dan perenungan yang mendalam. Sedangkan nada dalam sajak “Setasiun Tugu” bersifat pengungkapan rasa iba dan sayu yang mendalam. Di samping perbedaan nada, pelukisan dan penalaran dalam sajak “Setasiun Tugu” dan sajak “Karangan Bunga” pun tidak sama.  Dalam sajak “Karangan Bunga”, pelukisan dan penalaran bersifat lugas. Sedangkan dalam sajak “Setasiun Tugu”, pelukisan dan penalaran bersifat lebih sayu, dan  iba. Dengan demikian, kurang cermat dan kurang memuaskan apabila Effendi menyimpulkan bahwa pelukisan dan penalaran dalam sajak “Setasiun Tugu” tidak terdapat tanggapan, komentar, atau amanat. 
*** 
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Senin, 29 Oktober 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar