Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

PELUKISAN DAN PENALARAN DALAM SAJAK “RUMAH KELABU”


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

            DALAM buku Bimbingan Apresiasi Puisi (1974:139-142), Effendi tidak saja membahas tentang pelukisan dan penalaran dalam sajak “Karangan Bunga” dan “Setasiun Tugu” (baca: FP, Jumat, 19-10-2012; dan FP, Senin, 29-10-2012), melainkan Effendi membahas juga sajak “Rumah Kelabu” karya W. S. Rendra. Berikut ini larik-larik sajak “Rumah Kelabu” saya kutip seutuhnya untuk dicermati/dianalisis, sekaligus diinterpretasi/dikomentari.
            “Rumah, batu, rumah kelabu/ begitu lapang berpenghuni satu/ kesuraman merebahinya/ redup lampu, denting piano bertalu// Terpendam penghuninya mengurung diri/ warna duka menembusi  jendela/ lagu piano, lelap sepi, redup lampu// Racun apa mendindingi dirinya/ begitu benar dicintainya sepi?// Pupus Kepercayaan oleh ketidakabadian segala/ Apa ia kelewat mencintai dirinya?/ Tidak dibiarkan satu luka di sisi bekas yang lama?/ Mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?// Penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi/ di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri?// Rumah batu, rumah kelabu/ kemuramannya tidak memberita kecuali teka-teki.”
            Terhadap sajak “Rumah Kelabu” ini Effendi memberi komentar sebagai berikut: “Bait pertama dan kedua hanya merupakan sebuah lukisan. Lukisan tentang sebuah rumah dan penghuninya, kesuraman dan duka, tentang redup lampu, lagu, piano dan sepi. Lukisan itu hidup dan sugestif, karena konkret dan cermat. Tetapi ketika dikatakannya: Racun apa mendindingi dirinya/ begitu benar dicintainya sepi?, mulailah tanggapan atau komentar terhadap lukisan itu tersurat, tidak lagi tersirat, hingga dua bait berikutnya. Ia lahir dari perenungan atau penalaran penciptanya. Pikiran pencipta mulai ikut campur. Nada ketiga bait ini tersurat, eksplisit, tetapi tidak menyampaikan amanat secara eksplisit.”
            Komentar Effendi terhadap sajak “Rumah Kelabu” sebagaimana dikutip di atas ini kurang memuaskan. Rupanya Effendi sama sekali tidak mencermati majas Interogasi yang dipergunakan oleh penyair W.S. Rendra di dalam sajaknya itu. Untuk itu, demi pembahasan yang lebih baik dan memuaskan, saya kutip penjelasan Nesfield mengenai majas Interogasi. Menurut Nesfield (“Figures of Rhetoric”. Dalam Manual of English Grammar and Composition, 1938:246), majas Interogasi umumnya dipergunakan untuk dua maksud. Pertama, penyair mengungkapkan nosi dan emosi dalam bentuk pertanyaan dan membiarkan pertanyaan itu direnungkan, dijawab, atau dikomentari sendiri oleh pembaca. Kedua, penyair mengungkapkan nosi dan emosinya dalam bentuk pertanyaan, kemudian penyair sendiri mengemukakan hasil renungannya, jawabannya, atau komentarnya atas pertanyaan yang telah dikemukakannya dalam sajaknya itu. Dalam hal ini penyair tidak mempersoalkan apakah pembaca akan setuju atau tidak setuju dengan renungan, jawaban, atau komentar yang dikemukakannya itu.
            Berdasarkan penjelasan Nesfield tentang majas Interogasi di atas ini, maka sajak “Rumah Kelabu” karya W.S. Rendra tergolong sajak yang dibangun dengan majas Interogasi untuk maksud yang pertama, namun secara cermat penyair W.S. Rendra memanfatkan pula penggunaan majas Interogasi untuk maksud yang pertama itu untuk merangsang pembaca guna mempertimbangkan komentar-komentar alternatif yang penyair kemukakan dalam majas Interogasi demi memenuhi penggunaan majas Interogasi untuk maksud yang kedua. Inilah salah satu contoh kelihaian Rendra  memanfatkan majas-majas di dalam bersajak. Dengan demikian, di dalam sajak “Rumah Kelabu”, W.S. Rendra mempergunakan majas Interogasi secara utuh untuk mengungkapkan nosi dan emosi imajinatifnya.
Dengan semua pelukisan dan penalaran dalam bait pertama dan bait kedua, penyair ingin menggambarkan suatu suasana ketertutupan yang mengandung tanda tanya, yang merupakan sebuah teka-teki: “Penghuni rumah batu, rumah kelabu, yang mengurung diri bersama hati yang dirundung sepi dan duka, serta mencoba berusaha mengatasinya sendiri…., kenapa…? Mengapa…? Ada apa dengannya…?  Untuk mencoba menerobos suasana ketertutupan itulah, atau untuk mencoba menyingkapkan tabir misteri yang menyekat penghuni yang menyendiri dalam rumah batu, rumah kelabu itulah, maka dalam bait ketiga dan bait keempat penyair menyuguhkan kepada kita (pembaca) beberapa alternatif dalam majas Interogasi untuk kita renungkan, atau kita pecahkan bersama-sama dengan penyair: “Racun apa mendindingi dirinya/ begitu benar dicintainya sepi?// Pupus Kepercayaan oleh ketidakabadian segala?/ Apa ia kelewat mencintai dirinya?/ Tidak dibiarkan satu luka di sisi bekas yang lama?/ Mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?//
Penyair tidak memberikan jawaban atau pemecahan yang tegas terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ditaruh dalam majas Interogasi itu. Penyair mengajak kita (pembaca) untuk bersama-sama dengannya memikirkan, merenungkan, dan mencoba menyingkapkan berbagai kemungkinan yang dibungkus dalam majas Interogasi tersebut. Ya, racun apakah gerangan yang mendindingi sang penghuni rumah batu, rumah kelabu, sehingga begitu benar dicintainya sepi? Apakah racun itu adalah karena telah pupus[-nya] kepercayaan (sang penghuni) oleh ketidakabadian segala? Ataukah lantaran ia (sang penghuni) kelewat mencintai dirinya? Ataukah karena sang penghuni tidak sudi membiarkan satu luka di sisi bekas yang lama? Atau…,  apakah sang penghuni rumah batu, rumah kelabu itu telah mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga…?
Rupanya “racun yang mendindingi sang penghuni rumah batu, rumah kelabu itu” tetap merupakan misteri dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terpecahkan oleh penyair, sehingga penyair bertanya sangsi: “Penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi/ di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri?” Dua larik bait kelima ini merupakan pemecahan yang terlintas di benak penyair, namun pemecahan ini diungkapkan pula oleh penyair dalam majas Interogasi untuk menjadi bahan pertimbangan pembaca. Dan bait terakhir: “Rumah batu, rumah kelabu/ kemuramannya tidak memberita kecuali teka-teki”, adalah merupakan aksentuasi nosi dan emosi imajinatif penyair menyangkut suasana ketertutupan sang penghuni, yang mengurung diri bersama hati yang dirundung sepi dan duka. Suasana ketertutupan yang diliputi misteri dan kemungkinan-kemungkinan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Berdasarkan uraian di atas ini maka dapat saya simpulkan sebagai berikut: (1) Sajak “Rumah Kelabu” tidak tepat untuk dibandingkan dengan sajak “Karangan Bunga” maupun sajak “Setasiun Tugu”. Cara pengucapan sajak “Karangan Bunga”, “Setasiun Tugu”, dan “Rumah Kelabu” tidak sama (berbeda), karena itu nilai-nilainya pun berbeda. (2) Sajak “Rumah Kelabu” memiliki daya evokasi tersendiri, daya pikat tersendiri terhadap perasaan dan pendengaran imajinatif kita—teristimewa bagi orang yang telah mengenal hakikat majas Interogasi. Daya evokasi sajak “Rumah Kelabu” yang dibangun dengan majas Interogasi sebagaimana dijelaskan di atas ini, sesungguhnya kembali menyadarkan kita akan kemajemukan realita kehidupan: ada realita kehidupan yang terucapkan, namun ada pula yang tetap tidak terucapkan. Ada realita kehidupan yang dapat diramalbayangkan dan dipastikan, namun ada pula yang tak dapat diramalbayangkan apalagi dipastikan.
Ya, dengan majas Interogasi sajak “Rumah Kelabu”, kita digugah untuk senantiasa menyadari bagaimana menjalani kehidupan di dunia ini yang senantiasa diliputi misteri dan  kemungkinan-kemungkinan. Kita digugah untuk belajar hidup dengan ketidakpastian. Kita didorong untuk hidup karena percaya, walaupun tidak melihat. 
*** 
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi 6 November 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar