Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

PELUKISAN DAN PENALARAN DALAM SAJAK “KARANGAN BUNGA”


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


Pertama- tama saya ucapkan terima kasih banyak kepada redaksi Flores Pos yang telah menerbitkan tiga tulisan saya, masing-masing berjudul: “Menumbuhkan Minat Sastra Masyarakat NTT” (FP, Kamis, 20 September 2012); “Sastra dan Kritik Sastra” (FP, Kamis, 27 September 2012); serta “Kritik Sastra dan Aliran Pukuafu” (FP, Jumat, 5 Oktober 2012). Dengan telah diterbitkannya tiga tulisan sederhana tentang sastra, kritik sastra, dan aliran Pukuafu, yaitu nama aliran kritik sastra versi kritikus sastra A. G. Hadzarmawit Netti, maka dalam tulisan kali ini saya sajikan sebuah telaah sastra berjudul, “Pelukisan dan penalaran dalam sajak ‘Karangan Bunga’”. Dan pada kesempatan berikutnya, ada dua sajak lagi yang akan saya telaah, yaitu sajak “Setasiun Tugu”, karya Taufiq Ismail, dan sajak “Rumah Kelabu”, karya W. S. Rendra.

 Dalam buku Bimbingan Apresiasi Puisi (1974:139 – 142), Drs. S. Effendi membahas tentang “pelukisan dan penalaran” dalam sajak. Beberapa sajak yang dibahas oleh Effendi antara lain “Karangan Bunga” dan “Setasiun Tugu” karya Taufiq Ismail, serta sajak “Rumah Kelabu” karya W. S, Rendra. Setelah membahas sajak-sajak tersebut, Effendi menyimpulkan bahwa “Lukisan yang hidup, tanpa tanggapan, komentar atau amanat, dapat bersifat sugestif terhadap pembaca.”

Berikut ini saya akan membahas sajak “Karangan Bunga” karya Taufiq Ismail untuk menguji apakah kesimpulan Effendi sebagaimana di kutip di atas ini memuaskan, atau kurang memuaskan. Dalam pengutipan sajak “Karangan Bunga” berikut ini, pemisahan lari-larik sajak saya tandai dengan garis miring tunggal ( / ), sedangkan pemisahan bait sajak saya tandai dengan garis miring ganda ( // ). Dengan demikian larik-larik dan bait sajak “Karangan Bunga” saya kutip sebagai berikut: “Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu// ‘Ini dari kami bertiga/ Pita hitam pada karangan bunga/ Sebab kami ikut berduka/ Bagi kakak yang ditembak mati/ Siang tadi’.”

Menurut Effendi, kewajaran lebih menonjol pada sajak ini. Selain itu, nadanya lebih tersirat, lebih implisit. Ketersiratan dan keimplisitan nada ini disebabkan karena penciptanya hanya menunjukkan atau melukiskan apa yang hendak diungkapkannya, tanpa menanggapi, mengomentari atau menentukan sikap terhadap lukisan itu. Pesan atau amanatpun hanya tersirat, tidak tegas-tegas dinyatakan.

Penjelasan Effendi sebagaimana dikutip di atas ini hanya cocok dan memuaskan untuk bait pertama (larik pertama sampai larik keempat). Pada bait pertama yang terdiri atas empat larik itu penyair hanya menunjukkan atau melukiskan tentang tiga anak kecil, (yang) dalam langkah malu-malu datang ke Salemba, sore itu. Perhatikan larik-larik bait pertama: “Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu”.  Dalam larik-larik tersebut tidak ada tanggapan, komentar atau penentuan sikap penyair, dan juga tidak ada amanat. Keempat larik pada bait pertama itu benar-benar hanya merupakan sebuah lukisan.

Namun untuk bait kedua (larik pertama sampai larik kelima), penjelasan Effendi kurang cocok dan kurang memuaskan. Rupa Effendi tidak memperhatikan empat hal yang terdapat dalam bait kedua itu. Empat hal yang saya maksudkan itu yaitu: Pertama, bait kedua yang terdiri atas lima larik itu diapit oleh tanda petik tunggal (‘…’). Dalam karangan atau tulisan biasa, tanda petik tunggal (‘…’) berfungsi untuk mengapit makna atau penjelasan kata. Dalam sajak, tanda petik tunggal (‘…’) berfungsi untuk aksentuasi  makna (maksud, amanat, arti, isi), yang lazimnya saya sebut  “nosi dan emosi”.

Kedua, penggunaan pronomina penunjuk umum (ini), mengacu ke acuan yang dekat dengan pembicara (penulis), atau mengacu ke informasi yang akan disampaikan. Pronomina penunjuk ini yang penyair pergunakan di awal larik pertama bait kedua, mengacu ke informasi (pesan, keterangan, komentar) yang akan disampaikan. Apabila larik sajak tersebut dilisankan atau dibaca, maka pronomina penunjuk ini diikuti jeda dan/atau aksentuasi. Dengan demikian terciptalah aksentuasi/penekanan yang mengacu pula ke informasi (pesan, keterangan, komentar) yang akan disampaikan.

Ketiga, penggunaan keterangan penyebab (sebab) pada awal larik ketiga bait kedua berfungsi untuk menyatakan alasan terjadinya suatu peristiwa atau kejadian. Dengan demikian, penggunaan kata sebab di awal larik ketiga bait kedua pada gilirannya merupakan suatu pernyataan alasan, atau pernyataan prinsip. Keempat, penggunaan preposisi monomorfemis (bagi) di awal larik keempat, berfungsi untuk menandai hubungan peruntukan—yang di dalam larik sajak, kata itu berfungsi pula untuk menegaskan makna (maksud, amanat, arti, isi), yang lazimnya saya sebut nosi dan emosi.

Berdasarkan empat hal yang dikemukakan di atas inilah, saya berpendapat bahwa pelukisan dan penalaran larik-larik bait kedua sajak “Karangan Bunga” tidak sama dengan pelukisan dan penalaran larik-larik bait pertama. Larik-larik pada bait pertama memang hanya merupakan sebuah lukisan. Akan tetapi bait kedua seutuhnya merupakan sebuah pernyataan (sebuah maklumat, sebuah manifestasi) yang tegas. Larik-larik bait kedua merupakan sebuah tanggapan (pendapat, reaksi, komentar, respons) penyair, yang menempatkan diri pada posisi tiga anak kecil, berkenaan dengan tokoh “kakak yang ditembak mati/ Siang tadi”. Dengan demikian, dalam bait kedua itu pesan atau amanat tidak lagi tersirat, melainkan telah dinyatakan secara tegas (tersurat).

Bait kedua sajak “Karangan Bunga” itu akan menjadi sebuah lukisan seperti bait pertama, apabila larik-lariknya digubah sebagai berikut: “Seorang di antaranya/ Meletakkan karangan bunga berpita hitam/ Di keranda jenazah kakak yang ditembak mati/ Siang tadi”.  
 *** 
( Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Jumat, 19 Oktober 2012 ).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar