Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

PERTANGGUNGJAWABAN ATAS PENGUTIPAN PUISI RATAPAN SEMESTA


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

TAHUN 2012 telah berlalu, tetapi bagi saya ada sebuah memori yang mengharuskan saya membuat pertanggungjawaban dalam tahun 2013. Dan memori yang mengharuskan pertanggungjawaban itu tersurat dan tersirat dalam “Ratapan Atas Ratapan Semesta” (FP, 18-12-2012). Ketika membaca artikel berjudul “Ratapan Atas Ratapan Semesta” (FP, 18-12-2012, hlm.10), saya sangat menyesal bahwa puisi “Ratapan Semesta” karya penyair John Dami Mukese yang termuat di Majalah Lintasan WISATA Dinas Pariwista Provinsi NTT, edisi kedua, Maret 1993 itu, ternyata terdapat banyak kesalahan.
Sebagai pertanggungjawaban, secara pribadi saya telah mengirim kepada penyair John Dami Mukese majalah Lintasan WISATA  yang memuat puisi “Ratapan Semesta” (Surat Kilat Khusus, 28-12-2012). Saya kirim majalah aslinya, dengan tujuan ingin menjaga dan menegakkan citra saya sebagai seorang penulis. Pada halaman 23 Majalah Lintasan WISATA itu terdapat komentar atau catatan pengantar dari redaksi di bawah judul  “Kelabu di Flores”. Pada alinea ketiga,  dikatakan begini: “Ah … inikah murka? Dari Ende, JOHN DAMI MUKESE, imam yang gembala umat itu mengirim untaian hatinya ratapan semesta, sementara dari Larantuka THOMAS BORO & ROFIN ALBERT LAZAREN mengirim goresan lagu “Lukaku Akhir Tahun” dan “Natal Kelabu”. Catatan redaksi ini meyakinkan saya bahwa larik-larik dan keutuhan struktur puisi “Ratapan Semesta” yang termuat di halaman 24 majalah tersebut sungguh asli, dan sungguh benar adanya. Catatan pengantar dari redaksi itu pun memberi petunjuk secara gamblang bahwa puisi “Ratapan Semesta” yang dimuat di majalah Lintas WISATA itu dikirim oleh penyair John Dami Mukese kepada redaksi.
Dengan demikian, kecerobohan dilakukan oleh redaksi majalah Lintasan WISATA. Dan saya—lantaran tidak memiliki buku kumpulan puisi Doa-Doa Semesta karya penyair John Dami Mukese—berpendapat bahwa puisi yang dimuat di majalah tersebut niscaya sesuai dengan aslinya, sehingga saya tidak ragu-ragu merujuknya untuk dikontemplasikan. Semoga penjelasan singkat ini, serta majalah Lintasan WISATA yang telah saya serahkan sebagai bukti pertanggungjawaban itu, dapat  dimaklumi oleh penyair John Dami Mukese [yang tak lain adalah Pemimpin Umum Harian Umum FLORES POS], bahwasanya saya [A. G. Hadzarmawit Netti] sama sekali tidak melakukan kecerobohan.
Bersama dengan majalah Lintasan WISATA, saya serahkan pula fotokopi kliping artikel Dr. Paul Budi Kleden, SVD berjudul “Bencana alam: Sebuah hukuman Allah?” (POS KUPANG, Senin 10 Januari 2005), di mana pandangan beliau saya kutip [ditandai dengan stabilo]. Tujuan saya menyerahkan kliping itu pun sama: untuk menjaga integritas/kejujuran. Karena sebagai penulis, sejak mulai menekuni dunia tulis-menulis pada tahun 1970-an—apalagi kini memasuki usia yang ke-72 tahun—saya tidak suka mengada-ada dan memutarbalikkan pendapat/pandangan orang lain. Apalagi mengingat artikel tersebut telah diterbitkan delapan tahun yang lalu, dan belum tentu banyak orang menyimpan klipingnya, kecuali naskah aslinya disimpan secara baik oleh penulisnya, yaitu Dr. Paul Budi Kleden, SVD.
***
Berkenaan dengan pengutipan yang salah atas larik-larik puisi, maupun pengubahan dan penghilangan kata, penambahan kata dan tanda baca, pemenggalan dan pengubahan susunan larik-larik, peniadaan bait-bait yang membangun keutuhan struktur puisi, sehingga mengganggu intensi serta koherensi nosi dan emosi imajinatif yang tersurat dan tersirat dalam puisi sebagaimana telah terjadi atas puisi “Ratapan Semesta” karya penyair John Dami Mukese, memang sungguh sangat menjengkelkan dan menyakitkan hati. Saya benar-benar merasa terusik dan sangat kecewa ketika membaca dan membandingkan puisi “Ratapan Semesta” yang termuat dalam majalah Lintasan WISATA dengan puisi asli yang ditampilkan oleh penyair John Dami Mukese dalam artikel “Ratapan Atas Ratapan Semesta” (FP, 18-12-2012). Karena itu, menurut saya, sangat pantas apabila penyair John Dami Mukese mengekspresikan kekesalan maupun ‘kemarahannya’ secara tegas.
Bayangkan! Puisi asli [“Ratapan Semesta”] yang terdiri atas 13 bait dengan larik-larik yang membangun keutuhan puisi sebanyak 60 larik, dipermak oleh redaksi majalah Lintasan WISATA menjadi 46 larik tanpa bait. Selain itu, terdapat berbagai kecerobohan yang dilakukan  yaitu: bait pertama yang terdiri atas empat larik dijadikan dua larik; bait kedua empat larik dijadikan tiga larik, kemudian kata habis dihilangkan, lalu kata dan ditambahkan. Empat larik bait ketiga cocok tetapi ada penambahan garis titik-titik di antara ya Tuhan dan huruf M ditulis m pada kata  ganti kepunyaan –Mu. Larik kelima dan keenam bait ketiga dijadikan satu larik, dan larik ketujuh dan kedelapan dijadikan satu larik. Pada bait keempat, langit-Mu ditulis langit Mu;  hujan-Mu ditulis hujan Mu; Kaubiarkan ditulis Kau biarkan; dan kata murka-Mu dihilangkan. Pada bait kelima, Kaututupi ditulis Kau tutupi. Pada bait keenam kata berderai  pada akhir larik pertarma dihilangkan, lalu digantikan dengan kata membasahi yang sebenarnya terdapat pada larik kedua yang berbunyi membasahi segenap alur sungai. Kemudian larik ketiga dan keempat bait keenam yang berbunyi Tapi hujan-Mu tak kunjung tiba/ membawa damai batin kami yang damba, diubah menjadi tapi hujan tak kunjung tiba membawa/ damai batin kami yang damba. Bait ketujuh tidak mengalami perubahan. Pada bait kedelapan, kata terbakar pada akhir larik pertama dihilangkan, dan kata sepanjang jalan  pada larik kedua ditulis sepanjang jalanan. Bait kesembilan larik ketiga dan keempat yang berbunyi telah musnah menjadi mangsa malang/ racun tanah tanpa humus tanpa air, diubah menjadi Telah musnah menjadi mangsa malam racun tanah/ tanpa humus tanpa air. Pada bait kesepuluh, larik pertama yang berbunyi Gelak tawa anak-anak kami  ditulis gelak tawa anak-anak kami telah diganti;  larik kedua yang berbunyi telah diganti kuatir tak usai diubah menjadi Kuatir tak usai; dan larik keempat bait kesepuluh yang berbunyi di ujung senja-Mu penuh sangsi diubah menjadi Di ujung senja Mu penuh sanksi. Pada bait kesebelas, larik pertama dan kedua puisi asli dijadikan satu larik; larik ketiga dan keempat puisi asli dijadikan satu larik; larik kelima dan keenam puisi asli dijadikan satu larik; larik tujuh dan delapan puisi asli dijadikan satu larik. Pada bait kedua belas, larik ketiga puisi asli yang berbunyi bahwa Engkau datang memulihkan dihilangkan . Dan bait ketiga belas yang terdiri atas empat larik, dihilangkan sama sekali oleh redaksi majalah Lintasan WISATA.
Berdasarkan tinjauan di atas ini saya dapat menyimpulkan bahwa (1)  redaksi majalah Lintasan WISATA telah melakukan kecerobohan dengan sengaja dalam pengeditan puisi “Ratapan Semesta”  karya penyair John Dami Mukese, karena itu patut dicela dan dikecam secara tegas. (2) Nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam puisi “Ratapan Semesta” tetap merupakan pemikiran dan pergumulan kristen dengan masalah teodice. Dan dalam larik-larik puisi “Ratapan Semesta” yang asli, pemikiran dan pergumulan dengan masalah teodice diwedarkan oleh penyair John Dami Mukese secara sangat baik dan sangat memuaskan, ketika puisi tersebut diakhiri dengan bait ketiga belas yang larik-lariknya berbunyi: “Ya Tuhan semesta alam/ Pulihkanlah kami kembali/ Ciptakan lagi alam nan indah/ Negeri tercinta kediaman kami!”  Larik-larik bait ketiga belas ini mencerminkan ketakwaan penyair terhadap Tuhan yang mahabaik, mahaadil dan mahakasih di dalam kehidupan manusia dengan segala penderitaan yang dialami. Dan seharusnya demikian juga ketakwaan kita terhadap Tuhan yang kita imani di dalam menghadapi setiap bencana dan cobaan hidup.  Namun sangat disayangkan, nosi dan emosi imajinatif yang sangat indah yang tersurat dan tersirat dalam larik-larik bait ketiga belas itu dihilangkan oleh redaksi majalah Lintasan WEISATA. 
*** 
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Senin, 11 Februari 2013).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar