Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

“RATAPAN SEMESTA” (Sebuah Refleksi)


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

PADA tanggal 12 Desember 2012 tahun ini akan genap dua puluh tahun terjadinya suatu peristiwa teramat tragis di sepenggal dunia bernama Flores. Peristiwa tragis itu ialah gempa berkekuatan 7,5 SR yang terjadi di laut Flores, sebelah utara pulau tersebut, sehingga menimbulkan tsunami setinggi 36 meter yang menyapu permukiman di pesisir pantai Flores. Bencana dahsyat itu terjadi pada tanggal 12 Desember 1992.
Gempa tersebut menghancurkan 18.000 rumah, 113 sekolah, 90 tempat ibadah, dan lebih dari 65 tempat lainnya. Kabupaten yang terkena gempa itu ialah Kabupaten Sika, Ngada, Ede, dan Flores Timur. Sedangkan tsunami yang menyapu permukiman di pesisir pantai Flores menewaskan 2.100 orang; 500 orang dinyatakan hilang; 447 orang mengalami luka-luka, dan 5.000 orang mengungsi. Gempa dan tsunami Flores tergolong bencana alam yang dahsyat! Dari berbagai sumber yang saya catat, di samping gempa dan tsunami Flores, dan gempa serta tsunami Aceh  yang menewaskan 226 ribu orang, ada 13 gempa dahsyat dan tsunami yang terjadi antara tahun 1920 sampai tahun 2011 yang menewaskan 1.288.800 orang.
Sehubungan dengan  peristiwa gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, saya sangat terkesan dengan refleksi teologis Dr. Paul Budi Kleden, SVD dalam artikel “Bencana alam: Sebuah hukuman Allah?” (POS KUPANG, Senin, 10 Januari 2005). Pada alinea 13, Paul Budi Kleden berkata, “Adalah benar bahwa kita perlu menimba hikmah dari bencana alam seperti yang terjadi pada tanggal 26 Desember [2004]. Peristiwa itu hendaknya menyadarkan kita akan betapa goyahnya hidup ini. Kematian dapat menimpa seseorang secara tak terduga. Bencana dapat merenggut orang yang kita kasihi sebelum kita sanggup menyampaikan rasa terima kasih atau ungkapan penyesalan kita kepadanya. Sebab itu, kita perlu mendekatkan diri kepada-Nya, mencari dan melaksanakan kehendak-Nya, karena dapat saja terjadi kita sudah mesti mempertanggungjawabkan peluang hidup yang diberikan-Nya sebelum kita merasa cukup matang untuk itu…” Dan pada alinea 16, Paul Budi Kleden lebih lanjut berkata, “Di tengah alam yang terus berubah ini, di tengah dunia yang bisa saja mendatangkan bencana bagi manusia, pertanyaan yang paling penting adalah: bagaimana mengimani Allah sebagai kekuatan untuk tetap mencintai dan mengupayakan kehidupan. Semua gambaran tentang Allah yang menghancurkan semangat hidup perlu dijauhkan, untuk menumbuhkan konsep tentang Allah yang menjadi sumber harapan di tengah kematian yang tak terduga dan penderitaan yang bertimbun…” Refleksi teologis  Paul Budi Kleden, yang saya kutip ini sangat benar.
 Berkenaan dengan peristiwa gempa dan tsunami Flores pada 12 Desember 1992, yang pada 12 Desember 2012 genap terjadi 20 tahun yang lalu, saya tergugah untuk mengapresiasi sebuah puisi indah tentang bencana alam berjudul, “RATAPAN SEMESTA”, karya penyair John Dami Mukese, yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:
“Pandanglah  ya… Tuhan apa yang terjadi atas kami/ Lihatlah dan saksikan sendiri kehinaan umat-Mu tersiksa/ Kami terjepit oleh derita, napas kami didesak/ bencana, udara tercemar mengelilingi kami/ Dan air kotor menggenangi kami/ Mengapa Engkau menghindar ya … Tuhan/ Biarkan kami dalam rana?/ Mengapa wajahmu Kaupalingkan/ Sedangkan alam terus menyiksa?/ Karena negeri kami tercinta telah menjadi musuh kami/ Tanah yang kami usahakan kini hasilkan wabah kelaparan/ Mengapa Engkau menutup langit-Mu/ Melarang hujan menetesi bumi?/ Mengapa Kaubiarkan tanah kami hangus/ Dibakar mentari terik?/ Di tepi-tepi kali kering kami menangis/ Menyesali salah leluhur kami/ karena seluruh daerah aliran sungai/ Kini kerontang sejak sumbernya Kau tutupi/ Di sana air mata kami membasahi/ Segenap alur sungai/ tapi hujan tak kunjung tiba membawa/ damai batin kami yang damba/ Lidah kami melekat di langit-langit/ karena dahaga terlampau hebat/ Kerongkongan kami mengering/ Oleh kehausan maha dahsyat/ Kaki kami melepuh nyeri/ Oleh debu menebal sepanjang jalanan/ Kauhidangkan keringat bercucuran/ Bagai minuman di tengah siang/ Sia-sia kami mencari bakung di padang/ Mawar yang menghiasi tanaman kami/ Telah musnah jadi mangsa dalam racun tanah/ Tanpa humus tanpa air/ Gelak tawa anak-anak kami telah diganti/ Kuatir tak usai/ Tentang masa depan tak pasti/ Di ujung senja-Mu penuh sanksi./ Dari padang-padang tandus kami mengadu/ dari bukit-bukit gundul kami mengeluh/ dari lembah-lembah gersang kami mengerang/ dari sungai-sungai kering kami menjerit/ Tapi tak seorangpun mendengar/ rela membawa berita kesukaan/ nasib ciptaan-Mu terlantar” ( Majalah Lintasan WISATA *Untaian Mutiara Flobamora*. Dinas Pariwisata Provinsi NTT, Edisi Kedua, 1993:24).
Ya, “Ratapan Semesta”! Tangisan universal yang disertai ucapan yang mengharukan  akibat bencana alam. Itulah nosi dan emosi yang diwedarkan dalam larik yang berbunyi: “Pandanglah ya… Tuhan apa yang terjadi atas kami/ Lihatlah dan saksikan sendiri kehinaan umat-Mu tersiksa/ Kami terjepit oleh derita, napas kami didesak/ bencana, udara tercemar mengelilingi kami/ Dan air kotor menggenangi kami”. Itulah ratapan semesta akibat bencana yang mencetuskan persoalan teodice bagi seluruh umat manusia: “Mengapa Engkau menghindar ya… Tuhan/ Biarkan kami dalam rana?/ Mengapa wajah-Mu Kaupalingkan/ Sedangkan alam terus menyiksa?/ Mengapa Engkau menutup langit-Mu/ Melarang hujan menetesi bumi?/ Mengapa Kaubiarkan tanah kami hangus/ Dibakar mentari terik?”
Di dalam lingkungan pemikiran Kristen yang bergumul dengan masalah teodice,  dapat dibedakan beberapa dasar pandangan. Namun satu pandangan yang sangat saya setujui ialah pandangan teologis Paul Budi Kleden, sebagaimana telah saya kutip di atas. Dan senada dengan pandangan teologis Paul Budi Kleden, penyair John Dami Mukese melakukan suatu refleksi berkenaan dengan bencana alam yang terjadi, dan yang dialami: “Di tepi-tepi kali kering kami menangis/ Menyesali salah leluhur kami.”  Larik puisi ini menyarankan suatu keinsafan, bahwasanya bencana alam yang terjadi bukan semata-mata hukuman Allah yang ditimpakan kepada manusia, melainkan karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola alam dan lingkungan hidup. Akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, yang penyair lukiskan sebagai “salah leluhur kami”, maka berbagai nestapa bencana alam dialami generasi kemudian dan anak-cucu, sebagaimana nosi dan emosi yang  penyair lukiskan mulai dari larik ke-16 dan ke-17: “karena seluruh daerah aliran sungai/ Kini kerontang sejak sumbernya Kaututup”, sampai dengan larik-larik yang berbunyi: “Dari padang-padang tandus kami mengadu/ dari bukit-bukit gundul kami mengeluh/ dari lembah-lembah gersang kami mengerang/ dari sungai-sungai kering kami menjerit”.
Lalu, adakah orang-orang sebagai pihak-pihak berkompeten yang mendengar dan mempedulikan mereka yang mengadu, mengeluh, dan menjerit akibat bencana alam? Pada tiga larik terakhir, penyair John Dami Mukese menyaksikan: “Tapi tak seorangpun mendengar/ rela membawa berita kesukaan/ nasib ciptaan-Mu terlantar.” Larik-larik ini menyarankan: tidak adanya kepedulian sosial terhadap mereka yang menderita dari pihak yang berkompeten! Sungguh sangat tragis dan ironis. 
*** 
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Rabu, 12 Desember 2012).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar