Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 23 Agustus 2013

BEBERAPA CATATAN SEKITAR “PUISI LUGU”


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

SEKITAR tahun 1970-an di Indonesia muncul suatu corak puisi yang dinamakan “puisi lugu” [puisi bersahaja]. Ada pula yang menamakannya “puisi mbeling” [puisi ringan yang tujuannya membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang], “puisi awam” [puisi biasa, tidak istimewa], atau “puisi populer” [puisi yang mudah dipahami orang banyak], “puisi picisan” [puisi bermutu rendah]. Muncul dan berkembangnya puisi lugu pada tahun-tahun tersebut sempat menimbulkan sikap/penilaian pro dan kontra, baik dikalangan penyair sendiri maupun di kalangan penikmat sastra dan kritikus sastra.
Puisi lugu mendapat perhatian dan tanggapan serius lagi pada  tahun 1976, ketika seorang penyair muda Jakarta bernama Yudhistira Ardi Nugraha  turut ditetapkan oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta sebagai pemenang dalam pemilihan penulis buku puisi terbaik, di samping penyair senior Sitor Situmorang, Abdul Hadi W.M., dan Sutardji Calzoum Bachri. Adapun buku-buku puisi terbaik yang ditetapkan oleh Komite Sastra DKJ tersebut yakni: Peta Perjalanan (Sitor Situmorang), Meditasi (Abdul Hadi W.M.), Amuk (Sutardji Calzoum Bachri), dan  Sajak Sikat Gigi (Yudhistira Ardi Nugraha).
Keputusan Komite Sastra DKJ yang menetapkan penyair muda Yudhistira Ardi Nugraha termasuk sebagai pemenang menimbulkan reaksi yang keras, khususnya dari ketiga penyair senior yang dinyatakan pula sebagai pemenang. Sitor Situmorang, Abdul Hadi W.M., dan Sutardji Calzoum Bachri secara tegas menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap Komite Sastra DKJ, bahkan menilai Komite Sastra DKJ ceroboh, karena karya mereka sebagai penyair senior dimasukkan dalam kategori yang sama dengan karya penyair muda Yudhistira Ardi Nugraha, yang mereka anggap “lugu, tidak berbobot, atau Kitsch”.  Catatan: Kitsch, dalam kesenian, artinya: tulisan yang tidak bermutu; roman picisan; karya seni apa saja yang terlalu berlebih-lebihan, mutunya lebih rendah, atau cita rasanya buruk (Chambers Twentieth Century Dictionary 1972:726; The New Lexicon Webster International Dictionary 1971:529).
Reaksi ketiga penyair senior tersebut bukan saja ditentukan oleh faktor subjektif, yaitu rasa ketersinggungan mereka sebagai penyair senior yang disetarakan dengan seorang penyair muda yang karyanya dinilai lugu, melainkan ditentukan pula oleh faktor mendasar yang secara fanatik telah dianut dalam dunia kepenyairan dan dunia perpuisian, yaitu faktor kriteria yang menentukan suatu karya puisi itu dinilai berbobot atau tidak, dan yang serentak menentukan pula seorang penyair diakui sebagai penyair yang berbobot atau tidak berbobot. Pada dasarnya kriteria yang dianut dalam dunia perpuisian dan dunia kepenyairan konvensional yakni: pertama, pendalaman masalah manusia yang luas dan universal; kedua, wawasan cipta sang penyair; ketiga, keterlibatan penyair dengan masalah manusia yang luas dan universal; keempat, sikap dan motif bersajak sang penyair harus jelas; dan kelima, pencapaian estetik sang penyair dalam karya puisinya harus betul-betul personal, tidak imitatif.
Berdasarkan kelima kriteria di atas inilah Sitor Situmorang, Abdul Hadi W.M, dan Sutardji Calzoum Bachri tegas menolak ditetapkannya penyair muda Yudhistira Ardi Nugraha  sebagai pemenang. Menurut ketiga penyair senior tersebut, sajak Yudhistira merupakan parodi yang gagal dari sajak. Yudhistira dinilai tidak mengerti apa itu puisi dan peranan penyair. Di dalam Sajak Sikat Gigi tidak ada pendalaman masalah manusia dan penyairnya, serta tidak ada wawasan cipta penyair. Keterlibatan penyair dengan masalah-masalah manusia yang luas dan universal tidak tampak, begitu pula dengan sikap dan motif bersajak penyair tidak jelas, di samping tidak adanya pencapaian estetik penyair dalam puisi-puisinya yang betul-betul personal. Abdul Hadi W.M mengatakan: apa yang Yudhistira kemukakan dalam sajaknya, adalah sekadar melucu, sekadar permainan kata-kata atau logika, dan hanya menulis sesuatu mengenai kulit luarnya saja.
Apapun komentar atau kritik yang dilontarkan kepada penyair Yudhistira Ardi Nugraha dengan karyanya yang berjudul Sajak Sikat Gigi, menurut pertimbangan saya, Yudhistira sudah menempati posisi tersendiri dalam dunia perpuisian kontemporer Indonesia pada tahun 1970-an. Sama saja dengan presensi penyair Sutardji Calzoum Bachri yang pernah berpendirian, “kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian, kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea”, lalu pada tahun 1973-1974 menggubah puisi semisal “Q”,  “Tragedi Winka & Sihka” , dan “AMUK”; maupun Sitor Situmorang yang dulu melahirkan puisi “Malam Lebaran” yang hanya terdiri atas satu larik saja yang berbunyi, “Bulan di atas kuburan”; maka mengapa Yudhistira tidak boleh menampilkan puisi yang lugu atau puisi mbeling seperti  “Biarin”, “Tak Sudi”, dan “Lagu Kiriman”
Lalu, apakah ciri puisi yang dikategorikan sebagai puisi lugu atau puisi mbeling itu? Puisi lugu atau puisi mbeling itu, berbeda dengan puisi serius, pada umumnya ditandai oleh: (1) pengungkapan kesan sekilas dari peristiwa kehidupan sehari-hari; (2) Apakah itu peristiwa kehidupan yang besar atau kecil, diungkapkan oleh penyair secara lugu dan mengandung humor; (3) Penggunaan diksi dan simbol yang ringan dan tepat, bahkan kata-kata yang sering dipergunakan oleh penyair adalah kata-kata yang kasar dan jorok; (4) Cara pengungkapan bersifat blak-blakan, terus terang, di samping penggunaan bahasa kacauan, atau penggunaan bahasa yang tidak mengindahkan norma bahasa. Berikut ini saya kutip puisi penyair Yudhistira Ardi Nugraha berjudul “BIARIN” sebagai contoh. Larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:
“Kamu bilang hidup ini brengsek. Aku bilang biarin/ kamu bilang hidup ini ngak punya arti. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku ngak punya kegembiraan. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku ngak punya pengertian. Aku bilang biarin// habisnya, terus terang saja, aku ngak percaya sama kamu/ tak usah marah. Aku tahu kamu orangnya sederhana/ cuma karena kamu merasa asing saja makanya kamu selalu bilang/ seperti itu// kamu bilang aku bajingan. Aku bilang biarin/ kamu bilang aku perampok. Aku bilang biarin// soalnya, kalau aku ngak jadi bajingan, menjadi apa coba,/ lonte?// aku laki-laki. Kalau kamu ngak suka kepadaku sebab itu/ aku rampok hati kamu. Tokh ngak ada yang ngak perampok di/ dunia ini, iya ngak? Kalau ngak percaya tanya saja sama polisi// habisnya, kalau ngak kubilang begitu mau apa coba/ bunuh diri? Itu lebih brengsek daripada membiarkan hidup ini/ berjalan seperti kamu sadari sekarang ini// kamu bilang itu menyakitkan. Aku bilang biarin.”
 Terlepas dari berbagai macam kategori, setiap puisi dapat dipertanyakan: adakah artinya yang sebenarnya? Terhadap pertanyaan ini, terdapat beberapa jawaban: (1) Dengan puisi penyair dapat memberikan hiburan, semangat, sindiran, kritikan atau kecaman, nasihat, bahkan juga hasutan, atau propaganda kepada masyarakat. (2) Puisi sebagai suatu karya seni yang otentik dapat membawa manusia untuk berdoa. Dan setiap puisi yang baik adalah suatu pemberitaan dan kesaksian yang sangat efektif. (3) Puisi bukanlah selamanya sesuatu yang agung (penyaksian kedalaman makna kehidupan), tetapi sesuatu yang dapat diajak santai dan bermain-main. 
*** 
(Telah dimuat di Harian Umum FLORES POS, edisi Rabu, 21 November 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar