Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 09 Oktober 2014

Sorot Balik Tentang Kehadiran Buku Kristen Dalam Sastra Indonesia (BPK Gunung Mulia Jakarta 1977) #2


Berkenaan dengan lima catatan yang dikemukakan di atas ini, saya ingin mengomentari tanggapan Korrie Layun Rampan, terkait dengan buku Kristen Dalam Sastra Indonesia, yang terdapat pada halaman 151 – 152 bukunya yang berjudul, Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra – Himpunan Esai dan Kritik (yayasan arus jakarta, 1984). Tanggapan Korrie Layun Rampan atas buku saya itu, saya peroleh pada tahun 2012 dari sahabat saya, Drs. Yohanes Sehandi, M.Si., dosen bahasa dan sastra Indonesia di Universitas Flores.

Pertama
Korrie Layun Rampan (untuk selanjutnya akan saya sapa, Korrie) mengatakan begini: “Sebenarnya pokok masalah Kristen dalam Sastra Indonesia ini yang bertolak dari isi ceramah Pater Dick Hartoko: ‘Mengerling Sastra Indonesia dari Sudut Kristen’…”  Pernyataan ini salah. Tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia” dipersiapkan dan disodorkan oleh Pengurus Dewan Kesenian Jakarta kepada Dick Hartoko untuk diceramahkan. Tetapi ternyata terhadap tema tersebut Dick Hartoko mengubahnya secara sepihak menjadi,  “Mengerling Sastra Indonesia dari Sudut Kristen”.

Oleh karena tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia” yang disodorkan oleh Pengurus Dewan Kesenian Jakarta itu sangat penting dan aktual dalam pandangan Kristen, namun hanya dikerlingi saja oleh Dick Hartoko, maka saya merasa terpanggil untuk mengemukakan pandangan saya tentang panggilan Kristen yang tersirat di dalam tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia” itu, sekaligus mengkritisi opini Dick Hartoko, Satyagraha Hoerip, M. S. Hutagalung, dan Sumartono, yang tidak membahas tentang tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia” yang disodorkan oleh Pengurus Dewan Kesenian Jakarta, melainkan hanya berkutat soal sastra Kristen dan/atau tentang penamaan sastra Kristen.

Kedua
Korrie menilai bahwa buku saya, Kristen Dalam Sastra Indonesia agak mengambang. Menurut penilaian saya atas kritik Korrie, maka saya dapat berkata begini: .(1) Sesungguhnya nalar Korrie-lah yang mengambang, karena Korrie tidak memahami dan menghayati sebaik-baiknya tentang konsepsi panggilan dan presensi Kristen dalam konteks kehidupan sastra Indonesia. (2) Kalau, Kristen Dalam Sastra Indonesia itu agak mengambang seperti kata Korrie, atau benar mengambang, maka staf ahli BPK Gunung Mulia Jakarta lebih bodoh dari Korrie, sehingga mereka bisa merekomendasikan buku  itu untuk diterbitkan. (3) Tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia” itu telah dipolemikkan pada tahun 1970. Naskah buku yang berjudul sesuai tema yang dipolemikkan itu, saya kirim ke BPK GM Jakarta pada tahun 1974, sedangkan penerbitannya pada tahun 1977. Ada rentang waktu yang cukup panjang (lama) bagi redaksi dan staf ahli BPK GM untuk melakukan penilaian secara cermat, layak tidaknya naskah buku itu diterbitkan, karena merekalah yang menanggung biaya penerbitan termasuk royalti yang dibayarkan secara penuh kepada saya sebagai penulis, pada saat buku itu diserahkan ke distributor. (4) Kalau tema yang saya bahas dalam buku saya itu sudah basi, tidak aktual, tidak relevan, dan tidak bermutu, niscaya naskah buku akan dikembalikan kepada saya (sesuai persyaratan  yang ditentukan oleh BPK GM Jakarta dalam surat tertanggal 31 Januari 1977; nomor 011/K/SU/74, yaitu naskah yang tidak bermutu dan yang tidak lulus dari penilaian staf ahli BPK GM akan dikembalikan kepada penulis). Ternyata naskah buku saya, diterbitkan menjadi buku, bukan lantaran “spoil system”, melainkan lantaran “merit system”. Jadi, kalau Korrie menilai buku saya itu agak mengambang, maka  saya yakin Korrie dalam keadaan “mengambang” pada saat membaca buku tipis saya itu. Yang saya maksudkan dengan Korrie dalam keadaan “mengambang di sini ialah Korrie dalam keadaan “bingung” karena sulit memahami tema panggilan dan presensi Kristen dalam sastra yang saya bahas dalam buku itu; dan oleh karena itu Korrie sampai kepada penilaian dan kesimpulan yang “tidak jelas; tidak mengena” sebagaimana kentara dalam esai dan kritiknya atas buku saya.

Ketiga
Oleh karena Korrie “mengambang” ketika membaca buku saya, maka penalarannya  menjadi tidak beres. Hal ini kentara dalam  pernyataan Korrie berikut ini: “… Ada upaya yang nyata menolak pernyataan Pater Dick serta Satyagraha Hoerip yang menyebutkan bahwa tak ada sastra Kristen di Indonesia. Seperti yang dengan jelas dikatakan Satyagraha begini, “bahwa saya tidak percaya yang sastra Kristen itu ada khususnya sastra Kristen Indonesia, baik dahulu, kini, ataupun di masa-masa mendatang kelak…. Pikiran Hoerip memang sejalan dengan pikiran Pater Dick yang tidak mau mengklasifikasi karya sastra. Setiap karya sastra yang agung dan religius – yang jelas tidak memihak agama mana saja – dapat disebut sastra Kristen, …”

Perhatikanlah frasa dan/atau kalimat yang digaris bawahi. Korrie setuju dengan Satyagraha Hoerip bahwa tidak ada sastra Kristen…. Akan tetapi Korrie juga setuju dengan Dick Hartoko, bahwa setiap karya sastra yang agung dan religius – yang jelas tidak memihak agama mana saja – dapat disebut sastra Kristen.”  Pernyataan ini memberi petunjuk: dapat diakui  a d a  sastra Kristen. Kriterianya, kalau karya sastra itu  a g u n g  dan  r e l i g i u s, … yang jelas tidak memihak agama mana saja!  Di sinilah terlihat dengan jelas  kerancuan pikiran dan/atau penalaran Korrie yang mengekor Dick Hartoko. Mengapa?  Ini jawabannya menurut pikiran sehat: Kalau karya sastra itu agung dan religius…, yang jelas tidak memihak agama mana saja, dapat disebut sastra Kristen, maka karya sastra itu pun dapat disebut sastra Islam, sastra Hindu, sastra Budha,  dan sebagainya. Bukankah demikian Korrie? Dan bukankah dengan demikian, terlihat dengan jelas ke-mengambang-an Korrie, sekaligus kerancuan jalan pikiran Dick Hartoko?

Selain itu, dengan berpijak pada pendapat mengambang yang berbunyi, “setiap karya sastra yang agung dan religius – yang jelas tidak memihak agama mana saja – dapat disebut sastra Kristen, seperti halnya sajak-sajak Amir Hamzah”, Korrie berkata, “Tampaknya pokok pikiran ini kurang diperhatikan Netti.”  Benarkah pernyataan Korrie? Jelas kelihatan bahwa Korrie tidak memahami sajak-sajak Amir Hamzah dengan sebaik-baiknya. Coba Korrie baca dan kontemplasikan sajak Amir Hamzah yang berjudul “Doa Poyangku”. Sajak itu sesungguhnya mengesankan kegelisahan/kebimbangan seorang sufisme dalam proses pergumulan, penghayatan, dan pencarian nilai-nilai transendental yang senantiasa dirindudendamkan oleh sang penyair di sepanjang perjalanan hidupnya, sesuai doa/pengharapan para poyangnya.” Sajak ini bernafaskan keislaman sesuai dengan agama yang penyair anut, yaitu Islam. Jadi, bukan bernafaskan kekristenan menurut agama Kristen.

 Sajak Amir Hamzah lainnya yang bernafaskan sufisme tersirat dalam sajak yang berjudul “Tuhanku Apatah Kekal”, dan sajak yang berjudul “Turun Kembali”. Bahkan dalam sajak “Turun Kembali”, sebenarnya secara halus Amir Hamzah menyentil ajaran agama Kristen yang tertulis di dalam Yohanes 14:20 dan 17:21 – 23. Menurut nafas iman Kristen, setiap orang yang berimankan Yesus mengaku percaya seperti kata Yesus: “Aku di dalam Bapa (Allah) dan Bapa (Allah) di dalam Aku”;  “Aku dalam Engkau (Allah); dan Engkau (Allah) dalam Aku.” Terhadap nafas iman kristiani ini Amir Hamzah mengajukan interogasi: “Kalau aku dalam engkau/ Dan engkau dalam aku/ Adakah begini jadinya/ Aku hamba engkau penghulu?”  Menurut penghayatan iman Amir Hamzah, “manusia dan Allah berlainan; Allah adalah Raja, Maharaja…; sedangkan manusia hanyalah abd (hamba), yang hanya dapat hidup, bergerak, dan ada di bawah kemurahan rahmat Allah” (perhatikan sajak “Turun Kembali”, bait kedua sampai bait kelima). Saya harap, Korrie jangan salah tampa!

Keempat
Lebih lanjut Korrie berpendapat: “Pada bagian I “Kristen Dalam Sastra Indonesia” Netti berusaha menjawab Pater Dick tetapi uraian-uraiannya terlalu banyak berputar pada masalah kehadiran dan dogma. Netti tidak memandang karya sastra dari sudut sastra tetapi ia meninjaunya dari sudut agama. Di sinilah pokok masalahnya menjadi bertolak belakang. …”

Sangat kelihatan sekali, lantaran mengambang, Korrie salah sangka! Pada bagian 1 buku saya (halaman 7 – 24) yang berisi pembahasan tentang  panggilan sastrawan Kristen dalam seni sastra,  Korrie menyangka saya mendogma!  Korrie hendaknya sadar: Tidak ada dogma tentang Kristen dalam sastra Indonesia, karena itu saya tidak mendogma. Apalagi saya bukan seorang pendeta! Yang saya kemukakan dalam bagian 1 buku saya itu hanyalah sebuah wacana tentang panggilan dan presensi Kristen dalam sastra Indonesia, yang lahir dari penghayatan iman saya sebagai seorang Kristen (dalam kedudukan saya sebagai seorang guru bahasa dan sastra Indonesia) yang menggumuli ‘dunia kehidupan sastra Indonesia’. Dari sudut pandang ini, setiap orang yang menghayati eksistensi dan presensinya sebagai orang beragama dan mengamalkan penghayatan imannya dalam dunia kehidupan nyata, sesungguhnya ia telah mendirikan tanda-tanda dan kesaksian-kesaksian hidup dari kerajaan Allah, sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. Apakah ini salah dan tidak patut, karena mendiskreditkan kehadiran sastrawan yang ‘mutlak menyandang kemerdekaannya’? Ah, jangan mendewakan apa yang disebut ‘kehadiran sastrawan yang mutlak menyandang kemerdekaannya!’ Itu klise belaka! Sebab sastrawan bisa saja menjadi “budak” roh kemerdekaan/kebebasan, “budak” roh ideologi, maupun “budak” pandangan hidup duniawi.

Pada bagian 2 (halaman 25 – 33) buku saya itu, barulah saya membahas tentang penamaan sastra Kristen. Jadi, pada bagian 2  dan juga bagian 3 (halaman 34 – 61) dalam buku saya itulah, bukan pada bagian 1, Korrie seharusnya menyiasati pandangan saya tentang penamaan sastra Kristen, lalu membandingkannya dengan pandangan Dick Hartoko, Satyagraha Hoerip, M. S. Hutagalung, dan Sumartono yang saya kritisi dalam buku itu. Saya pikir, Korrie seharusnya memperhatikan dan menjunjung kejujuran intelektual.

Kelima
Selanjutnya Korrie berkata, “Pada ‘Sekitar Penamaan Sastra Kristen’ pun Netti berputar ke masalah lain yang jauh dari kehidupan sastra Kristen di Indonesia (kalau itu ada!). Referensinya begitu Barat sekali dan tidak tampak keindonesiaannya.”  Sesungguhnya saya heran, orang sekaliber Korrie yang menulis banyak buku sastra, kok tidak cermat dan ngawur. Apakah tidak patut, dan apakah salah jika saya merujuk pandangan-pandangan dari penulis Barat?  Mengapa Dick Hartoko yang merujuk kepada Stendhal dan Nico Kazantzakis, dan Satyagraha Hoerip yang merujuk kepada Denis de Rougemont, Korrie tidak menuduh Dick Hartoko dan Satyagraha Hoerip, tetapi hanya saya yang dicap begitu Barat?

Korrie menuding bahwa keindonesiaan saya tidak tampak. Tudingan ini muncul karena Korrie tidak paham akan pemikiran universal yang melintasi tembok-tembok pemisah ras dan bangsa. Selain itu, Korrie pun tidak memandang dan mencermati dengan saksama, melainkan hanya mengerling dan memejam-mejamkan mata lantaran kebingungan, ketika membaca buku saya. Bukankah berkenaan dengan sastra,  pada halaman 38 saya merujuk kepada Chairil Anwar dan Saini K. M., serta pada halaman 56 saya merujuk kepada Djamil Suherman dengan karya cerpennya yang berjudul Perjalanan ke Akhirat? Saya merasa tidak perlu menyebut nama Fridolin Ukur maupun M. Poppy Hutagalung pada saat menyusun buku itu, karena tujuan saya hanyalah sekadar menggugah dan menunjukkan bahwa kalau Chairil Anwar dan Saini K.M bisa menyairkan penyaliban Kristus secara baik dan memuaskan, mengapa penyair-penyair yang beragama Kristen tidak? Dan kalau Djamil Suherman bisa menulis cerpen Perjalanan ke Akhirat yang bernafaskan keislaman sesuai dengan latar belakang agama yang dianutnya, mengapa cerpenis dan novelis yang beragama Kristen tidak bisa?  Saya memuji novelis Maria Matildis Banda yang pada tahun 2005 lalu menghadirkan novelnya Surat-Surat dari Dili untuk memperkaya khasanah sastra Indonesia. Menurut penilaian saya, melalui novel Surat-Surat dari Dili, Maria Matildis Banda sebagai seorang penulis beragama Katolik telah memenuhi panggilannya secara indah. Ia berhasil menghadirkan sebuah karya sastra yang dapat diklasifikasi sebagai Sastra Kristen dengan sangat memuaskan. Semoga cerpenis-cerpenis, dan novelis-novelis lain, termasuk penyair-penyair yang beragama Kristen, dapat menghasilkan karya sastra seperti yang telah dipersembahkan oleh Maria Matildis Banda. 

Keenam
Lagi-lagi Korrie menunjukkan salah sangkanya tentang realisme Alkitab yang saya kemukakan dalam halaman 33 buku saya itu. Kalau Korrie mengatakan bahwa “realisme Alkitab berarti menyajikan kebenaran mutlak…” Itu adalah pendapat pribadi Korrie yang sangat sempit dan dangkal, dan bukan pendapat yang saya kemukakan. Dalam buku Kristen Dalam Sastra Idonesia (1977:33) saya menyinggung tentang “gaya yang khas Kristen”, yang menurut Sumartono dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada; sedangkan saya berkata, “sesungguhnya ‘gaya’ yang khas Kristen itu ada, yakni Realisme Alkitab”. Gaya yang khas Kristen ialah cara khas menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan, atau pemakaian ragam bahasa tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, atau keseluruhan ciri-ciri bahasa seorang dan/atau sekelompok penulis sastra yang bercorak atau bernafaskan kekristenan sesuai dengan realisme Alkitab. Apakah hakikat realisme Alkitab? Jikalau dalam Injil Matius 22:37 – 40 Yesus berkata: “… Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi”; maka realisme Alkitab pada hakikatnya adalah kasih, sebagaimana diwedarkan oleh rasul Paulus dalam 1 Korintus 13 maupun Surat Roma 12, dyb.

Ketujuh
Alangkah santunnya Korrie! Setelah dia berusaha menunjukkan berbagai kesalahan dan kekurangan menurut hasil kerlingannya terhadap buku saya, dia berkata: “Saya tidak mengatakan bahwa buku Kristen Dalam Sastra Indonesia karya Hadzarmawit Netti ini gagal sebagai sebuah telah-kritik, tetapi Netti menyajikan pandangan yang berbeda dari pandangan sastra, Netti menitikberatkan pada panggilan seorang seniman-sastrawan sebagai citra Allah yang harus menyanyikan Mazmur seperti Raja Daud atau melagukan Kidung Agung memuji-Nya.”

Apa yang dikatakan oleh Korrie sebagaimana dikutip di atas ini merupakan versi yang Korrie buat atas pandangan yang saya kemukakan pada halaman 32 buku saya itu. Dengan versi sebagaimana dikutip di atas ini Korrie membuat afirmasi: “Tidak salah pandangan ini, dan itu mutlak perlu.” Eh, eh.., ternyata Korrie dalam kemengambangannya, tersangkut juga. Tetapi Korrie masih mencoba untuk meluputkan diri dari sangkutan dengan dalih: “Tetapi yang dinamakan sastra Kristen sendiri tidak terbatas pada lingkup dan sifat-sifat yang nyata semacam itu.”  Dalih ini sesungguhnya lahir dari kegagalan Korrie memahami esensi buku saya yang dibacanya, karena saya mempergunakan ungkapan-ungkapan teologis Alkitabiah: “pengabdian terhadap Sang Kalam; Kasih, Keadilan dan Kebenaran Allah berdasarkan Terang Injil Kristus.”  Akan tetapi sesungguhnya dengan pernyataan itu, Korrie mengakui adanya sastra Kristen sebagaimana yang saya katakan, namun menurut Korrie, lingkup dan sifat-sifat (sastra Kristen) tidak terbatas semacam yang saya uraikan.  Dengan demikian, bukankan pemahaman Korrie tentang sastra Kristen sangat mengambang?

Apabila Korrie membaca Injil Yohanes 1, kemudian Injil Matius 25:31 – 46 (ini sekadar contoh saja), niscaya Korrie akan memahami ungkapan “pengabdian terhadap Sang Kalam.”  Siapakah Sang Kalam itu?  Sang Kalam adalah Yesus. Jadi,  pengabdian terhadap Sang Kalam adalah  pengabdian terhadap Yesus, yang dalam Matius 25: 31 – 46 solider  dengan  orang-orang yang lapar, haus, orang buangan, orang asing, orang miskin, orang sakit, orang tumpangan, orang penjara, dan sebagainya yang dilukiskan sebagai orang-orang yang paling hina. Pengabdian terhadap nasib orang-orang seperti itu yang diwedarkan dalam karya sastra yang simbol dan diksinya bercorak/bernafas kekristenan – tanpa menyebut nama Yesus dan nama Allah sekalipun – sudah merupakan pengabdian terhadap Yesus, serentak pengabdian terhadap Allah.

            Apabila Korrie membaca Injil Matius 5:43 – 47 (inipun sekadar contoh saja), niscaya Korrie akan memahami ungkapan  “pengabdian terhadap Kasih”  yang paling agung. “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”   Dalam Injil Lukas 6:27 – 36, dan ayat 37 – 38, Korrie pun akan dapat memahami pengabdian terhadap  Kasih, Kebaikan, dan Keadilan yang paling agung. Dan pengabdian terhadap nilai-nilai Kasih, Kebaikan, dan Keadilan ini dalam karya sastra yang simbol dan diksinya bercorak/bernafas kekristenan – dengan tidak menyebut nama Yesus maupun nama Allah sekalipun – sudah merupakan pengabdian terhadap Yesus, serentak pengabdian terhadap Allah. Ini sekadar beberapa contoh yang dapat mewarnai dan menafasi karya sastra yang disebut sastra Kristen. Dan inilah sekelumit uraian tentang apa yang saya katakan  “bahwa sesungguhnya ‘gaya’ yang khas Kristen itu ada: Realisme Alkitab” (Kristen dalam Sastra Indonesia, 1977:33).

Kedelapan
Dengan demikian, pemahaman Korrie sangat keliru, kalau menyangka bahwa saya menganjurkan atau mengharuskan agar para sastrawan Kristen menyanyikan Mazmur seperti Raja Daud atau melagukan Kidung Agung memuji-Nya. Juga merupakan salah sangka, apabila predikat atau epiteton Kristen yang disandangkan pada karya sastra itu dimaksudkan bagi kata-kata atau tema yang memasalahkan agama Kristen, atau nama-nama tokohnya yang seperti nama orang Kristen, sebagaimana diutarakan oleh Korrie.

Lalu, bagaimanakah dengan pemilihan dan penggunaan simbol, dan diksi yang  kristiani  (bersifat, berciri, bercorak Kristen) dalam karya sastra? Apakah terlarang? Jikalau Korrie permisif terhadap jiwa kristiani dalam karya sastra, maka pemilihan serta penggunaan simbol dan diksi yang kristiani tidak dapat dipungkiri, sebab simbol dan diksi yang  kristiani adalah wahana dari jiwa dan nafas yang kristiani.

Lalu, Apakah sastra Kristen itu ada? Korrie sependapat dengan Satyagraha Hoerip yang mengatakan tidak ada sastra Kristen – kini, dahulu dan mendatang; Sementara di pihak lain Korrie sepakat dengan Dick Hartoko yang mengatakan setiap karya sastra yang agung dan religius – yang jelas tidak memihak agama mana saja – dapat disebut sastra Kristen. Di sinilah terlihat dan terbukti kemengambangan Korrie.. Akan tetapi saya ingin menandaskan bahwa sastra Kristen ada di Indonesia, walaupun hanya segelintir.

Menurut Korrie, “Yang ada adalah tema-tema dan masalah kekristenan dalam sastra, bukan sastra Kristen!” Pendapat ini benar-benar rancu. Bukankah lantaran tema-tema dan masalah kekristenan yang diwedarkan dalam sastra itulah yang menjadi tolok ukur tentang penamaan dan/atau penggolongan sebuah karya sastra itu sebagai sastra Kristen?   Bukankah tema-tema, simbol dan diksi, serta jiwa/nafas kristiani yang mewarnai serta menghidupi masalah-masalah kehidupan yang diwedarkan oleh sastrawan dalam karya sastranya, niscaya sangat beralasan bagi seorang kritikus sastra yang tidak kecut hati untuk mengklasifikasi karya sastra seperti itu dengan sebutan sastra kristen, karena karya sastra itu telah merepresentasikan religiositas kekristenan?”

Suryadi, dosen dan peneliti pada Opleding Talen en Culturen van Indonesië, Faculteet der Letteren Universiteit Leiden, Belanda, dalam artikelnya “Kekristenan dalam kesusastraan Indonesia” berkata begini: “…Dimensi religiositas karya-karya sastra Indonesia juga sudah sering dibahas dalam penelitian dan kritik sastra. Namun, sejarah studi sastra Indonesia menunjukkan bahwa yang lebih sering dikaji adalah representasi agama mayoritas (Islam). … Sejak lama kultur politik dan agama di Indonesia potensial membuat kalangan intelektual, akademisi, dan budayawan cenderung menjauhkan diri dari diskursus apapun yang terkait dengan agama-agama minoritas. Orang dibuat khawatir dan takut untuk mengangkat isu agama-agama minoritas ke dalam wacana publik, termasuk dalam dunia penelitian dan kritik sastra. … Kenyataan menunjukkan bahwa sejumlah teks sastra Indonesia lahir dari latar belakang tradisi kekristenan. Namun, unsur religiositas kekristenan (Christianity) itu jarang dibahas dalam wacana penelitian dan kritik sastra Indonesia. Demikianlah umpamanya, representasi kekristenan, baik dalam nada mitos pengukuhan maupun mitos pembebasan, dapat dikesankan dalam Upacara karya Korrie Layun Rampan (1976), … Pohon-pohon sesawi (1999) karya Y. B. Mangun Wijaya, … Matias Akankari (antologi cerpen, 1972), Cumbuan Sabana (1976), Requiem untuk seorang perempuan (1983) karya Gerson Poyk,  dan Rabies (2002) dan Surat-Surat dari Dili (2005) karya Maria Matildis Banda.(saya hanya kutip sebagian kecil saja sekadar contoh. Sumber: Kompas, Minggu, 21 Oktober 2008). Apakah uraian Suryadi sebagaimana dikutip di atas ini salah, terutama ketika Suryadi menyebut juga karya Korrie Layun Rampan, berjudul Upacara?  Apabila ternyata Suryadi salah, maka di sini saya hanya ingin menegaskan bahwa novel Surat-Surat dari Dili, karya Maria Matildis Banda, telah merepresentasikan jiwa dan nafas kekristenan dengan baik dan memuaskan dalam karya sastra, sehingga novel tersebut dapat diklasifikasi dengan sebutan Sastra Kristen.

Kesembilan
Pada alinea terakhir esai dan kritik Korrie terhadap buku, Kristen Dalam Sastra Indonesia, Korrie berkata begini: “Tetapi sumbangan Hadzarmawit Netti ini cukup pantas kita hargai; pembicaraannya cukup berharga, walaupun konteksnya bertolak belakang dengan sifat sastra sendiri. Netti berbicara dari sudut agama Kristen – seperti seorang pendeta – bukan dari sudut sastra itu sendiri. Hal inilah yang membuat pembicaraannya terasa mengambang, seperti kehilangan tanah pijak. Karena ia berbicara suatu masalah dari sudut yang bukan masalahnya sendiri. Sangat disayangkan!”  Demikianlah komentar penutup Korrie.

Menyiasati komentar Korrie sebagaimana dikutip di atas ini, saya dengan rasa bangga mau berkata begini:  (1) Saya merasa bangga atas kehadiran buku Kristen Dalam Sastra Indonesia, karena buku itu merupakan jawaban konkret atas “Tema Kristen Dalam Sastra Indonesia” yang disodorkan oleh Pengurus Dewan Kesenian Jakarta kepada Dick Hartoko untuk diceramahkan, akan tetapi Dick Hartoko menepis tema tersebut seraya membalikkannya menjadi “Mengerling Sastra Indonesia Dari Sudut Kristen”. (2) Saya merasa bangga, karena saya adalah orang pertama dari komunitas Kristen di Indonesia (sekalipun bertempat tinggal di dusun terpencil di Pulau Rote), yang membahas secara komprehensif tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia”; padahal yang sepatutnya orang-orang beken seperti Dick Hartoko tidak boleh mengelak, lalu mengerling. (3)  Dengan diterbitkannya buku Kristen Dalam Sastra Indonesia itu, saya telah memenuhi panggilan saya sebagai seorang beragama Kristen yang tidak ragu-ragu mempertanggungjawabkan iman kristiani  untuk membahas tema “Kristen Dalam Sastra Indonesia”, ketika orang lain, dengan alasan universalisme semu, enggan dan melarikan diri dari panggilan untuk mewacanakan tema tersebut yang bermakna agung dan abadi.

Jika ada penilaian yang mengambang dan miring terhadap buku saya, Kristen Dalam Sastra Indonesia, seperti penilaian yang dilakukan oleh Korrie, itu adalah hak dan kebebasan dia untuk menilai, mengkritik, atau mengemukakan komentar miring. Tetapi adalah hak saya juga untuk menyiasati dan mengkritisi penilaian mengambang maupun penilaian miring yang dikemukakan oleh Korrie.

Melalui internet, saya mengetahui bahwa Korrie Layun Rampan tergolong orang kreatif dan produktif dalam dunia sastra. Banyak karya sastra dan karya tulis lainnya yang telah dihasilkan oleh Korrie, serta banyak penghargaan dan hadiah yang telah diterima pula. Pada Catalogue Southeast Asean Languages and Literatures (halaman 186), tertera nama Korrie Layun Rampan sekaligus dengan tujuh buah karya tulisnya:

1.      1980. Puisi Indonesia Kini, sebuah perkenalan. Yogyakarta. Nur Cahaya.
2.      1982. Cerita Pendek Indonesia Mutakhir: sebuah pembicaraan.
          Yogyakarta. Nur Cahaya.
3.      1983. Perjalanan Sastra Indonesia. Jakarta. Gunung Jati.
4.      1983. Puisi Indonesia Kini, sebuah perkenalan. Cetakan II.
                Yogyakarta. Nur Cahaya.
5.      1985.  Iwan Simatupang – pembaharu Sastra Indonesia.
                Jakarta. Yayasan Arus.
6.      (Editor). 1985. Trisno Sumardjo – pejuang Kesenian Indonesia.
Jakarta. Yayasan Arus.
7.      1991. Apresiasi Cerita Pendek. Ende. Nusa Indah. Vol 2.

Namun ternyata buku Korrie Layun Rampan berjudul KESUSASTRAAN TANPA KEHADIRAN SASTRA – Himpunan Esai dan Kritik, Yayasan Arus Mas 1984, yang berisi kritik atas buku saya berjudul Kristen Dalam Sastra Indonesia, tidak tercantum dalam  Catalogue Southeast Asean Languages and Literatures. Sedangkan buku saya, KRISTEN DALAM SASTRA INDONESIA, yang dinilai mengambang, kehilangan tanah pijak, karena itu sangat disayangkan oleh Korrie Layun Rampan, terpajang pada halaman 184. Kenyataan ini membuktikan bahwa buku saya, KRISTEN DALAM SASTRA INDONESIA, lebih pantas dari pada buku Korrie Layun Rampan berjudul, KESUSASTRAAN TANPA KEHADIRAN SASTRA. Tanggapan ini telah dimuat sebagai “Lampiran” dalam buku saya berjudul, Natal & Paskah dalam Kontemplasi Penyair. B You Publishing Surabaya, 2013, hlm.113 – 131). [SELESAI]

***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar