Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Minggu, 22 April 2018

Marginalia Tentang Spiritualitas Ugahari


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti



Timor Express edisi Minggu, 14 Januari 2018 dan edisi Minggu, 4 Februari 2018 pada halaman 11 memuat tulisan yang judulnya sama: “Bersama Kristus, Kita Hidupi Spiritualitas Ugahari demi Keadilan Terhadap Sesama dan Alam Lingkungan”. Artikel edisi Minggu, 14 Januari 2018 ditulis oleh Pdt. Dr. Mesakh Dethan dan artikel edisi Minggu, 4 Februari 2018 ditulis [sebagai sebuah rangkuman] oleh Pdt. Mery Kolimon. Berkenaan dengan artikel dua tokoh GMIT ini saya [penatua Jemaat Gunung Sinai Naikolan – denominasi GMIT] ingin mengemukakan beberapa catatan untuk dipertimbangkan.

Pertama, Pdt. Mery Kolimon mengatakan: ‘Sidang Majelis Sinode GMIT ke-41, Februari 2017 yang lalu merumuskan bahwa tema pelayanan GMIT tahun 2018 adalah “Bersama Kristus, Kita Hidupi Spiritualitas Ugahari demi Keadilan terhadap Sesama dan Alam Lingkungan”. Menurut pertimbangan saya, tema ini mengandung ketidakjelasan makna. Ketidakjelasan makna itu tersirat dalam  kata hidupi. Sufiks –i yang diberikan pada kata kerja hidup menjadi hidupi menyatakan bahwa objek dari kata kerja itu menunjukkan suatu tempat atau arah berlangsungnya suatu peristiwa. Akibatnya objek itu berada dalam keadaan diam, pasif. “Bersama Kristus kita hidupi spiritualitas ugahari demi keadilan terhadap sesama dan alam lingkungan”. Dalam kalimat ini objek “spiritualitas ugahari demi keadilan terhadap sesama manusia dan alam lingkungan” berada dalam keadaan diam, pasif, bersifat menerima saja. Bandingkan dengan kalimat berikut ini:

 “Bersama Kristus kita hidupkan spiritualitas ugahari demi keadilan terhadap sesama dan alam lingkungan”. Sufiks –kan yang diberikan pada kata kerja hidup menjadi hidupkan menyatakan kausatif: pengertian kausatif berarti membuat, menyebabkan sesuatu atau menjadikan sesuatu. Akibatnya objek itu dalam keadaan dinamis, aktif. “Bersama Kristus kita hidupkan spiritualitas ugahari demi keadilan terhadap sesama dan alam lingkungan”. Dalam kalimat ini objek “spiritualitas ugahari demi keadilan terhadap sesama dan alam lingkungan” dibuat menjadi dinamis dan aktif. Ini berarti, spiritualitas ugahari yang dihidupkan itu benar-benar menjadi hidup, benar-benar menjadi dinamis dan aktif, sehingga harapan yang ingin dicapai yaitu keadilan terhadap sesama dan alam lingkungan dapat menjadi kenyataan. Sebagai perbandingan, perhatikan contoh kalimat ini: “Bersama seluruh komponen bangsa, kita hidupi semangat persatuan dan kesatuan  demi mempertahankan eksistensi NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945”. Kata hidupi dalam contoh kalimat ini rancu, karena itu harus diganti dengan kata hidupkan, sehingga kalimatnya menjadi: “Bersama seluruh komponen bangsa, kita hidupkan semangat persatuan dan kesatuan demi mempertahankan eksistensi NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945”.

Kedua, Ketidakjelasan berikutnya tersirat dalam kata ugahari. Pdt. Mery Kolimon, mengajukan interogasi tentang kata ugahari untuk dijelaskannya sendiri sebagai berikut: “Apa itu ugahari? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ugahari berarti: sedang, pertengahan, sederhana, bersahaja, cukup. Selanjutnya keugaharian berarti kesederhanaan atau kesahajaan. Hidup berugahari artinya hidup sederhana, sedang-sedang saja, tidak berlebihan, tidak berkekurangan, ada di pertengahan: tidak miskin melarat, tidak juga menumpuk kekayaan berlebihan…” Atas penjelasan Pdt. Mery Kolimon sebagaimana di kutip di atas ini, saya ajukan pertanyaan: Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mana yang dirujuk oleh Pdt. Mery Kolimon? Sebenarnya arti kata ugahari  hanya dua saja yaitu: 1 sedang dan 2 sederhana. Kata-kata yang lain yang disebutkan oleh Pdt. Mery Kolimon itu adalah kata-kata yang bersinonim dengan kata sedang dan sederhana, namun tidak  serta-merta menyarankan arti keugaharian  yang berarti kesederhanaan dan kesahajaan. Selain itu, ada kalimat yang rancu, yaitu kalimat yang berbunyi: “Hidup berugahari artinya hidup sederhana, …”  Kata ugahari artinya sederhana. Jadi, kata ugahari tidak perlu diberi imbuhan ber-. Dengan demikian, kalimat yang benar adalah “Hidup ugahari artinya hidup sederhana.” 

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-4, Tahun 2008, yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, kata ugahari  (kl) berarti: a 1 sedang;  pertengahan; 2 sederhana; keugaharian (kl) artinya: kesederhanaan; kesahajaan; contoh kalimat yang diberikan: walaupun hartanya melimpah ruah, ia hidup dalam keugaharian dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Kata ugahari dalam kamus ini adalah polisemi, yaitu kata yang memiliki lebih dari satu arti. Arti kata ugahari yang dicatat dalam kamus ini perlu diperhatikan pemakaiannya dalam kalimat, sebab, arti yang digolongkan pada butir 1 yaitu sedang dan pertengahan, tidak dengan sendirinya sama artinya dengan arti kata ugahari butir 2 yaitu sederhana. Pemakaian kata ugahari  dalam konteks kalimat tertentu bisa menyarankan arti sedang, atau pertengahan (arti butir 1);  dan dalam konteks kalimat lain menyarankan arti sederhana (arti butir 2) dan padanannya [ber]sahaja.  Contoh kalimat yang diberikan dalam kamus tersebut dapat diperhatikan. Arti kata ugahari butir 2 yaitu sederhana dapat diberi imbuhan ke- dan sufiks –an menjadi kesederhanaan; sama seperti kata ugahari menjadi keugaharian. Sementara arti ugahari butir 1 yaitu sedang dan pertengahan, tidak dapat diberi imbuhan ke- dan sufiks –an karena akan rancu. Perhatikan contoh kalimat dalam kamus itu: walaupun hartanya melimpah ruah, ia hidup dalam keugaharian dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Kata keugaharian yang dipakai dalam kalimat itu tidak bisa diganti dengan kata sedang (kesedangan) atau pertengahan (kepertengahan) karena akan terjadi kerancuan. Kata keugaharian dalam kalimat itu hanya dapat dipertukarkan atau diganti dengan kata kesederhanaan yang merupakan arti kata keugaharian sebagaimana tercatat dalam kamus, atau kata yang artinya sepadan dengan kata kesederhanaan yaitu kesahajaan. Dan patut diperhatikan pula bahwa orang yang hidup dalam keugaharian dan sangat dicintai oleh rakyatnya itu adalah seorang raja, penguasa negeri yang hartanya melimpah ruah!

Perlu dicatat di sini bahwa kata ugahari dan gahari adalah kata yang digunakan dalam kesusastraan Melayu Klasik. Itulah sebabnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disebut di atas, di belakang kata ugahari dan gahari diberi label kl yaitu label ragam bahasa klasik, untuk menandai kata ugahari dan gahari itu digunakan dalam kesusastraan Melayu Klasik. Dalam kesusastraan Melayu Klasik, kata ugahari dan gahari hanya memiliki dua arti saja, yaitu sedang dan sederhana (periksa Kamus Saku Bahasa Indonesia. Reksosiswoio, St. Muh Sa’id, A. Sutan Pamuntjak n.s. (Abas). J. B. Wolters Djakarta – Groningen 1952). Dengan demikian, tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia menambahkan kata pertengahan [yang sebenarnya mubazir dan/atau tidak relevan].

Contoh kalimat yang mempergunakan kata keugaharian dalam kamus itu, yaitu kalimat “walaupun hartanya melimpah ruah, ia hidup dalam keugaharian dan sangat dicintai oleh rakyatnya” merupakan contoh kalimat klasik. Pemakaian kata keugaharian dalam contoh kalimat ini bersifat melembutkan [eufemistis]. Seorang raja atau pejabat tinggi atau hartawan yang hidup dalam “kesederhanaan” sehingga disenangi  masyarakat atau orang-orang sekitarnya, maka kata pelembut ugahari atau keugaharian dipakai untuk menggantikan kata sederhana atau kesederhanaan. Akan tetapi terhadap orang kebanyakan yang kondisi hidupnya pas-pasan, kata ugahari atau keugaharian tidak pantas dipergunakan, melainkan kata sederhana  atau padanannya, bersahaja, yang pantas dipergunakan untuk melukiskan hidup mereka.

Ketiga, berdasarkan tinjauan di atas ini saya tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa istilah spiritualitas ugahari merupakan sebuah istilah yang sangat rancu. Spiritual dan spiritualitas itu bukan materi. Spiritual  dan spiritualitas  berkenaan dengan kehidupan rohani atau kerohanian. Orang yang hidupnya pas-pasan, (sekadar cukup untuk hidup sederhana berkenaan dengan penghasilan dsb.), belum tentu atau tidak dengan serta-merta meredupkan spiritualitasnya. Sebaliknya orang kaya dan orang berpangkat tinggi tidak dengan serta-merta spiritualitasnya memancarkan kecerlangan.   Dengan demikian, istilah spiritualitas ugahari  yang artinya kehidupan rohani ugahari atau kerohanian ugahari.; kehidupan rohani yang sedang; kehidupan rohani yang sederhana atau kerohanian yang sedang; kerohanian yang sederhana sesungguhnya sangat rancu. Apakah kehidupan rohani atau kerohanian seperti itu yang dianjurkan oleh Yesus atau yang ditekankan dan diutamakan di dalam Injil [Perjanjian Baru]? Berkenaan dengan istilah spiritualitas ugahari, landasan teologis-alkitabiah yang diutamakan dan ditekankan oleh Pdt. Mery Kolimon dan Pdt. Dr. Mesakh Dethan adalah Matius 6:11 dan 2 Korintus 8:13. Di bawah ini saya akan mencermati kedua teks tersebut.

Matius 6:11 adalah salah satu kalimat dalam doa yang  diajarkan oleh Yesus  kepada murid-murid-Nya: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”. Saya kutip Perjanjian Baru bahasa Yunani, yang transkripsinya berbunyi sebagai berikut: ton arton hēmōn ton epiousion dos hēmin sēmeron. Berkenaan dengan ayat ini saya telah memperhatikan dan mencermati Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru (Pdt. B.F. Drewes, M.Th.; Dr. Wilfrid Haubeck, Dr. Heinrich von Siebenthal. BPK GM. 2008:15,232). Namun demi kepentingan analisis dan pemahaman yang lebih mendalam, saya akan menerjemahkan teks Yunani ini secara harfiah: “makanan kami untuk hari esok, berikanlah kepada kami hari ini” atau bisa dilakukan inversi: “berikanlah kepada kami hari ini makanan kami untuk hari esok”. Menurut sumber yang telah disebutkan di atas ini, dan juga menurut Kamus Yunani-Indonesia (Barclay M. Newman Jr. 2002:64), disebutkan bahwa arti kata Yunani epiousion kurang jelas, kurang pasti.

Saya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Saya lebih menyetujui arti kata epiousion yang terdapat dalam A. Pocket Lexicon To The Greek New Testament. Alexander Souter, M.A. Oxford University Press 1943:93). Menurut kamus ini [yang tidak tercantum sebagai referensi dalam daftar pustaka buku Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru yang disebutkan di atas], kata Yunani epiousion dari hē epiousa [hēmera], artinya “belonging to the morrow”. Kata “belonging to the morrow” sama artinya dengan “pertain to the morrow” atau ”for the morrow”. Jadi, dalam Matius 6:11 itu Yesus mengajarkan murid-murid-Nya untuk meminta atau memohon kepada Bapa (Allah) di surga melalui doa  pada “hari ini”, agar  Bapa memberikan kepada mereka “makanan  untuk hari esok”.  Bukankah ketika Yesus mengajarkan murid-murid-Nya berdoa [entah pada jam doa jam ketiga, atau jam doa jam keenam, atau jam doa jam kesembilan] dalam konteks “hari ini” [ketika Yesus dan murid-murid-Nya berkumpul], makanan untuk “hari ini” telah tersedia bagi Yesus dan murid-murid-Nya?  Perlu dicatat di sini bahwa dalam Matius 6:11 teks Yunani tidak terdapat kata orketon [orketos, orketou] atau arkeō, arkei, yang berarti cukup atau secukupnya.

Ayat paralel dengan Matius 6:11 yaitu Lukas 11:3. Saya kutip Perjanjian Baru bahasa Yunani, yang transkripsinya berbunyi sebagai berikut: ton arton hēmōn ton epiousion didou hēmin to kath’ hēmeran. Terjemahan harfiahnya berbunyi sebagai berikut: “makanan kami untuk hari esok, berikanlah kepada kami seperti setiap hari” atau bisa diinversi: “berikanlah kepada kami seperti setiap hari, makanan kami untuk hari esok” atau “berikanlah kepada kami makanan untuk hari esok seperti setiap hari”.  Dalam Lukas 11:3 teks Yunani ini pun tidak terdapat kata orketon [orketos, orketou] atau arkeō, arkei yang berarti cukup atau secukupnya.  Dengan demikian, kata yang secukupnya di bagian akhir kalimat pada Matius 6:11 (Perjanjian Baru LAI) itu adalah suatu tambahan berdasarkan penafsiran tim penerjemah dengan tidak memperhatikan teks Perjanjian Baru  bahasa Yunani secara baik dan benar.

Sebagai perbandingan saya kutip di sini Matius 6:11 terjemahan bahasa Inggris Revised Standard Version (RSV): “Give us this day our daily bread” dan menurut catatan kaki ayat itu dapat diterjemahkan: “Give us this day our bread for the morrow”. Terjemahannya dalam bahasa Indonesia: “Berikan kepada kami hari ini makanan kami sehari-hari” dan/atau “Berikan kepada kami hari ini makanan kami untuk hari esok”.  Lukas 11:3 menurut terjemahan RSV: “Give us each day our daily bread” dan menurut catatan kaki ayat itu dapat diterjemahkan: “Give us each day our bread for the morrow”. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: “Berikan kepada kami tiap-tiap hari makanan kami sehari-hari” dan/atau “Berikan kepada kami tiap-tiap hari makanan kami untuk hari esok”.  

Matius 6:11 terjemahan Good News Bible (GNB): “Give us today the food we need”; dan berdasarkan catatan kaki untuk ayat itu dapat diterjemahkan “Give us today the food for today” dan/atau “Give us today the food for tomorrow”. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: “Berikan kepada kami hari ini makanan [yang] kami butuhkan” dan menurut catatan kaki ayat itu dapat diterjemahkan “Give us today the food for today” dan/atau “Give us today the food for tomorrow”. Terjemahan dalam bahasa Indonesia: “Berikan kepada kami hari ini makanan untuk hari ini” dan/atau “Berikan kepada kami hari ini makanan untuk hari esok”.

Dan Lukas 11:3 terjemahan Good News Bible: “Give us day by day the food we need” (= “Berikan kepada kami setiap hari makanan [yang] kami butuhkan” dan berdasarkan catatan kaki ayat itu dapat diterjemahkan “Give us day by day the food for the next day” (= “Berikan kepada kami setiap hari makanan untuk hari yang akan datang”). Dalam terjemahan kedua versi ini pun tidak terdapat kata “enough; sufficient”  yang berarti cukup atau secukupnya. Terjemahan Matius 6:11 dan Lukas 11:3 dalam bahasa Inggris (RSV dan GNB) kelihatannya memperhatikan arti kata Yunani epiousion yang tercatat dalam A Pocket Lexicon To The Greek New Testament yang disusun oleh Alexander Souter, M.A., yang saya rujuk.

Dengan demikian sungguh naif [tidak masuk akal], kata secukupnya yang tidak tentu asalnya ini dijadikan sebagai landasan teologis-alkitabiah untuk menopang konsepsi spiritualitas ugahari, sebagaimana diwedarkan oleh Pdt. Dr. Mesakh Dethan maupun Pdt. Mery Kolimon dalam artikelnya.

Pendapat Pdt. Mery Kolimon: “Spiritualitas ugahari karena itu merupakan sikap batin dan tindakan hidup yang mengendalikan diri dan hidup sederhana dalam semangat kecukupan, bersedia berbagi dengan orang lain agar semua mengalami kehidupan. Ada banyak teks Alkitab dan tradisi iman sepanjang sejarah gereja yang dapat dirujuk untuk mencari pendasaran spiritualitas ini. Namun secara khusus…, ada dua teks Perjanjian Baru yang dirujuk. Pertama adalah dalam teks doa yang Tuhan Yesus ajarkan kepada murid-murid-Nya: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Mat.6:11). Ton arton hemon (artinya makanan kami)…”  Tetapi kepada Pdt. Mery Kolimon dan Pdt. Dr. Mesakh Dethan  saya mau bertanya:  dari sumber manakah kata  secukupnya dimasukkan ke dalam Matius 6:11 dan Lukas 11:3 Perjanjian Baru LAI, sedangkan dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani yang menjadi sumber, dalam kedua ayat paralel itu tidak terdapat kata orketon [orketos, orketou] atau arkeō, arkei,  yang artinya cukup atau secukupnya ?  

Sebenarnya apa yang dijelaskan oleh Pdt. Mery Kolimon sebagaimana dikutip di atas, bukan spiritualitas ugahari, melainkan spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani. Sebab spiritualitas ugahari itu tidak menyiratkan konsepsi teologis-alkitabiah; maknanya sangat sempit dan dangkal, dan hanya terdapat dalam kesusastraan Melayu Klasik. Dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani ada kata atau ungkapan yang sangat tepat menyarankan konsepsi spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani yang maknanya tidak saja terbatas pada aspek yang disebut sederhana atau kesederhanaan, melainkan meliputi aspek-aspek kelayakan, pertimbangan yang sehat atau pertimbangan yang matang; pengendalian diri, hati-hati, dengan tenang, dengan menjaga diri, kesopanan, bijaksana,  yaitu kata Yunani: sōphrōn, sōphron, sophronos (sederhana,  bijaksana, hati-hati, menjaga diri); sōphrosunē (kesederhanaan, kelayakan, kesopanan, pertimbangan yang sehat).

Dalam spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani, aspek sederhana dan kesederhanaan sangat ditentukan dan diberi “isi” oleh aspek-aspek kelayakan, pertimbangan  yang sehat atau pertimbangan yang matang sebagaimana kerugma yang tersirat dalam Lukas 14:28;  pengendalian diri, bijaksana, hati-hati, dengan tenang, dengan menjaga diri, kesopanan (baca: Roma 12:16; 1 Timotius 2:9, 15, dyb.; Titus 2:2). Bahkan aspek cukup dan kecukupan; puas dan kepuasan, ditentukan pula oleh konsepsi yang tersirat dalam kata Yunani sōphrōn, sōphron, sophronos, sōphronusē yang disebutkan di atas (baca: Matius 6:34; 1 Timotius 6:8; Filipi 4:11; Ibrani 13:5; 22:38; 2 Korintus 9: 8; 12:9;  dyb.). Berdasarkan pandangan ini maka spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani tercermin dalam aspek-aspek kehidupan: arketon, arkeō; arkei  (Matius 6:34; Yohanes 14:8; Ibrani 13:5; 2 Korintus 12:9); ikanos (Mark. 15:15; Luk. 22:38; 2 Kor.2:6);  autarkeian (2 Kor. 9:8; Fil. 4:11); spiritualitas arkesthēsometha (1 Tim.6:8). Semua yang dikatakan ini tidak dapat dijelaskan oleh konsepsi spiritualitas ugahari yang dianut oleh Pdt. Mery Kolimon dan Pdt. Dr. Mesakh Dethan

Berdasarkan pandangan di atas ini, maka pendapat yang menyatakan bahwa “spiritualitas ugahari karena itu merupakan sikap batin dan tindakan hidup yang mengendalikan diri dan hidup sederhana dalam semangat kecukupan, bersedia berbagi dengan orang lain agar semua mengalami kehidupan” merupakan  suatu pendapat yang sesungguhnya mengada-ada. Kata spriritualitas ugahari yang ditempelkan di awal kalimat di atas seharusnya dibuang, dan diganti dengan spiritualitas kristiani; sebab spiritualitas kristiani memiliki landasan teologis-alkitabiah yang positif di dalam Perjanjian Baru, sedangkan cara hidup ugahari—tanpa embel-embel spiritualitas, karena ugahari pada hakikatnya tidak terkait dengan spiritualitashanya dapat diselisik secara terbatas dalam kesusastraan Melayu Klasik sebagaimana telah disinggung di atas.

Spiritualitas pada hakikatnya adalah karakter kehidupan rohani atau karakter  kerohanian yang paling menonjol sebagaimana tersirat dalam pikiran, terkandung dalam ajaran, tercermin dalam kehidupan atau yang tampak dalam penampilan kehidupan.  Dalam konteks kekristenan patut disebut: spiritualitas kristiani; kehidupan rohani kristiani. Konsepsi spiritualitas kristiani ini telah tercakup di dalamnya moralitas kristiani; sebab spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani  pada hakikatnya dapat diibaratkan seperti “dua muka dari satu mata uang”.  Dasar dan sumbernya adalah Yesus dan ajaran-Nya, serta kuasa Roh Kudus yang bekerja di dalam setiap diri orang-orang percaya.

Yesus berkata: “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup” (Yohanes 8:12). Ini berarti spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani harus memancarkan terang hidup. Selanjutnya, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagi pula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Matius 5:14 – 16). Ini berarti spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani tidak boleh diredupkan  dengan berbagai dalih, termasuk dalih ugahari atau keugaharian yang terbatas pada kesusastraan Melayu Klasik.

“Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah” (1 Yohanes 4:7). “Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (1 Yohanes 4:16). Ini berarti spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani itu harus memancarkan dan mengejawantahkan hukum kasih dalam kehidupan dan aktivitas pelayanan. “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Galatia 6:2).

Ini berarti spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani  yang dihidupkan demi kemanusiaan dan keadilan melalui aksi saling menolong sebagaimana Paulus katakan dalam 2 Korintus 8:1-24 itu adalah aksi pelayanan kasih berdasarkan hukum Kristus—bukan berdasarkan konsepsi ugahari atau keugaharian yang sempit dan dangkal, yang berasal dari kesusastraan Melayu Klasik! “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang: (Matius 5:13). Ini berarti spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani jangan dibiarkan menjadi “hambar” lantaran pengaruh spiritualitas lain, termasuk yang disebut spiritualitas ugahari yang semu.

Itulah landasan teologis-alkitabiah spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani yang seharusnya dihidupkan, dipancarkan dan diwujudnyatakan dalam kehidupan; dikonkretkan dalam aksi pelayanan. Dan berdasarkan landasan teologis-alkitabiah spiritualitas kristiani dan moralitas kristiani sebagaimana diwedarkan di atas ini—khususnya tentang kasih dan saling mengasihi—Paulus mengemukakan pendapat dan petunjuknya tentang pelayanan kasih sebagaimana terbaca dalam 2 Korintus 8:1- 24. Dengan demikian, konsepsi spiritualitas ugahari yang dikemukakan oleh Pdt. Mery Kolimon dan Pdt. Dr. Mesakh Dethan adalah nonsensikal.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar