Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 29 Maret 2018

Kebangkitan Vibrasi Kepeloporan Soeharto Di Pentas Politik Nasional Indonesia


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

 
Tommy Soeharto (image: jawapos)

Catatan pengantar
Dalam buku saya berjudul, Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia (B You Publishing Surabaya 2010) telah saya analisis vibrasi kepeloporan enam Presiden RI dan satu wakil Presiden, yaitu: vibrasi kepeloporan Presiden Soekarno, vibrasi kepeloporan Wakil Presiden Mohammad Hatta, vibrasi kepeloporan Presiden Soeharto, vibrasi kepeloporan Presiden B. J. Habibie, vibrasi kepeloporan Presiden Abdurrahman Wahid, vibrasi kepeloporan Presiden Megawati Soekarnoputri, dan vibrasi kepeloporan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Vibrasi kepeloporan Presiden Joko Widodo belum dibukukan, tetapi sudah dipublikasikan di blog www.bianglalahayyom.blogspot.co.id  edisi 03 Juli 2014.

Presiden Soekarno wafat pada tanggal 21 Juni 1970, akan tetapi vibrasi kepeloporannya bangkit dalam diri dan/atau melalui kepeloporan Megawati Soekarnoputri di pentas politik nasional Indonesia pada tahun 1987 sampai tahun 1997/1998; 1998/1999; 1999/2001; 2001 – 2004; dan 2004 – 2009; 2009 – 2014 (Baca: Vibrasi Kepeloporan Soekarno, hlm. 39 – 74; dan Vibrasi Kepeloporan Megawati Soekarnoputri, hlm. 110 – 120). Sekalipun vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden RI (1999 – 2001) dan Presiden RI (2001 – 2004) sangat singkat, dan meskipun dua kali maju sebagai calon Presiden RI pada Pemilihan Umum tahun 2004 dan tahun 2009 gagal menduduki kursi kepresidenan, namun vibrasi kepeloporannya di pentas politik nasional Indonesia sangat kuat dan menonjol hingga tahun   2018/2019  menuju tahun 2024.

Vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri pada kurun waktu yang akan datang—setelah mengalami stagnasi sekalipun—memiliki tahun kebangkitan vibrasi kepeloporan di pentas politik nasional Indonesia. Peranan Puan Maharani (putri Megawati Soekarnoputri) yang mulai menonjol di pentas politik nasional Indonesia dalam satu dekade belakangan ini merupakan petunjuk nyata tentang kontinuitas vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri di pentas politik nasional, sementara Megawati Soekarnoputri masih eksis.

Begitu pula dengan vibrasi kepeloporan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pentas politik nasional Indonesia yang muncul pertama kali pada tahun 2001 dan berhasil merealitaskan eksistensinya sebagai Presiden RI pada tahun 2004. Vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono yang muncul pada tahun 2001 memiliki luas siklus vibrasi tiga tahunan yang dinamikanya bersifat politis dan/atau politisasi yang dapat dipetakan kemunculannya sebagai berikut: 2001 – 2004 – 2007 – 2010 – 2013 – 2016 – 2019 – 2021 - 2024. Di samping dinamika vibrasi kepeloporan yang bersifat politis ini, Susilo Bambang Yudhoyono memiliki dinamika vibrasi kepeloporan sebagai presiden masa bakti lima tahunan, setelah dinamika vibrasi yang bersifat politis mengukuhkan eksistensinya sebagai Presiden RI pada tahun 2004. Luas siklus vibrasi kepresidenan ini mulai pada tahun 200420092014. (Baca: Vibrasi Kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono, hlm. 121 – 131).

Luas siklus vibrasi kepresidenan yang melekat pada Susilo Bambang Yudhoyono sebagaimana dipetakan di atas ini dibatasi dan/atau diempang oleh ketentuan UUD 1945 yang telah diamendemen: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Karena ketentuan ini maka Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat mencalonkan diri dan/atau dicalonkan untuk mengikuti Pemilihan Presiden pada 9 Juli 2014, padahal luas siklus vibrasi kepeloporannya untuk jabatan Presiden akan mencapai kulminasinya pada tahun 2019 – 2024.

Luas siklus vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono di pentas politik nasional Indonesia sebagaimana dipetakan di atas ini memberi petunjuk bahwa kebangkitan vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono akan eksis pada tahun 2019 – 2024, bukan melalui eksistensi pribadinya, melainkan  melalui dinastinya. Berdasarkan realitas faktual dan realitas objektif,  kebangkitan vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono di pentas politik nasional Indonesia pada tahun (kurun waktu) 2019 – 2024 - 2029 tersirat dan melekat pada tokoh Agus Harimurti Yudhoyono, yang bayang-bayang kepeloporannya mulai muncul pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu.

Berdasarkan dua catatan di atas maka saya ingin mengatakan ini: baik Puan Maharani (dari dinasti Presiden Megawati Soekarnoputri yang menerima dan melanjutkan karisma politik Soekarno) maupun Agus Harimurti Yudhoyono (dari dinasti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) yang eksis di pentas politik—terpanggil untuk hadap diri, tahu diri, dan terima diri untuk berinvestasi di pentas politik nasional Indonesia. Berbarengan dengan  hadap diri, tahu diri, dan terima diri untuk berinvestasi di pentas politik nasional Indonesia, maka kesadaran untuk jaga diri harus ditumbuhkan sehingga tidak tergelincir atau jatuh dalam praktik-praktik yang mereduksi, mencemarkan dan/atau meredupkan harga diri. Dinamika vibrasi kepeloporan  seseorang akan mengalami stagnasi, apabila harga diri telah tercemar, atau apabila terang harga dirinya redup.

Kembali ke judul artikel: kebangkitan vibrasi kepeloporan Soeharto di pentas politik nasional Indonesia
Mengenai Presiden Soeharto, vibrasi kepeloporannya muncul pertama kali pada tahun 1949; setelah itu vibrasi kepeloporan yang tersirat dalam vibrasi tahun 1949 itu terus berkembang dan bersiklus dengan vibrasi tahun 1962/1963; tahun 1964/1965; tahun 1966/1967. Dan selanjutnya, vibrasi kepeloporan Soeharto mulai eksis dengan mapan di pentas politik nasional Indonesia sepanjang periode  1968 – 1973; 1973 – 1978; 1978 – 1983; 1983 – 1988; 1988 – 1993; 1993 – 1998. Pada tahun 1998 Soeharto ditetapkan kembali oleh MPR menjadi Presiden RI masa bakti 1998 – 2003, namun pada tanggal 21 Mei 1998 malam vibrasi kepeloporan Soeharto mengalami stagnasi karena berhasil dibendung oleh kekuatan gerakan reformasi. Soeharto dilengserkan dari takhta kebesarannya, Setelah itu Soeharto mengalami beberapa kemelut dalam jalan hidupnya antara bulan Mei1998 sampai bulan Januari 2008.

Pada hari Minggu, 27 Januari 2008, sekitar pukul 13.10 WIB, Soeharto wafat. Wafatnya Soeharto pada tahun 2008 tetap terkait erat dengan luas siklus vibrasi kepeloporannya sebagai Presiden RI lima tahunan sebagaimana dipetakan di atas antara tahun 1968 sampai tahun 1998. Seandainya vibrasi kepeloporan Soeharto tidak mengalami stagnasi lantaran kekuatan reformasi mengempang dinamika vibrasi kepeloporannya, niscaya Soeharto akan mengemban tugas kepresidenan antara bulan Maret 1998 sampai bulan Maret 2003. Dan setelah itu bisa saja Soeharto  ditetapkan lagi oleh MPR untuk menjadi Presiden RI masa bakti 2003 - 2008 (Baca: Vibrasi kepeloporan Soeharto, hlm.75 – 95). Mengenai vibrasi kepeloporan Soekarno, Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, perhatikan analisis yang saya lakukan secara cermat dalam sketsa dan/atau grafis pada halaman 132 buku tersebut, serta penjelasannya pada halaman 133. Analisis sejarah dengan teori vibrasi seperti yang saya lakukan ini belum pernah dilakukan oleh pakar sejarah manapun.

Dinamika vibrasi kepeloporan Soeharto yang konstan dalam siklus lima tahunan sebagaimana dipetakan di atas—sekalipun Soeharto telah wafat pada tahun 2008—secara senyap terus berkembang sampai dengan tahun 2018. Analisisnya begini: 2008 + 5 = 2013 + 5 = 2018. Dan seterusnya, luas siklus vibrasi kepeloporan Suharto yang bangkit pada tahun 2018 akan eksis secara objektif dan faktual di pentas politik nasional Indonesia sepanjang kurun waktu lima tahunan mulai tahun 2019 – 2024 – 2029 – 2034 … dan seterusnya sesuai dengan dinamika vibrasi pesta demokrasi lima tahunan sekali, yaitu pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden berdasarkan ketentuan konstitusi yang berlaku.

Kebangkitan vibrasi kepeloporan Soeharto di pentas politik nasional Indonesia yang luas siklus vibrasinya bermuara pada tahun 2018 sebagaimana diwedarkan di atas, pada hakikatnya bukan lagi tersirat secara senyap, melainkan telah tersurat secara gamblang dalam eksistensi Partai Berkarya yang didirikan oleh Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto), yang adalah putra Presiden Soeharto. Menurut berita yang saya baca di TEMPO.CO edisi Kamis, 15 Maret 2018 dengan topik “11 Maret, Tommy Soeharto Dapat Mandat Pimpin Partai Berkarya”, diberitakan bahwa pada Ahad, 11 Maret 2018,  Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto (yang semula sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya) resmi mendapat mandat sebagai Ketua Umum Partai Berkarya menggantikan Neneng A. Tutty.  Vibrasi kepeloporan Soeharto di pentas politik nasional Indonesia terkait erat juga dengan “Titiek Soeharto yang memperoleh dukungan dan kesepakatan dalam Rapat pleno Partai Golkar untuk menjadi Wakil Ketua MPR RI menggantikan Mahyudin” (Kompas.com – 18/03/2018 – 22:59 WIB).

Partai Berkarya adalah partai baru yang memenuhi persyaratan dan ketentuan undang-undang kepartaian, dan telah disahkan oleh KPU sebagai partai peserta pemilihan umum pada tahun 2019 yang akan datang.  Dengan demikian, Partai Berkarya—sama dan setara dengan partai-partai politik yang lain—berjuang secara legal dan demokratis untuk memperoleh dukungan suara rakyat, baik untuk eksistensinya di lembaga legislatif, maupun untuk memperoleh dukungan suara rakyat pemilih bagi calon presiden yang diusung pada Pemilihan Umum tahun 2019 dan juga pada tahun 2024 atau tahun 2029 dan seterusnya.

Berkenaan dengan eksistensi Partai Berkarya di pentas politik nasional Indonesia, saya baca di Kompas TV @ Kompas TV – 4th (08.06 AM – 14 Mar 2018) komentar yang berbunyi: “Indonesia terancam Sindrom Singosari. Secara simbolis dapat terjadi di Indonesia antara dinasti Soekarno dan Soeharto. Singosaren Sindrom ini makin kental dalam konstelasi politik saat ini.”  Di halaman lain lagi saya baca: “Politik Dinasti dan Singosaren Syndrome” -  Lifehood Education Channel Published on Mar 12, 2018 komentar yang berbunyi: “Indonesia terancam Sindrom Singosaren: Saling bunuh antar Dinasti Tunggul Ametung dengan Dinasti Ken Arok di Kerajaan Singosari (1222) secara simbolis dapat terjadi di Indonesia antara dinasti Soekarno dan Soeharto. Singosaren Syndrome ini makin kental dalam konstelasi politik saat ini.”

Pernyataan atau komentar yang saya kutip di atas ini niscaya terkait dengan eksistensi Partai Berkarya yang dipelopori oleh Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto (sebagai dinasti Soeharto) di pentas politik nasional, yang dihadapmukakan dengan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan yang dipelopori oleh Megawati Soekarnoputri (dinasti Soekarno) dan putrinya Puan Maharani yang sedang berjaya di pentas politik nasional Indonesia. Persaingan di pentas politik dengan tujuan  memperoleh kekuasaan untuk memimpin republik ini wajar-wajar saja, tidak perlu dipersoalkan; asal taat asas, demokratis, dan tidak bertentangan dengan konstitusi,  Akan tetapi  jangan hanya dilihat terbatas pada dinasti Soekarno dan dinasti Soeharto yang tampil dalam tokoh Hutomo Mandala Putra dan Titiek Soeharto.  Harus dilihat dan diperhitungkan pula dinasti Susilo Bambang Yudhoyono yang tampil dalam tokoh Agus Harimurti Yudhoyono sebagaimana telah dianalisis di atas.

Berdasarkan teori vibrasi yang saya kembangkan, Agus Harimurti Yodhoyono memiliki vibrasi kepeloporan yang mantap untuk maju sebagai calon Presiden RI masa bakti 2024 – 2029 berpasangan dengan Puan Maharani sebagai calon Wakil Presiden. Skor vibrasi kepeloporan individual Agus Harimurti Yudhoyono 80; dan skor vibrasi kepeloporan individual Puan Maharani juga 80. Sedangkan skor vibrasi kedua tokoh ini jika bergandengan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu tahun 2024 adalah 90/100. Ini memberi petunjuk bahwa Partai Demokrat  dan PDI-P – demi kepentingan bangsa dan negara dalam kurun waktu tahun 2024 – 2029 dan 2029 – 2034 – seharusnya bisa membangun kerja sama di pentas politik nasional Indonesia. Kalau untuk kebaikan bangsa dan negara serta kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, mengapa tidak!?

Mengenai vibrasi kepeloporan Hutomo Mandala Putra yang tampil di pentas politik nasional Indonesia pada Pemilihan Umum tahun 2019 bersama Partai Berkarya, skor vibrasi kepeloporannya sebesar 20/30.  Dan pada pemilihan umum tahun 2024 yang akan datang, vibrasi kepeloporan Hutomo Mandala Putra dan Partai Berkarya memiliki skor vibrasi kepeloporan sebesar 50. Ini memberi petunjuk bahwa Hutomo Mandala Putra dan Partai Berkarya mendapat perhatian dan sambutan di pentas politik nasional. Dari skor vibrasi kepeloporan politis pada tahun 2019 sebesar 20/30  menjadi 50 pada tahun 2024 merupakan suatu peningkatan.

Mengakhiri tulisan ini saya merasa terpanggil untuk mengemukakan pendapat tentang prediksi yang mengatakan bahwa “Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi pada tahun 2030”. Prediksi ini saya baca di media internet Kompas.com – 22/03/2018. 12:54 WIB yang mengutip pernyataan Prabowo Subianto begini: “Saudara-saudara! Kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini. Tetapi, di negara-negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030.”

Benarkah Republik Indonesia akan sudah tidak ada lagi pada tahun 2030? Sebagai orang pertama dan satu-satunya orang Indonesia yang melakukan penelitian sejarah berdasarkan teori vibrasi terhadap sejarah pergerakan kemerdekaan dan  eksistensi bangsa  Indonesia, saya ingin mengutip kembali alinea kedua dalam buku yang judulnya telah disebutkan di atas, sebagai berikut:

“Sebagai catatan penutup bab ini saya ingin menggarisbawahi beberapa hal sebagai berikut: (1) Teori vibrasi sejarah yang saya kembangkan untuk meneliti ulang vibrasi pergerakan kemerdekaan dan eksistensi bangsa Indonesia antara tahun 1908 – 2008 memberi petunjuk bahwa vibrasi Kebangkitan Nasional dan Vibrasi Sumpah Pemuda sangat menentukan dan mempengaruhi  eksistensi bangsa Indonesia. (2) Perkembangan eksistensi bangsa Indonesia dalam abad ke-21 mulai tahun 2008/2009 menuju ke tahun 2028/2029 sampai ke tahun 2048/2049 dan seterusnya, sangat ditentukan oleh vibrasi Kebangkitan Nasional dan vibrasi Sumpah Pemuda. (3) Vibrasi Kebangkitan Nasional dan Vibrasi Sumpah Pemuda perlu diaktualkan kembali. Dan momen yang tepat dan bersejarah untuk itu adalah tanggal 20 Mei yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan tanggal 28 Oktober yang diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda. (4) Mengabaikan vibrasi Kebangkitan Nasional dan vibrasi Sumpah Pemuda serta vibrasi Pancasila sebagai perekat kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia dibayang-bayangi gejala disintegrasi dan stagnasi” (hlm.37,38).

Berdasarkan kutipan di atas ini saya hendak mengatakan bahwa sangat benar sekali pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla kepada wartawan bahwa: “ramalan (Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi pada tahun 2030 sebagaimana dikatakan oleh Prabowo Subianto) tersebut bisa saja terjadi jika persatuan dan  kesatuan Indonesia tidak dijaga. Kalau kita tidak betul-betul menjaga persatuan, bisa saja terjadi seperti di Balkan, di Rusia, Uni Soviet, sering terjadi perpecahan” (TRIBUNWOW.COM – Kamis, 22 Maret 2018 – 21:38).

Berdasarkan kutipan di atas juga saya hendak mengatakan bahwa sangat benar sekali pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa: “Seharusnya kita memandang masa depan dengan rasa optimisme. Kita memandang masa depan itu harus juga memberikan sebuah harapan yang lebih baik kepada anak-anak muda kita, kepada rakyat kita. (Indonesia) pasti akan menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan. Namun Indonesia harus tetap kuat menghadapi tantangan. Sesulit apapun tantangan yang ada, kita harus memberikan rasa optimisme, rasa harapan ke depan lebih baik” (Ibid).

Saja ajak pembaca artikel ini untuk mencermati secara saksama kalimat yang berbunyi: “Tetapi, di negara-negara lain mereka sudah bikin kajian-kajian, di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030.  Kalimat yang dicetak dengan huruf tebal ini menyarankan makna: sebelum tahun 2030 Republik Indonesia sudah mengalami disintegrasi dan stagnasi, sehingga pada tahun 2030 Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi. Apakah pernyataan ini tidak tergolong khayalan (sesuatu yang diangan-angankan seperti benar-benar adanya) yang tidak bertolak dari kenyataan dan pulang ke kenyataan? Dengan demikian, pendapat Wakil Presiden Jusuf Kalla sangat benar: “… pernyataan … bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030 adalah fiksi…” (Jakarta, Kompas.com – 22/03/2018 – 12:54 WIB). Untuk menjawab prediksi yang bersifat fiksi itu, semua komponen bangsa, seluruh rakyat Indonesia harus merasa terpanggil untuk berikrar pada setiap 20 Mei, 1 Juni, 17 Agustus, dan 28 Oktober  untuk “mengusir roh-roh disintegrasi”.

Antara tahun 2018 sampai tahun 2029 terdapat  12 hari keramat tanggal 20 Mei; 12 hari keramat tanggal 1 Juni; 12 hari keramat tanggal 17 Agustus; 12 hari keramat tanggal 28 Oktober. Total hari keramat bagi eksistensi bangsa dan Negara Republik Indonesia antara tahun 2018 sampai tahun 2029 sebanyak 48 hari keramat. Dan apabila 48 hari keramat bagi eksistensi bangsa dan Negara Republik Indonesia tersebut dijunjung dan diperingati secara intens, serta dijadikan sebagai momen “ikrar cinta bakti bagi persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Republik Indonesia”, maka ramalan tentang “Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi pada tahun 2030” hanyalah ilusi. ***








Tidak ada komentar:

Posting Komentar