Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 05 Maret 2018

Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus: Tanggapan atas opini Dr. Eben Nuban Timo

 
Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

Catatan pendahuluan
Pada hari Kamis, 6 April 2017, jam 03:45 dini hari, saya baca di situs web SINODE GMIT sebuah artikel berjudul, “Tak ada Roti dan Anggur di Perjamuan Kudus” yang ditulis oleh Pendeta Dr. Eben Nuban Timo (selanjutnya akan saya sapa, Nuban Timo). Artikel Nuban Timo tersebut luput dari perhatian saya, karena saya hanya menyinggahi situs web SINODE GMIT pada 14 Maret 2017 untuk membaca artikel “Bolehkah Nira dan Marungga ganti Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus?” Tanggapan terhadap artikel ini dengan judul, “Roti dan Anggur Diganti Dengan Marungga Rebus dan Nira Lontar dalam Ibadah Perjamuan Kudus—Suatu Pelecehan Terhadap Kekudusan Ibadah Perjamuan Kudus” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id Sabtu, 18 Maret 2017).

Artikel Nuban Timo yang judulnya telah disebutkan di atas menggugah saya untuk membuat sebuah artikel tanggapan lanjutan, sebab ternyata, Nuban Timo telah melakukan sebuah kajian  kritis-kontekstual yang salah terhadap pelaksanaan Perjamuan Kudus di salah satu jemaat GMIT di pulau Rote – Nusa Tenggara Timur Indonesia, di mana roti dan anggur perjamuan diganti dengan sayur marungga (daun kelor) rebus dan nira lontar. Kesalahan kajian kritis-kontekstual yang dilakukan oleh Nuban Timo ialah, Nuban Timo memberi penjelasan terhadap model pelaksanaan Perjamuan Kudus di Rote itu dari perspektif Perayaan Paskah Yahudi; padahal jemaat GMIT di Rote itu bukan umat Yahudi atau umat yang beragama Yahudi yang merayakan hari raya Roti Tidak Beragi, yang disebut Paskah.

Kesalahan selanjutnya yang dilakukan oleh Nuban Timo ialah, ketika ia menjelaskan bahwa “Perjamuan Kudus yang kita rayakan itu khan berakar dari pesta Paskah orang Yahudi. Pesta Paskah itu khan makan malam anggota keluarga. Masa makan malamnya hanya roti seukuran satu sentimeter. Pastilah rotinya besar, malah ada yang makan dua atau tiga potong roti. Minumnya juga ditambahkan dua tiga kali. Namanya juga makan malam….” Ditegaskan lagi oleh Nuban Timo: “Sakramen Perjamuan yang diperintahkan dan dicontohkan Yesus, berakar pada Perjamuan Paskah Israel untuk memperingati keluaran dari Mesir…”  Dan selanjutnya Nuban Timo berkata lagi: “Perjamuan Kudus saat ini adalah upaya meliturgikan pesta Paskah. Dalam perayaan aslinya, yang juga dilakukan Yesus, orang boleh makan dan minum dalam jumlah banyak…”  Stop sejenak! Kelihatannya Nuban Timo sedang  meracau tentang Paskah Yahudi, Perjamuan Kudus, roti seukuran satu sentimeter, roti besar-besar, makan dua tiga potong roti, minum tambah dua tiga kali, makan minum dalam jumlah banyak, lantaran membayangkan kelezatan sayur rebusan sayur marungga (daun kelor) yang dilahap bersama sambal sambil meneguk nira lontar.

Nuban Timo terus meracau, bahwa sakramen Perjamuan Kudus saat ini adalah upaya meliturgikan pesta Paskah… Coba baca Lukas 22:17-20. Di ayat 17 tertulis: “And he took a cup, and when he had given thanks he said: take this, and divide it among yourselves.”  Ini terjadi setelah ayat 14 yang mengatakan bahwa Yesus duduk makan bersama murid-murid-Nya. Kata makan dalam ayat ke-14 adalah makanan pembuka yang terdiri dari sayur pahit, sayur hijau dan semacam kuah. Makanan pembuka ini ditutup dengan cawan pertama dalam perayaan Paskah Israel yang Lukas sebutkan dalam ayat 17. Dalam ayat 20 Lukas menyebut sebuah cawan lagi. Kali ini disebut sesudah mereka makan. Yang disebut makan dalam ayat 20 adalah makanan inti dalam perayaan Paskah Israel yakni daging anak domba Paskah yang dipanggang lalu disajikan di meja bersama roti tidak beragi, sayur pahit, kuah buah-buahan dan air anggur. Jadi ada dua buah cawan yang beredar dalam perjamuan malam terakhir yang Yesus adakan dengan murid-murid-Nya.”  Nuban Timo menutup penjelasan ini dengan merujuk kepada Ridderboos dan Baarlink (Pemberitaan Yesus Menurut Injil-Injil Sinoptik. Jakarta: BPK Gunung Mulia 1975:184). Penjelasan Nuban Timo sebagaimana dikutip di atas ini akan saya berikan beberapa catatan.

1.      Nuban Timo mengutip Lukas 22:17 terjemahan bahasa Inggris tanpa menyebut Alkitab bahasa Inggris versi apa. Akan tetapi rupanya Alkitab bahasa Inggris versi RSV karena memang ayat yang Nuban Timo kutip itu cocok dengan RSV. Jikalau memang demikian, maka ayat 20 yang Nuban Timo rujuk itu tidak terdapat dalam RSV sebab dalam RSV ayat 19 langsung disambung dengan ayat 21, dengan catatan, ayat 20 dicantumkan pada catatan kaki. Dengan demikian, seharusnya Nuban Timo menyebut Lukas 22:17-20 versi bahasa Indonesia terjemahan LAI.
2.      Menurut hemat saya, Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh gereja saat ini bukan upaya meliturgikan pesta Paskah orang Yahudi seperti kata Nuban Timo, melainkan   meliturgikan “perjamuan khusus” yang Yesus adakan dengan murid-murid-Nya ketika acara makan Paskah diadakan. Paskah Yahudi dilakukan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penyelamatan pada keluaran dari Mesir. Sedangkan Perjamuan Kudus masa kini yang dilakukan oleh gereja untuk memperingati penderitaan dan pengorbanan Yesus, yang dipesankan dan disimbolkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya melalui roti dan anggur: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu” (ucapan Yesus menurut versi penulis Injil Lukas; bandingkan dengan versi Matius, Markus, dan Paulus). Dengan demikian, penjelasan H. Ridderboos dan H. Baarlink yang dirujuk oleh Nuban Timo, yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus sama seperti Perjamuan Paskah adalah perjamuan korban, yakni perjamuan yang didasarkan pada korban yang telah dipersembahkan, adalah sangat salah. Demikian pula pernyataan yang berbunyi, “Perjamuan Kudus adalah perbuatan peringatan sekaligus perbuatan pengharapan. Itulah sebabnya ia terus dirayakan. Dalam pengulangan itu pikiran kita tidak boleh lagi terikat hanya pada roti dan anggur saja, tetapi lebih dari itu yakni kepada Tubuh dan Darah Kristus yang diperlambangkan oleh roti dan anggur” (cetakan kursif, AGHN). Berkenaan dengan kalimat cetak kursif ini saya ingin berkata begini: setiap anggota jemaat yang sudah menyelesaikan ketekesis telah memiliki konsistensi iman, bahwa roti dan anggur perjamuan kudus adalah simbol tubuh dan darah Yesus seperti tertulis dalam Lukas 22:19-20, 1 Korintus 11:23-25). Setiap anggota jemaat yang sudah menyelesaikan ketekesis, tidak melihat hanya pada roti dan anggur saja pada saat mengikuti Ibadah Perjamuan Kudus, melainkan mata imannya tertuju kepada penderitaan, pengorbanan, dan kematian Yesus. Dan mereka sadar betul akan pesan Paulus, “… setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang”.  Roti Perjamuan yang Nuban Timo katakan hanya berukuran satu centimeter itu merujuk kepada “roti yang Yesus pecah-pecahkan” lalu bagikan kepada murid-murid-Nya. Dan anggur yang berukuran satu seloki itu merujuk kepada “isi cawan, yaitu anggur, yang dibagi-bagikan kepada murid-murid-Nya”. Dengan demikian, Nuban Timo tidak usah meracau makan roti Perjamuan Kudus yang berukuran lima belas sentimeter dan minum anggur Perjamuan Kudus sepoci demi kepuasan perut.
3.      Ternyata Nuban Timo tidak mencermati perbedaan esensi antara makan Paskah yang dirayakan orang Yahudi, dan “makan roti dan minum anggur” (perjamuan khusus) yang Yesus adakan bersama-sama dengan murid-murid-Nya pada waktu makan Paskah. Dalam Lukas 22;15 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita.”  Dengan demikian, roti dan anggur  dalam Lukas 22:19-20 (par. Matius 26:26-28; Markus 14:22-24; 1 Korintus 11:23-26)  adalah simbol bagi  Yesus yang mengalami penderitaan sampai mati,  yang diliturgikan dalam Kebaktian Perjamuan Kudus, yang dilakukan oleh gereja, yang telah berlangsung 20 abad dan yang telah diterima secara universal sebagaimana dikatakan oleh Nuban Timo sendiri.
4.      Ridderboos dan Baarlink, sebagaimana dirujuk oleh Nuban Timo, berkata begini: “Dalam Perjamuan Paskah Israel makanan yang dijadikan santapan utama bukan roti tetapi daging anak domba.”  Pernyataan kedua orang ini bertolak belakang dengan pernyataan Nuban Timo. Sebab, menurut Nuban Timo, makanan pembuka Paskah Yahudi terdiri atas sayur pahit, sayur hijau dan semacam kuah, yang ditutup dengan cawan paskah pertama. Makanan pembuka ini dihubungkan dengan Lukas 22:14. Setelah itu, ada makanan inti yakni daging anak domba yang dipanggang yang disajikan di meja bersama roti tidak beragi, sayur pahit, kuah buah-buahan dan air anggur, yang ditutup dengan cawan paskah kedua. Makanan inti ini  dihubungkan dengan Lukas 22:17.  Saya tidak perlu mengutak-atik menu makanan Paskah Yahudi, sebab di dalam Injil Matius, Markus, dan Lukas yang dirujuk oleh Nuban Timo, tidak ada satu ayat pun yang menyebut sayur pahit, sayur hijau dan semacam kuah. .  Yang disebutkan dalam Injil dan 1 Korintus 11: 23-23, berkenaan dengan perjamuan khusus yang Yesus adakan dengan murid-murid-Nya, hanyalah roti dan anggur untuk menyimbolkan tubuh dan darah Yesus.
5.      Kesalahan selanjutnya yang dilakukan oleh Nuban Timo terdapat dalam pernyataannya yang berbunyi: “Pemakaian roti dan anggur dalam perayaan  Sakramen Perjamuan Kudus merupakan salah satu agenda dominasi dan penaklukan…” , yaitu “pola-pola dominasi dan penaklukan gereja muda pada agenda monokultur dari negeri asal para misionaris dianggap sebagai hukum yang tidak dapat diubah. Tradisi gereja dimanfaatkan untuk melegitimasi agenda tadi.”  Menurut hemat saya, pernyataan Nuban Timo sebagaimana dikutip di atas ini merupakan sebuah fantasi yang “tidak berangkat dari Injil dan pulang kepada Injil!” Apakah dalam Injil Matius, Markus, Lukas, dan surat 1 Korintus 11:23-27, roti dan anggur tidak disebutkan berkenaan dengan “perjamuan khusus” yang Yesus lakukan dengan murid-murid-Nya pada acara makan Paskah? Apakah roti dan anggur yang dipakai dalam Perjamuan Kudus adalah merupakan praktik para misionaris untuk mendominasi dan menaklukkan gereja-gereja muda dalam konteks ini di daerah pelayanan Gereja Masehi Injili di Timor? Apakah Yesus pada waktu makan Paskah  bersama murid-murid-Nya, kemudian secara khusus melakukan jamuan dengan murid-murid-Nya sehubungan dengan penderitaan yang bakal dialami-Nya “tidak mempergunakan roti dan anggur sebagai simbol tubuh dan darah-Nya”? 
6.      Satu lagi pernyataan Nuban Timo yang patut digugat ialah: “Kalau tradisi gereja dibuka dengan teliti menjadi jelas bahwa roti dan anggur merupakan bagian dari pendangkalan terhadap perayaan Perjamuan Paskah! Pernyataan ini memberi petunjuk bahwa “Nuban Timo adalah seorang penganut agama Yahudi, yang ingin mempertahankan pelaksanaan perayaan Perjamuan Paskah orang Yahudi, dan memandang penggunaan  roti dan anggur sebagai bagian dari pendangkalan terhadap perayaan Perjamuan Paskah orang Yahudi. Selain itu, secara tidak langsung Nuban Timo menuduh Yesus juga telah melakukan pendangkalan terhadap Perjamuan Paskah orang Yahudi, sebab Yesus menggunakan roti dan anggur pada saat menetapkan “perjamuan khusus” kepada murid-murid-Nya. Saya menduga, rupanya ada kerancuan dalam pikiran Nuban Timo, khususnya pada  lobus temporalis otak kanan di mana agama dan teologi berpangkal di situ.
7.      Berkenaan dengan roti dan anggur diganti dengan rebusan sayur marungga (daun kelor) dan nira lontar yang dilakukan jemaat GMIT di Rote dalam Ibadah Perjamuan Kudus, ada pertanyaan yang muncul: Apakah itu tidak merusak makna sakramen? Berkenaan dengan pertanyaan ini, Nuban Timo berkata: “Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu berkonsultasi kepada Robert Schreiter. Terapi kedua yang patut dikerjakan dalam berkonsultasi teologi kata Schreiter adalah membuka budaya.” Ah, ternyata pendekatan kontekstualisasi model semiotik yang dianjurkan oleh Robert J. Schreiter melalui bukunya, Constructing Local Theologies bagi Nuban Timo lebih berharga dari amanat Yesus yang disampaikan kepada murid-murid-Nya, sebagaimana terbaca dalam Injil Matius, Markus, Lukas, dan surat Rasul Paulus. Pendekatan model semiotik Schreiter yang rumit dan penuh resiko pendangkalan serta pengingkaran keluhuran amanat Injil dan pendewaan  semiotik, tidak dipikirkan oleh Nuban Timo. Teologi kontekstual yang disebut “local theology” yang dipahami sebagai suatu interaksi yang dialektik dan dinamis antara Injil, gereja, dan budaya,  sesungguhnya cukup rumit, kompleks, dan terlalu akademis; tidak segampang merebus daun kelor (sayur marungga) lalu dihidangkan sebagai pengganti roti untuk di makan, dan tidak seenaknya mengambil nira lontar pengganti anggur untuk diminum dalam Ibadah Perjamuan Kudus. Dapat saya tegaskan di sini bahwa sekelumit pandangan Schreiter yang dikutip oleh Nuban Timo dalam artikelnya itu, apabila dicermati secara mendalam,  bukannya mendukung praktik Perjamuan Kudus yang dilakukan jemaat GMIT di Rote di mana roti dan anggur diganti dengan sayur marungga rebus dan nira lontar, melainkan kutipan yang Nuban Timo wedarkan dalam artikelnya itu mengukuhkan jawaban atas pertanyaan: apakah itu tidak merusak makna sakramen Perjamuan Kudus; sekaligus merupakan lonceng peringatan agar orang harus berhati-hati dalam berteologi kontekstual.

Berdasarkan keseluruhan tinjauan di atas, maka sekali lagi saya katakan: pelaksanaan Perjamuan Kudus dengan menggunakan sayur marungga (daun kelor) rebus dan nira lontar, atau jagung dan laru, ubi dan moke sebagai pengganti roti dan anggur dengan alasan teologi kontekstual, pada gilirannya merupakan teologi kontekstual yang kebablasan—teologi kontekstual yang latah, dan merupakan pelecehan terhadap kekudusan Ibadah Perjamuan Kudus. Berkenaan dengan Ibadah Perjamuan Kudus, makanan-makanan dan minuman-minuman lokal yang disebut di atas ini tidak memiliki :akar-simbolisme” di dalam Injil. Fungsi makanan dan minuman lokal yang disebutkan di atas ini hanya sebatas makanan dan minuman pengisi perut. Integritas semiotik makanan dan minuman lokal yang disebutkan di atas tidak sebanding dan tidak cocok dengan integritas semiotik roti dan anggur dalam menyimbolkan tubuh dan darah Yesus. Ini telah saya tinjau dalam artikel pertama.

Oleh karena itu, berkenaan dengan Ibadah Perjamuan Kudus, hanya roti dan anggur saja yang memiliki “akar-simbolisme” yang inheren dan konsisten (tetap [tidak berubah-ubah]; taat asas, ajek, selaras dan sesuai) dengan amanat Yesus sebagaimana tersurat di dalam Injil (Perjanjian Baru); sehingga tradisi kristen dan/atau tradisi gereja dari abad ke abad tetap menggunakan roti dan anggur dalam Ibadah Perjamuan Kudus. Nuban Timo pasti mengakui bahwa GMIT selama ini, sejak berdiri pada 31 Oktober 1947, di dalam melakukan Ibadah Perjamuan Kudus, tidak pernah memesan atau mengimpor roti dan anggur perjamuan dari Palestina, atau Eropa.  Tepung pembuat roti dapat diolah dari bahan makanan lokal, begitu pula air anggur perjamuan dapat dibuat dari sopi atau arak lokal. Pada zaman VOC, di Kupang, pedagang-pedagang Tionghoa telah berdagang terigu, sopi, dan anggur manis. Di pulau Rote juga sudah ada pedagang orang Tionghoa yang tinggal di Baa dan Pouk. Mereka juga menjual terigu, sopi atau arak. Dan di Rote juga sudah ada industri penyulingan sopi sederhana, sebab sopi atau arak termasuk salah satu hasil yang wajib berikan secara tetap sebagai upeti kepada Kompeni Belanda di Kupang. Begitu pula di Kupang sudah ada industri penyulingan sopi atau arak dan industri minuman anggur manis yang disebut “gula-beer” (data yang saya kemukakan ini terdapat dalam  dokumen VOC General missive,  Tahun 1743 – 1749).  Dengan demikian Nuban Timo jangan meracau tentang roti dan anggur harus dihubungkan dengan Palestina dan Eropa.

Mengakhiri artikel ini saya ingin mengusulkan  tiga pesta gerejawi untuk GMIT: (1) Paskah Kristen adalah berkenaan dengan Kebangkitan Yesus. Jikalau Yesus tidak dibangkitkan maka sia-sialah kepercayaan kita. Atas dasar ini, jemaat boleh merayakan Paskah Kristen [yaitu kebangkitan Yesus] dengan “Pesta Paskah” atau “Makan Paskah” bersama setelah selesai kebaktian. Tradisi “Pawai Paskah”  sudah dipraktikkan, karena itu “Pesta Paskah” atau “Makan Paskah” sebagai tanda sukacita atas Kebangkitan Yesus yang diliturgikan, dapat saja dilakukan. Menu makanan dan minuman, boleh disiapkan dari bahan makanan dan minuman lokal. (2) Pada puncak Kebaktian Bulan Keluarga yang bertepatan dengan peringatan hari reformasi pada 31 Oktober, jemaat boleh merayakannya dengan Pesta Bulan Keluarga sekaligus memperingati Hari Reformasi dengan acara makan bersama. Menu makanan dan minuman boleh disediakan dari bahan makanan dan minuman lokal. (3) Pada malam Natal (24 Desember), berkenaan dengan peringatan Kelahiran Yesus, jemaat boleh makan bersama dalam suatu acara yang disebut Pesta Natal yang diawali dengan Kebaktian Malam Natal. Dengan melakukan Pesta Natal ini, acara-acara perayaan Natal yang dilakukan di rayon-rayon ditiadakan. Menu makanan dan minuman boleh disediakan dari bahan makanan dan minuman lokal.

Sedangkan Ibadah Perjamuan Kudus untuk mengenang dan/atau memperingati peristiwa Jumat Agung (Peristiwa Penyaliban Yesus) yang berhimpitan dengan Paskah Yahudi,  Roti dan Anggur Perjamuan Kudus  yang menjadi simbol tubuh dan darah Yesus, yang akar-simbolismenya inheren  dalam Injil (Perjanjian Baru)  janganlah dikorup. ***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar