Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 09 Maret 2018

Watak Manusia Otonom Dan Keberagamaan Chairil Anwar



Chairil Anwar


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

Bagian pertama
MANUSIA berwatak manusia otonom adalah manusia yang bebas berusaha untuk mengembangkan diri seluas-luasnya dan setinggi-tingginya. Manusia yang berwatak manusia otonom bercita-cita untuk menjadi seorang yang berkepribadian, dan sekiranya mungkin, ia ingin menjadi seorang yang unggul dalam segala lapangan kebudayaan, atau setidak-tidaknya unggul dalam salah satu lapangan kebudayaan tertentu.

Ciri-ciri manusia yang berwatak otonom antara lain manusia itu harus mencari jalannya sendiri dan menentukan sendiri pedoman yang hendak diterapkannya. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa manusia berwatak otonom itu adalah manusia jalang. Keotonoman manusia berwatak otonom tidak berarti bahwa manusia berwatak otonom itu hidup tanpa pedoman, melainkan manusia berwatak otonom itu tidak menerima pedoman hidupnya dari instansi di atas atau di luar manusia berwatak otonom itu sendiri. Pedoman yang diakui manusia yang berwatak otonom yaitu nilai-nilai yang diciptakannya sendiri untuk diterapkan dalam hidupnya. Nilai-nilai itu disebut nilai-nilai kemanusiaan.

Penyair Chairil Anwar yang disebut penyair revolusioner dan/atau penyair yang menganut paham individualisme adalah tokoh yang dapat saya tampilkan di sini sebagai potret manusia berwatak otonom. Watak manusia otonom Chairil Anwar tersurat dan tersirat dalam banyak sekali larik-larik puisi yang digubahnya. Coba perhatikan sajaknya yang berjudul AKU, yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:

“Kalau sampai waktuku/ Kumau tak seorang kan merayu/ Tidak juga kau/ Tak perlu sedu sedan itu// Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang// Biar peluru menembus kulitku/ Aku tetap meradang menerjang// Luka dan bisa kubawa berlari/ Berlari/ Hingga hilang pedih perih// Dan aku akan lebih tidak peduli/ Aku mau hidup seribu tahun lagi”  (Maret 1943)

Judul sajak di atas ini cukup jelas dan tegas. Aku, bukan kami atau kita yang berada dalam suatu relasi atau ikatan. Aku, merupakan suatu pernyataan yang menunjuk kepada diri sendiri; diri yang tunggal tanpa relasi atau ikatan dengan siapa pun dan apa pun. Aku yang otonom. Aku yang berpikir, berkehendak, mengambil keputusan secara bebas/merdeka. Aku yang berlaga sendiri serta bersedia menanggung risiko, tidak peduli dengan siapapun dan apapun yang mengerumuni di sekeliling dan/atau menghadang di depan. Ya, kalau sampai waktuku untuk berbuat/bertindak: inilah aku, dengan seluruh tenaga hidup dan gairah hidup yang berkobar-kobar. Aku, dengan tenaga dan gairah hidup yang tak sudi kubiarkan untuk dikurung dan dikungkung oleh siapapun dan apapun, termasuk ruang dan waktu: Aku mau hidup seribu tahun lagi.

Demikianlah watak manusia otonom Chairil Anwar. Sekalipun dalam sajaknya itu kita jumpai ungkapan “aku ini binatang jalang”, tidak berarti bahwa Chairil adalah manusia jalang. Larik sajak “Aku ini binatang jalang/ Dari kumpulannya terbuang” adalah pelukisan metafora. Dengan pelukisan metafora itu Chairil mau melukiskan eksistensinya sebagai manusia berwatak manusia otonom dalam dunia sastra (khususnya puisi) pada zamannya. Kehadirannya sebagai penyair berwatak manusia otonom yang menganut paham individualisme di dunia sastra, niscaya ditolak oleh kumpulan manusia zamannya yang masih kuat menganut paham realisme-romantisme, dan realisme-sosialis. Dengan visinya yang jauh ke depan dan daya imajinasinya yang tajam, Chairil memastikan bahwa kehadirannya dan eksperimen-eksperimennya dalam dunia sastra pada zamannya niscaya  mendapat kecaman dan tantangan. Terhadap semuanya itu Chairil menyatakan tekadnya untuk tidak mundur, melainkan terus maju, ada dan meng-ada  tanpa mengenal batas ruang dan waktu.

Ciri lain lagi yang terdapat pada manusia berwatak manusia otonom, yaitu penolakan perikatan dengan instansi di atas atau di luar manusia berwatak manusia otonom itu sendiri. Hal ini disebabkan karena manusia berwatak manusia otonom itu mau menentukan nilai-nilai yang hendak diterapkannya sendiri. Ciri ini pun kita temukan pada Chairil Anwar. Coba perhatikan sikap Chairil yang tersurat dan tersirat dalam larik-larik sajaknya yang lain, yang juga berjudul AKU (Juni 1943) yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:

“Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak/ Cumbu buatan satu biduan/ Kujauhi ahli agama serta lembing katanya/ Aku hidup/ Dalam hidup di mata tampak bergerak/ Dengan cacar melebar, darah dan nanah/ Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.”

Pada larik-larik sajak di atas, khususnya larik ketiga, secara jelas dan tegas Chairil melukiskan wataknya sebagai manusia berwatak otonom yang menolak perikatan bukan saja dengan ahli agama, melainkan juga terhadap lembing kata ahli agama. Catatan: “lembing kata” di sini artinya kata-kata pedas dan keras yang dikemukakan ahli agama melalui khotbah, dan fatwa). Tanpa perikatan dengan ahli agama serta ajaran, khotbah, dan fatwa yang disampaikan oleh para ahli agama, manusia Chairil yang berwatak manusia otonom berkata: “Melangkahkan aku bukan tuak menggelegak/ Cumbu buatan satu biduan. …… Aku hidup/ Dalam hidup di mata tampak bergerak/ Dengan cacar melebar, darah bernanah/ Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.” Dalam larik-larik ini tersirat watak manusia otonom Chairil yang tegar dalam menghadapi setiap tantangan hidup.

Begitu pula dalam sajak LAGU BIASA, kita dapat menilik watak manusia otonom Chairil dengan paham individualismenya, yang tidak mengacuhkan nilai-nilai kekudusan agama yang dijunjung dan diekspresikan oleh orang-orang beragama. Lagu “Ave Maria” yang menggemakan pujaan yang menunjuk kepada Maria (Bunda Yesus) disifatkan hanya sebagai lagu biasa. Lagu “Ave Maria” tidak punya daya gugah terhadap Chairil untuk tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan tema lagu tersebut. Inilah larik-larik sajak LAGU BIASA:

“Di teras rumah makan kami kini berhadapan/ Baru berkenalan. Cuma berpandangan/ Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam// Masih saja berpandangan/ Dalam lakon pertama/ Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.// Ia mengerling. Ia ketawa/ Dan rumput kering terus menyala/ Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi/ Darahku terhenti berlari/ Ketika orkes memulai ‘Ave Maria’/ Kuseret ia ke sana…”  (Maret 1943)

Bagi orang beragama yang menghormati Maria (Bunda Yesus), sudah tentu pada saat mendengar lagu “Ave Maria” berkumandang, mereka akan mendengarkannya dengan perasaan penuh khidmat. Kalbu mereka niscaya dipenuhi suasana kekudusan, perasaan hati mereka akan tergerak dan alam pikiran/angan mereka akan terarah kepada Bunda Maria, dan Yesus yang diimani.  Lagu “Ave Maria” niscaya membuai kalbu mereka.

Tetapi Chairil tidak mempunyai keterikatan batin/rohaniah dengan lagu “Ave Maria” yang menggemakan suasana kekudusan itu. Bagi Chairil, lagu “Ave Maria” hanyalah lagu biasa, karena itu justru pada saat lagu “Ave Maria” mulai mengalun lembut, naluri kedagingannya membara sehingga ia menyeret perempuan yang baru saja dikenalnya di teras rumah makan itu ke sana…

Watak Chairil sebagaimana dilukiskan di atas ini tersurat dan tersirat juga dalam sajak SORGA. Dalam sajak ini kita memperoleh kesan bahwasanya Chairil tidak menghargai hal-hal yang supernatural dan ontologi. Ia nekat mencemooh orang beragama yang mempunyai keyakinan teguh tentang keadaan di surga, seperti yang dilukiskannya dalam sajak tersebut. Perhatikan larik-larik sajak SORGA berikut ini:

“Seperti ibu + nenekku juga/ tambah tujuh keturunan yang lalu/ aku minta pula supaya sampai di sorga/ yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/ dan bertabur bidadari beribu// Tapi ada suara menimbang dalam diriku,/ nekat mencemooh: Bisakah kiranya/ berkering dari kuyup laut biru,/ gamitan dari tiap pelabuhan gimana?/ Lagi siapa bisa mengatakan pasti/ di situ memang ada bidadari/ Suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingnya Yati?” (Februari 1947)

Chairil Anwar ternyata lebih menghargai fakta dan berani menghadapi fakta yang  riil tentang manusia. Hal-hal yang berada di luar pembuktian akal sehat sulit ia terima (perhatikan larik-larik ke-10—12). Memang demikianlah watak manusia otonom. Agama bagi mereka disifatkan hanya sebagai ilusi belaka untuk menutupi kepahitan kenyataan hidup. Menurut manusia berwatak manusia otonom, manusia sendirilah yang menjadi ukuran dari segala sesuatu. Manusia harus berusaha mendapatkan patokan-patokan pasti bagi tindakan manusia atas dasar akal sehat. Itulah sebabnya Chairil—dalam menanggapi hikayat agama (perhatikan larik pertama sampai larik kelima)—merumuskan sikapnya pada larik ke-6 sampai larik ke-12: “Tapi ada suara menimbang dalam diriku/ nekat mencemooh: ………” (perhatikan larik-larik selanjutnya).

Kendatipun di kalangan manusia berwatak otonom terdapat orang-orang yang mengakui adanya ketuhanan dalam hatinya, namun patokan-patokan yang berasal dari sumber ketuhanan tidak diterimanya. Sikap mereka adalah: mengakui dan menerima patokan-patokan yang bersumber dari atas atau dari luar manusia itu sendiri berarti manusia kehilangan kebebasannya. Itulah sebabnya, patokan-patokan yang bersumber dari atas atau dari luar manusia, mereka tolak dengan gigih. Dalam sajak Chairil Anwar yang berjudul DI MESJID, sikap Chairil yang berwatak manusia otonom tersurat dan tersirat dengan jelas. Perhatikan larik-larik sajak tersebut berikut ini:

“Kuseru saja Dia/ Sehingga datang juga// Kamipun bermuka-muka// Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada/ Segala daya memadamkannya// Bersimpuh peluh diri tak bisa diperkuda// Ini ruang/ Gelanggang kami berperang// Binasa-membinasakan/ Satu menista lain gila”  (Mei 1943)

Kita tahu bahwa Mesjid sebagai tempat ibadah merupakan tempat umat yang mempunyai perikatan dengan Allah, bersimpuh dengan penuh kerendahan dan khusyuk di hadapan Allah yang disembah. Manusia yang mempunyai perikatan dengan Allah dengan sendirinya tunduk kepada patokan-patokan-Nya, dan mengakui campur tangan-Nya dalam kehidupan manusia. Dengan menerima dan berada dalam perikatan dengan Allah berarti manusia bukan lagi otonom terhadap dirinya. Ini bertentangan sekali dengan watak manusia otonom Chairil.

Dengan melukiskan kehadirannya di Mesjid, Chairil mau menyatakan secara tegas penolakannya terhadap perikatan dengan Allah. Ia mau mempertahankan keotonomannya. Ia mau berdiri sendiri, mengatur dirinya sendiri, menentukan patokan hidupnya sendiri dengan tidak mau menerima patokan dari Allah. Ruang Mesjid yang bernuansa kudus dan khidmat bagi mereka yang sujud menyembah Allah dengan penuh kerendahan hati, bagi Chairil menjadi suatu gelanggang peperangan antara dia dengan Allah: “Ini ruang/ Gelanggang kami berperang// Binasa membinasakan/ Satu menista yang lain gila.”

Timbul pertanyaan: Apakah dengan demikian Chairil bermusuhan atau merasa bermusuhan dengan Tuhan?  Dalam buku Memahami Dan Menikmati Puisi (1971:41) M. S. Hutagalung menafsirkan bahwa dalam sajak di Mesjid Chairil merasa bermusuhan dengan Tuhan. Seakan-akan ia harus berkelahi dengan Tuhan demikian hebat, karena ia tak mau “diperkuda Tuhan”. Tafsiran M. S. Hutagalung sebagaimana dikutip di atas ini kurang memuaskan. Berdasarkan telaah saya, Chairil tidak merasa bermusuhan dengan Tuhan, melainkan melalui sajak di Mesjid Chairil ingin melukiskan dirinya sebagai manusia berwatak otonom yang menolak perikatan dan campur tangan Tuhan dalam hidupnya. Menurut hemat saya, menolak belum dan/atau tidak berarti memusuhi atau merasa bermusuhan.

Demikianlah penyair Chairil Anwar dengan desah napas manusia berwatak otonom yang dapat kita rasakan dalam beberapa sajaknya seperti yang telah kita ketahui di atas. Ya, penyair Chairil Anwar yang berwatak manusia otonom yang optimis dalam menelusuri liku-liku kehidupan. Dengan paham individualismenya yang kuat ia berusaha menerobos rintangan-rintangan kehidupan. Dengan gairah hidup yang menyala-nyala, Chairil secara vandalistis melukiskan dobrakan-dobrakannya menembusi rintangan-rintangan kehidupan, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam sajak KEPADA KAWAN, yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut:

“Sebelum ajal mendekat dan menghianat,/ mencekam dari belakang ketika kita tidak melihat,/ selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,// belum bertunas kecewa dan gentar belum ada,/ tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,/ layar merah terkibar hilang dalam kelam,// kawan, mari kita putuskan kini di sini:/ Ajal yang menarik kita, jangan mencekik diri sendiri!/ Jadi/ Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,/ Tembus jelajah dunia ini dan balikkan/ Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,/ Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,/ Jangan tambatkan pada siang dan malam// Dan/ Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,/ Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,/ Tidak minta ampun atas segala dosa,/ Tidak memberi pamit kepada siapa saja!// Jadi/ Mari kita putuskan sekali lagi:/ Ajal yang menarik kita, ’kan merasa angkasa sepi,/ Sekali lagi kawan, Sebaris lagi:/ Tikamkan pedang hingga ke hulu/ Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!”   (November 1946)

Demikianlah nada vandalistis Chairil yang berwatak manusia otonom. Namun watak manusia otonom yang optimistis pada penyair yang mati muda ini sering mengalami krisis juga pada situasi-situasi tertentu, sehingga watak optimistisnya berubah menjadi pesimistis pada saat pergulatan dan permenungannya terhadap hidup menampilkan kenyataan-kenyataan yang tak mungkin teratasi, sekali pun ia dapat memilih kuda yang paling liar buat berpacu laju! Watak manusia otonom Chairil yang optimistis terasa luluh dan menjadi pesimistis dalam krisis, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam sajaknya yang berjudul “1943” berikut ini:

“Racun berada di reguk pertama/ Membusuk rabu terasa di dada/ Tenggelam darah dalam nanah/ Malam kelam-membelam/ Jalan kaku-lurus. Putus/ Candu./ Tumbang/ Tanganku menadah patah/ Luluh/ Terbenam/ Hilang/ Lumpuh./ Lahir/ Tegak/ Berderak/ Rubuh/ Runtuh/ Mengaum. Menggemuruh/ Menentang. Menyerang/ Kuning/ Merah/ Hitam/ Kering/ Tandas/ Rata/ Rata/ Rata/ Dunia/ Kau/ Aku/ Terpaku.”  (1943)

Dalam kata-kata/ungkapan-ungkapan, dan larik sajak yang terdiri atas satu atau dua kata saja sebagaimana terlihat di atas ini, tersurat dan tersirat rintihan ketakberdayaan dan jeritan sukma Chairil dalam menghadapi krisis kehidupan yang menghadang, kendatipun ada pergulatan untuk mengatasinya. Ya, terasa benar napas dan nada penyerahan Chairil dalam bermuka-mukaan dengan krisis kehidupan yang datang serbu-menyerbu silih berganti. Dan Chairil harus menerima keterbatasannya sebagai manusia: bahwa ada waktunya ia sanggup terus berlari menerjang, sekalipun peluru menembus kulitnya, serta luka dan bisa dialaminya; bahkan walaupun ia dapat berpacu menembus jelajah dunia dan balikkan. Akan tetapi ada pula waktunya ia tidak dapat berbuat apa-apa selain berserah, terpaku tanda tidak berdaya, dan berserah.

Watak optimistis manusia otonom Chairil yang luluh menjadi pesimistis dalam situasi-situasi tertentu, tersurat dan tersirat juga dalam sajak KEPADA PEMINTA-MINTA. Jikalau pada suatu ketika Chairil bersikap terhadap ahli agama dan Tuhan, “Kujauhi ahli agama serta lembing katanya” dan “Ini ruang/ Gelanggang kami berperang/ Binasa membinasakan/Satu menista yang lain gila”; maka dalam sajak KEPADA PEMINTA-MINTA Chairil pasrah dan berkata:

“Baik, baik, aku akan menghadap Dia/ Menyerahkan diri dan segala dosa/ Tapi jangan tentang lagi aku/ Nanti darahku jadi beku.// Jangan lagi kau bercerita/ Sudah tercacar semua di mataku/ Nanah meleleh dari muka/ Sambil berjalan kau usap juga.// Bersuara tiap kau melangkah/ Mengerang tiap kau memandang/ Menetes dari suasana kau datang/ Sembarang kau merebah// Mengganggu dalam mimpiku/ Menghempas aku di bumi keras/ Di bibirku terasa pedas/ Mengaum di telingaku.// Baik, baik, aku akan menghadap Dia/ Menyerahkan diri dan segala dosa/ Tapi jangan tentang lagi aku/ Nanti darahku jadi beku.”  (Juni 1943)

Larik-larik sajak yang dikutip di atas ini merefleksikan kesah napas ketidakberdayaan. Segala kemampuan yang ada pada penyair benar-benar lumpuh. Penyair tidak sanggup lagi untuk meradang menerjang. Penyair tak sanggup lagi untuk berlari dengan kekuatan terakhir dalam menanggung segala luka dan bisa. Pedih perih krisis kehidupan yang tercacar di mukanya ternyata tidak dapat dihilangkannya. Sikap tegar hati yang “tidak minta ampun atas segala dosa”, telah berubah dalam penyerahan: “Baik, baik, aku akan menghadap Dia. Menyerahkan diri dan segala dosa.”  Larik sajak ini secara eksplisit merefleksikan nada keberagamaan Chairil. Ia menyatakan kesediaannya untuk menghadap Dia (Tuhan), untuk menyerahkan diri dan segala dosa.

H. B. Jassin menggolongkan sajak di atas ini sebagai puisi saduran Chairil Anwar dari sajak William Elsschot yang berjudul TOT DEN ARME. Menurut Rob Niewenhuis, sajak Chairil Anwar di atas ini dipandang sebagai adaptasi dari Elsschot. Benar, tetapi bagaimanapun juga sajak KEPADA PEMINTA-MINTA  itu tidak mungkin sepi dari ekspresi totalitas dan integritas jiwa Chairil Anwar. Sajak Elsschot TOT DEN ARME niscaya merupakan bahan yang punya arti bagi Chairil, punya hubungan jiwa dengan Chairil. Suasana jiwa dalam sajak TOT DEN ARME telah lebur dan menyatu dengan suasana jiwa Chairil, serentak bangkit dalam suatu ujud baru yang menjadi satu kesatuan penuh milik Chairil dalam sajak KEPADA PEMINTA-MINTA.

Ketetapan Chairil untuk menghadap Dia (Tuhan) buat menyerahkan diri dan segala dosa sebagaimana tersurat dan tersirat dalam sajak “Kepada Peminta-minta” kita temui juga dalam sajak berjudul DOA, yang Chairil tujukan dan/atau persembahkan kepada pemeluk teguh. Beginilah bunyi larik-larik sajak tersebut:

“Tuhanku/ Dalam termangu/ Aku masih menyebut namamu// Biar susah sungguh/ mengingat Kau penuh seluruh// cayaMu panas suci/ tinggal kerdip lilin di kelam sunyi/ Tuhanku// aku hilang bentuk/ remuk// Tuhanku// aku mengembara di negeri asing// Tuhanku/ dipintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling”  (November 1943)

Larik-larik sajak di atas ini merefleksikan pergeseran perasaan dan pandangan hidup penyair pada momen tertentu. Melalui sajak ini kita dapat merasakan betapa Chairil termangu (termenung, terdiam karena sedih, kecewa, bingung), merasa diri hampa dan tidak berarti di hadapan Tuhan yang ia hampiri dan sapa. Kendatipun bagi Chairil Tuhan itu masih terasa sulit untuk diimani, toh Chairil datang menghampiri takhta Tuhan juga untuk menyapa nama-Nya, dan mengetuk pintu rahmat-Nya. Ya, dalam DOA, Chairil berserah kepada Tuhan dengan segala kesangsian dan ketidakberdayaannya. Ya, di hadapan Tuhan ia tidak dapat berbuat apa-apa: “aku tidak bisa berpaling“. Di hadapan Tuhan: “... Kau/ Aku/ Terpaku” (tiga untaian kata pada bagian terakhir sajak berjudul, “1943”).

Chairil yang semula bersikap terhadap sekelilingnya: “…orang ngomong, anjing gonggong; mari berdiri merentak, diri sekeliling kita bentak”, ternyata tidak berdaya  pada momen kehidupan yang melahirkan sajak DOA. Chairil yang pernah menolak perikatan dengan Tuhan sebagaimana tersirat dalam sajak DI MESJID, dan nekat mencemooh nilai-nilai supernatural dan ontologis yang dinilai tidak masuk akal sebagaimana tersirat dalam sajak SORGA, ternyata balik merangkul semuanya dengan suatu pandangan baru dan penghargaan baru, yang sebelumnya sangat asing baginya. Sesuai dengan subjudul sajak DOA, yaitu “kepada pemeluk teguh”, Chairil melukiskan suatu tanda uluran tangan kepada orang sekelilingnya (orang-orang beragama dari kalangan “pemeluk teguh”, yaitu Islam), untuk hidup berdampingan dalam realitas baru yang bersemi dalam hidupnya.

Hal yang sama pula Chairil nyatakan dalam sajak berjudul ISA yang ditujukannya “kepada Nasrani sejati”, sebagai subjudul sajak tersebut. Beginilah larik-larik sajak ISA:
“Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah// rubuh/ patah// mendampar tanya: aku salah?// kulihat Tubuh mengucur darah/ aku berkaca dalam darah/ terbayang terang di mata masa/ bertukar rupa ini segera// mengatup luka// aku besuka// Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah”  (November 1943).

Melalui sajak DOA dan ISA Chairil Anwar secara tulus menyatakan solidaritasnya kepada orang sekelilingnya yang beragama (baik Islam maupun Nasrani), bahwa ia tidak tercerabut (terasing) dari lingkungannya, sesamanya, yang dilukiskannya sebagai “pemeluk teguh” dan “nasrani sejati”, kendatipun ia menjalani hidupnya sebagai seorang manusia berwatak otonom.

Dengan demikian, siapakah dari orang Nasrani sejati yang tidak akan berserah khusyuk apabila berkontemplasi sesuai dengan horizon harapannya sebagai seorang Nasrani tentang penderitaan Yesus yang Chairil ungkapkan dalam sajak berjudul ISA? Dan bagaimanakah dapat melupakan Chairil? Begitu pula siapakah dari setiap pemeluk teguh yang bertaqwa kepada Tuhan yang tidak akan pasrah kepada Allah taala dengan penuh khusyuk, ketika membaca dan menikmati sajak DOA? Dan dapatkah melupakan penyairnya, yaitu Chairil? Ya, Doa Chairil adalah doa kita. Dan kontemplasi Chairil tentang ISA adalah kontemplasi kita, umat Kristen, yang berimankan Yesus, Juruselamat.

Bagian kedua
Berdasarkan tinjauan bagian pertama di atas ini, saya ingin memberikan beberapa catatan pertimbangan atas artikel berjudul, “Yesus yang Tersalib dalam Puisi Chairil Anwar” yang ditulis oleh Mus. G. Mabilehi (Timor Express, edisi Minggu, 9 Juli 2017, hlm 11).  

1. Latar belakang sajak ISA
Mengenai “Yesus yang tersalib dalam puisi Chairil Anwar”, Mus G. Mabilehi (selanjutnya saya sapa, Mabilehi) merujuk kepada sajak ISA. Mabilehi mengatakan bahwa puisi ini “… dipersembahkan kepada ‘seorang pribadi’ yang disebut sebagai ‘nasrani sejati’. Entah siapa yang dimaksudkan dengan nasrani sejati. Mungkin kepada seorang kristen yang sangat ia kagumi pada waktu itu, atau kepada Yesus sendiri dengan semacam pergeseran identifikasi sehubungan dengan inspirasi yang telah diperolehnya. Entahlah. Mengenai soal ini, sampai sejauh ini belum ada keterangan yang menolong memberi kejelasan logis.” Selain itu, Mabilehi juga berkata: “Kita tidak mendapat informasi yang cukup tentang dari mana si penyair belajar atau mendapat penjelasan yang luas tentang Yesus yang tersalib…”

Pernyataan Mabilehi sebagaimana dikutip di atas ini jelas menunjukkan pengetahuannya yang terbatas mengenai latar belakang sajak ISA yang ditulis oleh Chairil Anwar. Rupanya Mabilehi hanya mengandalkan buku Pamusuk Eneste yang disebutkan dalam artikelnya itu. Dan ini sangat pincang. Perlu kiranya Mabilehi ketahui bahwa judul kecil, “kepada nasrani sejati” pada sajak ISA itu Chairil alamatkan kepada W. J. S. Purwadarminta, seorang tokoh kristen yang dikenal baik dan dipandang oleh Chairil sebagai seorang nasrani sejati (H. B. Jassin. Chairil Anwar pelopor Angkatan 45, Jakarta, 1978:49). Sedangkan sajak berjudul DOA dengan judul kecil “kepada pemeluk teguh” sebenarnya bukan ditujukan kepada W. J. S. Purwadarminta sebagaimana dikatakan oleh H. B. Jassin (Ibid), melainkan—berdasarkan hasil penelitian saya—Chairil Anwar tujukan kepada “pemeluk agama Islam yang takwa”, yang dilukiskannya sebagai “pemeluk teguh”.

Dengan demikian, judul kecil “kepada Nasrani sejati” pada sajak ISA itu bukan Chairil ditujukan pula “kepada Yesus sendiri dengan semacam pergeseran identifikasi sehubungan dengan inspirasi yang telah diperolehnya” seperti yang diduga-duga dan/atau diraba-raba oleh Mabilehi,  sebab “Yesus bukan nasrani sejati”, melainkan “Yesus dari Nazaret (Kisah 2:22) adalah seorang Yahudi sejati, berasal dari suku Yehuda” (Ibrani 7:14). Dan perlu dicatat bahwa Chairil Anwar tidak menyebut Yesus, melainkan ISA, karena Chairil Anwar sendiri beragama Islam kendati pun ia menjalani hidupnya sebagai seorang berwatak manusia otonom. Dan tokoh “aku” dalam sajak ISA adalah “tokoh aku Chairil Anwar” yang menyajakkan tentang penderitaan ISA.

Selain itu, dalam sajak ISA Chairil Anwar tidak mengungkapkan nosi dan emosi imajinatifnya tentang Yesus yang tersalib sebagaimana dikisahkan dalam kitab Injil, melainkan hanya mengungkapkan nosi dan emosi imajinatif tentang penderitaan ISA. Bait pertama yang terdiri atas tiga larik, “Itu Tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah” melukiskan tentang penderitaan ISA. Dan bait kedua yang terdiri atas dua kata yang membangun dua larik, “rubuh/ patah” adalah ungkapan figuratif untuk melukiskan ketidakberdayaan ISA yang mengalami penderitaan.

Akan tetapi perlu diketahui pula oleh Mabilehi bahwa sajak  ISA itu (pinjam pernyataan Chairil Anwar sendiri), sesungguhnya “adalah suatu dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair…” dengan mengambil atau memanfaatkan “bahan baku” dari sajak berbahasa Belanda yang berjudul HET LAM artinya    
“Anak Domba”, atau  “Anak Domba itu” , atau “Itu Anak Domba”. Bait pertama sajak HET LAM yang terdiri atas dua larik yang berbunyi, “Er is een Lam, dat bloedt,/ Er is een Lam, dat bloedt” artinya: “Itu Anak Domba berdarah,/ Itu Anak Domba berdarah”, atau “Anak Domba itu berdarah,/ Anak Domba itu berdarah”.

Pada bait terakhir sajak HET LAM larik yang berbunyi, “Er is een Lam, dat bloedt -- …”, diulangi kembali sebagai suatu repetisi demi aksentuasi nosi dan emosi imajinatifnya tentang pengorbanan dan penderitaan HET LAM. Perlu dicatat di sini bahwa dalam bahasa Belanda, “Het Lam” menunjuk kepada “Het Lam Gods”, artinya “Anak Domba Allah”, yang Chairil sebut ISA pada judul sajaknya.

Dengan memanfaatkan sajak HET LAM sebagai “bahan baku”, Chairil menciptakan kembali sajak HET LAM itu menjadi suatu dunia baru kepunyaan Chairil berupa sajak berjudul ISA. Patut dicatat di sini untuk Mabilehi ketahui bahwa dalam bersajak, Chairil memiliki suatu konsepsi kepenyairan yang telah ia umumkan secara terbuka sebagai suatu pertanggungjawaban dalam “Pidato Radio 1946” sebagai berikut:

“Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideel dan visueel) alam dan penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbleeding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri…” (H. B. Jassin, do.ib., hlm.149).

Berdasarkan konsepsi kepenyairan dan pertanggungjawaban Chairil Anwar dalam bersajak sebagaimana dikutip di atas ini, maka sajak HET LAM sebagai bahan baku telah diolah menjadi sajak ISA sebagai suatu dunia baru milik Chairil. Dan larik-larik yang berbunyi,  “Er is een Lam, dat bloedt,/ Er is een Lam, dat bloedt…”/  sebagai anasir-anasir  atau unsur-unsur dalam sajak HET LAM telah dilebur dan diolah menjadi “Itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah” sebagai suatu anasir atau unsur dunia baru kepunyaan Chairil dalam sajak ISA. Begitu pula dengan larik-larik sajak lainnya yang terdapat dalam sajak HET LAM  yang berbunyi: “En ik, die Het aanschouwen moet/ en van mij zelven zeggen moet:/ Ben ik het, die U bloeden doet’// En dat ik U zo bloeden zag/ Zal ‘t mij behouden enen dag/ Voor werder, werder zonden/ en roepen om Uw bloed// Wat ik U daarom zeggen moet?/ Wat ik U zeggen moet?” Semua larik-larik sajak ini tidak diterjemahkan oleh Chairil melainkan diolah, dijadikan, diciptakan kembali menjadi suatu unsur dunia baru kepunyaan Chairil dalam larik-larik sajak ISA yang berbunyi: “mendampar tanya: aku salah?// kulihat Tubuh mengucur darah/ aku berkaca dalam darah// terbayang terang di mata masa/ bertukar rupa ini segara// mengatup luka// aku bersuka// …”

Nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam larik-larik sajak ISA hanyalah sebatas penderitaan ISA yang dikontemplasikan oleh Chairil. Ya, hanya penderitaan ISA (an sich) yang menjadi fokus kontemplasi Chairil. Jadi, Chairil sama sekali tidak berkontemplasi tentang Yesus yang tersalib sebagaimana dikatakan oleh Mabilehi menurut horizon harapannya. Larik-larik sajak yang berbunyi, “Itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah” adalah pelukisan dan penalaran puitis tentang penderitaan ISA. Larik sajak yang berbunyi, “rubuh/ patah” adalah pelukisan dan penalaran puitis tentang “ketidakberdayaan ISA yang mengalami penderitaan”. Dalam berkontemplasi tentang  penderitaan ISA, serta ketidakberdayaan ISA dalam menanggung penderitaan itulah,   membersit pertanyaan di benak Chairil: “aku salah?” Pertanyaan yang membersit di benak Chairil ini dilukiskan dalam larik sajak bermajas Interogasi: “mendampar tanya: aku salah?”

Dengan demikian, sangat salah apabila Mabilehi mengubah larik sajak yang berbunyi “aku salah?” menjadi “aku bersalah?”  Diksi “salah” yang digunakan Chairil dalam larik “aku salah” bukan verba yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan; melainkan adjektiva yang menyarankan arti “tidak benar, keliru, khilaf, menyimpang dari yang seharusnya” dalam hubungannya dengan kontemplasi tentang  penderitaan ISA. Jadi, dengan larik sajak bermajas Interogasi, “mendampar tanya: aku salah?” Chairil Anwar mengajukan suatu interogasi untuk direnungkan dan dijawab sendiri oleh Chairil: “Apakah Aku (Chairil Anwar yang bukan seorang Nasrani sejati) tetapi berkontemplasi tentang penderitaan ISA itu dapat dikatakan “salah, tidak benar, keliru, khilaf, atau menyimpang dari yang seharusnya?”

Berkenaan dengan majas Interogasi dalam bersajak atau berpuisi, Nesfield menjelaskan sebagai berikut: “Pada umumnya majas Interogasi dipergunakan dalam dua cara. Pertama, apabila pembicara atau penulis mengungkapkan nosi (ide, gagasan, pendapat atau tanggapan) secara tidak langsung dalam bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menggugah pendengar atau pembaca untuk merenungkan nosi yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan tersebut. Kedua, apabila pembicara atau penulis mengungkapkan suatu nosi dalam bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menguraikan, menjelaskan, atau mengomentari sendiri nosi yang telah diajukan dalam bentuk pertanyaan tersebut. Solilokui (percakapan seorang diri atau berbicara kepada diri sendiri dalam bentuk pertanyaan),  atau senandika (wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar), terhisab ke dalam majas Interogasi cara kedua” (J. C. Nesfield. Figures Of Rhetoric, hlm 246).

Dengan memperhatikan penggunaan majas Interogasi yang dikemukakan oleh Nesfield sebagaimana dikemukakan di atas ini, maka larik sajak yang berbunyi “mendampar tanya: aku salah?”  dalam sajak ISA itu adalah larik bermajas Interogasi menurut penggunaan cara kedua, tergolong pada solilokui atau senandika. Dan mengenai larik bermajas Interogasi ini Chairil Anwar mengungkapkan uraian, penjelasan, komentar atau tanggapannya dalam larik-larik sajak selanjutnya yang dapat dijelaskan di bawah ini.

Larik sajak yang berbunyi, “kulihat Tubuh mengucur darah” adalah larik yang melukiskan tentang “visiun” (bayangan atau gambaran fantasi tentang penderitaan ISA dalam imajinasi) Chairil Anwar. Dan larik yang berbunyi “aku berkaca dalam darah” adalah larik yang melukiskan tentang “refleksi” dan/atau “kontemplasi” Chairil Anwar tentang penderitaan ISA. Ternyata, penderitaan ISA yang Chairil refleksikan dan/atau kontemplasikan itu mencerahi visi Chairil, sehingga Chairil berkata: “terbayang terang di mata masa/ bertukar rupa ini segara”. Ya, “terbayang terang”: seakan-akan tampak atau dapat dilihat dengan jelas dalam persepsi Chairil Anwar di tengah pentas kehidupan dan/atau tahapan masa perkembangan hidupnya ketika sajak ISA digubahnya, ada sesuatu yang “bertukar rupa”  sebagaimana tersirat dalam larik sajak yang berbunyi: “bertukar rupa ini segara”.

Apakah gerangan nosi dan emosi yang tersirat dalam larik “bertukar rupa ini segara”? Diksi “segara” artinya “laut” atau “lautan”. Dalam larik ini diksi “segara” yang mengacu pada makna  leksikal “laut” atau “lautan”, dipakai sebagai ungkapan bermakna figuratif:  “tantangan hidup” dan/atau “cobaan hidup”. Diksi “laut” atau “lautan” yang mengacu pada makna figuratif seperti ini Chairil pakai dalam sajaknya yang berjudul PENGHIDUPAN, dalam larik yang berbunyi: “Lautan maha dalam/ mukul dentur selama/ nguji pematang kita/ mukul dentur selama/ hingga hancur remuk redam/ …”; dan juga dalam sajak SUARA MALAM, pada larik yang berbunyi: “Seperti kapal pecah di dasar lautan”.

Berdasarkan nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam larik sajak yang berbunyi, “terbayang terang di mata masa/ bertukar rupa ini segara” ketika Chairil Anwar melakukan refleksi dan kontemplasi tentang penderitaan ISA sebagaimana dijelaskan di atas, Chairil Anwar mengalami suatu suasana kedamaian dalam batinnya. Suasana kedamaian yang dialami itu diungkapkan oleh  Chairil Anwar dalam dua larik pendek yang berdiri sendiri sebagai bait sajak yang padat dan bernas: “mengatup luka”// “aku bersuka”.

Diksi “luka” dalam sajak ISA dipergunakan oleh Chairil Anwar untuk melukiskan tentang dampak penderitaan yang dialami dan dirasakan seolah-olah nyata. Sama seperti diksi “luka” dalam larik sajak AKU, “Luka dan bisa kubawa berlari”; atau larik yang berbunyi, “selama kau darah yang mengalir dari luka” dalam sajak berjudul SAJAK PUTIH; atau larik yang berbunyi, “Di tubuhku ada luka sekarang,” dalam sajak berjudul KABAR DARI LAUT; atau larik yang berbunyi, “Nanah meleleh dari luka” dalam sajak berjudul KEPADA PEMINTA-MINTA.

Dengan larik yang berbunyi, “mengatup luka”, Chairil Anwar hendak melukiskan tentang “dampak penderitaan yang dialaminya lenyap atau pulih sama sekali”, ibarat luka yang sembuh sama sekali, ketika ia melakukan refleksi dan berkontemplasi tentang  penderitaan ISA. Dan, “aku bersuka” adalah larik yang di dalamnya tersirat nosi dan emosi “kegembiraan, suka cita, dan kebahagiaan” yang Chairil Anwar alami ketika ia melakukan refleksi dan kontemplasi tentang penderitaan ISA. Inilah yang menjadi alasan penyair, mengapa tiga larik bait pertama ditulis kembali sebagai repetisi pada bait terakhir sajak ISA; “Itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah”.

Majas Repetisi digunakan untuk mengaksentuasi dan mengintensifkan nosi dan emosi imajinatif yang sangat diutamakan atau diistimewakan benar oleh penyair, yaitu: “Itu tubuh/ mengucur darah/ mengucur darah” yang telah menyembuhkan dan memulihkannya dari penderitaan yang dialaminya. Jikalau Mahatma Gandhi yang bukan seorang Nasrani sejati mengakui bahwa “makin suci penderitaan, makin besar kemajuan. Itulah sebabnya, maka penderitaan Jezus cukup untuk membebaskan sedunia yang menderita” (Prof. D. S. SARMA. GANDHI SUTRA, 1951, hlm 57), maka Chairil Anwar yang bukan seorang Nasrani sejati mengalami kesembuhan dan pemulihan dari penderitaan yang dialaminya ketika ia melakukan refleksi dan kontemplasi tentang penderitaan ISA pada momen tertentu tertanggal 12 November 1943.

2. Latar belakang konteks
Latar belakang konteks dan/atau situasi yang ada hubungannya dengan sajak ISA yang digubah oleh Chairil Anwar patut diperhatikan. Dalam artikelnya yang berjudul, “Yesus yang Tersalib dalam Puisi Chairil Anwar”,  Mabilehi mengatakan:

Dari tanggal dan tahun puisi ini dirangkai, jelas bahwa puisi ini ditulis dalam era perang revolusi mempertahankan kemerdekaan, era perjuangan bersenjata bersimbah darah, era di mana kematian dan kehancuran di ujung senjata merupakan cerita ngeri sehari-hari yang tidak dapat dihindari…”

Pendapat yang dikemukakan oleh Mabilehi sebagaimana dikutip di atas ini sangat salah. Sajak berjudul ISA, Chairil Anwar gubah  pada 12 November 1943. Tahun 1943 bukan era perang revolusi mempertahankan kemerdekaan, melainkan era pendudukan Jepang. Pada tanggal 1 Maret 1942 Jepang mulai mendarat di Pulau Jawa dan pada tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Nederland Indië menyerah tanpa syarat kepada Jepang (Dai Nippon) di Kalidjati. Era perang revolusi mempertahankan kemerdekaan, yang Mabilehi katakan era bersimbah darah,…” terjadi dalam kurun waktu tahun 1945 – 1949 yang dikenal dengan sebutan zaman revolusi fisik.  

Demikian pula sangat salah apabila Mabilehi mengaitkan nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam sajak ISA dengan sajak AKU yang Chairil Anwar gubah pada bulan Maret 1943. Mengapa saya katakan sangat salah? Ini jawabannya: nosi dan emosi imajinatif  yang tersirat dalam sajak AKU bernada watak manusia otonom, sedangkan nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam sajak ISA menyiratkan nada keberagamaan Chairil. Nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam sajak ISA dengan judul kecil “kepada Nasrani sejati” berkaitan erat dan tidak terpisahkan dari nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam sajak DOA dengan judul kecil “kepada pemeluk teguh”. Nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam kedua sajak ini mencerminkan “keberagamaan Chairil Anwar”, yang Chairil tunjukkan sebagai suatu solidaritas (sifat atau perasaan solider; sifat satu rasa, senasib; perasaan setia kawan) kepada Nasrani sejati, dan kepada pemeluk teguh sebagaimana telah saya wedarkan di bagian pertama artikel ini.

Selain itu, patut digarisbawahi di sini bahwa nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam sajak AKU juga tidak berhubungan dengan pendaratan Jepang di Pulau Jawa pada 1 Maret 1942 maupun peristiwa menyerahnya Pemerintah Nederland Indië tanpa syarat kepada Jepang di Kalidjati pada 8 Maret 1942. Sajak-sajak Chairil Anwar yang cocok dengan latar belakang sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1943 adalah sajak berjudul DIPONEGORO. Sajak berjudul SIAP-SEDIA dengan subjudul “kepada angkatanku”, sesuai dengan konteks pergerakan pemuda tahun 1944. Sajak berjudul PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO, dan KRAWANG-BEKASI, sesuai dengan konteks krisis keamanan bangsa Indonesia pada tahun 1948.

Berdasarkan uraian di atas ini maka “teologi dan/atau kristologi” yang Mabilehi paparkan di bawah judul kecil, “Jalan Salib: Sebuah Pelajaran dalam sejarah bangsa kita”, dalam artikel “Yesus yang Tersalib dalam Puisi Chairil Anwar” itu bukan suatu eksegesis yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, melainkan merupakan suatu eisegesis yang sangat salah. Sekali lagi saya tekankan di sini bahwa Chairil Anwar hanya menyajakkan tentang penderitaan ISA (an sich). Chairil Anwar sama sekali tidak menyajakkan tentang “Yesus yang disalibkan di Golgota”; Chairil Anwar juga tidak menyajakkan tentang “kematian dan kebangkitan“ di dalam sajak ISA.

Dengan demikian, apabila Mabilehi “berteologi” dan/atau “berkristologi” dengan berangkat dari penderitaan Jesus (an sich) yang Chairil Anwar kontemplasikan dan refleksikan dalam sajak ISA, maka “teologi” dan/atau “kristologi” yang Mabilehi lakukan itu “sia-sia”. Alangkah baiknya Mabilehi—dalam berteologi dan/atau berkristologi—berangkat dari Alkitab dan pulang ke Alkitab. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar