Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 08 Maret 2018

Alih Mandat Wali Kota Di Terminal Kota Kupang


Jonas Salean


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

MANUSIA dan waktu sesungguhnya tak terpisahkan. Manusia berada dan memberada dalam waktu, terkurung dalam waktu namun serentak mengatasi waktu, sehingga manusia dapat bermenung tentang waktu. Manusia dapat bermenung tentang waktu karena manusia sadar akan waktu. Ini berarti, manusia dapat menghayati waktu dalam berbagai dimensi. Pertama, waktu kosmis, yaitu waktu yang dihayati manusia berhubungan dengan gejala-gejala alam: pergantian hari, minggu, bulan, tahun dan sebagainya. Kedua, waktu kesejarahan, yaitu penghayatan waktu yang merentang antara apa yang sudah di masa lampau, apa yang sedang di masa kini, sampai dengan apa yang kelak di waktu akan datang. Ketiga, waktu sebagai penghayatan eksistensial yang di dalamnya manusia mengalami dirinya sebagai ada yang terus-menerus mengada di tengah-tengah waktu kosmis dan waktu kesejarahan.

Eksistensi manusia di tengah-tengah waktu sebagaimana digambarkan secara ringkas di atas inilah yang membuat manusia sering mengalami pergumulan batin antara kesayuan dan kebahagiaan; kepuasan dan ketidakpuasan; keremang-remangan dan kecerah-ceriaan; kepastian dan ketidakpastian. Semuanya tersirat secara tak tersadari dalam satu ungkapan singkat Karl Barth: “We live under the sign of Not Yet” (The Faith of the Church, 1964:119). Saya terjemahkan: “Kita hidup di bawah kurun waktu bertanda Belum.” Dan oleh karena itu, di dalam dan/atau di tengah kurun waktu yang bertanda belum inilah kita bergumul antara pengharapan dan harapan untuk memperoleh: kemenangan atau kekalahan; kesuksesan atau kegagalan; kebangunan atau keruntuhan; kehidupan dan kematian.

Eksistensi manusia di tengah-tengah waktu yang digambarkan di atas ini pula yang mendorong penulis kitab Pengkhotbah berkata: “Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya…” (Pengkhotbah 3:1,dyb). Sedangkan William Shakespeare berkata: “All the world’s a stage, and all the men and women merely players. They have their exist and their entrances, and one man in his time plays many parts”  (Christopher Woodland - Garth Boomer, Creative Excursions Part 1, 1970:139). Saya terjemahkan: “Seluruh dunia adalah sebuah pentas, dan semua laki-laki dan perempuan hanyalah pelakon semata-mata. Mereka memiliki jalan keluar dan jalan masuk sendiri-sendiri, dan setiap orang pada waktunya memainkan banyak bahagian lakon kehidupan”.

Ya, eksistensi manusia di tengah-tengah waktu—apakah dihayati sebagai waktu kosmis, waktu kesejarahan, maupun waktu eksistensial—niscaya merambah ke masa depan atau hari esok, betapapun absurdnya. Dalam momen seperti ini Lorenzo de Magnificent, seorang penyair Zaman Renaisans, mengimbau kita lewat larik-larik puisinya: “Naught ye know about tomorrow, dance and play, let songs be sung. Let sweet Love your bosoms fire. In the future come what may!” (Henry S. Lucas. The Renaissance And The Reformation 1960:262). Saya terjemahkan: “Kendatipun tidak kauketahui tentang hari esok, menarilah dan bermainlah, biarlah lagu-lagu disenandungkan. Biarlah Kasih manis membakar dadamu. Di hari mendatang kan muncul apa yang diharapkan!” Larik-larik puisi ini menyarankan optimisme: Optimisme di dalam dan/atau berdasarkan Kasih Kristus. Dengan demikian, kita sebagai manusia (pengikut Yesus) yang present sebagai ada yang meng-ada di tengah-tengah ruang dan waktu yang bertanda nama belum dan yang diwarnai kemelut sekalipun, jangan mencemaskan hari esok. Kita harus optimistis dan berpikir positif. Dengan uraian ini saya ingin mengajak pembaca (warga Kota Kupang) untuk mampir sejenak di Terminal Kota Kupang, guna menyaksikan suatu peristiwa penting yang  terjadi pada tanggal 1 Agustus 2017, hari Selasa: “Alih Mandat Wali Kota.”

Ya, pada tanggal 1 Agustus 2017, hari Selasa—jikalau tiada aral—merupakan suatu hari yang menjadi terminal: terminus ad quem (limit or the end to which: destination) bagi Jonas Salean, S.H., M.Si (selanjutnya akan saya sapa, Jonas Salean, tanpa menyebut gelar) berkenaan dengan batas akhir tugas dan/atau jabatannya sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2012 – 2017. Serentak dengan itu, tanggal 1 Agustus 2017 juga menjadi suatu hari terminal: terminus a quo (the limit from which: starting-point) bagi Dr. Jefry Riwu Kore (selanjutnya saya sapa, Jefry Riwu Kore, tanpa menyebut gelar) akan menerima mandat dan tanggung jawab sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022, kendati untuk sementara waktu tugas Wali Kota Kupang diemban oleh Sekretaris Kota Kupang Bernadus Benu sebagai Pelaksana  Harian, sesuai surat Gubernur NTT No. Pem/131/184/11/2017, hingga Dr. Jefry Riwu Kore dilantik sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022, jikalau tiada aral pada tanggal 22 Agustus nanti.

Tanggal 1 Agustus 2017 yang saya katakan sebagai suatu terminal itu juga merupakan suatu estafette, asal kata bahasa Prancis dan Italia, staffettastaffa, cf. Old High German, stapho, artinya a step” yang bermakna ganda: “a stage downward” bagi Jonas Salean yang mengakhiri masa jabatannya; dan “a step”  yang bermakna “a stage upward” bagi Jefry Riwu Kore yang kelak menerima mandat menjadi Wali Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022 setelah dilantik nanti. Ya, pada hari Selasa, 1 Agustus 2017, terjadi alih mandat di Terminal Kota Kupang. Alih mandat dari Jonas Salean yang mengakhiri masa jabatannya sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2012 – 2017; serentak terjadi pula penyerahan mandat kepada Jefry Riwu Kore untuk mengemban jabatan sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022 pada saat pelantikannya nanti. Pada tanggal 1 Agustus 2017 secara resmi Jonas Salean menemukan pintu keluar dan turun dari pentas  jabatannya sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2012 – 2017. Dan Jefry Riwu Kore menemukan pintu masuk untuk naik ke pentas jabatannya sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022 pada saat pelantikan.

Berada di Terminal Kota Kupang pada 1 Agustus 2017 seraya menyaksikan alih mandat sebagaimana diwedarkan di atas, saya teringat kembali salah satu sajak berjudul, “Di Terminal Bemo Kota Kupang” yang saya persembahkan kepada sahabat saya, S. K. Lerik, ketika ia diserahi mandat sebagai Wali Kota Administratif Kupang, menggantikan Drs. M. Amalo pada 26 Mei 1986 (tiga puluh satu tahun yang lalu). Pada waktu itu, S. K. Lerik yang memandang saya sebagai penyair, meminta masukan-masukan dari saya berkenaan dengan hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam membangun Kota Kupang. Lalu saya katakan, sebagai seorang yang berbakat sastra, saya akan memberikan sumbangan pikiran terkait Kota Kupang dalam bentuk puisi. Ada tujuh puisi yang saya persembahkan kepada S. K. Lerik pada waktu itu berkenaan dengan kontemplasi saya tentang Kupang. Dua tahun berselang, tujuh puisi itu saya muat sekaligus di koran KUPANG POS, edisi tanggal 11 – 17 Februari 1988 di bawah judul, “Parade Sajak-Sajak Prismatis Kota Kupang”. Salah satu sajak yaitu “Di Terminal Bemo Kota Kupang” yang akan saya wedarkan di sini, larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: 

“Di Terminal beta duduk/ tunggu bemo/ di luar sadarku seorang kawan lama datang/ di hatinya di hatiku/ keakraban tempo dulu membakar/ Dan bicara kami mengalir mesra/ melompat satu-satu tebing masa silam/ dalam bayang dan sinar/ tentang Kupang hari kemarin/ kini dan esok./ Wajah kami mulai cerah/ berpeluk dengan cita dari pusat hati/ buat berpesta dan senandung/ pecahkan suara angker dalam kata/ dan irama/ bagi kasih dalam ratap kudus.// Lalu kami saling tanya:/ - kauteteskan butir keringat dan air mata/ di sini?/ - ya, dan kau tanamkan segala kerinduan/ di padang tandus, bukit gundul/ dan tanah terlantar?/ - ya, kauyakin esok ada kematian terbayang/ kalau hari ini tinggal menyepi sendiri?/ - ya, karena itu mari kita bersumpah/ demi gunung dan pantai/ yang nyaman/ demi jalan-jalan dan lorong kota/ yang bersih/ demi pekarangan dan lingkungan/ yang indah/ serta alam yang lestari.// Peluklah Kupang cintamu/ Ciumlah Kupang kasihmu/ berikan darahmu mendidih dalam gairah kerja/ sampai esok menjelang/ o, ya. Itu, bemo datang/ untuk tempat yang kutuju.”

Sajak di atas ini saya tulis pada tanggal 8 September 1986, kemudian dimuat di koran KUPANG POS, edisi 11 – 17 Februari 1988; setelah itu dimuat di Mingguan DIAN, edisi bulan Mei 1992; dimasukkan pula dalam buku, Kupang Dari Masa ke Masa (Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kupang, 1997: 199, 200; dan terakhir diabadikan dalam kumpulan sajak-sajak bianglala yang dimasukkan sebagai Lampiran 2 dalam buku, Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi. B You Publishing Surabaya, 2011:250). Nosi dan emosi imajinatif seputar panggilan hidup, pengabdian,  dan motivasi kerja: menata dan membangun; menjaga dan memelihara semua yang dibangun demi kesejahteraan umum, kenyamanan, keamanan, kebersihan, keindahan kota serta alam dan lingkungan hidup yang lestari sebagaimana tersirat dalam larik-larik sajak di atas ini telah ikut mewarnai Program Aman, Sehat, dan Indah (ASI) di era kepemimpinan S. K. Lerik sebagai Wali Kota Administratif Kupang antara tahun 1986 – 1996, dan sebagai Wali Kota Kupang antara tahun 1996 – 2007.

Nosi dan emosi imajinatif seputar panggilan hidup, pengabdian, dan motivasi kerja untuk menata dan membangun; menjaga dan memelihara semua yang dibangun sebagaimana tersirat dalam larik-larik sajak di atas, telah diemban pula oleh Daniel Adoe pada masa kepemimpinannya sebagai Wali Kota Kupang periode 2007 – 2012 dengan slogan khusus, “Kupang Green and Clean”. Dan pada masa kepemimpinan  Jonas Salean sebagai Wali Kota Kupang selama lima tahun (2012 – 2017), nosi dan emosi imajinatif seputar panggilan hidup dan motivasi kerja untuk menata dan membangun Kota Kupang sebagaimana tersirat dalam larik-larik puisi di atas, telah diimplementasi dengan baik dan memuaskan demi “Kupang – Aman – Sehat – Indah – Harmonis”, yang kemudian menjadi “Kupang Kota Karya – Aman – Sehat – Indah – Harmonis”.

Demi Kupang Kota Karya – Aman – Sehat – Indah - Harmonis, banyak sektor pembangunan yang berhasil ditangani dan dibenahi oleh Jonas Salean. Warga Kota Kupang tidak boleh menyangkali semua keberhasilan dan prestasi yang telah dicapai oleh Jonas Salean bagi masyarakat dan lingkungan hidup di daerah Kota Kupang. Teristimewa  berkenaan dengan janji-janji kampanye Jonas Salean, yang dipaparkannya pada tahun 2012 ketika maju sebagai calon Wali Kota Kupang, ternyata  berhasil direalisasikan semuanya secara sangat memuaskan. Saat kampanye pemilihan Wali Kota Kupang pada tahun 2012, Jonas Salean berjanji kepada masyarakat Kota Kupang: pertama, gratiskan beras raskin bagi penerima beras raskin; dan kedua, dana pemberdayaan masyarakat sebesar 500 juta rupiah untuk setiap kelurahan.  Kedua janji kampanye ini berhasil direalisasikan dan bisa dirasakan masyarakat. Bahkan pada tahun 2017, akhir masa jabatan Jonas Salean sebagai Wali Kota Kupang, dana pemberdayaan masyarakat telah mencapai 750 juta rupiah untuk setiap kelurahan dan jumlah perputarannya sudah mencapai 60 miliar rupiah. Selain itu, program KTP Sehat untuk warga Kota Kupang, juga diluncurkan oleh Jonas Salean. Dengan program KTP Sehat, APBD Kota Kupang bisa mengalami penghematan sebesar 20 miliar rupiah. Sedangkan apabila semua warga Kota Kupang dialihkan ke BPJS, maka dana yang dibutuhkan lebih besar, bahkan mencapai 78 miliar rupiah.

Selama lima tahun memimpin Kota Kupang, Jonas Salean telah menerima tujuh medali dari Presiden RI Joko Widodo, karena dinilai berprestasi dalam merealitaskan program-program pembangunan demi kemaslahatan masyarakat. Selain penghargaan dari Presiden, Jonas Salean sebagai Wali Kota Kupang juga menerima penghargaan internasional AusAID (Australia) atas upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak; penghargaan dari Menteri Dalam Negeri; Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi; Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Komisi Nasional HAM RI; dan beberapa penghargaan lain dari Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ini merupakan suatu  kebanggaan, bukan saja bagi Jonas Salean sebagai Wali Kota Kupang (an sich);  dan bukan pula suatu kebanggaan bagi aparatur pemerintah Daerah Kota Kupang;   melainkan juga suatu kebanggaan bagi seluruh warga Kota Kupang.

Semua prestasi yang telah diukir oleh Jonas Salean selama lima tahun menjadi Wali Kota Kupang, merupakan bukti, bahwa Jonas Salean telah ikhlas “memeluk Kupang sebagai cintanya; mencium Kupang sebagai kasihnya; dan memberikan darahnya mendidih dalam gairah kerja; demi hari esok Kota Kupang yang lebih baik”, sebagaimana nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam bait terakhir sajak “Di Terminal Bemo Kota Kupang”.

Niscaya terdapat  juga kekurangan di sana sini. Itu lumrah dan manusiawi!  Dan apabila ada kesalahan, atau ditemukan kesalahan, itu pun tidak mengagetkan, sebab: hominis est errare (it belongs to man to err)! Sebagai seorang yang memiliki bakat khusus untuk mendeteksi vibrasi situasi yang terkait dengan manusia dan peristiwa, saya memperoleh petunjuk bahwa vibrasi kepeloporan Jonas Salean sehubungan dengan jabatan Wali Kota Kupang memiliki skor 80, dan vibrasi  keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas pembangunan sebagai Wali Kota Kupang  antara tahun 2012 – 2017 mencapai skor di atas  rata-rata: 100 sampai 120.

Dengan demikian, diharapkan Jefry Riwu Kore sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2017 – 2022 dapat mempertahankan dan/atau meningkatkan skor vibrasi keberhasilan yang telah ditoreh oleh Jonas Salean. Warga Kota Kupang mencatat program-program yang dikampanyekan oleh Jefry Riwu Koreh dan Hermanus Man: Program Kupang Senyum, Kupang Cerdas, dan Kupang Baru. Semoga program-program ini dapat diimplementasikan dalam kurun waktu pengabdian antara tahun 2017 sampai tahun 2022, agar warga masyarakat dapat mengalami dan merasakan apa itu   Kupang Senyum, apa itu Kupang Cerdas, dan apa itu Kupang Baru!

Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengutip lagi satu  sajak berjudul, “Kupang” (episode 1) yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “Kupang milik kita semua/ tanpa tanya dari mana kaudatang/ apa asal-usulmu// Kupang rumah kita semua/mutlak dibenahi tanpa alasan/ itu bukan urusan beta// Kupang bukan cuma tempat cari makan/ lantas ditinggalkan setelah berak/ di sana sini.”

Sajak ini pun, sama seperti sajak “Di Terminal Bemo Kota Kupang”, saya  tulis pada 8 September 1986, sebagai suatu persembahan kepada S. K. Lerik dalam kapasitasnya sebagai Wali Kota Administratif Kupang, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sajak ini adalah sajak urutan pertama dari tujuh sajak di bawah judul “Parade Sajak-Sajak Prismatis Kota Kupang”, dan sajak “Di Terminal Bemo Kota Kupang” adalah sajak yang ditempatkan dalam urutan keempat. Ketujuh sajak yang menyiratkan nosi dan emosi berkenaan dengan Kota Kupang itu dapat dibaca dalam kumpulan Sajak-Sajak Bianglala, Lampiran 2, dalam buku Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi, do.ib.).

Sajak “Kupang” (episode 1) yang larik-lariknya dikutip di atas ini sangat sederhana, seperti diucapkan begitu saja tanpa lewat suatu proses pengendapan yang dewasa di dalam benak. Orang bisa menggolongkan sajak ini sebagai sajak lugu. Namun ia melukiskan suatu kesungguhan nosi dan emosi imajinatif yang sangat penting tentang Kupang sebagai sebuah kota yang mempersatukan. Di situ tidak boleh terdapat tembok-tembok pemisah di antara individu maupun kelompok, atau puak-puak yang menghuninya. Kupang harus menjadi suatu tempat atau ruang seperti kata penyair: “Kupang milik kita semua/ tanpa tanya dari mana kaudatang/ apa asal-usulmu”. Bagi warga Kota Kupang, ini berarti: “kesadaran memiliki” mesti ditumbuhkan, dikembangkan dan dibina.

Tetapi “kesadaran memiliki” saja belumlah cukup. Diperlukan pula “kesadaran solidaritas” atau “kesadaran kemanunggalan” warga Kota Kupang dalam semua aspek menyangkut Kota Kupang. Ia bukan saja harus dipandang sebagai milik kita semua, melainkan juga sebagai rumah kita semua. Dengan pandangan, kesadaran, dan penghayatan inilah, maka masalah pembenahan Kota Kupang akan merupakan masalah yang bersifat niscaya bagi setiap individu, kelompok atau puak yang menghuni Kota Kupang sebagai suatu tempat atau ruang lingkungan hidup. Sebab kepaduan antara kesadaran memiliki dan kesadaran solidaritas atau kesadaran kemanunggalan di benak setiap warga Kota Kupang akan melahirkan “kesadaran bertanggung jawab bersama-sama”. Dengan demikian, akan terkikis mentalitas pengingkaran (disown) atau mentalitas masa bodoh, yang sering tercermin dalam sikap: “itu bukan urusan beta”  di dalam membenahi sesuatu yang sifatnya demi kepentingan umum.

Ya, dengan demikianlah—yakni apabila setiap warga Kota Kupang telah memiliki kesadaran memiliki, kesadaran kemanunggalan dan kesadaran bertanggung jawab bersama-sama—barulah akan tampak pertanggungjawaban etis dalam hidup keseharian setiap warga Kota Kupang, bahwa: “Kupang bukan cuma tempat cari makan/ lantas ditinggalkan setelah berak/ di sana sini.” Ya, barulah dengan demikian, yakni apabila setiap warga Kota Kupang telah memiliki tiga faktor kesadaran sebagaimana disebutkan di atas, Kota Kupang akan dipandang sesungguhnya sebagai suatu tempat (ruang lingkungan hidup) yang niscaya harus dibenahi dan dilestarikan dengan penuh ketulusan dan keikhlasan, demi kebersamaan hidup yang serasi, selaras, seimbang dan penuh toleransi: “tanpa tanya dari mana kaudatang/ apa asal-usulmu.”

Nosi dan emosi yang tersirat dalam sajak “Kupang” (episode 1) yang telah diwedarkan di atas ini telah dihayati, dan diejawantahkan oleh S. K. Lerik sebagai Wali Kota Administratif Kota Kupang selama kurun waktu tahun 1986 – 1996 dan sebagai Wali Kota Kupang selama kurun waktu tahun 1996 – 2007. Daniel Adoe sebagai Wali Kota Kupang juga—sekalipun tidak pernah membaca kedua sajak di atas-- telah  menghayati, dan mengejawantahkan nosi dan emosi imajinatif  yang tersirat dalam sajak-sajak tersebut dalam kurun waktu tahun 2007 – 2012. Jonas Salean sebagai Wali Kota Kupang pun tentu tidak pernah membaca kedua sajak yang saya wedarkan di atas, namun telah menghayati, dan mengejawantahkan nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam sajak itu dalam kurun waktu 2012 – 2017, dan ada banyak keberhasilan yang patut dipuji! Nosi dan emosi imajinatif yang tersirat dalam kedua sajak tersebut merupakan hasrat insani yang ideal yang terkandung dalam diri setiap manusia yang berbudaya dan/atau berkebudayaan. Dan kini, Jefry Riwu Kore mendapat kesempatan untuk menghayati, dan mengejawantahkan nosi dan emosi yang tersirat dalam kedua sajak  itu bagi warga Kota Kupang serta ruang dan lingkungan hidupnya dalam kurun waktu tahun 20017 – 2022.

Akhirnya, pada “Alih Mandat Wali Kota di Terminal Kota Kupang, 1 Agustus 2017”, kepada Jonas Salean saya ucapkan: “Selamat menempuh kehidupan purnabakti (setelah berakhir masa bakti) sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2012 – 2017”; dan kepada Jefry Riwu Kore saya ucapkan: “Selamat bekerja dan mengabdikan diri sebagai Wali Kota Kupang masa bakti 2012 – 2022 setelah usai dilantik nanti”. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar