Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 12 Maret 2018

Ris Therik, Virga Belan, Dan Gerson Poyk



(Tiga Sastrawan Pemula asal Daerah NTT)


Oleh: A.G. Hadzarmawit Netti




Catatan pendahuluan
Ris Therik, Virga Belan dan Gerson Poyk adalah  tiga sastrawan asal daerah Nusa Tenggara Timur yang tampil di pentas sastra Indonesia di Jakarta pada kurun waktu yang sama, yaitu tahun 1961 – 1964. Sebelum terkenal sebagai sastrawan, mereka berkecimpung di bidang jurnalistik, sebagai wartawan; kecuali Gerson Poyk yang sebelumnya sebagai guru, kemudian menjadi wartawan, setelah itu sastrawan. Mengenai Gerson Poyk, jejak langkah kesastrawanannya telah direkam oleh Yohanes Sehandi dalam buku, Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (2012) dan Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (2015). Dengan demikian, dalam tulisan ini jejak langkah kesastrawanan Ris Therik dan Virga Belan lebih banyak ditinjau, sedangkan berkenaan  Gerson Poyk, saya akan berikan beberapa catatan tambahan saja.

Pertama: Ris Therik
Ris Therik lahir di Pulau Rote pada tahun 1921. Bulan dan tanggal kelahirannya tidak dapat saya lacak. Ris Therik memang seorang sastrawan. Ia tergolong sastrawan yang produktif. Namun dalam lembaran buku-buku Sastra Indonesia, nama dan karya sastranya tidak ditemukan, karena itu tidak dikenal orang. Berdasarkan data yang saya telusuri di internet (WorldCat’ Identities, dan Virtual International Authority File), ada 31 karya tulis  Ris Therik yang saya temukan, yaitu:

(1)               3 Orang Putera Radja. Penerbit Mumi Baru, Jakarta 1961.
(2)               Puteri Kapuk. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1964.
(3)               Rani Mentjari Kasih (karya bersama Ris Therik dan Nj. A. Susilarodeya   Sumakno). Penerbit:
                        Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1964.
(4)               Kutinggalkan Adikku  di Pulau Tjengke; Berdjumpa di Hari Natal (karya bersama Ris Therik, Soetrisno, dan M. Poppy Hutagalung). Penerbit: Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1964.
(5)               Batu Badaon. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1965.
(6)               Gedono Gedini: Kumpulan beberapa dongeng. Penerbit Gaja Nadja 1965.
(7)               Istana di atas Bukit. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1966.
(8)               Si Puteka dan Si Mataboe (dongeng di Pulau Rote):  bacaan anak-anak umur 9-13 tahun. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1966.
(9)               Menangkap Ikan Paus. Penerbit Pustaka Jaya 1971.
(10)           Berburu Kuda di Timor. Penerbit CV Murni,  Jakarta 1971.
(11)           Sang Musang Diadili. Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1972.
(12)           Melati Kedungwuni. Penerbit Erlangga, Jakarta 1974.
(13)           Penemu Telepon. Penerbit Singkarak, Jakarta 1975.[ca].
(14)           Puteri Delima. Penerbit Endang, Jakarta Pusat 1975.
(15)           Bila Garambola Sedang Berbuah. Penerbit Endang, Jakarta Pusat 1975.
(16)           MINGGAT : untuk anak umur 12 – 14 tahun. Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta 1975.
(17)           Uci dan Tari. (karya bersama Ris Therik, K. Usman). Penerbit Balai Pustaka, Jakarta 1975.
(18)           Mencari Ayah Kandung: cerita untuk anak-anak SD Kelas V. VII dan permulaan Sekolah Lanjutan. Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta 1975.
(19)           Thomas  Alva Edison: penemu listrik. Penerbit Djambatan, Jakarta 1975.
(20)           Bau Wangi di Malam Hari. Penerbit Djambatan, Jakarta 1975.
(21)           Kolam Tawes Kak Sam (bacaan untuk anak-anak). Penerbit Teragung, Jakarta 1975.
(22)           FEMININ. Penerbit Endang, Jakarta 1978.
(23)           Berjumpa di Jogya. Penerbit Indra Press, Jakarta 1979.
(24)           Dr. Abdur Rivai: pejuang dan wartawan.
             Penerbit   Ikhwan, Jakarta 1980.
(25)           Tumbuh-tumbuhan untuk ramuan obat. Penerbit Ikhwan, Jakarta 1982.
(26)           Terbang melawat ke Ibu Kota. Penerbit Erlangga, Jakarta 1982.
(27)           Toyohiko dan Musim Semi. Penerbit Erlangga, Jakarta 1982.
(28)           Motor Roket. Penerbit Erlangga, Jakarta 1983.
(29)           Gugur di Selat Sunda. Penerbit Erlangga, Jakarta 1983.
(30)           Buta dari kecil namun mencapai sarjana: Taha Husein.   Penerbit Ikhwan, Jakarta 1984.
(31)           Nusa Tenggara Timur yang kaya cendana (cerita). Penerbit Ikhwan, Jakarta 1985.

Kedua: Virga Belan
Mengenai Virga Belan hanya sedikit data yang saya peroleh dari berbagai sumber bacaan. Nama Virga Belan, menurut Peter A, Rohi, diambil dari zodiak “Virgo” dan “Belan” disingkatkan dari nama keluarga “Seubelan” (http://www.laraspostonline.com/2017/04/siapa-virga-belan.html).  Menurut hemat saya, nama “Virga Belan” bukan nama sebenarnya melainkan nama samaran. Orang-orang Rote  tempo dulu tidak pernah memberi nama kepada anak yang dilahirkan seperti itu. Kalau sudah menjadi nasrani, nama yang diberikan kepada anak adalah nama nasrani misalnya: Viktor, Samuel, Thobias, Anderias, Ayub, dan sebagainya.  Ada kalanya nama salah satu  leluhur dari marga ayah atau ibu yang diberikan menjadi nama anak yang dilahirkan misalnya: Musa Lolok Hendrik, Samuel Muda Klaas Anderias Saba Kolifai, dan sebagainya. Nama yang dicetak dengan huruf miring: Lolok, Muda, dan Saba adalah nama leluhur yang digandengkan pada nama nasrani.

Pada kurun waktu antara tahun1920-an sampai 1940-an ketika Virga Belan dilahirkan di Rote, masyarakat Rote belum mengetahui nama-nama zodiak: akuarius, skorpio, kanser, gemini, virgo, libra, dan sebagainya. Jadi, pemberian nama anak dengan nama-nama zodiak sangat mustahil dalam masyarakat di Rote pada waktu itu/ Dengan demikian, “Virga Belan” bukan nama sebenarnya melainkan nama samaran. Nama samaran ini dipakai ketika Virga Belan berkelana ke Jawa. Bisa saja “Virga” berasal dari nama zodiak “Virgo” ; karena “Virgo” itu digambarkan dengan perempuan kembar, maka “Virgo” diubah menjadi “Virga” agar karakter perempuan kembar dihilangkan; dan nama marga “Seubelan” dibuang “Seu-“ dan yang dipakai hanya “Belan” saja, sehingga jadilah sebuah nama samaran, “Virga Belan”.  Jikalau ada pihak-pihak yang ingin merekam jejak langkah kepengarangan Virga Belan karena menganggapnya  sebagai seorang tokoh sastra asal NTT yang jasanya patut diabadikan, saya persilakan menyelisik nama asli dari tokoh yang disebut  Virga Belan. 

Pada kurun waktu 1950-an sampai 1970-an, ada sastrawan yang senang memakai nama samaran. Salah satu sastrawan yang “seangkatan” dengan Virga Belan adalah AS Dharta.  Sastrawan ini, dalam karya-karya tulisnya sering mempergunakan beberapa nama samaran.  Ada kalanya ia memakai nama samaran: Kelana Asmara; alias Klara Akustia; alias Yogaswara, alias Gamaraputra, padahal nama sebenarnya ialah Roji, lahir di Cibeber, Cianjur pada 7 Maret 1923. Roji, alias AS Dharta, adalah salah seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris jenderal Lekra yang pertama.  Selain AS Dharta, ada penyair bernama Ahmad Rizani Asnawi tetapi memakai nama samaran Ani As., pada buku kumpulan puisinya berjudul Bayang-bayang (Penerbit: Puisi Indonesia, 1980). Dan  penyair bernama Sinaryu Indiah,  memakai nama samaran Diah Hadaning pada buku kumpulan puisinya yang berjudul Jalur-jalur Putih (Penerbit: Swadesi, 1980).

Pada bulan Mei 1961 Majalah Sastra  diterbitkan di Jakarta.  Ketua Majalah Sastra ialah HB. Jassin, dan  redaktur penyelenggara ialah DS. Moeljanto. Majalah Sastra mengutamakan karya-karya sastra berupa cerpen, puisi, kritik dan esai. Pengarang-pengarang cerpen Majalah Sastra antara bulan Mei 1961 sampai Desember 1961 yaitu: B. Sularto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip, Sori Siregar, Gerson Poyk, Kamal Hamzah, dan lain-lain.. Sedangkan penulis-penulis kritik yang sering memuat kritik-kritiknya di Majalah Sastra yakni Boen S. Oemarjati, M.S. Hutagalung, Virga Belan dan Salim Said. Selain menulis kritik sastra, Virga Belan juga menulis cerpen dan puisi.

Apabila pada tahun 1961 Gerson Poyk mendapat penghargaan dan hadiah dari Majalah Sastra karena cerpen “Mutiara di Tengah Sawah” yang dimuat di Majalah Sastra edisi Tahun I, Nomor 6, Oktober 1961 dinilai sebagai cerpen terbaik, maka pada 16 November 1962 ada tiga cerpen yang dimuat di Majalah Sastra edisi Tahun II, yang ditetapkan sebagai cerpen terbaik. Penulis tiga cerpen itu yakni  Bur Rasuanto (penerima hadiah cerpen terbaik), Motinggo Boesje (penerima penghargaan) dan Virga Belan (penerima penghargaan). Di samping itu, ada beberapa orang yang dipilih juga oleh HB. Jassin untuk menerima penghargaan, Namun tak disangka-sangka, mereka (termasuk Virga Belan) menolak untuk menerima penghargaan, Virga Belan menolak menerima penghargaan dari Majalah Sastra dengan menggunakan alasan ideologis, dengan menekankan tuduhan bahwa Majalah Sastra kontrarevolusioner.

Mencermati kalimat terakhir dari alinea di atas ini yang dicetak miring, timbul pertanyaan; siapakah sebenarnya Virga Belan, dan ideologi apakah yang dianutnya? Inilah jawabannya: Virga Belan sebenarnya seorang pengarang anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Pada mulanya Lekra belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Tetapi ketika dalam gelanggang percaturan politik di Indonesia, PKI makin kuat kedudukannya setelah tahun 1959, maka Lekra resmi menjadi organ kebudayaan PKI.  Dan ideologi yang dianut oleh Virga Belan adalah komunisme.  

Di atas telah saya katakan bahwa Virga Belan bukan saja dapat menulis kritik, dan cerpen, tetapi juga puisi. Ia lebih dikenal sebagai penyair Lekra, dan ideologinya adalah  komunisme  yang berkiblat ke Soviet (Leningrad). Untuk membuktikan apa yang saya katakan ini,   simaklah salah satu puisinya yang saya turunkan di bawah ini:



 “Penerbangan Malam ke Leningrad”

Dari Sochi ke daerah utara
Tidak terbentang segara
Hanya langit jingga
Dan udara malam raya.

Dan kabut tersapu di hadapan
Dan tertinggallah buih di lautan
Bumi Soviet ialah padang terluas di dunia
Dan Akulah sang musafir, dalam kelana.

Seorang di sampingku berkata: Leningrad
Dan kujawab: Cukup kukenal, kamerad
Ke sana!
Ke pusat api yang pernah menjulang dalam sejarah!
Ke sana!

Ke tempat kaum buruh menumbangkan kekuasaan durjana!

Ke Leningrad
Ya, ke Leningrad!

Kota revolusi daerah utara!

             Juli 62 [13]

Puisi karya Virga Belan ini dimuat pertama kali dalam Harian Rakyat, Minggu, 1 Desember 1963; dikutip dari Taufiq Ismail dan D.S. Muljanto, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif  Lekra/PKI. Bandung: Mizan, 1995, hlm.228).  Lalu, apakah ada karya sastra Virga Belan dalam bentuk novel atau kumpulan cerpen yang diterbitkan?  Hanya satu buku kumpulan puisi, Tembang Negeri Hijau (bunga rampai puisi topik dibacakan di Yogyakarta, 30-31 Agustus 1981. Buku kumpulan puisi ini hanya tersimpan di satu perpustakaan anggota World Cat. Tidak ada buku kumpulan cerpen dan kritik sastra yang diterbitkan.

Memperhatikan jejak langkah kesastrawanan Virga Belan sebagaimana diwedarkan di atas, timbul pertanyaan: “apakah urgensi (keharusan yang mendesak dan/atau hal yang sangat penting) dari kehidupan dan jejak langkah kesastrawanan Virga Belan sehingga ia harus diangkat ke permukaan horizon kehidupan dan harapan generasi muda kini dan di sini, di Daerah Provinsi NTT khususnya atau Indonesia umumnya? Apakah benar Virga Belan adalah seorang Soekarnois sejati?  Adakah bukti otentik yang dapat dipercayai? Dari puisinya yang dikutip di atas, Virga Belan ternyata seorang penyair Lekra sejati yang menganut paham komunisme  sejati,  yang  berada di bawah payung PKI, dan  berkiblat ke Leningrad (Soviet).

Ketiga: Gerson Poyk
Jejak langkah kesastrawanan Gerson Poyk telah diwedarkan secara baik oleh Yohanes Sehandi dalam bukunya berjudul, Sastra Indonesia Warna Daerah NTT  (2015). Hanya saja  karya sastra Gerson Poyk yang disebutkan oleh Yohanes Sehandi dalam bukunya itu, masih kurang. Yohanes Sehandi hanya menyebut 27 judul buku saja. Sebenarnya, ada 43 buku yang diterbitkan oleh Gerson Poyk, dan tersimpan di 418 perpustakaan (berdasarkan data WorldCat Identities bulan Mei 2017), namun berdasarkan data tertanggal 18 November 2017, buku-buku Gerson Poyk tersimpan di 429 perpustakaan WorldCat Identities.

Catatan akhir
Memperhatikan dan mempertimbangkan jejak langkah kesastrawanan Ris Therik, dan  Virga Belan sebagaimana saya wedarkan di atas, serta jejak langkah kesastrawanan Gerson Poyk sebagaimana telah diuraikan oleh Yohanes Sehandi dalam bukunya, dan sedikit catatan tambahan yang saya berikan di atas, maka  mengakhiri tulisan ini saya memberikan beberapa catatan sebagai berikut:

Pertama, meskipun usia Ris Therik lebih tua 10 tahun dari Gerson Poyk, namun vibrasi kepeloporan kesastrawanan Gerson Poyk dalam dunia sastra lebih unggul dari Ris Therik. Karya tulis pertama Ris Therik diterbitkan pada tahun 1961; karya tulis pertama Gerson Poyk juga diterbitkan pada tahun 1961. Karya tulis Ris Therik yang pertama itu tergolong karya tulis biasa-biasa saja, dan tidak memperoleh penghargaan. Sedangkan karya tulis Gerson Poyk yang pertama, dinilai sebagai karya tulis terbaik dan mendapat penghargaan.

Kepeloporan  kesastrawanan Gerson Poyk telah diuraikan  oleh Yohanes Sehandi pada alinea ke-2 dan ke-3, halaman 31 dalam buku Sastra Indonesia Warna Daerah NTT. Saya kutip kembali di sini: “Memenangkan Hadiah Adinegoro (1985, 1986); hadiah Sastra ASEAN untuk novel Sang Guru (1972); hadiah Sea Write Award (1989); hadiah Lifetime Achivement Award dari Kompas; menerima Anugerah Kebudayaan tahun 2013  dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena jasa-jasanya di bidang sastra dan budaya.”  Selain itu, Gerson Poyk telah menghasilkan 43 buah karya tulis, sementara Ris Therik menghasilkan 31 buah karya tulis. Ris Therik tidak menerima penghargaan-penghargaan seperti Gerson Poyk. Di luar negeri, karya tulis Gerson Poyk tersimpan di 429 perpustakaan, sedangkan karya tulis Ris Therik tersimpan di 107 perpustakaan. Dengan demikian, penetapan 16 Juni sebagai Hari Sastra NTT, landasannya, bukan karena faktor usia Gerson Poyk berdasarkan hari lahirnya pada 16 Juni 1931, melainkan karena faktor kepeloporan kesastrawanan dan popularitas Gerson Poyk  dalam dunia sastra.

Kedua, Ris Therik layak dicatat sebagai sastrawan Indonesia asal daerah NTT, karena realitas faktual sebagaimana hasil pelacakan di atas mengukuhkan kesastrawanannya. Ia adalah seorang pengarang dan/atau sastrawan yang ternyata produktif. Kendatipun Ris Therik tidak meraih penghargaan-penghargaan seperti yang diraih Gerson Poyk, namun karya tulisnya diterbitkan oleh penerbit-penerbit terkemuka di Jakarta, dan dibaca banyak kalangan mulai dari anak-anak SD, SMP/SMA, masyarakat umum dan kalangan cerdik pandai.

Ketiga, Mengenai Virga Belan, menurut hemat saya, biarkanlah namanya—termasuk jejak langkah kesastrawan serta semangat perjuangannya yang komunistis sebagaimana tersirat dalam puisinya yang telah dikutip di atas—tetap terkubur di bawah tebing sejarah masa lalunya yang telah longsor.

Generasi muda di Daerah Nusa Tenggara Timur yang berbakat sastra, saya harapkan agar dapat memungut hikmat yang tersirat dalam jejak langkah  kesastrawanan Gerson Poyk; dan mencontohi kreativitas menulis seperti Ris Therik. Perhatikanlah tahun penerbitan buku-buku karya Gerson Poyk dan Ris Therik: berentet-rentet! Kalau dari jejak langkah kesastrawanan Virga Belan, hikmat apa yang generasi muda di daerah  NTT mau pungut?  ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar