Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Minggu, 11 Maret 2018

Krawang-Bekasi




Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti



Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegup hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti
                                                          4—5 ribu nyawa
Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
                                               kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskanlah jiwa kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir

Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.

                                (1948)



Pendekatan Perspektivisme
1. Menurut sejarah penciptaan
Sajak Krawang-Bekasih yang digubah oleh Chairil Anwar sebagaimana dikutip di atas ini dipublikasikan pertama kali dalam majalah Mimbar Indonesia, Tahun II, No.47, edisi tanggal 20 November 1948. Pada tahun 1954 sajak ini dipublikasikan lagi dalam majalah Siasat, Tahun VIII, N0.351, edisi tanggal 28 Februari 1954 bersama-sama dengan sajak The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLeish yang dikutip dari majalah Reader’s Digest, Tahun 1945 Vol.XLVII, No.281, halaman 74.

Dengan ditemukan dan diterbitkannya sajak The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLeish sebagaimana dikatakan di atas, maka berkembanglah polemik di kalangan pengamat sastra pada waktu itu (bahkan hingga kini) tentang ‘keaslian’ sajak Krawang-Bekasih  gubahan Chairil Anwar. Ada pengamat yang menilai bahwa sajak Krawang-Bekasih merupakan hasil jiplakan dari sajak The Young Dead Soldiers sehingga Chairil dituduh sebagai plagiator. Tetapi ada pengamat yang menggolongkan sajak Krawang-Bekasih sebagai sajak saduran dari The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLeish sehingga Chairil Anwar dianggap sebagai penyadur (H.B.Jassin, 1978:34,40,41).

2. Menurut konsepsi kepenyairan Chairil Anwar
Polemik tentang Chairil Anwar sebagai plagiator (penjiplak) maupun penyadur terjadi ketika Chairil telah tiada (meninggal dunia). Dengan demikian, Chairil tidak sempat melakukan pembelaan diri. Pengamat sastra yang gigih membela Chairil Anwar adalah H. B. Jassin, yang kemudian terkenal sebagai seorang kritikus sastra Indonesia yang terkemuka.

Kendatipun Chairil Anwar mati muda sehingga ia tidak sempat melakukan pembelaan atas semua tudingan terhadap dirinya, namun sebenarnya ia (Chairil Anwar) telah meninggalkan suatu pesan bagi kita lewat “Pidato Radio 1946”. Menurut hemat saya, isi “Pidato Radio 1946” itu merupakan “konsepsi kepenyairan Chairil Anwar”. Beginilah kata Chairil Anwar dalam “Pidato Radio 1946”:

“Kawan-kawan pendengar,
Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair. Diciptakannya kembali, dibentuknya dari benda (materi) dan rohani, keadaan (ideel dan visueel) alam dan Penghidupan sekelilingnya, dia juga mendapat bahan dari hasil-hasil kesenian lain yang berarti bagi dia, berhubungan jiwa dengan dia, dari pikiran-pikiran dan pendapat-pendapat orang lain, segala yang masuk dalam bayangannya (verbeelding), anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada dijadikannya, dihubungkannya satu sama lain, dikawinkannya menjadi satu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan penyair itu sendiri…” (H. B. Jassin. Ibid,hlm.149).

Berdasarkan konsepsi kepenyairan Chairil Anwar sebagaimana dikutip di atas ini, maka saya dapat berkata: ternyata sajak The Young Dead Soldiers karya Archibald MacLeish telah menjadi bahan/hasil kesenian yang berarti bagi Chairil; ternyata sajak The Young Dead Soldiers  adalah bahan/hasil kesenian yang berhubungan jiwa dengan Chairil. Pikiran-pikiran dan pendapat Archibald MacLeish mengenai para prajurit yang mati muda di medan perjuangan demi perdamaian dan harapan baru, ternyata identik dengan pikiran-pikiran dan pendapat Chairil mengenai prinsip perjuangan rakyat Jakarta dan sekitarnya dalam menghadapi gempuran tentara Sekutu di daerah Krawang-Bekasi. Ya, ternyata semangat dan nilai patriotisme yang tersirat dalam sajak The Young Dead Soldiers telah meresap masuk dalam bayangan Chairil; anasir-anasir/unsur-unsur yang tersirat di dalam sajak TheYoung Dead Soldiers diolah, dijadikan, dihubungkan, dikawinkan dengan fakta dan pengalaman sejarah perjuangan yang terjadi di Krawang-Bekasi dalam imajinasi/fantasi Chairil sehingga menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah dan mengharukan) dan baru, suatu dunia baru, dunia kepunyaan Chairil.

Berdasarkan pertimbangan di atas ini, maka menurut hemat saya, sajak Krawang-Bekasi punya nilai tersendiri yang khas Chairil sebagai seorang anak manusia Indonesia, yang serius menggumuli nasib bangsanya dalam perkembangan sejarah perjuangan antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1948 (saat sajak Krawang-Bekasi digubah dan dipublikasikan dalam media Mimbar Indonesia, Tahun II, No.47, edisi November 1948).

3. Menurut tempat, waktu dan peristiwa
Menurut H. B. Jassin (1978:34), sajak Krawang-Bekasi digubah oleh Chairil Anwar pada akhir tahun 1948. Apabila pernyataan H. B. Jassin ini benar, maka ada kemungkinan Chairil Anwar menggubah sajak ini beberapa waktu sebelum sajak ini diserahkan dan dimuat di majalah Mimbar Indonesia, Tahun II, No.47, edisi 20 November 1948.

Jikalau kita sependapat dengan kesimpulan di atas ini, maka sajak Krawang-Bekasi tergolong sajak yang bergaya visi (vision). Dengan gaya ini Chairil melukiskan suatu peristiwa atau pengalaman masa lampau yang dilihatnya atau yang dipertimbangkannya sebagai suatu peristiwa atau pengalaman yang tetap aktual dan relevan dengan peristiwa maupun perkembangan di kekinian (pada saat Chairil Anwar menggubah sajaknya itu). Dan apa yang dilukiskan dalam sajak Krawang-Bekasi yang bergaya visi itu bersifat tanggapan terhadap sesuatu yang sedang terjadi dan/atau sesuatu yang akan terjadi (J. C. Nesfield. Figures Of Rhetoric, 1938:247).

Berdasarkan keterangan di atas ini maka pengamatan terhadap sajak Krawang-Bekasi dalam kaitannya dengan tempat, waktu, dan peristiwa, dapat dijelaskan sebagai berikut:


Pertama, Di suatu tempat, waktu, dan peristiwa yang terjadi atau berkembang dalam tahun 1948, Chairil Anwar tergugah untuk merenungkan kembali secara intens patriotisme yang dibuktikan oleh para pejuang kemerdekaan di medan laga Krawang-Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945.

Kedua, Patriotisme para pejuang kemerdekaan yang menonjol di medan laga Krawang-Bekasi yang direnungkan kembali secara intens oleh Chairil Anwar dalam tahun 1948 itu, tentunya tidak dapat dipisahkan dari semangat proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, serta berbagai runtunan perkembangan peristiwa yang terjadi sesudah itu sampai dengan saat Chairil Anwar menggubah sajak Krawang-Bekasi.

Ketiga, Ketika merenungkan semua runtunan perkembangan peristiwa sebagaimana disebutkan di atas ini, visi dan imajinasi Chairil Anwar menyatu dengan visi dan imajinasi Archibald MacLeish yang tersirat di dalam sajak The Young Dead Soldiers. Sesuai dengan konsepsi kepenyairan Chairil Anwar sebagaimana telah dikatakan di muka, maka anasir-anasir atau unsur-unsur yang sudah ada di dalam sajak TheYoung Dead Soldiers, Chairil Anwar jadikan, hubungkan, kawinkan dengan peristiwa dan patriotisme para pejuang kemerdekaan yang terbukti di medan laga Krawang-Bekasi menjadi suatu kesatuan yang penuh (indah serta mengharukan), dan baru, sehingga terciptalah suatu dunia baru, dunia kepunyaan Chairil Anwar sendiri…, dalam wujud sajak yang diberi judul “Krawang-Bekasi”.

Keempat, Berdasarkan visi sebagaimana dijelaskan di atas inilah, sajak Krawang-Bekasi yang Chairil Anwar publikasikan dalam tahun 1948 itu bersifat refleksi terhadap sesuatu  (runtunan perkembangan peristiwa) yang sedang terjadi dan/atau sesuatu (runtunan perkembangan peristiwa) yang dibayangkan akan terjadi. Untuk mengetahui runtunan perkembangan peristiwa yang terjadi pada tahun 1948 yang menggugah Chairil Anwar mempublikasikan sajak  Krawang-Bekasi saya mencatat beberapa runtunan peristiwa sebagai berikut.

1. Memasuki bulan Januari 1948, tembak-menembak antara militer Belanda dengan tentara Indonesia belum juga berhenti. Pada tanggal 13 Januari terjadi Perundingan Kaliurang, sementara Perundingan Renville masih berlangsung sampai akhir penandatanganan Perjanjian Renville diadakan pada tanggal 17 Januari, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada tanggal 19 Januari. Perjanjian ini menempatkan Indonesia pada posisi yang bertambah sulit. Wilayah Republik Indonesia makin sempit, dikurung oleh daerah-daerah pendudukan Belanda. Kesulitan ini semakin diperparah oleh blockade ekonomi yang dilakukan secara ketat oleh Belanda.

2. Belanda terus melakukan politik adu-domba dan politik memecah-belah untuk melemahkan kedudukan Republik Indonesia. Pada tanggal 23 Januari 1948, berdirilah suatu negara boneka baru yaitu “Negara Madura”. Dalam bulan Februari 1948, di Jawa Barat, terjadi gerakan “Darul Islam” di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Pada tanggal 16 Februari, “Negara Jawa Barat” atau “Negara Pasundan” secara resmi dinyatakan berdiri. Pembentukan Negara Pasundan ini ditentang oleh para pemuda Jawa Barat yang pro Republik. Di Bandung dan Yogyakarta, para pemuda yang pro Republik melakukan demonstrasi. Poster-poster mereka bertuliskan slogan: “Tolak Negara Pasundan”. “Rakyat Pasundan 100% Tukangeun Karno-Hatta”.

3. Pada tanggal 24 Maret 1948, berdiri lagi “Negara Sumatera Timur, sementara di Jakarta van Mook menyusun “Pemerintah Federal Sementara” yang kemudian mengadakan sebuah Konferensi Federal di Bandung pada tanggal 29 Mei 1948.

4. Sementara persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dirongrong oleh berbagai negara boneka buatan kolonial Belanda, pada tanggal 18 September 1948 terjadilah Pemberontakan PKI/Peristiwa Madiun. Dan pada tanggal 16 November 1948, Belanda berhasil menciptakan lagi sebuah negara boneka yaitu “Negara Jawa Timur”.

Berbagai runtunan peristiwa dalam tahun 1948 sebagaimana disebutkan di atas, termasuk Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948 dimana lapangan terbang Maguwo dan Yogyakarta diduduki serta Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa pejabat lain ditawan, tidak terlepas dari runtunan peristiwa yang berkembang antara tanggal 19 Desember 1945 (gempuran Sekutu atas daerah Krawang-Bekasi), dan peristiwa-peristiwa lain yang berkembang dalam tahun 1946 dan tahun 1947. Dan rupanya dalam merenungkan berbagai peristiwa yang merebak dalam tahun 1948 yang hakikatnya merongrong cita-cita/semangat proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia  pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, visi dan imajinasi Chairil Anwar digugah secara intens oleh getaran patriotisme para pejuang yang berlaga dan mengorbankan nyawanya secara ikhlas di medan juang Krawang-Bekasi, yang ternyata identik dengan patriotisme para pejuang yang dilukiskan oleh Archibald MacLeish dalam sajak TheYoung Dead Soldiers. Idealisme dan patriotisme para pejuang yang dilukiskan oleh Archibald MacLeish di dalam sajaknya, ternyata identik dengan idealisme dan patriotisme para pejuang kemerdekaan di Krawang-Bekasi, yakni demi mempertahankan kemerdekaan, kemenangan, dan harapan. Ya, demi mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa serta kedaulatan rakyat.

Rupanya berdasarkan latar belakang perenungan sebagaimana dikemukakan di atas inilah, Chairil Anwar menggubah sajak Krawang-Bekasi yang dipublikasikan lewat media Mimbar Indonesia, Tahun II, No.47 edisi 20 November 1948. Dengan sajak ini Chairil Anwar membuktikan kesadaran dan keterpanggilannya sebagai seorang warga negara yang konsisten terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan sekaligus Chairil Anwar terpanggil untuk menggugah generasi zamannya yang mengalami disintegrasi guna menemukan kembali patriotisme sejati yang mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta perjuangan untuk membela/mempertahankan eksistensi bangsa dan negara republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat.

Ya, dengan menonjolkan kembali patriotisme rakyat Jakarta dan sekitarnya yang bertarung mati-matian di medal laga Krawang-Bekasi dalam menghadapi gempuran Sekutu pada tanggal 19 Desember 1945, Chairil Anwar menggugah generasi zamannya dalam tahun 1948 yang mengalami disintegrasi untuk merenungkan kembali keluhuran semangat perjuangan dan pengorbanan para pahlawan bangsa yang telah berkorban demi kemerdekaan, kemenangan dan harapan sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dalam sajak Krawang-Bekasi, Chairil Anwar mempergunakan kata ganti persona kami untuk mewakili para pejuang/pahlawan bangsa yang telah gugur di medan laga Krawang-Bekasi, dan kata ganti persona kau dipergunakan untuk mewakili angkatan/generasi tahun 1948 sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Ada tiga larik dalam sajak Krawang-Bekasi yang sering ditafsirkan secara harafiah, yaitu larik-larik yang berbunyi: “Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir”. Dengan larik-larik ini orang-orang yang menafsirkan secara harafiah menganggap Chairil Anwar mengkultusindividukan Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Penafsiran seperti ini sangat sempit dan dangkal. Sebab, menurut ilmu majas (gaya bahasa), larik-larik sajak tersebut sebenarnya bermajas sinekdoke (J. C. Nesfield, do. Ib. hlm.242). Pada majas ini, nama individu (Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir) dipergunakan untuk citra persatuan dan kesatuan bangsa/negara republik Indonesia hasil proklamasi kemerdekaan 17 Agustus1945, serta citra kedaulatan rakyat.

Berdasarkan catatan sejarah, Bung Karno dan Bung Hatta adalah simbol persatuan dan kesatuan bangsa dan negara republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Hal ini tercermin dalam pedoman perjuangan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) yang menegaskan bahwa “Soekarno-Hatta adalah lambang perjuangan dan persatuan bangsa Indonesia” (Ruben Nalenan, 1970). Selain itu, tercermin pula dalam pernyataan kebulatan tekad para pemuda dan rakyat Jawa Barat yang pro Republik ketika melakukan demonstrasi menentang pembentukan “Negara Pasundan”. Kebulatan tekad mereka berbunyi: “Rakyat Pasundan 1000% Tukangeun Karno-Hatta” (30 Tahun Indonesia Merdeka, Jilid 1, 1985:173).

Jikalau Bung Karno dan Bung Hatta adalah simbol persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia, maka Bung Sjahrir adalah simbol kedaulatan rakyat, karena ketika Sekutu menggempur Krawang-Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945, Bung Sjahrir pada waktu itu memangku jabatan Perdana Menteri Kabinet Parlementer Pertama, yang latar belakang pembentukannya dimaksudkan untuk “memberlakukan kedaulatan rakyat atau menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi” (Ibid, hlm.62-63).

Berdasarkan pertimbangan di atas inilah saya sependapat dengan Ajip Rosidi (1973:39), yang antara lain mengatakan secara tegas bahwa “Chairil Anwar menaruh minat yang besar terhadap masalah-masalah politik”. Bahkan lebih jauh, menurut pendapat saya, Chairil Anwar ternyata sungguh-sungguh menghayati dan mendalami prinsip-prinsip perjuangan kemerdekaan bangsa yang fundamental. Di dalam berbagai kemelut yang merongrong sendi-sendi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sepanjang tahun 1945 sampai tahun 1948, ternyata Chairil Anwar tetap menunjukkan kesetiaannya dan dukungannya terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus1945. Chairil Anwar tidak membelot dan/atau mendukung kaum pembelot yang mengkhianati cita-cita proklamasi kemerdekaan dan patriotisme, melainkan secara konsekuen dan konsisten ia menyatakan kesetiaan serta dukungannya terhadap persatuan dan kesatuan bangsa/negara Republik Indonesia.

Dengan demikian tidaklah keliru apabila tim penyusun buku 30 Tahun Indonesia Merdeka mencatat Chairil Anwar sebagai seorang penyair dan pejuang (Ibid, hlm.75). Dan tidak keliru pula jika setiap tanggal 28 April ada sekelompok orang yang menggeluti dunia sastra memperingati kepeloporan penyair Chairil Anwar. Berkenaan dengan kepeloporan Chairil Anwar sebagaimana dipertahankan secara gigih oleh H. B. Jassin antara tahun 1950-an sampai tahun 1970-an, ternyata diakui dan dikukuhkan pula oleh A. Teeuw yang antara lain berkata:

“Chairil Anwar adalah penyair Indonesia yang pertama kali melaksanakan di dalam dan karena sajak-sajaknya cita-cita revolusi sejati: persamaan mutlak, kesamaan derajad internasional bagi manusia Indonesia; dan yang mengalami kemenangan terakhir bagi kesenian serta menyampaikannya kepada bangsanya sambil melalui segala alangan serta mengatasi ‘kesementaraan segala’. Dalam pada itu ia seolah-olah sambil lalu dan sebagai hal yang sudah sewajarnya saja (tetapi bagi orang luar itulah agaknya keajaiban yang sebesar-besarnya tentang timbulnya itu), dengan sekali pukul mendorong naik pula bahasanya: Bahasa Indonesia mencapai kesempurnaan derajat. Setelah Chairil Anwar, maka keragu-raguan tentang Bahasa Indonesia…, tidak pada tempatnya lagi”  (A. Teeuw, 1958:76).

Kontemplasi dan interpretasi perspektivisme integral

“Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi”

            Dua larik sajak ini melukiskan tentang pengorbanan yang terjadi dalam suatu episode perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan sesuai fakta sejarah. Fakta sejarah tersebut terjadi di daerah Krawang-Bekasi pada tanggal 19 Desember 1945. Itulah sebabnya sajak ini Chairil Anwar beri judul, Krawang-Bekasi.

            Mereka yang terbaring antara Krawang-Bekasi itu adalah patriot-patriot bangsa yang dengan ikhlas mempertaruhkan jiwa-raganya demi mempertahankan kemerdekaan, kemenangan dan harapan bangsa dari rongrongan Sekutu. Ya, demi mempertahankan eksistensi Indonesia merdeka yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 itulah, mereka rela mempertaruhkan segala-galanya.

            Mereka sudah tidak bisa teriak “’Merdeka’ dan angkat senjata lagi”, sebab mulut mereka telah dibungkamkan oleh dentuman mortir, dan tangan mereka telah diremukkan oleh mata peluru. Mereka sudah tiada, sebelum sempat mengalami cerahnya fajar pengharapan merekah penuh di cakrawala Indonesia merdeka yang bersatu dan berdaulat.

“Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
Terbayang kami maju dan berdegup hati?”
            Larik sajak ini merupakan sebuah interogasi yang diarahkan langsung ke hati nurani kita. Dengan larik ini Chairil Anwar mau menggugah kesadaran kita agar kita tidak sampai melupakan mereka yang sudah tiada itu. Sebab, mereka adalah para pahlawan bangsa, yang jasa-jasa dan pengorbanannya patut kita kenang selalu. Pendengaran imajinatif kita harus peka untuk dapat menangkap pesan suci perjuangan yang mereka tinggalkan. Kesadaran kita harus hidup untuk dapat menyimpan amanat perjuangan yang mereka wariskan. Mereka sudah tiada, namun pengorbanan mereka punya bahasa sendiri yang bisa menuturkan kepada kita untuk apa mereka rela mempertaruhkan jiwa-raganya di medan juang. Oleh karena pengorbanan para pahlawan bangsa itu punya bahasa sendiri, maka lebih lanjut Chairil Anwar berkata: “Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi/ Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”

            Benar, bahwasanya pengorbanan suci para pahlawan itu punya bahasa tersendiri. Dalam situasi tertentu yang genting dan mencemaskan, pendengaran imajinatif kita dapat menangkap bahasa itu; hati nurani kita yang terjaga dapat tergugah oleh sentuhan bahasa itu: “Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu…”

            Pertama, Seakan-akan itulah yang para pahlawan mau menyatakan kepada kita. Mereka mati muda. Kini hanya tinggal tulang-tulang diliputi debu. Entah itu di makam-makam pahlawan, di nisan bertanda nama maupun di nisan tak bertanda nama. Entah itu masih berserakan dan telah tertimbun tanah di lembah-lembah, di hutan-hutan, maupun terbenam di dasar laut. Entahlah. Namun, lewat imajinasi Chairil Anwar, mereka hanya mau mengingatkan kita bahwasanya mereka mati muda.

            Kiranya apa sebab mereka mati muda tidak perlu dipertanyakan sebagai sesuatu yang misterius. Sebab sajak Krawang-Bekasi seutuhnya memberi kesan secara eksplisit kepada kita, bahwasanya mereka mati muda karena tekad mempertahankan kemerdekaan bangsa; karena tekad mempertahankan eksistensi bangsa/negara Indonesia hasil proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sebagai bangsa/negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat. Ya, karena itu atau untuk itulah mereka rela mati muda.

            Kedua, Kendatipun demikian, kematian mereka tidaklah sepi pada dirinya sendiri, melainkan kematian mereka punya bahasa dan daya gugah tersendiri terhadap kita yang lagi hidup kini dan di sini: “Kenang, kenanglah kami”

            Patut dicatat bahwa para pahlawan yang telah gugur sebagai bunga bangsa itu tidak pernah cengeng sebelum berpeluk dengan maut. Mereka tidak pernah minta untuk dikasihani maupun minta untuk dikenang. Akan tetapi di manakah di kolong langit ini yang terdapat suatu bangsa yang tidak menghargai sejarah bangsanya dan jasa para pahlawannya yang telah berkorban dengan ikhlas demi kebangkitan dan kejayaan bangsanya?

            Rupanya Chairil Anwar menyadari akan hal ini sedalam-dalamnya. Ya, rupanya Chairil Anwar sungguh-sungguh menyadari serta menghayati prinsip perjuangan bangsanya yang fundamental. Dan kesadaran serta penghayatannya yang mendalam itu berhasil diungkapkannya secara puitis dalam rangka berkomunikasi dengan lingkungannya, dengan bangsanya sendiri (baik dengan generasi sezamannya pada tahun 1949, maupun dengan generasi yang kemudian—termasuk kita yang lagi hidup kini dan di sini) tentang arti sekian ribu nyawa yang dipertaruhkan di mata peluru, serpihan granat, mortir, dan bom di medan pertempuran Krawang-Bekasi.

            “Kenang, kenanglah kami…” Demikianlah imbauan yang seakan-akan membelah angkasa di medan laga Krawang-Bekasi. Imbauan yang tak tertimbus oleh pergantian waktu. Imbauan yang gemanya memantul-mantul di setiap gerbang pergantian generasi dan tonggak-tonggak sejarah. Dan terhadap kita yang lagi hidup kini dan di sini, ya…, kita sebagai generasi abad ke-21 sebagai generasi pewaris dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan cita-cita reformasi untuk membangun tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang demokratis, menjunjung supremasi hukum dan hak asasi manusia, imbauan itu menggugah kita untuk sejenak berkontemplasi dengan sejarah pergerakan dan perjuangan bangsa. Kita seolah-olah digugah untuk berkontemplasi dengan idealisme perjuangan bangsa pascakebangkitan nasional, dengan idealisme perjuangan bangsa yang berhasil mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan, dengan idealisme para pahlawan pembela Pancasila dan UUD 1945. Dengarlah pernyataan mereka yang sudah tiada itu, yang tersirat dalam pernyataan puitis seorang penyair Chairil Anwar:

“Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti
                                               4—5 ribu nyawa”

            Ya, sesungguhnya demi mempertahankan kemerdekaan, kemenangan, dan harapan; demi Pancasila dan UUD 1945, mereka sudah coba apa yang mereka bisa—bahkan   berikan mereka punya jiwa. Betapa luhurnya pengorbanan para pahlawan itu. Namun melalui imajinasi Chairil Anwar mereka dengan tulus dan rendah hati mengaku: “Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa; Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4—5 ribu nyawa”.

            Dengan menempatkan diri pada posisi para pahlawan yang sudah tiada, Chairil Anwar menyingkapkan suatu kesadaran dalam larik-larik sajak tersebut: bahwasanya apa yang telah dibuat oleh para pahlawan itu, yaitu pengorbanan jiwa dan raga yang mereka berikan di medan laga Krawang-Bekasi itu hanyalah baru demi “merdeka dari” dan berusaha untuk mempertahankan “merdeka dari”  semata-mata. Itulah sebabnya “ini” (“merdeka dari”) belum apa-apa.”Ini” (“merdeka dari”) belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4—5 ribu nyawa, jika perjuangan dan pengorbanan tidak diteruskan demi “merdeka untuk”.

            Akan tetapi guna merealitaskan “merdeka untuk” sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 tidaklah mudah. Ibarat suatu perjalanan, maka perjalanannya tidaklah pendek dan bebas dari tantangan-tantangan. Perjalanannya memerlukan, memerlukan ketabahan dan kesungguhan, memerlukan kewaspadaan, memerlukan kesetiaan dan pengorbanan lanjut. Dan modal dasar untuk semuanya itu adalah kesadaran nasional, kesetiaan nasional, serta tanggung jawab nasional yang dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945. Bahwasanya “merdeka dari” dengan nilai-nilai luhurnya yang kita warisi kini dan di sini haruslah kita pertahankan dan teruskan, harus kita bina dan kembangkan demi “merdeka untuk” dengan nilai-nilai yang didambakan. Menyadari akan hal ini, lebih lanjut Chairil Anwar menyingkapkan kesah pengharapan dari sela-sela timbunan pengorbanan para pahlawan bangsa lewat larik-larik:

“Kami Cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
                                               Kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata”

            Kesah pengharapan ini bukan saja Chairil Anwar tujukan kepada generasi zamannya pada tahun 1948, tetapi ditujukan juga kepada kita selaku generasi pewaris dan penerus cita-cita proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia yang hidup dalam kurun waktu yang bertanda nama abad ke-21. Kesah pengharapan ini mau mengingatkan kita, bahwa kendatipun pengorbanan yang diberikan oleh para pahlawan bangsa yang telah lama mendahului kita itu masih jauh dari tujuan akhir yang mau dicapai, namun adalah kepunyaan kita. Ya, adalah kepunyaan kita “untuk apa” mereka telah rela berkorban. Juga, adalah kepunyaan kita “kerja yang belum selesai dan belum apa-apa”, untuk kita lanjutkan dan  selesaikan serta beri wujud apa-apa.

            Dengan persuasif kita dihimbau untuk menghayati nilai-nilai pengorbanan para pahlawan: apakah nilai-nilai pengorbanan para pahlawan yang begitu ikhlas kita bina dan teruskan, ataukah nilai-nilai pengorbanan para pahlawan itu kita khianati dan hancurkan, lalu kita ganti dengan nilai-nilai lain yang sama sekali tidak diharapkan oleh para pahlawan sebelumnya. Jelas, bahwasanya yang disebutkan terakhir ini bukanlah harapan para pahlawan. Akan tetapi, karena kemungkinan pengkhianatan dan penghancuran nilai-nilai luhur yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan itu bisa saja terjadi sebagaimana Chairil Anwar alami dan saksikan sendiri dalam tahun 1948, maka dengan mempergunakan majas ulang demi mengaksentuasi nosi dan emosi imajinatif, Chairil Anwar mengulangi sekali lagi larik-larik sajak yang berbunyi: “Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi/ Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”

            Larik-larik sajak yang diulangi ini dimaksudkan untuk mempertegas peringatan kepada kita, bahwa para pejuang kemerdekaan bangsa itu kendatipun sudah tiada namun semangat pengorbanan mereka punya bahasa tersendiri yang akan senantiasa menggugah hati nurani kita, menyadarkan kita tentang dasar perjuangan yang harus tetap dipertahankan, serta tujuan perjuangan yang mau dicapai sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Teristimewa pada saat-saat bangsa dan negara dicengkam situasi yang genting dan mencemaskan: apakah persatuan dan kesatuan serta keselamatan bangsa dan negara Pancasila yang kita cintai ini masih punya sejarah yang berkelanjutan ataukah tidak, misalnya pada situasi tahun 1948 yang diwarnai krisis disintegrasi multi dimensi; atau krisis tahun 1965 yang diwarnai oleh G-30-S/PKI; atau situasi krisis multi dimensi yang terjadi pada tahun 1998 ketika terjadi gerakan reformasi… Pada saat-saat dan situasi seperti itulah para pahlawan kemerdekaan yang sudah tiada itu seakan-akan hidup dan berbicara guna menginsafkan kita akan makna pengorbanan yang telah mereka pertaruhkan demi kejayaan dan kelanggengan eksistensi bangsa dan negara. Dalam sajak The Young Dead Soldiers, Archibald MacLeish berkata:

“They have a silence that speaks for them at night
And when the clock counts”

Parafrasenya dalam bahasa Indonesia:

“Mereka punya bahasa gaib yang dapat bersaksi tentang diri mereka di malam hari
Dan jika jam dinding yang berdetak”

Larik sajak Archibald MacLeish tersebut Chairil Anwar olah dan gubah kembali menjadi larik yang berbunyi: “Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi/ Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”.

            Larik sajak yang Chairil Anwar olah dan gubah kembali tersebut sangat kaya makna. Setiap kata benar-benar ia ‘gali-korek’ dan ‘jinakkan’ untuk mendukung nosi dan emosi imajinatifnya tentang semangat pengorbanan para pahlawan bangsa di medan juang Krawang-Bekasi. “Kami bicara padamu…” Frasa ini mengandung nada gugahan yang bertujuan menyadarkan kita, bahwasanya para pahlawan bangsa yang telah tiada itu punya bahasa tersendiri yang dapat berbicara kepada kita lewat suara hati kita. “Dalam hening di malam sepi” (“in the still of night), adalah frasa figuratif yang menyarankan arti: “Dalam situasi yang mencekam”. “Jika dada rasa hampa”: “dada”  (“breast”), adalah ungkapan figuratif yang menyarankan arti: “suara hati; kasih sayang” (“conscience, affection”); “hampa” (“empty”), adalah ungkapan figuratif yang menyarankan arti: “tak ada artinya lagi” (“meaningless”). Jadi, frasa “Jika dada rasa hampa”  adalah frasa figuratif yang menyarankan arti: “Jika suara hati terasa tak ada artinya lagi”, atau “Jika kasih sayang terasa tak ada artinya lagi”.
            “Dan jam dinding yang berdetak”: “jam dinding”(“clock”), adalah ungkapan figuratif, menurut Shakespear, menyarankan arti: “sentakan waktu yang menjagakan” (“the striking of the hour”); “yang berdetak” (“counts”), adalah ungkapan figuratif yang menyarankan arti: “pertimbangan yang memintakan perhatian dan kesetiaan seseorang berkenaan dengan masalah perlindungan keamanan dan keselamatan” (“consideration demanding one’s obedience about a defence, means of security”). Jadi, frasa “Dan jam dinding yang berdetak” adalah frasa figuratif yang menyarankan arti: “Dan sentakan waktu yang menggugah perhatian, pertimbangan dan kesetiaan berkenaan dengan masalah perlindungan keamanan dan keselamatan”. (Catatan: Perbandingan arti kata maupun frasa dengan ungkapan figuratif bahasa Inggris yang dikemukakan di atas ini, saya sarankan untuk membaca Chambers Twentieth Century Dictionary, New Edition 1972. W & R Chambers Ltd London).

            Dengan larik-larik yang bermakna figuratif sebagaimana artinya/maknanya diuraikan di atas itulah Chairil Anwar mau melukiskan situasi politik dan pergolakan yang sangat mencekam dalam tahun 1948, sekaligus ia mau menggugah perhatian, pertimbangan, kesadaran, kesetiaan generasi zamannya berkenaan dengan masalah perlindungan keamanan dan keselamatan cita-cita perjuangan bangsa Indonesia berdasarkan semangat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Untuk maksud itulah Chairil Anwar menempatkan dirinya pada para pahlawan yang telah gugur di medan juang Krawang-Bekasi seraya berkata: “Kenang, kenanglah kami/ Teruskan, teruskanlah jiwa kami”.

            “Kenang, kenanglah kami”, artinya: kenang atau ingatlah selalu akan arti serta tujuan perjuangan dan pengorbanan kami. “Teruskan, teruskanlah jiwa kami”, artinya: teruskan atau lanjutkanlah semangat dan cita-cita perjuangan kami: “Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir”.

            Di atas telah saya jelaskan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta adalah simbol perjuangan bangsa, simbol persatuan dan kesatuan bangsa, simbol Republik, dan Bung Sjahrir adalah simbol kedaulatan rakyat atau simbol demokrasi. Dengan demikian larik-larik yang berbunyi “Menjaga Bung Karno/ Menjaga Bung Hatta/ Menjaga Bung Sjahrir” adalah larik-larik figuratif yang menyarankan arti: ”Menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, atau menjaga persatuan dan kesatuan negara republik Indonesia sesuai cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta, serta menjaga kedaulatan rakyat atau menjaga demokrasi di republik yang bertanda nama Indonesia”. Sebab, lantaran cita-cita luhur itulah para pahlawan kemerdekaan telah rela mempertaruhkan jiwa raganya sampai berpeluk dengan maut.

“Kami sekarang mayat”

            Benar, para pejuang/pahlawan kemerdekaan, kemenangan dan harapan bangsa yang bertarung di medan laga Krawang-Bekasi itu sudah lama menjadi mayat. Kini, mereka hanya tinggal tulang-tulang diliputi debu. Batu-batu nisan di makam-makan pahlawan adalah potret, betapa mereka sudah berlaga dengan ikhlas dan gagah berani demi cita-cita proklamasi kemerdekaan. Mereka sudah tiada, namun lewat imajinasi kreatif Chairil Anwar mereka minta: “Berilah kami arti”

            Hanya itulah permintaan mereka. Permintaan yang singkat, tetapi padat makna. Seolah-olah dengan permintaan itu mereka mau katakan kepada kita yang sementara hidup kini dan di sini sebagai generasi pewaris dan penerus cita-cita perjuangan bangsa: Indonesia merdeka yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah kami perjuangkan dan pertahankan untukmu. Kami juga sudah punya cita-cita luhur untuk direalisasikan dalam mengisi  kemerdekaan Indonesia. Cita-cita luhur itupun sudah kami pahatkan dan wariskan kepadamu di dalam Pembukaan UUD 1945. Untuk semuanya itulah secara singkat kami minta: ”Berilah kami arti”, dan….“Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian”

            Ya, Berjagalah terus dan jangan lengah dalam mempertahankan eksistensi bangsa/negara Indonesia merdeka, bersatu dan berdaulat, yang telah kami bangun di atas alas Pancasila dan UUD 1945.Berjagalah terus dan jangan lengah dalam setiap upaya untuk mengisi kemerdekaan. Berjagalah terus dan jangan lengah antara kenyataan dan harapan, serta harapan untuk mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan. Berjagalah terus dan jangan lengah di setiap tonggak-tonggak sejarah perkembangan bangsa. Berjagalah terus dan jangan lengah di dalam menghadapi gelombang dan arus perkembangan dunia yang kian pesat dan penuh kompleksitas.

“Kenang, kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi”

            Dengan tiga larik sajak yang terakhir ini Chairil Anwar sekali lagi mau mengajak dan mendorong kita, agar kita jangan sampai lupa terhadap masa lampau. Sebenarnya, Chairil Anwar tidak saja mengajak atau mendesak kita untuk mengenang para pejuang/pahlawan bangsa yang telah mendahului kita ke alam baka, melainkan Chairil Anwar juga mau mengajak dan mendesak kita untuk senantiasa memiliki kesadaran imajinatif terhadap sejarah bangsa kita. Sebab pahlawan dan semangat kepahlawanannya, pahlawan dan cita-cita perjuangannya adalah bagian yang tak terpisahkan dari sejarah suatu bangsa.

            Dan memang, suatu bangsa yang mau hidup terus sebagai bangsa yang utuh dan berkepribadian maka bangsa itu harus mencari manfaat dari pengalamannya yang paling kaya, yakni dari sejarahnya sendiri. Ia (bangsa itu) harus mampu membuka diri terhadap masa lampau dan dapat berkontemplasi dengan peristiwa-peristiwa bersejarah masa lampaunya, sekaligus mempersiapkan langkah-langkah positif, kritis dan kreatif untuk maju ke masa depan dengan tatapan mata (pandangan) yang terarah pasti.

            Kiranya dapat diakui bahwasanya banyak nilai yang bisa kita pungut dari sejarah masa lampau demi kebangunan bangsa, sebab sejarah masa lampau adalah cermin yang mampu merefleksikan pesan dan kesan yang dapat dijadikan sebagai pedoman maupun peringatan, atau sebagai sumber inspirasi yang bermanfaat dalam membangun masa depan. Sebab sejarah telah meninggalkan bekas-bekasnya yang tahan uji, yang di dalamnya tidak saja terkandung nilai-nilai material yang agung—melainkan juga nilai-nilai spiritual yang luhur, yang dibina dan dikembangkan oleh mereka yang hidup sebelum kita.

            Itulah sebabnya wajar bila kita sering berkontemplasi dengan sejarah masa lampau (namun jangan sampai terlena), karena dengan demikian kesadaran imajinatif kita bisa menjalin suatu dialektika antara kenyataan-kenyataan dan kemungkinan-kemungkinan, atau antara kenyataan dan harapan, sehingga kita sebagai bangsa yang sedang membangun suatu masa depan yang berpengharapan akan bergerak menurut irama atau ritme tertentu yang berkesinambungan, sehingga tidak mudah mengalami disintegrasi. ***

Daftar Pustaka

Jassin, H. B. 1978. Chairil Anwar Pelopor Angkatan ’45.
                               Jakarta: PT Gunung Agung..
MacDonald, A. M. 1972 Chambers Twentieth Century Dictionary.
                               London: W & R Chambers Ltd.
Nalenan, Ruben. 1970. “Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia Sesudah Proklamasi
                               17 Agustus 1945” (Artikel), termuat dalam majalah
                                KOMUNIKASI. Jakarta.
Nesfield, J.C. 1938. Figures Of Rhetoric. London: MacMillan & Co.
Pradopo, Rachmat Djoko.1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.
                                Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rosidi, Ajip. 1973.Masalah Angkatan
                                Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A.1958. Pokok dan Tokoh II. Jakarta: PT Pembangunan.
30 Tahun Indonesia Merdeka (1) 1945 – 1949. Cetakan keenam tahun 1985.
                                Hak Cipta Sekretariat Negara Republik Indonesia.
                                Diterbitkan oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada. Jakarta.

***



A. G. Hadzarmawit Netti

Penulis Buku:

1.       Kristen Dalam Sastra Indonesia, BPK Gunung Mulia 1977;
2.       Kupang Dari Masa Ke Masa, Pemda Kabupaten Kupang 1997;
3.       Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia, B You Publishing Surabaya 2010;
4.       Sajak-Sajak Chairil Anwar Dalam Kontemplasi, B You Publishing Surabaya 2011;
5.       Bilangan Super Dalam Konteks Religi Dan Budaya Etnis Rote Ndao, B You Publishing Surabaya 2012;
6.       Natal dan Paskah dalam Kontemplasi Penyair, B You Publishing Surabaya 2013; 
7.       TAO Tentang Penyelamatan oleh ALLAH Melalui Kelahiran,Kematian, dan Kebangkitan YESUS, B You Publishing Surabaya 2014; 
8.       Gerakan Cinta Hari Esok Kabupaten Timor Tengah Utara Memasuki Abad ke-21, Hanfed Institut Jakarta 2015; 
9.       Petualangan Nelayan Tradisional Indonesia ke Perairan Australia dan Pulau Pasir dari Masa ke Masa, B You Publishing Surabaya 2017 

Alamat Domisili: Jl. Kesekrom No 1 Naikolan, Kupang, Prov. NTT.

Mobile Phone: +6282339419871.



           











Tidak ada komentar:

Posting Komentar