Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 01 Maret 2018

Sekadar Bertanya




(Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti)


Judul tulisan ini saya angkat dari judul sajak karya Hans Ch. Louk yang diturunkan dalam Tajuk Harian Independen NTT Ekspres edisi Sabtu, 23 Desember 2000. Sajak tersebut saya angkat untuk dikaji bukan lantaran faktor pencapaian nilai keindahan strukturnya yang memuaskan dan/atau tidak memuaskan, melainkan lantaran faktor nosi dan emosi imajinatifnya yang aktual dan relevan dengan konteks kehidupan kita sebagai bangsa yang hingga kini masih terus dikungkung berbagai kemelut. Apa kata Hans Ch. Louk dalam sajak berjudul Sekadar Bertanya itu?

“Ada Natal, ada Idul Fitri/ Ada Tahun Baru, ada Milenium Baru/ Ada Nyepi, ada Waisak, ada Imlek/ Ada aku, ada kau, ada kamu.”

“Ada penguasa, ada pesuruh/ Ada pengusaha, ada buruh/ ada pedagang, ada petani/ Ada aku, ada kau ada kamu.”

“Ada yang melayang, ada yang berjalan kaki/ Ada yang di hotel, di gedung, di gubuk, di tenda/ Ada yang kenyang, ada yang busung lapar/ Ada aku, ada kau, ada kamu.”

“Ada yang Berkeringat, ada yang ongkang-ongkang/ Ada yang pangkutangan, ada yang bantingtulang/ Ada yang berutang, ada yang mau gampang/ Ada aku, ada kau, ada kamu.”

“Ada yang berebut kursi, pangkat, jabatan/ Ada yang menuduh, memfitnah, plin-plan/ Ada yang tekun, telaten, teladan/ Ada aku, ada kau, ada kamu.”

“Ada Flores, ada Sumba, ada Timor, ada Alor/ Ada Jawa, Ada Batak, Ada Minang, ada Bali, Ada Sasak/ Ada Bugis, ada Ambon, ada Irian/ Ada aku, ada kau, ada kamu/ Siapa aku, siapa kau, siapa kamu, siapa kita.”

Melalui sajak ini Hans Ch. Louk melukiskan kemajemukan realitas matriks-matriks kehidupan, yang di dalamnya manusia sebagai ada yang meng-ada di tengah-tengah waktu senantiasa bergumul dengan aneka masalah dan tantangan demi pemenuhan hasrat kodratinya: kehausan akan kebahagiaan. Namun ironisnya, manusia tidak selamanya keluar sebagai pemenang yang mengatasi. Manusia sering terperangkap dan menyadari eksistensinya sebagai yang terdampar, tersingkir, dan terkungkung dalam aneka realitas matriks-matriks kehidupan. Akibatnya, manusia sebagai ada  yang meng-ada dalam konteks “aku ada, kau ada, kamu ada yang seharusnya  merelasi secara bebas dan bertanggung jawab di dalam konteks  kita ada yang inklusif, terjebak dan terperangkap dalam konteks ada aku, ada kau, ada kamu yang eksklusif”.

Apa yang dikatakan di atas inilah yang tersirat di dalam sajak Hans Ch. Louk sebagaimana dikutip di atas. Bait pertama melukiskan tentang eksklusivisme keagamaan: “Ada aku, ada kau, ada kamu” dalam matriks eksklusivisme keagamaan senantiasa bercorak “dari, oleh, dan untuk dirinya (agamanya) sendiri.”

Bait kedua melukiskan tentang eksklusivisme dalam matriks-matriks profesi dan status sosial; bait ketiga melukiskan tentang eksklusivisme dalam matriks-matrik tingkat kelayakan dan kepantasan hidup insani: kemewahan dan kemelaratan, keberuntungan dan kemalangan. Bait keempat dan bait kelima melukiskan tentang kebusukan mentalitas manusia dalam dunia kerja dan pengabdian. Dan bait keenam larik pertama sampai larik ketiga melukiskan tentang eksklusivisme dalam matriks-matriks kesukuan.

Dalam kemajemukan realitas matriks-matriks kehidupan tersebut “ada aku, ada kau, ada kamu” menyiratkan naluri dan semangat egoisme sempit: “dari, oleh, dan untuk diri sendiri (kelompok sendiri, golongan sendiri, suku sendiri)”. Atas dasar itulah Hans Ch. Louk mengakhiri sajak yang digubahnya itu dengan larik yang berbunyi: “Siapa aku, siapa kau, siapa kamu, siapa kita.”  Nosi dan emosi yang tersirat dalam larik inilah yang menentukan mengapa sajak itu diberi judul  Sekadar Bertanya.

Ya, “Siapa aku, siapa kau, siapa kamu, siapa kita.” Larik ini dibangun dalam majas Interogasi. Dengan larik yang bermajas Interogasi ini, penyair mengarahkan perhatian kita kepada persoalan eksklusivisme sebagaimana diungkapkan dalam sajaknya itu untuk kita renungkan dan pecahkan. Siapa aku, siapa kau, siapa kamu yang hidup tanpa relasi dalam dunia kehidupan ini? Tidak ada. Setiap aku, kau, dan kamu, hanya akan dapat mengembangkan dirinya secara baik dan memuaskan dalam relasi dengan orang lain sebagai sesamanya. Dengan demikian, setiap aku, kau, dan kamu didorong untuk secara ikhlas mengenal “who’s who” seperti kata Shakespeare: “mengenal dan menerima kehadiran, keterlibatan, peranan dan pengaruh setiap insan yang ada di sekelilingnya dengan tidak membeda-bedakan atau mempertentangkan latar belakang asal-usul, golongan, agama, maupun suku” (A.M. Macdonald. Chambers Twentieth Century Dictionary, 1972:1557).

Analis atau pengamat sastra (puisi) yang secara kaku berpegang pada teori-teori sastra (puisi) pasti akan menggolongkan sajak Sekadar Bertanya karya Hans Ch. Louk yang saya kutip di atas ini sebagai puisi mbeling, karena sajak ini kelihatannya hanya merupakan sebuah pengungkapan kesan sekilas mengenai fakta kehidupan secara lugas; apalagi penggunaan kata ada di dalam sajak ini terdapat sebanyak 57 kali, yang dalam  sastra Inggris dapat disebut dengan istilah “redundancy” (kelewat banyak; mubazir).

Namun perlu dicatat di sini bahwa keberhasilan sebuah sajak tidak melulu dan tergantung pada kata. Melainkan keberhasilan sebuah sajak ditentukan oleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan: (a) apakah sajak tersebut mencerminkan adanya pendalaman masalah yang menjadi nosi dan emosi penyairnya; (b) apakah sajak tersebut menyuratkan dan/atau menyiratkan wawasan cipta sang penyair secara padu; (c) apakah sajak tersebut menyuratkan dan/atau menyiratkan keterlibatan sang penyair secara intens dan luas dengan masalah-masalah manusia dan kemanusiaan; dan (d) apakah pencapaian estetik sang penyair dalam karya sajaknya itu betul-betul personal.

Jawaban atas keempat untaian pertanyaan di atas ini tersurat dan tersirat di dalam sajak Sekadar Bertanya karya Hans Ch. Louk. Masalah/persoalan utama yang sangat urgen yang menjadi nosi dan emosi imajinatif Hans Ch. Louk dalam sajak Sekadar Bertanya yaitu masalah/persoalan eksklusivisme. Ya, masalah/persoalan eksklusivisme yang menggejala dan mengental di dalam berbagai matriks kehidupan, bukan saja dalam ruang lingkup kedaerahan, melainkan dalam ruang lingkup nasional.
 Berkenaan dengan masalah/persoalan eksklusivisme inilah, Hans Ch. Louk menyodorkan kepada kita sebagai ada yang meng-ada (baik sebagai anak-anak daerah maupun sebagai anak-anak bangsa) seuntai pertanyaan: “Siapa aku, siapa kau, siapa kamu, siapa kita”  untuk kita renungkan bersama. Dengan larik yang bermajas Interogasi ini kita digugah untuk hadap diri, agar tahu diri, dan terima diri di dalam membangun kebersamaan.

Ya, setiap aku, kau, dan kamu, harus merasa terpanggil untuk membangun ke-kita-an: yang bersifat atau berciri kita; yang mengutamakan kesatuan perasaan dan pikiran antara kita; yang memupuk dan mengembangkan sifat mementingkan kebersamaan dalam menanggung suka duka (saling membantu, saling menolong, saling menghiraukan). Ya, ke-kita-an, yang menjunjung paham yang berciri pada kepentingan bersama: memperjuangkan dan mewujudkan commune bonum (kebaikan umum). ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar