Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Sabtu, 10 Maret 2018

Persetujuan Dengan Bung Karno



Soekarno


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti



JUDUL tulisan ini adalah judul salah satu sajak karya penyair Chairil Anwar, “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji/ Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu/ digarami oleh lautmu// Dari mula 17 Agustus 1945/ Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu/ Aku sekarang api aku sekarang laut// Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/ Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar/ Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”. (H. B. Jassin. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Jakarta 1978:74).

Sajak Chairil Anwar ini pernah dinilai sebagai ada persamaan dengan sajak Ezra Pound yang berjudul “A Pact”. Persamaan itu dikaitkan dengan persamaan beberapa kata/ungkapan yang terdapat pada sajak “A Pact” dan “Persetujuan dengan Bung Karno”, yaitu: judul sajak “A Pact” dapat diterjemahkan dengan “Persetujuan” sebagaimana terdapat pada judul sajak Chairil Anwar; dan larik “We have one sap one root” (larik kedelapan sajak “A Pact”) yang konon dapat diterjemahkan “Kita punya satu zat satu urat”, sehingga sama dengan larik keenam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”.

Memang, sepintas lalu kelihatannya ada persamaan antara “A Pact” dan “Persetujuan dengan Bung Karno”. Dalam sajak “A Pact”, tokoh aku dilukiskan membuat persetujuan atau perjanjian dengan tokoh Walt Whitman. Dan dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, tokoh aku (Chairil Anwar) membuat persetujuan atau perjanjian dengan tokoh Bung Karno. Namun apakah nosi dan emosi yang tersirat dalam kedua sajak tersebut sama? Untuk mengetahui sama atau tidak sama kedua sajak tersebut, berikut ini saya akan mengkaji terlebih dahulu sajak “A Pact” karya Ezra Pound., yang larik-lariknya berbunyi sebagai berikut: “I make a pact with you, Walt Whitman--/ I have detested you long enough./ I come to you as a grown child/ Who has had a pig-headed father;/ I am old enough now to make friends/ It was you that broke the new wood,/ Now is a time for carving./ We have one sap and one root--/ Let there be commerce between us” (Ibid. hlm.51), yang diterjemahkan oleh Rosadi Sani sebagai berikut: “Kubikin persetujuan dengan kau, Walt Whitman/ Aku sudah menyia-nyiakan kau cukup lama/ Aku datang padamu seperti bocah yang dewasa/ Yang punya bapa dengan hati yang membatu/ Aku sudah cukup lama sekarang membikin persahabatan/ Kiranya kau yang telah mematahkan ranting-ranting muda/ Kini tiba waktunya untuk berbagi/ Kita punya satu zat satu urat/ Biarkan dia bersatu dengan kita.”

“A Pact” memang dapat diterjemahkan dengan “persetujuan” atau “perjanjian”. Namun semangat persetujuan atau perjanjian dalam sajak “A Pact” sebenarnya melukiskan suatu pernyataan kesediaan tokoh aku untuk menjalin kerukunan dengan tokoh Walt Whitman, setelah cukup lama tokoh aku membenci tokoh Walt Whitman. Perhatikan larik kedua yang berbunyi “I have detested you long enough”, yang diterjemahkan oleh Rosadi Sani: “Aku sudah menyia-nyiakan kau cukup lama”. Terjemahan ini kurang pas, sebab kata “detested” bukan berarti menyia-nyiakan”, melainkan berarti “membenci” atau “sangat membenci”, atau “sangat tidak menyukai”. Jadi, larik kedua itu sebaiknya diterjemahkan: “Aku sudah membencimu cukup lama”, atau “Aku sudah sangat membencimu cukup lama”, atau “Aku sudah sangat tidak menyukaimu cukup lama”.

Pernyataan kesediaan tokoh aku untuk rukun kembali atau menjalin kerukunan dengan tokoh Walt Whitman itu bukanlah suatu pernyataan yang bersifat pura-pura atau munafik, melainkan suatu pernyataan yang jujur dan ikhlas. Hal ini tersirat dalam larik ketiga yang berbunyi “I come to you as a grown child”, yang diterjemahkan oleh Saini Rosadi: “Aku datang padamu seperti bocah yang dewasa”. Frase “seperti bocah yang dewasa”, lebih pas diganti dengan “seperti seorang anak yang sudah dewasa”. Larik ketiga ini mengesankan sikap pendekatan tokoh aku yang bebas dan bertanggung jawab atas pengambilan keputusannya sendiri, tanpa terpengaruh oleh pertimbangan siapapun juga, termasuk ayahnya sekali pun yang berwatak keras. Hal ini tersirat dalam larik keempat yang berbunyi “Who has had a pig-headed father”, yang diterjemahkan oleh Rosadi Sani: “Yang punya bapa dengan hati yang membatu”. Terjemahan yang sesuai untuk “a pig-headed father”  adalah “seorang bapa yang keras kepala” atau “seorang bapa yang berwatak keras”.

Lebih lanjut, dalam larik kelima tokoh aku berkata: “I am old enough now to make friends”, yang diterjemahkan oleh Rosadi Sani: “Aku sudah cukup lama sekarang membikin persahabatan”. Terjemahan ini kurang pas, karena itu larik kelima sebaiknya diterjemahkan: “Aku sudah cukup dewasa sekarang untuk menjalin persahabatan” atau “Aku sudah cukup berpengalaman sekarang untuk menjalin persahabatan”. Larik ini mempertegas maksud yang tersirat dalam larik pertama, kedua, dan ketiga. Dengan larik ini tokoh aku sekali lagi mempertegas pengambilan keputusanya, bahwa niat untuk rujuk, tidak lagi membenci dan melakukan pendekatan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh Walt Whitman, dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi oleh tokoh aku sebagai seorang yang sudah dewasa dan berpengalaman.

Lalu, apakah gerangan maksud tokoh aku menonjolkan faktor kedewasaan dan pengalaman dalam larik kelima itu? Rupanya faktor kedewasaan dan pengalaman harus membuat seseorang berlaku kritis dan realistis. Seseorang yang disebut dewasa harus bisa mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Ia pun harus bisa mengambil inisiatif untuk memperbaiki yang salah dan meluruskan yang benar. Rupanya atas dasar inilah tokoh aku menyatakan: “It was you that broke the new wood” (larik keenam). Larik ini adalah larik simbolis, begitu pula larik ketujuh: “Now is a time for carving”. Rosadi Sani menerjemahkan kedua larik ini dengan: “Kiranya kau yang telah mematahkan ranting-ranting muda” (larik kelima), dan “Kini tiba waktunya untuk berbagi”.

Menurut saya, terjemahan Rosadi Sani tersebut kurang memuaskan. Ungkapan “the new wood” sebaiknya diterjemahkan secara simbolis dengan “patung pemujaan baru” atau “idola baru yang terbuat dari kayu”(“the new idol made of wood”). Dan ungkapan “for carving” sebaiknya diterjemahkan  “untuk mengukir” atau “untuk memahat”. Jadi, larik keenam dapat diterjemahkan: “Kaulah yang menghancurkan patung pemujaan baru itu”, atau “Kaulah yang menghancurkan idola baru yang terbuat dari kayu”. Dan larik ketujuh dapat diterjemahkan: “Sekaranglah waktunya untuk mengukir”, atau “Sekaranglah waktunya untuk memahat”. Apabila makna yang tersirat dalam ungkapan “patung pemujaan baru” atau “idola baru yang terbuat dari kayu” itu adalah “nilai-nilai kehidupan yang dijunjung bersama”, maka larik keenam menyarankan bahwa pokok persoalan yang menimbulkan keretakan, kerenggangan, dan kebencian di hati tokoh aku terhadap tokoh kau (Walt Whitman) itu bermula dari sikap atau ulah tokoh kau (Walt Whitman) yang telah menghancurkan nilai-nilai kehidupan yang seharusnya dijunjung bersama itu.

Dan agar bisa terjalin kembali kerukunan/persahabatan, tokoh aku mengimbau kepada tokoh kau (Walt Whitman): “Now is a time for carving” (Sekaranglah waktunya untuk mengukir; Sekaranglah waktunya untuk memahat). Ya, Sekaranglah waktunya untuk memperbaiki, memulihkan kembali persahabatan dan kerukunan dengan cara: “mengukir atau memahat patung pemujaan yang dihancurkan itu”, yaitu “mengakui dan menjunjung kembali nilai-nilai kehidupan yang telah hancurkan itu”. Jadi, larik keenam dan ketujuh sebenarnya mengesankan kepada kita suatu pernyataan sikap dari tokoh aku kepada tokoh kau (Walt Whitman) untuk menginsafi kesalahan yang telah dibuat oleh tokoh kau (Walt Whitman), sekaligus tokoh aku mengimbau tokoh kau (Walt Whitman) untuk menyelesaikan persoalan yang telah terjadi di antara mereka itu demi pemulihan hubungan persahabatan (kerukunan), sebagaimana dilukiskan dalam larik kelima.

Mengapa tokoh aku mengutamakan jalinan persahabatan dan kerukunan kembali dengan tokoh kau (Walt Whitman) setelah cukup lama tokoh aku sangat membenci tokoh kau (Walt Whitman)? Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya telah disiratkan dalam larik ketiga dan kelima, namun secara lebih tegas tokoh aku mengemukakan alasannya untuk membina kerukunan dengan tokoh kau (Walt Whitman) dalam larik kedelapan yang berbunyi: “We have one sap and one root”. Rosadi Sani menerjemahkan larik ini dengan “Kita punya satu zat satu urat”. Terjemahan ini kurang tepat, karena Rosadi Sani mungkin terpengaruh dengan larik sajak Chairil Anwar berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno” yang berbunyi: “Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat”.

Dalam bahasa Inggris, perkataan “sap” (“vital juice” [cairan vital]) pada batang dan ranting tanaman dapat disimbolkan dengan “blood” (darah) pada tubuh manusia. Dalam kamus, perkataan “darah” arti kiasannya adalah “keturunan” atau “asal usul”. Dalam bahasa Inggris, perkataan “root” (akar) arti kiasannya adalah “asal mula”  (= leluhur yang menurunkan asal usul). Dengan demikian, larik sajak “We have one sap and one root” lebih pas diterjemahkan: “Kami punya satu keturunan dan satu leluhur”, atau “Kami punya satu asal usul dan satu asal mula”. Karena alasan inilah, tokoh aku  rela menghapus kebencian yang sudah cukup lama terpendam di hatinya terhadap tokoh kau (Walt Whitman), dan tokoh aku  bersedia melakukan pendekatan dengan tokoh kau (Walt Whitman) guna menjalin kembali persahabatan/kerukunan. Alasan yang tersirat dalam larik kedelapan ini sekaligus mencerminkan kedewasaan berpikir tokoh aku  sebagaimana telah disiratkan pula dalam larik ketiga dan kelima. Karena alasan sebagaimana diuraikan di atas inilah, tokoh aku menyatakan secara tegas keluhuran prinsipnya dalam larik kesembilan:  “Let there be commerce between us”.

Rosadi Sani menerjemahkan larik tersebut dengan: “Biarkan dia bersatu dengan kita”. Menurut pertimbangan saya, terjemahan ini tidak tepat. Dalam larik tersebut tidak ada persona ketiga (dia), dan tidak ada kata maupun ungkapan yang menyatakan pihak ketiga (dia) diterima atau dibiarkan bersatu dengan kita. Jadi lebih tepat larik itu diterjemahkan “Biarlah terjalin pergaulan di antara kita”, atau “Biarlah terjalin persahabatan di antara kita”, atau “Biarlah terjalin persatuan di antara kita”. Sebab dalam bahasa Inggris, perkataan “commerce” dalam konteks umum berarti “perdagangan” atau “perniagaan”; tetapi dalam konteks khusus berarti “intercourse” (pergaulan, hubungan persahabatan), atau “communion” (persatuan).

Lalu, bagaimanakah dengan sajak Chairil Anwar yang berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno”? Apakah nosi dan emosi yang tersirat di dalam larik-larik sajak tersebut sama dengan sajak “A Pact” karya Ezra Pound?

Dalam tahun 1948 yang diselimuti berbagai kemelut perpecahan, ketidaksetiaan, pengkhianatan, dan perongrongan yang bertujuan menghancurkan persatuan dan kesatuan bangsa, Chairil Anwar menggubah sajaknya yang berjudul “Persetujuan dengan Bung Karno”. Melalui sajak tersebut Chairil berseru lantang pada larik pertama: “Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji”. Dengan larik ini Chairil secara tegas menyatakan “kata sepakat” (= setuju, sependapat, mufakat) kepada Bung Karno. Kata sepakat yang Chairil nyatakan kepada Bung Karno itu bukannya tanpa alasan, sebab pada larik kedua Chairil berkata: “Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang atas apimu/ digarami oleh lautmu”.

Dengan larik-larik tersebut Chairil mau menyatakan bahwa semua gagasan, pandangan/konsepsi yang dikemukakan oleh Bung Karno sebagai pemimpin bangsa telah diresapi dan diyakini benar-benar (“Aku sudah cukup lama dengan bicaramu” ). Bahkan Chairil pun menegaskan bahwa sudah lama “semangatnya digelorakan oleh kebesaran semangat Bung Karno, dan keteguhan hatinya/pendiriannya pun sudah lama ditempa dan dikebalkan oleh keteguhan dan kebesaran jiwa Bung Karno” (arti figurative dari: “dipanggang atas apimu digarami oleh lautmu”). Dengan semua pernyataan tersebut Chairil merumuskan dirinya dan presensinya sebagai tanggapan atas berbagai kemelut yang berkembang dalam tahun 1948: bahwa semangatnya tidak pudar, keteguhan hati/prinsipnya tidak goyah, loyalitasnya terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan tidak luntur.

Sebagai penegasan lebih lanjut, Chairil berkata: “Dari mula tanggal 17 Agustus 1945/ Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu”. Larik ini mempertegas loyalitas Chairil terhadap cita-cita proklamasi kemerdekaan, dan juga kepada Bung Karno sebagai simbol republik. Dan demi cita-cita proklamasi kemerdekaan serta demi republik, Chairil berkata: “Aku sekarang api aku sekarang laut”. Api = fire = enthusiasm, artinya bergairah atau bersemangat. Laut = sea = ocean = swell, artinya bergelora. Dengan demikian larik yang berbunyi “Aku sekarang api aku sekarang laut”  menyiratkan patriotisme Chairil yang tidak pudar. Loyalitas dan patriotisme Chairil sebagaimana dikemukakan di atas ini diungkapkan sekali lagi secara lantang dan tegas dalam larik-larik: “Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/ Di zatmu di zatku  kapal-kapal kita berlayar/ Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”.

Zat = essence = matter = element = principle, artinya asas atau pedoman hidup. Urat = tendon = sinew = strength = force, artinya kekuatan. Jadi, “satu zat satu urat” artinya “satu asas satu kekuatan” atau “satu pedoman hidup satu kekuatan”. Di atas satu  “asas” (pedoman hidup) dan satu  “kekuatan” inilah Chairil Anwar berkata: “Kapal-kapal kita berlayar” dan “kapal-kapal kita bertolak &  berlabuh”. Kapal-kapal = ships = to engage for service, artinya menunaikan berbagai aktivitas untuk melayani. Berlayar = to depart = to put off (from shore) = sail = project, artinya rencana, rancangan, proyek. Berlabuh = at anchor = anything that gives stability or security (fig.), artinya segala sesuatu yang menjamin stabilitas atau keamanan, keselamatan, kesejahteraan. Apabila berbagai arti kata ungkapan ini kita hubung-hubungkan untuk memparafrase larik-larik sajak Chairil Anwar yang berbunyi: “Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat/ Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar/ Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh”, maka parafrasenya berbunyi sebagai berikut.

“Bung Karno! Kau dan aku satu asas/satu pedoman hidup dan satu kekuatan. [Yang dimaksudkan dengan satu asas/satu pedoman hidup dan satu kekuatan di sini adalah Pancasila dan UUD 1945]. Di atas satu asas/satu pedoman hidup dan satu kekuatan inilah kita bersama menunaikan berbagai aktivitas, rencana, rancangan, proyek, untuk melayani bangsa dan republik ini. Di atas satu asas/satu pedoman hidup dan satu kekuatan inilah kita bersama memperjuangkan segala sesuatu yang menjamin stabilitas atau keamanan, keselamatan, serta  kesejahteraan bangsa dan republik ini”.

Berdasarkan keseluruhan kajian di atas ini saya dapat simpulkan bahwa sajak “A Pact” karya Ezra Pound dan sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” karya Chairil Anwar tidak terdapat persamaan. Nosi dan emosi yang tersirat dalam larik-larik kedua sajak tersebut sangat berbeda. Dan sebagai catatan akhir saya dapat berkata: nosi dan emosi yang tersirat dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” yang digubah oleh Chairil Anwar pada tahun 1948 itu tetap merelevansi dengan perkembangan dinamika politik bangsa Indonesia dalam tahun 2009 menuju ke tahun 2014. Bahkan, demi kelanggengan eksistensi bangsa dan negara kesatuan republik Indonesia sepanjang kurun waktu 2014—2048 dan seterusnya, nosi dan emosi yang tersirat dalam sajak “Persetujuan dengan Bung Karno” tetap relevan dan patut diaktualkan.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar