Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Minggu, 04 Maret 2018

Roti Dan Anggur Diganti Dengan Marungga Rebus Dan Nira Lontar Dalam Ibadah Perjamuan Kudus



suatu pelecehan terhadap kekudusan
 Ibadah Perjamuan Kudus


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


Catatan Pendahuluan
PERJAMUAN KUDUS bukanlah ketetapan yang dibuat oleh manusia, melainkan ketetapan yang dibuat dan diperintahkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Hal ini dapat kita baca dalam Injil Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:14-20; dan 1 Korintus 11:23-25. Apabila kita membaca ayat-ayat Injil yang disebutkan ini, kita akan menemukan perbedaan-perbedaan di sana-sini. Namun demikian, semuanya menyaksikan satu hal yang penting dan menentukan, yaitu: perintah Tuhan Yesus supaya merayakan Perjamuan Kudus sebagai suatu peringatan akan Dia (Lukas 22:19; 1 Korintus 11:23-25).

Perjamuan Kudus ini ditandai dengan makan roti dan minum anggur, yang melambangkan tubuh dan darah Tuhan Yesus, yang dikorbankan  bagi penebusan dosa dan keselamatan manusia. Dengan demikian, perayaan Perjamuan Kudus merupakan suatu pemberitaan dan kesaksian tentang Tuhan Yesus yang telah mengorbankan dirinya di Golgota, sekaligus pemberitaan dan kesaksian tentang kedatangan-Nya nanti pada akhir zaman.  Mengenai hal ini, rasul Paulus berkata dalam 1 Korintus 11;26: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.” 

Dua alinea di atas ini dikutip dari artikel saya berjudul, “Catatan atas: Tata Ibadah Perjamuan Kudus GMIT [cara baru perayaan sakramen],  www.bianglalahayyom.blogspot.com edisi Senin, 08 Agustus 2011).

Berdasarkan catatan pendahuluan singkat ini, sebagai warga GMIT saya merasa terpanggil untuk mengemukakan beberapa catatan atas tulisan berjudul, “Bolehkah Nira dan Marungga Ganti Roti dan Anggur dalam Perjamuan Kudus?”  yang dimuat di koran Timor Express edisi Minggu, 12 Maret 2017, hlm.11). Setelah saya baca, ternyata tulisan yang dimuat di koran Timex itu diunduh dari  laman www.sinodegmit.or.id, yang memberitakan bahwa pada bulan Oktober 2016 salah satu jemaat di Rote merayakan Perjamuan Kudus sedunia dengan cara unik, yaitu  roti dan anggur, unsur utama yang menjadi simbol tubuh dan darah Tuhan Yesus dalam kebaktian perjamuan diganti dengan daun marungga rebus dan nira lontar. Peristiwa ini memicu polemik. Sejumlah komentar bernada menolak maupun menerima, beredar luas di media sosial menanggapi model perjamuan yang tidak lazim di lingkungan jemaat GMIT.  Catatan sisipan: “nira lontar” adalah “air manis sadapan dari mayang pohon lontar” dan “daun marungga rebus” adalah “daun tanaman marungga atau tanaman kelor yang direbus [masakan sayur marungga].

Roti dan anggur yang diganti dengan daun marungga rebus dan nira lontar dalam kebaktian Perjamuan Kudus itu menimbulkan tanggapan tidak setuju dan setuju di kalangan pendeta dan warga GMIT.

Kelompok yang tidak setuju berpendapat: roti dan anggur memberi makna universal yang mengingatkan orang percaya pada perjamuan malam Tuhan dan dua belas murid-Nya sebelum Ia ditangkap. Karena itu roti dan anggur mengikat umat Kristen sepanjang abad pada momentum sakral tersebut.


Pendeta Emeritus  Selfina Meza-Tauk tidak setuju roti dan anggur diganti dengan marungga rebus dan nira lontar, karena: pertama, belum ada keputusan sinodal yang memperbolehkan roti dan anggur diganti; kedua, secara tradisional roti dan anggur telah mengakar dalam pemahaman warga gereja. Jika hendak melakukan kontekstualisasi, jangan memakai bahan mentah langsung. Sebaiknya daun marungga diolah terlebih dahulu sedemikian rupa jadi tepung untuk dibuatkan roti; dan nira lontar diproses menjadi anggur sehingga makna liturgis dan teologisnya tetap terjaga.

Pendeta Norma Folla, Ketua Majelis Jemaat Moria Liliba Kupang, yang pernah menjadi Ketua Klasis Rote Tengah menyatakan ketidaksetujuannya sebagai berikut: “Saya kira dalam banyak hal kita telah berusaha untuk membuat Injil diterima dalam konteks budaya dengan upaya teologia kontekstual, tetapi tidak semua hal bisa dikontekstualkan, karena bisa saja mengaburkan makna sakral dari sakramen. Bagi saya apabila formulasi kalimat perjamuan diubah, maka kita telah mengubah firman Tuhan, sementara alkitab bilang satu noktah saja tidak boleh hilang. Saya setuju buat jamuan kasih di gereja dengan makanan lokal tapi perjamuan kudus tetaplah roti.”


            William Dedi Mone dari Ende-Flores dan Otniel Liu warga jemaat Batu Karang kota Kupang bisa memahami upaya kontekstualisasi tersebut namun bagi keduanya terasa janggal bila formulasi liturgisnya berbunyi, “Marungga/nira yang dibagi-bagikan ini adalah tanda persekutuan kita dengan tubuh Kristus” atau “Ubi/jagung bose ini adalah menunjukkan pada kita bahwa Tubuh Kristus dipecahkan karena kita.”

            Pada pihak lain, kelompok yang setuju berpandangan bahwa roti dan anggur merupakan makanan sehari-hari di Palestina dan Eropa yang bisa diganti dengan unsur lain asal jemaat diberi pemahaman tentang substansi perjamuan kudus yakni pengampunan dosa, keselamatan dan anugerah Allah telah datang ke dalam dunia melalui Yesus Kristus. Tanda yang kelihatan dari anugerah Allah tersebut adalah Sakramen Baptisan dan Perjamuan Kudus.

            Pendeta Iswardi Lay, pelopor perjamuan kontekstual yang kontroversial tersebut mengaku bahwa apa yang ia lakukan bukan yang pertama kali. Jemaat bersukacita mengikuti perjamuan, meski masih ada satu dua orang yang enggan. Tidak ada persoalan teologis karena dalam pelaksanaannya, jauh-jauh hari telah didiskusikan dengan matang bersama majelis jemaat.

            Paul Bolla, S.Th., mantan jurnalis Pos Kupang mengatakan: “Saya sepakat  dengan semua upaya kontekstualisasi itu. Itu memang sudah seharusnya menjadi tugas para teolog dan awam untuk membuat semua isi pesan alkitab diterima dan dimengerti dalam budaya aslinya. Pesan dari perubahan perjamuan bukan pada kulit yang tampak: roti/anggur, laru/jagung, moke/ubi, tuak marungga, tetapi substansi pengorbanan Yesus. Jika ada yang masih terikat pada bentuk luar, maka silakan inovasi roti dalam bentuk dan rasa jagung, ubi, marungga, sagu, labu, sorgum, dsb. Demikian juga anggur. Toh selama ini GMIT sudah tolerir peserta perjamuan karena alasan kesehatan alergi anggur cukup pakai air putih.

Pernyataan Paul Bolla tidak mengagetkan saya, sebab Paul Bolla telah mengkontekstualisasikan ilmu pengetahuan teologinya  dalam dunia jurnalistik, setelah ia menyelesaikan studinya dan menyandang gelar sarjana teologi. Namun sayang sekali, ketika saya menyelisik di WorldCat Identities dan Virtual International Authority File (VIAF), Paul Bolla belum juga muncul. Yang muncul hanya Peter Rohi, Aco Manafe, dan Yop Pandie—ketiganya jurnalis asal daerah NTT yang latar belakangnya asal warga GMIT.

Dr. Eben Nuban Timo yang kini menjadi staf pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, mengatakan begini: di Rote ia ditanyai pendapatnya soal pergantian roti dan anggur. Ia jawab singkat, “Mengapa tidak? Roti dan Anggur itu ‘kan makanan dan minuman sehari-hari orang Palestina dan Eropa. Kita bukan Palestina atau Eropa. Kita boleh memakai makanan sehari-hari kita untuk melambangkan tubuh dan darah Kristus. Apa salahnya? Supaya formulasi kalimat liturgisnya tidak terdengar janggal, dikatakannya bahwa dalam proses kontekstualisasi, tidak bisa menggunakan terjemahan lurus. Oleh karena itu, dibutuhkan kearifan untuk menemukan rumusan yang tepat. Misalnya, rumusan “roti yang kami pecah-pecahkan ini, …dst-nya, diganti dengan “makanan yang kami bagi-bagikan ini…”

            Berkenaan dengan penggunaan marungga rebus dan nira lontar sebagai pengganti roti dan anggur dalam kebaktian Perjamuan Kudus yang menimbulkan pendapat pro dan kontra sebagaimana dikemukakan di atas, Ketua Sinode GMIT Dr. Mery L. Y. Kolimon mengatakan bahwa secara teologis ia tidak keberatan. Secara pribadi dan sebagai teolog ia mengatakan bahwa “sepanjang telah ada percakapan dengan majelis dan jemaat dan mereka sepakat untuk itu, mengapa tidak? Namun di pihak lain kita (GMIT) bukan gereja kongregasional. GMIT berasaskan presbiteral sinodal  artinya jemaat-jemaat berjalan bersama-sama menurut peraturan-peraturan yang mengatur tentang perjamuan kudus.


Dalam perkembangan kemudian, perdebatan dan wacana mengenai bahan pengganti roti dan anggur akhirnya dibahas dan diputuskan dalam Persidangan Majelis Sinode GMIT ke-41 yang berlangsung pada 21 -25 Februari 2017 di Kupang. Majelis Sinode GMIT memutuskan penggunaan elemen makanan lokal sebagai pengganti roti dan anggur diperbolehkan dengan catatan hal itu mesti dipercakapkan dengan jemaat dan majelis jemaat. Peraturan tentang hal ini tercantum dalam pasal 7 ayat 2 peraturan pastoral pelayanan sakramen perjamuan kudus yang berbunyi: “Dalam rangka kontekstualisasi atau dalam keadaan tertentu roti dan anggur dapat diganti dengan bahan lain berdasarkan keputusan persidangan jemaat.”

Mengkritisi penggantian roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus

            Di atas telah saya kutip pandangan-pandangan beberapa pendeta dan warga GMIT yang pro maupun yang kontra terhadap pelaksanaan Perjamuan Kudus di mana roti dan anggur diganti dengan sayur marungga rebus dan nira lontar.      

Saya sungguh merasa prihatin memperhatikan pendeta-pendeta GMIT yang berteologi kontekstual semau-maunyahanya karena jabatan mereka sebagai pendeta—tanpa memiliki pandangan teologis alkitabiah yang mendalam dan kuat. Bukti mengenai pernyataan ini dapat disimak dalam artikel-artikel saya berjudul “Percaya pada Allah dalam konteks NTT” yang mengkritisi pandangan teologis alkitabiah yang kemukakan oleh Dr. Eben Nuban Timo; “Marginalia atas Janji Baru 1.2” yang merupakan catatan kritis atas terjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa [dialek] Kupang ; “Sekali lagi tentang Marginalia atas Janji Baru 1,2,3” juga merupakan catatan kritis atas terjemahan Perjanjian Baru ke dalam bahasa [dialek] Kupang; “Catatan atas Tata Ibadah Perjamuan Kudus GMIT (cara baru perayaan sakramen)”  yang merupakan tanggapan atas kesemena-menaan Dr. Eben Nuban Timo mengadakan Perjamuan Kudus menurut seleranya yang kebablasan; dan “Marginalia atas Kristologi dalam Budaya Masyarakat NTT” yang merupakan catatan kritis terhadap pandangan teologi kontekstual tentang kristologi dalam budaya masyarakat NTT. Semua Artikel tersebut dapat dibaca di blog saya: www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi 08 Agustus 2011 dan edisi 07 September 2016. Dan berkenaan dengan upaya berteologi kontekstual kali ini, “Roti dan Anggur” Perjamuan Kudus diganti dengan “sayur marungga rebus dan nira lontar” atau bahkan makanan dan minuman lokal apa saja asal ada kesepakatan majelis dan jemaat lokal, sebagaimana telah dikemukakan di atas, keprihatinan saya semakin bertambah.

Saya berpihak pada kelompok yang tidak setuju apabila dalam Perjamuan Kudus unsur roti dan anggur diganti dengan “sayur marungga rebus dan nira lontar” dengan dalih teologi kontekstual. Saya juga sangat tidak setuju apabila roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus diganti dengan—seperti kata Paul Bolla—laru dan jagung, moke dan ubi, dengan alasan teologi kontekstual. Menurut pendapat saya, pelaksanaan Perjamuan Kudus dengan menggunakan sayur marungga rebus dan nira lontar, atau jagung dan laru, atau ubi dan moke, dan sebagainya dengan alasan teologi kontekstual itu pada gilirannya merupakan teologi kontekstual yang kebablasan—teologi kontekstual yang latah, yang melewati batas atau ketentuan universal (yang berlaku dalam persekutuan orang-orang percaya di seluruh dunia yang merayakan Perjamuan Kudus dari sepanjang zaman), sehingga telah terjadi pelecehan terhadap kekudusan Ibadah Perjamuan Kudus.


Begitu pula dengan keputusan Majelis Sinode yang menyatakan, “Dalam rangka kontekstualisasi atau dalam keadaan tertentu roti dan anggur dapat diganti dengan bahan lain berdasarkan keputusan persidangan jemaat”  pada dasarnya merupakan pembenaran dan pengukuhan terhadap praktik perjamuan kudus yang telah lakukan oleh Pdt. Iswardi Lay di Rote, dan membenarkan pendapat yang dikemukakan oleh Paul Bolla, S.Th, serta pandangan Dr. Nuban Timo, dengan alasan yang ditempelkan bahwa: Keputusan Majelis Sinode itu diambil “setelah melalui pembahasan yang mendalam melalui diskusi dan seminar beberapa tahun belakangan”.

Ah, suatu pembenaran dan pengukuhan yang sangat naif! Unsur Perjamuan Kudus “roti dan anggur” dibiarkan dipingpong oleh majelis jemaat dan jemaat dalam wilayah pelayanan GMIT! Atau jangan-jangan pada waktu akan datang, menjelang saat Perjamuan Kudus dilaksanakan di setiap jemaat, akan ada surat edaran pastoral dari Sinode ke jemaat-jemaat setempat melalui Klasis, berkenaan dengan penggunaan jenis makanan dan minuman lokal pengganti roti dan anggur dalam Ibadah Perjamuan Kudus! Mudah-mudahan apa yang saya kemukakan ini tidak terjadi!

Betapa rapuhnya  landasan teologis alkitabiah yang di atasnya GMIT melakukan Ibadah Perjamuan Kudus, apabila roti dan anggur diganti dengan unsur makanan dan minuman lokal. Jikalau mengenai penggunaan jenis makanan dan minuman lokal sebagai pengganti roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus didiskusikan, dimusyawarahkan dan putuskan oleh majelis jemaat dan jemaat setempat, pertanyaannya ialah: apakah semua majelis jemaat dan jemaat lokal dalam denominasi GMIT “ahli teologi kontekstual”,  sehingga mereka dapat mencapai suatu kesepakatan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara teologis alkitabiah?

Apakah Pendeta sebagai Ketua Majelis Jemaat setempat dapat mengatasi perbedaan pendapat yang dimbul dalam diskusi atau musyawarah yang dilakukan di antara majelis jemaat dan jemaat setempat berkenaan dengan roti dan anggur Perjamuan Kudus yang hendak diganti dengan jenis-jenis makanan dan minuman lokal itu? Atau, jangan sampai dalam berdiskusi ada Pendeta yang “kalah” dalam berdiskusi dengan anggota jemaat!

Apabila di suatu jemaat lokal terdapat 200 anggota jemaat yang setuju terhadap penggantian roti dan anggur dengan jenis makanan dan minuman lokal, misalnya sayur marungga rebus dan nira lontar, tetapi ada beberapa anggota jemaat lainnya tidak setuju, dan meminta  agar roti dan anggur yang harus digunakan dalam Ibadah Perjamuan Kudus, maka apakah permintaan mereka akan disetujui dan mereka dapat dilayani secara khusus dengan menggunakan unsur roti dan anggur yang sesuai dengan pesan Injil? Ataukah mereka yang minoritas dan landasan teologis alkitabiah yang benar berada di pihak mereka tidak dihiraukan, karena mayoritas warga jemaat yang menyetujui roti dan anggur diganti dengan marungga rebus dan nira lontar merupakan suara terbanyak (mayoritas) dituruti oleh Pendeta padahal landasan teologis alkitabiahnya tidak benar?

Berdasarkan pengamatan saya, untuk berdiskusi dan/atau memperdebatkan dasar-dasar ajaran saksi-saksi Yehuwa, majelis jemaat dan warga jemaat GMIT masih kewalahan karena dasar pengetahuan Alkitab yang terbatas dan kurang, apa lagi mau berdiskusi tentang teologi kontekstual!

 Di sisi lain, menurut pengamatan saya melalui buku-buku, makalah-makalah dan artikel-artikel yang ditulis oleh  beberapa orang Pendeta GMIT antara tahun 2004 sampai tahun 2016, terutama buku-buku karya Dr. Eben Nuban Timo, saya melihat, tidak ada satu pun  pendeta yang dapat disebut “teolog”. Mereka hanya dapat disebut “sarjana teologi” karena telah menyelesaikan studi teologi strata satu, strata dua, dan strata tiga.

Dr. Eben Nuban Timo, sekalipun memiliki kreativitas dalam penulisan buku sehingga di WorldCat Identities terdapat 15 karya tulis dalam dua bahasa yang tersimpan di 109 perpustakaan; dan di Virtual International Authority File (VIAF) terdapat empat bendera  yaitu bendera Amerika, Australia, Belanda dan ISNI dicantumkan pada nama dan karya tulisnya, menurut penilaian saya Dr. Eben Nuban Timo belum dapat digolongkan pada tataran teolog. Penilaian yang saya kemukakan ini tidak mengada-ada, tidak dicetuskan dari kesombongan (keangkuhan atau tinggi hati). Penilaian ini saya kemukakan berdasarkan potensi yang ada dalam diri saya, karena saya banyak membaca buku-buku teolog terkemuka antara lain: Dietrich Bonhoeffer, Rudolf Bultmann, Paul Tillich, Reinhold Niebuhr, Karl Barth, John A. T. Robinson, dan lain-lain yang tak dapat disebutkan di sini.

            Pendapat Dr. Eben Nuban Timo tentang roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus dapat diganti dengan sayur marungga rebus dan nira lontar yang dikemukakan dengan nada enteng: “Mengapa tidak? Roti dan Anggur itu ‘kan makanan dan minuman sehari-hari orang Palestina dan Eropa. Kita bukan Palestina dan Eropa. Kita boleh memakai makanan sehari-hari kita untuk melambangkan tubuh dan darah Kristus. Apa salahnya?” Pendapat  Dr. Eben Nuban Timo yang tandas dan bernada enteng ini patut disesalkan, karena landasan teologis alkitabiah dan pendekatan model semiotiknya tidak dapat dibenarkan. Dalam hal ini Dr. Eben Nuban Timo dapat disebut seorang pakar balsem, yaitu seorang pakar yang gemar mengomentari apa saja yang disukainya secara enteng dan seenaknya.

            Roti tidak pernah diimpor oleh warga GMIT dari Palestina dan Eropa! Sesuai dengan perkembangan zaman, ratusan tahun lamanya, “roti” yang Dr. Eben Nuban Timo katakan “makanan sehari-hari orang Palestina dan Eropa telah mengglobal sampai juga  ke wilayah pelayanan GMIT, sehingga warga GMIT doyan makan roti, bahkan banyak warga GMIT yang pandai dan terampil membuat roti. Dan kalau ada warga GMIT yang belum tahu membuat roti, tidak berarti bahwa mereka tidak tahu dan/atau tidak bisa makan roti. Dengan demikian, roti telah menjadi sejenis makanan yang universal, dikenal dan dilahap oleh warga masyarakat dan warga GMIT.  

Demikian pula dengan anggur. Sejak ratusan tahun yang lalu warga GMIT telah mengenal dan meminum anggur yang diolah dari arak dan/atau sopi. Karena itu anggur bukan minuman yang warga GMIT impor dari Palestina atau Eropa. Jadi, mengapa roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus harus diganti dengan moke atau arak, atau laru? Sungguh kebablasan!

            Jikalau mau konsekuen melakukan teologi kontekstual dengan alasan seperti pandangan Dr. Eben Nuban Timo bahwa roti dan anggur itu makanan sehari-hari orang Palestina dan Eropa, bukan makanan sehari-hari warga GMIT, maka saya minta agar Dr. Eben Nuban Timo dan  pendeta GMIT yang latah terhadap teologi kontekstual jangan memakai setelan berdasi, berjas, bertoga, dan bersepatu, ketika memimpin kebaktian, karena semua jenis pakaian itu bukan asli milik masyarakat lokal yang menjadi warga GMIT melainkan milik orang Eropa.

Berdasarkan sedikit penjelasan di atas ini, maka penggunaan roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus tidak boleh disingkirkan oleh para pendeta GMIT dengan alasan teologi kontekstual. Sebab berdasarkan pendekatan menurut model semiotik—salah satu dari empat model teologi kontekstual yaitu model terjemahan, model semiotik, model pembebasan, dan model metafora—dalam kontekstualisasi, tidak tercermin dalam argumentasi yang dikemukakan oleh Dr. Eben Nuban Timo dan Paul Bolla, S.Th. Kedua sarjana teologi ini (yang seorang dari level strata tiga dan seorang lagi dari level strata satu) hanya berwacana gaya pakar balsem sebagaimana telah saya katakan di atas.  Catatan sisipan: kata atau istilah “pakar balsem” itu terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan pertama Edisi IV Tahun 2008. Kata atau istilah tersebut dipergunakan di sini dalam arti sejatinya berkenaan dengan pembahasan dalam tulisan ini.

Roti dan anggur seyogianya tetap dipertahankan dalam Ibadah Perjamuan Kudus. Sebab roti dan anggur telah lama dikenal dan inheren dalam dinamika dan struktur kebudayaan lokal di mana GMIT hadir untuk melayani dan mewartakan kabar sukacita tentang keselamatan yang universal di dalam dan melalui kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus. Dengan demikian, apabila Dr. Eben Nuban Timo—ketika ditanyai pendapatnya soal roti dan anggur diganti dengan sayur marungga rebus dan nira lontar—menjawab dengan nada enteng, “Mengapa tidak?” Maka berkenaan dengan perihal penggunaan roti dan anggur yang seyogianya tetap dipertahankan dalam Perjamuan Kudus saya juga mau berkata tegas, “Mengapa tidak?”

Saya minta Dr. Eben Nuban Timo pertimbangkan ini: ketika Yesus dan rasul-rasul-Nya makan Paskah, bukan saja roti dan anggur yang ada, melainkan juga daging domba Paskah, yang sesuai ketentuan, orang harus menyembelih domba Paskah (Markus 14:12, Lukas 22:7-13). Ketika Yesus duduk makan bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya, Yesus tidak mengambil daging domba untuk diberkati dan dibagikan kepada rasul-rasul-Nya untuk dimakan, melainkan “roti”, padahal Yesus adalah “Anak domba Allah” (Yohanes 1:29, 36). Yesus tidak mengambil daging domba dan darah domba untuk menyimbolkan tubuh dan darah-Nya, padahal dalam Yohanes 6:53 Yesus berkata: “…sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan tidak minum darah-Nya, kamu tidak memperoleh hidup di dalam dirimu”. Yesus juga tidak memberikan “air” kepada rasul-rasul-Nya untuk diminum, melainkan “anggur”, padahal Yesus adalah “air sumber hidup” (Yohanes 7:30,38; 4:14,15). Saya ingin bertanya kepada Dr. Eben Nuban Timo mengenai landasan teologis alkitabiah: mengapa “daging domba” dan “air” yang ada pada saat makan Paskah itu Yesus tidak gunakan, melainkan “roti” dan “anggur” yang Yesus gunakan pada saat “Perjamuan Malam yang Ia adakan bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya?

Makan Paskah yang dilakukan oleh Yesus dan rasul-rasul-Nya ketika tiba hari raya Roti tidak beragi itu sekaligus merupakan momen [kairos] yang tepat bagi Yesus untuk menetapkan dan melakukan “perjamuan terakhir” bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya. Perjamuan terakhir yang Yesus lakukan bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya itu adalah “perjamuan perpisahan”, karena setelah itu Yesus ditangkap, kemudian diadili, disalibkan, mati, dikuburkan, tetapi dibangkitkan oleh Allah pada hari ketiga.  Perjamuan yang Yesus lakukan dengan rasul-rasul-Nya itu, dilakukan ketika sedang  makan Paskah, akan tetapi perjamuan yang Yesus lakukan itu bukan Perjamuan Paskah. Perjamuan itu adalah “perjamuan yang terpisah” dari makan Paskah. Itulah sebabnya gereja secara universal menyebut perjamuan itu, “Perjamuan Kudus”.

 Kata kudus, dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani, hagios, dalam bahasa Inggris berarti holy (suci, kudus), sacred (keramat), dan selain itu kata Yunani, hagios juga berarti dipisahkan oleh Allah dan/atau dipisahkan untuk Allah; disisihkan oleh Allah dan/atau disisihkan untuk Allah; diasingkan oleh Allah dan/atau diasingkan untuk Allah. Dengan demikian, Perjamuan Kudus berarti Perjamuan Suci dan/atau Perjamuan Keramat. Perjamuan yang dipisahkan oleh Allah dan/atau dipisahkan untuk Allah dari perjamuan lainnya; atau Perjamuan yang disisihkan  oleh Allah dan/atau disisihkan untuk Allah dari perjamuan lainnya; atau Perjamuan yang diasingkan oleh Allah dan/atau diasingkan untuk Allah dari perjamuan lainnya. Ini berarti, Ibadah Perjamuan Kudus harus dihormati dan muliakan sesuai dengan kodratnya (sesuai dengan sifat aslinya atau sesuai dengan sifat bawaannya), sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Injil (Perjanjian Baru). Jadi, roti dan anggur yang digunakan dalam Ibadah Perjamuan Kudus harus tetap dipertahankan, jangan diganti dengan unsur lain dengan alasan kontekstualisasi yang kebablasan dan konyol. Pendeta-pendeta GMIT harus insafi akan hal ini. Dan setiap warga jemaat GMIT harus pula menginsafi akan hal ini.

Perlu diperhatikan bahwa kontekstualisasi tidak semudah seperti ucapan yang keluar dari mulut Dr. Eben Nuban Timo dan mulut Paul Bolla, S.Th. Sebab dalam istilah kontekstualisasi itu sendiri tersirat dua makna yang bertentangan, yaitu kontekstualisasi dapat mendatangkan dan menambah kejelasan makna dan kontekstualisasi dapat memutarbalikkan fakta melalui penafsiran dan penerapan yang keliru dari konteks. Arti (makna) kontekstualisasi yang kedua inilah yang telah terjadi di GMIT dalam Perjamuan Kudus, yaitu: roti dan anggur sebagai sebuah fakta yang inheren dalam Perjamuan Kudus sesuai dengan pesan Yesus sebagaimana tertulis dalam Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22:15-20 dan 1 Korintus 11:23-25 diputarbalikkan melalui penafsiran dan penerapan yang keliru dari konteks lalu diganti dengan marungga rebus dan nira lontar maupun jenis makanan lokal apa saja.

Berdasarkan apa yang dikatakan di atas ini, saya menilai Pdt. Norma Folla, Ketua Majelis Jemaat Moria Liliba yang juga mantan  Ketua Klasis Rote Tengah “lebih benar” jika dibandingkan dengan Dr. Eben Nuban Timo dan Paul Bolla, S.Th., ketika Pdt. Norma Folla berkata: “Saya kira dalam banyak hal kita telah berusaha untuk membuat Injil diterima dalam konteks budaya dengan upaya teologia kontekstual, tetapi tidak semua hal bisa dikontekstualisasikan, karena bisa saja mengaburkan makna sakral dari sakramen…”

Dengan demikian, roti yang atasnya Yesus mengucapkan berkat lalu dibagi-bagikan kepada rasul-rasul-Nya untuk dimakan, dan cawan anggur yang atasnya Yesus mengucapkan syukur lalu diberikan kepada rasul-rasul-Nya untuk diminum adalah unsur Perjamuan Kudus yang esensial; unsur Perjamuan Kudus yang mendasar; unsur perjamuan yang hakiki.  Unsur ini merupakan suatu simbolisme yang secara tepat menunjuk kepada hakikat pengorbanan Yesus.

“Roti” (Yunani, arton ), dalam bahasa Inggris, bread, artinya livelihood, berasal dari bahasa Inggris Kuno, liflād, yang artinya jalan hidup; jalan kehidupan (Chambers Twentieth Century Dictionary, 1972:157,769).  Arti kata ini menunjuk kepada kata Yesus: “Akulah roti hidup…” (Yohanes 6:35,48,51), dan kata Yesus: “Akulah jalan, dan kebenaran dan hidup” (Yohanes 14:6).

“Anggur” (Yunani, oinos) menyimbolkan “darah (darah perjanjian)”, Yesus berkata: “Inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang” (Markus 14:24). Dengan demikian, unsur “roti dan anggur dalam Ibadah Perjamuan Kudus adalah suatu “simbol [suatu tanda sekaligus lambang yang berdasarkan tradisi atau konvensi menggambarkan dan/atau mewakili kepercayaan/iman, inti sari doktrin agama, atau ciri khas upacara keagamaan seperti Upacara Perjamuan Kudus” (Chambers Twentieth Century Dictionary, 1972:1367).

Berdasarkan penjelasan ini, sesungguhnya sangat salah apabila Paul Bolla, S.Th., berkata bahwa roti dan anggur itu hanyalah “kulit yang tampak”. Roti dan anggur sebagai unsur Perjamuan Kudus bukan kulit yang tampak, melainkan unsur esensial sebagai “simbol yang menggambarkan atau mewakili kepercayaan [iman], inti sari doktrin agama, atau ciri khas upacara keagamaan seperti Upacara Perjamuan Kudus” sebagaimana dikatakan di atas, yang benar-benar inheren dengan berita Injil.

Penjelasan di atas ini memberi petunjuk bagi kita di dalam mengapresiasi “roti dan anggur”, yang dapat saya jelaskan sebagai berikut: Apabila Dr. Eben Nuban Timo dan Paul Bolla, S.Th., pergi ke kedai roti dan anggur  untuk makan roti dan minum anggur, maka roti dan anggur yang  dimakan dan diminum itu hanyalah sejenis makanan dan minuman berkadar alkohol yang dijual di kedai itu. Tetapi jika Dr, Eben Nuban Timo  dan Paul Bolla, S.Th., menghadiri Ibadah Perjamuan Kudus, roti dan anggur yang disediakan dalam Ibadah Perjamuan Kudus itu adalah simbol tubuh dan darah Yesus yang telah dikorbankan di Golgota. Sebagai seorang yang telah belajar teologi, dan membaca kitab Perjanjian Baru berulang-ulang kali, niscaya dalam pikiran Anda terjadi “asosiasi” (tautan dalam ingatan) pada kisah Perjamuan Malam yang Yesus adakan bersama-sama dengan rasul-rasul-Nya (Matius 26:26-29; Markus 14:22-25; Lukas 22-15-20 dan 1 Korintus 11:23-25), dan kisah penderitaan, penyaliban, kematian dan kebangkitan-Nya niscaya muncul di benak Anda.

Akan tetapi jika roti dan anggur diganti dengan sayur marungga rebus dan nira lontar dalam Ibadah Perjamuan Kudus, maka sayur marungga rebus yang dimakan dan nira lontar yang diminum itu hanyalah sejenis makanan dan minuman lokal yang tidak memiliki makna teologis alkitabiah apa-apa, bahkan merusak asosiasi yang terjadi dalam pikiran jemaat yang sadar benar akan amanat yang tersirat dalam Injil Matius, Markus, Lukas, dan surat 1 Korintus yang ayat-ayatnya telah disebutkan di atas. 

Catatan Akhir
Mengakhiri tulisan ini, saya titipkan satu peribahasa dari Charles H. Spurgeon kepada Dr. Eben Nuban Timo dan Paul Bolla, S.Th., untuk direnungkan: “A new gospel is no gospel. For what is true is not new, and what is new in theology is not true. Tell me the old, old story”  (Charles H. Spurgeon. Salt-Cellars. A Collection of Proverbs. Moody Press Chicago (tanpa tahun penerbitan), hlm.18).

Dan penulis Injil Lukas berkata: “Dan tidak seorangpun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu lebih baik” (Lukas 5:39). Renungkanlah ini di dalam berteologi kontekstual!

“Hormatilah dan Kuduskanlah Ibadah Perjamuan Kudus pada 14 April 2017” dan “Selamat Menyongsong Paskah pada 16 April 2017”. Kasih karunia Allah di dalam Yesus Kristus dan persekutuan dengan Roh Kudus menyertai kita sekalian. ***



Kupang, 16 Maret 2017
A. G. Hadzarmawit Netti
Penatua Jemaat Gunung Sinai Naikolan
(Denominasi Gereja Masehi Injili di Timor)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar