Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Selasa, 06 Maret 2018

“16 Juni, Hari Sastra NTT”




A. G. Hadzarmawit Netti
Kritikus Sastra Aliran Pukuafu
 

Catatan pengantar
            SALAH SATU Keputusan Temu II Sastrawan NTT yang dibacakan Dr. Yoseph Yapi Taum pada acara penutupan       Temu II Sastrawan NTT di Pantai Ria, Ende-Flores, pada Sabtu malam tanggal 10 Oktober 2015 yaitu: 16 Juni ditetapkan sebagai “Hari Sastra NTT”, sesuai tanggal dan bulan kelahiran Sastrawan Gerson Poyk [orang NTT]. Siapakah itu sastrawan Gerson Poyk (almarhum)? Bacalah buku, Sastra Indonesia Warna Daerah NTT karya Yohanes Sehandi [pemeduli Sastra Indonesia Warna Daerah NTT, dan pemeduli sastrawan Indonesia orang NTT]. Bacalah juga artikel saya berjudul, “Begawan Sastra Gerson Poyk dan Sastrawan Potensial asal daerah NTT” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id) edisi Rabu, 01 Maret 2017. Berkenaan dengan “16 JUNI HARI SASTRA NTT” tahun 2017, artikel ini saya buat: in memoriam Gerson Poyk: ҉ 16 Juni 1931 --- ҈ 24 Februari 2017.


Yohanes Sehandi, dalam bukunya, Sastra Indonesia Warna Daerah NTT (Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2015) memperkenalkan profil 44 sastrawan NTT. Dari 44 sastrawan  itu terdapat tujuh sastrawan yang lahir dalam bulan Juni, yaitu: Marsel Robot [1 Juni 1961], Robert Fahik [5 Juni 1985], Santisima Gama [11 Juni 1982], Gerson Poyk [16 Juni 1931], Armin Bell [16 Juni 1980], Leo Kleden [28 Juni 1950], Buang Sie [30 Juni 1967]. Kepada keenam sastrawan (tanpa Gerson Poyk, almarhum), yang lahir pada tanggal 16 Juni sebagai “Hari Sastra NTT”, saya ucapkan: “Selamat Ulang Tahun dan Salam Sastra!” Dan berkenaan dengan Hari Sastra NTT, 16 Juni 2017, saya ingin mewedarkan kontemplasi dan refleksi atas dua buah novel karya Robert Fahik berjudul, Seperti Benenai Cintaku terus mengalir untukmu (Penerbit Cipta Media Yogyakarta 2015), dan Apshara (Penerbit Cipta Media Yogyakarta 2016).

Kontemplasi dan refleksi
SUSASTRA (puisi, cerpen, novel, roman) adalah suatu dunia kehidupan yang dirancang dan dibangun oleh seorang sastrawan berdasarkan imajinasi dan fantasinya. Sebagai suatu dunia kehidupan, susastra memiliki panorama, pesona, dan keindahan yang unik. Akan tetapi bukan itu saja. Susastra juga memiliki nosi dan emosi, serta daya evokasi, lantaran segenap daya-daya roh sastrawan yang bergelut aktif dan giat, tersusun dan teranyam di dalamnya.

Untuk mengenal susastra sebagai suatu dunia kehidupan sebagaimana dikatakan di atas, kita tidak dapat mengandalkan komentar dan deskripsi orang lain semata-mata. Kita sendiri harus menjelajahinya secara tuntas, sebab tanpa penjelajahan yang tuntas, kita tidak akan dapat mengenal dan menikmati detail-detail panorama, pesona, keindahan, nosi dan emosi, serta daya evokasi  susastra itu secara baik dan memuaskan.

Demikianlah pandangan yang saya anut. Dan berdasarkan pandangan itulah susastra sebagai suatu dunia kehidupan, saya jelajahi sesuai batas-batas kemampuan saya. Yang dimaksudkan dengan menjelajahi di sini ialah meneliti dan mengamati melalui aktivitas membaca dan berkontemplasi. Ya, sekali lagi, membaca dan berkontemplasi. Penjelajahan seperti inilah yang saya lakukan atas novel R. Fahik Seperti Benenai, Cintaku terus mengalir untukmu, yang diterbitkan oleh Penerbit Cipta Media (Anggota IKAPI, Yogyakarta)  pada tahun 2015; dan novel Apshara, yang diterbitkan oleh Penerbit Cipta Media Yogyakarta, Juli 2016.

Ketika membaca novel ini dan membiarkan totalitas daya-daya roh dan integritas intelek kedirian saya bergelut dalam kontemplasi, citra visual dalam imajinasi saya menyaksikan suatu pelangi, yaitu suatu lengkung spektrum warna di langit di atas Benenai yang airnya terus mengalir. Lengkung spetrum warna di langit di atas Benenai itu merefleksikan pergulatan-pergulatan antara cinta dan kesetiaan; antara cinta dan derita; antara cinta dan pengabdian; antara cinta dan  pengharapan di tengah-tengah kurun waktu dan ruang demi Malaka, dan demi masa depan tokoh-tokoh yang berlakon di pentas dunia kehidupan, antara pengharapan dan harapan untuk memperoleh.

Dan untuk semuanya itulah, antara Benenai dan Malaka—lembah tempat cinta, kesetiaan, dan pengabdian ditaburkan—dan Mutis sebagai simbol ketinggian cita-cita, dan pengharapan demi hari esok, sastrawan R. Fahik melalui perantaraan tokoh Aku  dan Mey merumuskan visi dan misinya: “Kalau mau ke Mutis, kau harus siap untuk kembali ke Malaka,  seperti Benenai yang terus mengalir itu”/ “Kembali?”/ “Agar kehidupan terus berjalan.”/ “Bagaimana denganmu?”/ “Hatiku selalu di sini.”/ “Hati kita.”

Dengan merumuskan visi dan misi imajiner yang dititipkan melalui mulut tokoh Aku dan  Mey, sastrawan Robert Fahik mempersembahkan karya susastranya yang indah itu bagi Benenai dan Malaka sebagai panggung pentas semua aktor dan aktris yang berperan di atasnya; bagi penikmat sastra di daerah NTT; bagi penikmat sastra di Indonesia; bahkan bagi penikmat sastra  antarbangsa yang konsisten melirik hasil karya sastra para sastrawan Indonesia orang NTT maupun bukan orang NTT.

Novel ini: Seperti Benenai, Cintaku terus mengalir untukmu, adalah novel ketiga karya sastrawan Robert Fahik. Novel ini bagus dan memuaskan, memenuhi kriteria sastra yang saya anut, yaitu: tercermin pendalaman masalah manusia yang luas dan universal; tercermin wawasan cipta sang sastrawan; tercermin keterlibatan sastrawan dengan masalah manusia yang luas dan universal; tercermin sikap dan motif bersastra sang sastrawan yang jelas; dan ada pencapaian estetik sang sastrawan dalam karya sastranya yang personal dan tidak imitatif.

Berdasarkan kriteria yang disebutkan di atas ini, saya tidak sependapat dengan penilaian dan komentar beberapa sastrawan di kota Kupang yang pernah mengemukakan kritik mereka atas novel karya Robert Fahik, sebab karya sastra para pengkritik itu sendiri tidak lebih baik dari novel yang saya apresiasi  dalam artikel ini. 

Novel kedua karya Robert Fahik yang akan saya apresiasi adalah novel yang berjudul, Apshara, yang diterbitkan oleh Penerbit Cipta Media, Yogyakarta, Juli 2016.

Pada hari Jumat siang, 31 Maret 2017 yang lalu  saya memperoleh sebuah novel berjudul, Apshara dari novelis Robert Fahik dengan catatan: saya diminta untuk meninjau dan mengapresiasi novel tersebut dalam acara diskusi sastra yang diadakan di ruang diskusi Cakrawala NTT, Jl. Hati Mulia VI, No.1 Oebobo, Kota Kupang.

Kover buku menyita perhatian saya. Judul novel, Apshara, dengan cetakan berwarna coklat terhampar seperti pada bentangan langit berwarna hijau daun muda; di sudut kiri atas ada sesosok wajah gadis dengan tatapan mata ke arah bawah, tampak mengulum senyum dan/atau kata-kata yang tak terucapkan; binar bola matanya  memancarkan keprihatinan. Di tepi bawah, terhampar padang luas sejauh mata memandang, ditumbuhi tetumbuhan rumput berwarna kecoklat-coklatan; tampak seorang perempuan berdiri di tengah rerumputan sambil membuang pandangan ke samping kiri, seakan-akan mengawasi lingkungan di mana ia berada. Dan jauh  di bagian depan perempuan itu, terlihat sebuah bangunan seperti kuil [tempat memuja atau menyembah dewa] dan/atau pura [tempat beribadah atau tempat bersembahyang] umat Hindu Dharma. Kelihatan pintu kuil atau pura terbuka, seakan-akan siap menerima setiap orang yang mau bersembahyang, berserah diri dan jiwa kepada yang disembah atau yang diimaninya.  Terbaca pula di kover, Robert Fahik – Penulis Trilogi Malaka, yang menulis novel Apshara, sebuah  novel yang diangkat dari kisah nyata. Setelah menghela napas sejenak, saya membaca empat larik tulisan di sudut kanan atas kover: “Find a nice corner, pull a cosy seat,/ make yourself a nice drink…/ get comfortable and read this book./ It will stir something inside you.” 

Dan memang benar. Baru sebatas mengamati detail kover buku novel Apshara sebagaimana diwedarkan di atas, batin saya sudah tersentuh dan tergerak, mengharukan.  Kover buku novel ini menghadirkan suatu dunia kehidupan yang menyuratkan dan menyiratkan  pergumulan—seorang tokoh perempuan di medan kehidupan—antara pengharapan dan harapan untuk memperoleh. Bentangan langit berwarna hijau daun muda (green - vigorous) menyimbolkan  ketabahan dan kekuatan batin dalam perjuangan meraih masa depan yang berpengharapan. Sementara hamparan padang luas yang ditumbuhi tetumbuhan rumput berwarna kecoklat-coklatan (dark-brown) menyimbolkan medan perjuangan hidup yang diwarnai peristiwa-peristiwa dan/atau pengalaman hidup yang  gersang, kelam dan gelap.

Di tengah medan perjuangan hidup itulah tokoh perempuan menempuh kehidupannya dengan  tabah demi suatu masa depan yang berpengharapan, bukan saja demi dirinya sendiri, melainkan serentak  demi sesosok wajah gadis mungil dengan tatapan mata mengarah ke bawah, serta binar bola matanya yang memancarkan keprihatinan, dan bibir mulutnya yang tampak mengulum senyum dan/atau  kata-kata yang tak terucapkan. Di medan perjuangan hidup itu pula, sang tokoh perempuan diperhadapkan dengan kuil atau pura sebagai simbol kepercayaan yang menggugah dan menginsafkan setiap orang akan esensi kepercayaan pada Allah, bahwasanya: “to believe is to live; to live is to pray and to labour; to pray and to labour is to be here and there, for the sake of  our own life,  our own family …;  and for the glory  of the Lord. Ya, di medan perjuangan hidup seperti itu, kita diingatkan untuk “sabar demi ketenteraman” (be patient for the sake of peace). Apa yang saya singkapkan di atas  ini dilukiskan dalam bahasa sastrawi secara memuaskan oleh Robert Fahik dalam novelnya yang berjudul, Apshara.

Lalu, apakah yang tersirat di dalam Apshara, yang menjadi judul novel ini? Pada halaman 14 dan 19, Apshara disingkapkan sebagai gabungan nama tokoh Apoly dan tokoh Shara, dua tokoh utama dalam novel ini yang memiliki ikatan batin dan jalinan kasih  dalam suatu  episode jalan hidup mereka yang  penuh kenangan indah,  namun tragis. Dengan demikian, Apshara  bukan saja paduan dua nama, melainkan juga  paduan  dua hati, sekalipun ada jurang  yang memisahkan  Apoly dan Shara secara badani.  Pada halaman 79, Apshara juga adalah nama yang menggantikan nama Devi, anak semata wayang tokoh Shara yang diperoleh dari perkawinannya dengan seorang warga negara asing di Bali, namun kandas dalam perjalanan hidup akibat perceraian.  Pada halaman 16 dan 85, Apshara dimaknai sebagai malaikat.  Tuhan  menitipkan malaikat kepada tiap-tiap orang untuk dijaga dan menjaga. Tinggal tiap-tiap orang menyadari kehadiran malaikat itu dalam hidupnya. Dan memang benar: anak-anak yang dilahirkan adalah milik pusaka Allah (Mazmur 127:3). Ada malaikat surgawi yang melindungi mereka (Matius 18:10). Dengan demikian, malaikat Allah hadir di tengah keluarga di dalam rumah tangga melalui kehadiran anak yang dilahirkan. Memberi tumpangan dan menjamu tamu yang berkunjung ke rumah, sesungguhnya kita telah menjamu malaikat Allah (Ibrani 13:2). Malaikat Allah juga berkemah di sekeliling orang-orang beriman yang takut akan Allah (Mazmur 34:8). Malaikat Allah juga menjaga setiap orang beriman dalam jalan hidupnya (Mazmur 91:11,12). Bahkan, kebaikan-kebaikan yang kita lakukan kepada sesama manusia yang membutuhkan belas kasih, sesungguhnya kita telah melayani Yesus (Matius 25:31-46).

Dan  Apshara yang dimaknai secara intens oleh tokoh Shara  tersirat dalam dua alinea terakhir novelnya pada halaman 106 dan 107 yang berbunyi: “Kupang, 2016. Malam ini kembali aku duduk seorang diri di Flobamora Mall. Sengaja kupilih tempat yang sama, di malam terakhir kalinya  aku bertemu Apoly. Sekali lagi aku ingin merasakan hujan turun deras dan membasahi hatiku yang kering. Aku sedang menunggu seseorang yang mungkin bisa membawa hujan itu lagi. Seseorang yang menjadi tempat berbagi, yang membuka mataku untuk terus berjalan hingga hari ini, yang wajahnya adalah semesta harapan. Entahlah, bagaimana perasaanku. Aku melihatnya seperti seorang kakak yang kukagumi, kucintai, dan selalu kurindukan. Entah bagaimana aku harus melewati semua ini. Entah sampai kapan. Dan air mataku mengucur deras…. Tiba-tiba kerinduan ini memelukku begitu erat. Erat sekali. Aku merindukan Apshara: malaikat kecilku.” 

Di dalam dua alinea penutup novel sebagaimana dikutip di atas ini tersirat secara intens nada-nada murung, sayu, sedih, muram  yang mencengkam tokoh Shara  dalam kesendirian dan kesepian. Kenangan masa lalu tokoh Shara bersama Apoly yang pernah menyatu nama dan hati dalam satu sebutan, Apshara, seperti badai yang menerpa dan mengguncang-guncang batin tokoh Shara, yang sedang meramal-bayangkan hari esoknya, dan yang sedang bergumul antara pengharapan dan harapan untuk memperoleh apa yang didambakannya. Pada suatu malam, di salah satu sudut di Flobamora Mall, Kupang, pada tahun 2016, suka-duka pengalaman masa lalu dan pengharapan serta harapan masa depan bergelut dan mencengkam batin tokoh Shara yang kering.  Namun dalam kemuraman dan kesayuan yang mencengkam itu, suatu “surprise” terjadi setelah air mata tokoh Shara mengucur deras…

Tiba-tiba kegalauan batinnya berubah menjadi kerinduan yang mendekapnya begitu erat.: Kerinduan  bukan untuk berdekap dengan tokoh Apoly yang pernah menyatu dengan tokoh Shara menjadi Apshara, melainkan kerinduan untuk mendekap malaikat kecilnya, yaitu Devi, anak semata wayangnya yang telah berganti nama menjadi Apshara.  Tokoh Shara harus melepaskan Apoly yang tertambat di kalbunya, dan harus menempuh hari esoknya bersama  Apshara, yakni Devi, anak semata wayangnya; sebab Apoly telah memadu hati dan badani dengan  Elisa, sebagaimana tersingkap dalam halaman 104-106.

Novel Apshara yang ditulis oleh Robert Fahik ini cukup indah dan memuaskan. Keindahannya tergolong “tragic beauty”—keindahan tragis; keindahan menyedihkan: keindahan yang merawankan hati; mempesonakan dan/atau mengesankan.

Catatan: ada sebuah kata arkais, Apsara—homofon dengan Apshara—yang artinya “makhluk kayangan; makhluk surgaloka;
makhluk surga, yang dalam novel ini disebut “malaikat”. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar