Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Rabu, 07 Maret 2018

Tekun Membaca Dan Menulis




(sebuah kesaksian faktual)

Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


Pada 9 Oktober 2017 saya genap berusia 77 tahun. Itu berdasarkan data tahun kelahiran 1940 yang tertulis dalam Surat Baptisan.  Sedangkan dalam Ijazah Sekolah formal yang saya tempuh, hanya sampai SMA Negeri, tahun 1941 tercatat sebagai tahun kelahiran saya.  Jadi, menurut  Ijazah, pada 9 Oktober 2017 saya genap berusia 76 tahun. Pada usia  tujuh puluh enam tahun menurut Ijazah, atau tujuh puluh tujuh tahun menurut Surat Baptisan saat artikel ini ditulis, saya masih tekun membaca dan menulis. Tiada hari, siang maupun malam, tanpa membaca dan menulis. Malahan pada  waktu malam, aktivitas membaca dan/atau menulis sangat tinggi, dan biasanya saya baru tidur setelah lewat jam tiga dini hari.  

Sebelum berkisah lebih lanjut tentang “Tekun Membaca dan Menulis” (sebuah kesaksian faktual) yang menjadi judul artikel ini, alangkah baiknya saya bercerita sedikit mengenai latar belakang pendidikan formal yang saya tempuh, meskipun hanya sampai SMA. Saya menamatkan pendidikan sekolah dasar yang disebut Sekolah Rakyat (SR) di Kefamenanu (Timor Tengah Utara) pada tahun 1954. Setelah itu, melanjutkan sekolah ke SMP St. Xaverius Kefamenanu pada bulan Agustus 1954, akan tetapi tiga bulan kemudian, yakni pada bulan Oktober 1954, saya dikeluarkan dengan tidak hormat dari SMP St. Xaverius karena saya melakukan suatu protes keras kepada pastor yang memberikan pelajaran agama. Setelah dikeluarkan dari SMP St. Xaverius, saya menganggur. Pada usia remaja  waktu itu (14 tahun), saya bertekad menjadi pengelana. Pada tahun 1955 saya berkelana ke So’e (Timor Tengah Selatan); pada tahun 1956 saya berkelana ke kota Kupang dan sekitarnya; kemudian pada tahun 1957 saya berkelana ke Ende, Flores. Selama berkelana, saya membawa satu buku bahasa Indonesia, satu buku bahasa Inggris dan kamus. Setiap hari  buku-buku itu saya baca, dan menghafal kata-kata dalam kamus.

Pada tahun 1958 saya kembali ke Kupang. Timbul keinginan untuk bersekolah, lalu mendaftarkan diri di SMP REMAJA. Saya nekat mendaftar untuk duduk di bangku kelas tiga SMP. Bukan main! Pada tahun 1954 saya hanya tiga bulan bersekolah di SMP St. Xaverius Kefamenanu, setelah itu berkelana empat tahun, kemudian pada tahun 1958 bersekolah di SMP REMAJA, langsung duduk di kelas tiga! Luar biasa! Ketika itu saya bernazar: “Tidak boleh sehelai  rambut pun bertumbuh di kepala saya, jikalau saya tidak lulus ujian akhir SMP!”. Sejak saat itu saya  membotaki kepala dan mulai tekun membaca, tekun belajar, dan serius menghafal! Setiap hari saya mengusap kepala; jika rambut mulai tumbuh, saya langsung mencukur. Nazar serta kemauan kuat menggenapi nazar ternyata berhasil: pada tahun 1959 saya lulus ujian akhir SMP.

Setelah lulus ujian akhir SMP, saya tidak melanjutkan pendidikan ke SMA, karena tergoda dengan pengumuman  yang terpajang di depan Kantor Komando Distrik Militer Kupang, yang berbunyi: “Kompi IV Batalion 712 Wira Buwana Membutuhkan Tenaga Bantuan Operasi Ke Palopo, Sulawesi Selatan Untuk Menumpas Pemberontakan Kahar Muzakar”. Saya langsung mendaftarkan diri, dan ternyata sudah ada dua puluhan pemuda yang terdaftar sebagai TBO.

Sebulan kemudian, tepatnya pada 30 Juni 1959 malam, saya dan dua puluhan pemuda yang direkrut menjadi TBO bersama Pasukan Kompi IV Batalion 712 Wira Buwana Kupang yang dikomandani Lentan Satu Peloupessy, berangkat ke Palopo dengan kapal NURAGE. Pada waktu berangkat ke Palopo, saya tetap membawa buku-buku bidang studi yang saya gemari yaitu: Elementary English Vol.1,2,3; Progressive Course Vol.1,2; Pocket English Dictionary; Tata Bahasa Indonesia; Sastra Indonesia dan Sejarah Nasional Indonesia. Di daerah tugas operasi, setiap ada kesempatan, saya selalu membaca buku-buku tersebut.

Singkat cerita, setelah menjalani tugas selama tujuh bulan di Palopo, Batusitanduk, Rante Dame dan Solutubu,  Pasukan Kompi IV Batalion 712 dan semua TBO berhasil kembali dengan selamat ke Kupang pada tanggal 2 Februari 1960, kecuali satu prajurit penembak bren bernama Ida Bagus Karang yang tewas tertembak dalam Operasi Pongrangan, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Palopo. Dua puluhan pemuda lainnya yang telah menjalani tugas sebagai TBO dikirim ke Bali untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar militer guna dikukuhkan menjadi prajurit TNI-AD, sedangkan saya mengundurkan diri, karena timbul keingin melanjutkan pendidikan di SMA. Dengan demikian, pada bulan Agustus tahun 1960 saya terdaftar sebagai siswa di SMA Negeri Kupang, Bagian A (Jurusan Sastra).

Akan tetapi pendidikan yang saya tempuh di SMA sedikit mengalami hambatan pada tahun 1962.  Ketika pada tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengucapkan Tri Komando Rakyat (Trikora) dalam rangka persiapan suatu kekuatan militer untuk merebut Irian Barat, saya mengalami godaan: “ingin menjadi sukarelawan yang dikirim ke Irian Barat, untuk bersama-sama dengan TNI berperang dalam rangka pembebasan Irian Barat dari kolonialis Belanda!” Pada tahun 1962 dibuka pendaftaran sukarelawan pembebasan Irian Barat. Lebih dari seratus pemuda di Kota Kupang, semuanya pelajar kelas dua sekolah lanjutan tingkat atas, mendaftarkan diri dan saya termasuk di antaranya. Latihan dasar kemiliteran dilakukan dua tahap. Setelah itu, pemeriksaan kesehatan terhadap para sukarelawan dilakukan secara teliti sebanyak dua kali. Belasan pemuda pada pemeriksaan kesehatan tahap kedua dinyatakan gugur sehingga ditolak. Saya termasuk pada sembilan puluh pemuda sukarelawan yang sehat dan dinyatakan sanggup mengemban tugas sebagai sukarelawan ke Irian Barat. Hampir lima bulan lamanya saya meninggalkan bangku sekolah, karena perhatian sepenuhnya telah tertuju pada perjuangan pembebasan Irian Barat! Namun pada akhirnya sukarelawan tidak jadi diberangkatkan. Menyesal, dan kecewa! Banyak pelajar yang berasal dari SMA Negeri, SMEA Negeri dan SGA Negeri di Kupang yang dipecat pada waktu itu, lantaran tekad yang kuat menjadi sukarelawan, mereka meninggalkan sekolah.

Beruntung pada waktu itu Kepala SMA Negeri Kupang, Ismandar dan Wali Kelas, I Nengah Mertha memanggil saya untuk terus bersekolah. Kedua guru ini mengasihi saya dan memberikan kesempatan agar saya terus bersekolah, lantaran prestasi saya di bidang bahasa dan sastra Indonesia pada waktu itu telah mengharumkan nama SMA Negeri Kupang sampai di Bali dan Yogyakarta. Pada waktu itu, saya tenar sebagai Ketua Persatuan Sastrawan Muda (PERSADA) Kupang, yang dalam perkembangannya sampai pada bulan Oktober 1962 memperoleh peluang untuk  mengasuh acara siaran “SERAMBI SASTRA PERSADA” melalui TVRI Stasiun Kupang. Selain itu, saya satu-satunya siswa SMA Negeri di Kupang yang  terampil mengajar sebagai guru bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan Sejarah di SMP PGRI dan SMP TARUNA di kota Kupang.

Waktu terus bergulir, dan setelah mengikuti pendidikan selama dua tahun empat bulan di SMA Negeri Kupang, pada tahun 1963 saya menempuh ujian akhir SMA.  Sementara menunggu pengumuman hasil kelulusan, pada awal bulan Juli 1963  saya memimpin suatu rombongan olah- raga ke Ba’a, ibu kota daerah Rote Ndao, dalam rangka melakukan pertandingan persahabatan. Rombongan olahraga itu saya namakan Rombongan Olahraga Irama Siswa, karena anggota-anggota rombongannya berasal dari siswa-siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SMA, SMEA dan SGA) di kota Kupang yang telah mengikuti ujian akhir di masing-masing sekolahnya. Aktivitas itu pun merupakan suatu prestasi, karena saya sendiri yang memprakarsai dan mencari dana untuk membiayai aktivitas tersebut.  

Setelah mendengar pengumuman kelulusan ujian akhir SMA, saya tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Saya berkelana ke Pulau Rote, memilih tinggal di dusun Papela, Kecamatan Rote Timur. Di sana saya mendirikan sebuah sekolah lanjutan pertama yang saya namakan SMP TRIKORA. Meskipun tidak kuliah, sejak tahun 1963 saya bertekad untuk kelak menjadi autodidak (orang yang mendapat keahlian dengan belajar sendiri). Untuk itu saya mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu yang saya minati: bahasa, sastra, filsafat, teologi, psikologi, dan sejarah. Dengan demikian, di samping memimpin dan mengajar di SMP TRIKORA, saya tekun belajar melalui membaca buku-buku ilmu pengetahuan yang saya prioritaskan. Saya juga belajar berpikir dan berkontemplasi secara intens, serta berupaya untuk mengekspresikan pikiran dalam karya tulis, yang sedapat mungkin berbobot dan orisinal. 

Mengenai bakat menulis, saya sudah miliki dan kembangkan sejak menjadi siswa di  SMA tahun 1960 – 1963. Pada waktu itu saya sudah memiliki tiga buku kumpulan puisi manuskrip berjudul: “Surat dari Seberang Jalan”; “Suara Celah-Celah Tahun”; dan “Tiada Mentari Bulan Redup”. Namun, ketiga buku kumpulan puisi manuskrip tersebut hilang pada tahun 1963. Dengan demikian saya gagal dikenal sebagai penyair, karena tidak ada karya tulis puisi yang berhasil diterbitkan.

Saya juga mulai menulis artikel kritik sastra ketika masih sebagai siswa SMA. Antara bulan Oktober 1962 sampai Juni 1963 saya aktif mengisi acara siaran  SERAMBI SASTRA PERSADA SMA Negeri Kupang di RRI Stasiun Kupang. Acara siaran dua kali dalam sebulan, yaitu pada malam minggu pekan pertama dan malam minggu pekan keempat. Pada waktu itu, saya sebagai Ketua PERSADA (Persatuan Sastrawan Muda) SMA Negeri Kupang, yang mengoordinasi aktivitas sastra siswa-siswa sekolah menengah atas yang berbakat sastra di Kota Kupang. Dengan demikian, puisi-puisi dan artikel kritik sastra yang saya tulis banyak yang disiarkan pada waktu itu melalui RRI Stasiun Kupang.

Yang menjadi Pelindung dan Pengarah organisasi PERSADA pada waktu itu yakni I Nengah Mertha, guru bahasa dan sastra Indonesia SMA Negeri Kupang, yang menurut pengamatan saya, sampai dengan tahun 2017, di Kota Kupang, belum ada seorang guru SMA maupun dosen Sastra yang dapat menyamainya. Sejujurnya saya mengaku: I Nengah Mertha adalah guru bahasa dan sastra, yang mengobarkan semangat bersastra saya, yang patut saya ucapkan terima kasih kepadanya melalui artikel ini.

Demikianlah aktivitas saya antara bulan Agustus 1960 sampai dengan bulan Juli 1963 di Kupang, kemudian beralih dan berlanjut di  Pulau Rote. Dalam kesunyian dan keterpencilan di dusun Papela, Kecamatan Rote Timur, saya terus menekuni aktivitas membaca dan mengarang; belajar dan mengajar. Yang mendorong saya untuk mengarang ialah hasrat untuk mewujud-nyatakan diri menjadi seorang pengarang, sesuai dengan bakat dan bidang ilmu yang saya tekuni. Dan tertarik menjadi guru karena ketika masih menjadi siswa kelas dua dan kelas tiga di SMA Negeri Kupang  saya sudah menjadi pengajar bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan Sejarah di dua SMP Swasta yaitu SMP PGRI dan SMP TARUNA Kupang. Dan ketika berada di Pulau Rote yang pada waktu itu hanya ada satu SMP Negeri, satu SMEP Negeri dan satu SKKP Negeri di kota Baa, saya tergugah untuk mendirikan SMP Swasta TRIKORA di Papela, Kecamatan Rote Timur, sebagai upaya membantu mencerdaskan masyarakat. Pada waktu itu, I. H. Doko sebagai Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Timur sangat mengapresiasi dan memberikan rekomendasi kepada saya untuk mendirikan SMP TRIKORA, kendatipun saya hanya seorang lulusan SMA.

Antara tahun 1963 sampai tahun 1970-an, banyak teman saya baik di pulau Rote maupun di Kupang  yang menganjurkan saya untuk bersekolah guru, minimal Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP), jika ingin mengabdikan diri sebagai guru SMP, sehingga kemudian hari dapat diperhatikan dan diangkat oleh pemerintah untuk menjadi guru negeri. Selain itu, mereka pun mencoba meyakinkan saya bahwa untuk menjadi pengarang, hanyalah sebuah khayalan yang tak mungkin menjadi kenyataan jika tetap tinggal di ujung pulau Rote, yakni dusun Papela, Kecamatan Rote Timur  yang sunyi dan terpencil. Saya katakan kepada mereka: saya tidak berniat menjadi guru atau pegawai negeri, karena saya tidak punya bakat untuk menjadi pegawai negeri. Saya mendirikan sekolah swasta dan mengajar selama ada kesempatan bagi saya untuk mengajar. Jika pada waktu-waktu yang akan datang pemerintah telah mendirikan SMP Negeri di Kecamatan Rote Timur, saya akan menutup SMP Swasta yang saya dirikan dan pimpin ini.

Dan mengenai cita-cita saya menjadi seorang pengarang—yang mereka katakan tidak mungkin menjadi kenyataan apabila tetap tinggal di Papela, Kecamatan Rote Timur—saya    katakan: kita berada, hidup dan berkarya dalam ruang dan waktu; gagal dan/atau berhasil juga ditentukan oleh usaha kita di tengah ruang dan waktu; mati dan/atau hidup pun ditentukan oleh suratan yang Allah tetapkan di tengah ruang dan waktu. Tunggu saja dan lihat: apa yang akan terjadi!  Karena saya berhasrat menjadi autodidak melalui jalur autodidaktik tanpa melalui jalur lembaga perguruan tinggi formal, maka aktivitas  pendidikan  autodidaktik itu saya beri nama, universitas kehidupan. Rektor Universitas Kehidupan saya yakni ALLAH (Kreator); Guru Besar Universitas Kehidupan saya ialah YESUS (Kurios dan Juruselamat); dan yang menjadi Dosen Pembimbing saya adalah ROH KUDUS (paraklētos).

Setiap orang memiliki ambisi. Tetapi orang perlu menginsafi dua sisi dari ambisi. Pertama, ambisi sebagai “strong desire to be famous”. Kedua, ambisi sebagai “strong desire to be successful”. Saya mengandalkan “strong desire to be successful” dalam berkarya sebagai seorang pengarang, sesuai bakat dan potensi yang saya miliki. Dengan tekad menjadi autodidak—ketika  berkelana di pulau Rote—saya berhasil menghadirkan buku Kristen dalam Sastra Indonesia (BPK GM Jakarta 1977) dan satu risalah berjudul “Peranan Pemuda Gereja di Indonesia dalam Konteks Pembangunan Bangsa” (BUSOS, Surabaya 1985). Risalah ini ditulis dalam rangka menyambut penetapan tahun 1985 sebagai  Tahun Pemuda Internasional untuk Indonesia oleh Presiden Soeharto pada waktu itu. Dengan dua karya tulis ini saya membuktikan bahwa tanpa menempuh sekolah tinggi secara formal, dan walaupun hanya tetap berdomisili di Pulau Rote yang sepi dan terpencil pada waktu itu, saya berhasil menjadi seorang pengarang!

Setelah meninggalkan Pulau Rote dan bermukim di Kupang pada tahun 1989, ibu kota Provinsi Daerah Nusa Tenggara Timur, saya berkecimpung di bidang jurnalisme sebagai wartawan koran ASAS, dan koresponden Majalah BAHANA Yogyakarta. Di samping itu saya terus tekun belajar meningkatkan kecerdasan dan membantu mahasiswa-mahasiswa semester akhir yang hendak menyusun skripsi. Antara tahun 1990 sampai tahun 2009 artikel-artikel saya tentang sastra, teologi, pendidikan, dan lain-lain dimuat di koran ASAS, POS KUPANG, Majalah DIAN di Ende Flores, NTT Ekspress, dan Timor Express. Saya juga pernah tampil dua kali sebagai narasumber diskusi sastra dan juga sebagai pemakalah sastra dua kali dalam acara seminar sastra di Universitas Nusa Cendana Kupang pada tahun 1992 dan tahun 2000. Dan mulai tahun 2010 saya berhasil meluncurkan beberapa buku. Yang sangat mengesankan adalah buku yang berjudul, Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia (B You Publishing Surabaya 2010); dan Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi (B You Publishing Surabaya 2011). Ketiga buku ini sukses masuk dalam Virtual International Authority File dan tersimpan di 46 perpustakaan di luar negeri. Tiga buku ini pun dikomentari secara positif oleh para reviewer luar negeri.

Buku Kristen dalam Sastra Indonesia  tercatat pada urutan kelima dari 123 buku dari berbagai negara dan dikategorikan “Christianity Controversial literature History and criticism”. Buku Kristen dalam Sastra Indonesia dikategorikan demikian karena tema “Kristen dalam Sastra Indonesia” pernah dipolemikkan di Jakarta pada tahun 1970-an. Di samping itu, buku tersebut tercatat pula dalam Book Catalog: KRI – Vol.22 yang berisi 127 buku, hasil penelitian dan laporan studi yang judulnya diawali dengan Kri-, yang ditulis oleh lebih dari 150 pengarang dari berbagai negara; akan tetapi dari 150 pengarang itu hanya saya saja yang tercatat sebagai Author di Author Profile BookerWorm.com: The Home Of Great Writing. Sedangkan risalah berjudul “Peranan Pemuda Gereja di Indonesia dalam Konteks Pembangunan Bangsa” (BUSOS, Surabaya 1985) ternyata sangat relevan dengan dinamika perkembangan bangsa Indonesia pada tahun 2017 ke depan, berkenaan dengan Pancasila sebagai falsafah hidup perekat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berkenaan dengan kehadiran buku Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia pada tahun 2010, saya dikomentari dalam 24 bahasa oleh reviewer luar negeri. Saya kutip komentar dalam bahasa Jerman dan Yunani, sebagai berikut: “Netti, Almodat Godlief Hadzarmawit Zeigt natürlich die Aufklärung eines einsamen, betrachten Einsiedler und das Flair eines Rockstar in der gleichen Zeit…” (Jerman); “Netti, Almodat Godlief Hadzarmawit Parousiazei phusika tēn phōpsē tou monachikos, to endechomeno erēmitēs kai ē klisē tēs rockstar tēn idia stigmē…” (Yunani). Saya terjemahkan: “Netti, Almodat Godlief Hadzarmawit  secara alamiah [dengan wajar] memberikan pencerahan dari kesunyian [keterpencilan], perenungan pertapa, dan bakat seorang [pengarang] rockstar pada saat yang sama…” Dan lantaran buku Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi (2011), saya disebut dalam bahasa Inggris, Jerman, Prancis dan Italia—saya kutip dua bahasa di antaranya—sebagai berikut: “According to Timorese scholar of Indonesian literature A. G. Hadzarmawit Netti…” (Inggris); “Secondo studioso Timorese di litteratura indonesiana A. G. Hadzarmawit Netti…” Saya terjemahkan: “Menurut orang Timor ahli sastra Indonesia A. G. Hadzarmawit Netti…”

Selain tiga buku yang disebutkan di atas, ada lima buku lain lagi yang diterbitkan dalam jumlah terbatas, yaitu: Kupang Dari Masa ke Masa (Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Kupang, 1997); Gerakan Cinta Hari Esok Kabupaten Timor Tengah Utara Memasuki Abad ke-21 (Kupang, 2000; kemudian diterbitkan oleh Hanfed Institut Jakarta, 2015); Bilangan Super Dalam Konteks Religi dan Budaya Etnis Rote Ndao (B You Publishing Surabaya 2012); Natal & Paskah dalam Kontemplasi Penyair (B You Publishing Surabaya 2013) dan TAO Tentang Penyelamatan oleh ALLAH Melalui Kelahiran, Kematian, dan Kebangkitan YESUS (B You Publishing Surabaya 2014). Dan yang sedang dalam proses terbit dalam tahun 2017 adalah buku berjudul, Petualangan Nelayan Tradisional Indonesia ke Perairan Australia dan Pulau Pasir dari Masa ke Masa.  Masih banyak naskah buku bertema teologi dan sastra, yang belum dapat diterbitkan. Dan bagi para pihak yang ingin membaca artikel-artikel saya, silakan kunjungi blog saya: www.bianglalahayyom.blogspot.co.id.

Saya melihat budaya menulis dan membaca di daerah NTT berada pada perkembangan yang baik. Semua nama yang disebutkan oleh Yohanes Sehandi dalam buku, Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT dan Sastra Indonesia Warna Daerah NTT; serta nama-nama dan karya tulis yang telah diabadikan dalam buku Kematian Sasando – Antologi Cerita Pendek Sastrawan Nusa Tenggara Timur dan Senja di Kota Kupang – Antologi Puisi Sastrawan Nusa Tenggara Timur, yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi NTT, menjadi petunjuk adanya budaya menulis dan membaca yang baik di daerah NTT. Di samping itu, dengan adanya beberapa komunitas sastra di Kota Kupang, Timor dan beberapa kota di daerah-daerah kabupaten di Flores, sesungguhnya sangat baik demi menumbuhkembangkan budaya menulis dan membaca pada umumnya, khususnya demi perkembangan sastra.   

Bagi generasi muda yang sedang menekuni sastra untuk menulis buku, saya ingin berpesan begini: jangan terbuai dan merasa puas dengan anak tangga keberhasilan yang telah Anda capai sekarang ini. Masih ada anak tangga keberhasilan berikutnya yang dapat dicapai melalui ketekunan. Anda pasti punya ambisi. Akan tetapi ambisi dalam arti “strong desire to be famous” janganlah menjadi prioritas. Utamakanlah ambisi dalam arti “strong desire to be successful”. Ambisi ini akan membuat Anda senantiasa hadap diri, tahu diri, terima diri, koreksi diri, kembangkan diri, dan siap berkarya sesuai potensi yang dimiliki. Sementara ambisi dalam arti “strong desire to be famous” sering menjerumuskan orang sehingga menjadi lupa diri, tidak hadap diri, tidak tahu diri, tidak koreksi diri, tipu diri, dan tidak dapat menerima diri sebagaimana adanya di dalam berkarya. Selain itu, hendaklah selalu ingat: janganlah duduk di atas  pundak orang lain apabila hendak menapaki anak tangga keberhasilan. Capailah puncak anak tangga keberhasilan dalam dunia kepengarangan dengan kaki sendiri. Itulah rumus hidup dan kerja para Authors.

Daerah NTT memiliki banyak penulis yang nama dan karya tulisnya tercatat di Virtual International Authority File, WorldCat Identities, dan lain-lain. Mereka telah mengangkat nama daerah NTT di level internasional. Beberapa nama cendekiawan, budayawan dan akademisi yang dapat saya sebutkan di sini antara lain: Philipus Tule, Paul Budi Kleden, Gregor Neonbasu, Daniel Dhakidae, Ignas Kleden, Dami N. Toda, Alo Liliweri, Stephanus Djawanai, Yoseph Yapi Taum, Maria Matildis Banda, Yohanes Sehandi,  Fredrik L. Benu, Nobertus Jegalus,  Felysianus Sanga, Marsel Robot, Jeladu Cosmas, Mirsel Robert, Jonatan Anderias Lassa, Leo Kleden, Yohanes Vianey Watu,  John Dami Mukese,  Herman Musakabe (mantan Gubernur NTT), Fary Dj. Francis (Anggota DPR RI masa bakti 2014 - 2019), dan Isidorus Lilijawa (salah satu staf ahli DPR RI masa bakti 2014 – 2019),

.Sastrawan asal daerah NTT yang tercatat di WorldCat.Identities dan Virtual International Authority File (VIAF), yakni Gerson Poyk, Fanny J. Poyk, Maria Matildis Banda, Mezra E. Pellondou, Willy A. Hangguman, Yohanes Manhitu, A. G. Hadzarmawit Netti, John Dami Mukese, Marsel Robot, Mario F. Lawi, Robert Fahik, Buang Sine; Jefta Atapeni dan Amanche Franck OE Ninu.

Beberapa wartawan asal daerah NTT yang karya tulisnya mengorbit di perpustakaan mancanegara yaitu: Peter A. Rohi, Aco Manafe, Yop Pandie, Frans Obon, Tony Kleden [editor], Dion DB Putra [editor] dan Lorens Molan [editor]. 

Dan pendeta bergelar sarjana, sarjana utama, dan doktor teologi asal Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Gereja Kristen Sumba (GKS) yang karya tulisnya tersimpan di sejumlah perpustakaan dalam negeri dan luar negeri yaitu  J. L. Ch. Abineno, A. A. Yewangoe, Mary Kolimon, Liliya Wetangterah, Eben Nuban Timo, Gerzon Tom Therik, Frederiek Djara Wellem, Frederik Y. A. Doeka,, Viktor Immanuel Tanya, Matheos Viktor Messakh, Samuel Benyamin Hakh, B. Fobia, G. Ratuwalu, Boy Robert Takoi, Djoese Nai Buti,  Maria R.A. Pada, Welfrid Fini Ruku, J. A. Telnoni, dan Albinus Lodewyk Netti, Boy Robert Takoy, Thomas Ly.

 Di antara mereka yang disebutkan di atas ini, pada tahun 2014 ada lima orang yang tercatat sebagai Authors di BookerWorm.com: The Home Of Great Writing, yaitu: Stephanus Djawanai, Yoseph Yapi Taum, Willy A. Hangguman, Yohanes Manhitu, dan A. G. Hadzarmawit Netti. Pada tahun 2016 nama Willy A. Hangguman sudah dihapus, sehingga tinggal empat orang saja. Dan dari empat Authors ini hanya tiga Authors yang namanya muncul dalam Author Profile BookerWorm.com: The Home Of Great Writing yaitu A.G. Hadzarmawit Netti, Yohanes Manhitu dan Stephanus Djawanai; dan images ketiga Authors ini pun dapat ditemukan  dalam Images for Author Profile BookerWorm.com. A. G. Hadzarmawit Netti memiliki 28 images, Yohanes Manhitu memiliki 5 images, dan Stephanus Djawanai memiliki satu image. Images ketiga Authors asal NTT ini adakalanya disandingkan dengan images Authors dunia: Charles Dickens, William Shakespeare, Martin Luther, Karl Barth, Khalil Gibran, Harbans Lal Badhan, Abdessaid Cherkaoui, Delfin Fresnosa, Armando Salvatore,  dan  banyak Authors  dunia yang tidak dapat disebutkan semuanya di sini. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar