Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 22 Agustus 2019

Gerakan Kebangunan Rohani di Nunkolo Timor Tengah Selatan Pada Masa Pendudukan Jepang



Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


Pada tanggal 12 Agustus 2019 siang saya menemukan secarik  guntingan Koran Timor Express  halaman 13 yang tercecer di jalan. Judul tulisan di guntingan koran itu sangat menarik perhatian saya. Namun sayang, guntingan koran itu sudah kehilangan rujukan tanggal, bulan dan tahun koran itu diterbitkan.  Akan tetapi dari tulisan yang terdapat pada halaman 13 koran itu, ada petunjuk bahwa guntingan koran itu diambil dari  Timor Express edisi sesudah tanggal 16 September 2018. Cuplikan guntingan koran yang saya temukan tersebut memuat sebuah berita berjudul, “Perempuan Nunkolo Dipilih Tuhan untuk Bersaksi” dengan judul kecil sebelum pemaparan berita: “Syukur 75 Tahun Pencurahan Roh Kudus”. Demi kepentingan tulisan ini saya akan mengutip sebagian  berita tanpa mengubah kata-kata yang ditulis oleh wartawan Timor Express  berinisial yop/ays di bawah ini.

“SOE, TIMEX – Masyarakat Nunkolo Kecamatan Nunkolo, menjadi saksi hidup pencurahan roh kudus di Kabupaten TTS tahun 1943. Saat itu, seorang ibu bernama Sarlina Manao-Nokas yang biasa disapa mama Yuliana, karena anak pertamanya bernama Yuliana, ketika berjalan pulang bersama sejumlah rekannya dari Oenlasi ke Nunkolo, tiba-tiba melayang  di atas udara. Sejak saat itulah, sepertinya ia mendapat ilham dari roh kudus sehingga ia menjadi pendoa di Nunkolo kemudian mulai dikenal oleh masyarakat banyak. Sehingga, ia menjadi penyebar injil Kristus di TTS. Karena kesulitan atau pergumulan masyarakat ketika didoakan oleh mama Juliana, akan dijawab oleh Tuhan. Sejak saat itu, banyak masyarakat masuk agama Kristen Protestan dan percaya akan Tuhan Yesus. “

“Pencurahan roh kudus kepada perempuan Nunkolo, jauh sebelum berdirinya organisasi GMIT. Karena GMIT baru dibentuk pada tahun 1947,” papar Ketua Sinode GMIT, Pdt Mery Kolimon dalam suara gembalanya pada pelaksanaan syukuran 75 tahun pekabaran Injil di Desa Nunkolo di Gereja Efata Nunkolo, Sabtu (16/9).

Dikatakan, dalam tulisan seorang penginjil di pulau Timor bernama Piter Middelkoop tentang pencurahan roh kudus di TTS menyebutkan bahwa sejalan dengan mama Yuliana yang saat itu berprofesi sebagai seorang guru Sekolah Rakyat (SR) menjalankan pekabaran injil di TTS, terdapat juga seorang perempuan bernama  Nelci  Selan-Bana,  juga  mendapat karunia dari Kristus dan mereka mulai bersama-sama bersaksi atas kuasa Kristus di TTS.

Karena itu, perempuan-perempuan di Desa Nunkolo merupakan perempuan yang dipilih Tuhan untuk bersaksi dan menyatakan kuasa Kristus kepada umat manusia bahwa Tuhan Yesus benar ada dan memiliki kuasa atas kehidupan manusia.

“Dalam tulisan penginjil Piter Middelkoop menulis bahwa pencurahan roh kudus pada perempuan-perempuan Nunkolo terjadi pada tahun 1943.  Tetapi dari cerita masyarakat yang saya dapat bahwa sesungguhnya pencurahan roh kudus kepada perempuan-perempuan  Nunkolo itu sudah mulai terjadi pada tahun 1942.”

Demikianlah sebagian berita yang ditulis oleh wartawan Timex [berinisial yop/ays] berdasarkan kesaksian yang dikemukakan oleh Ketua Sinode GMIT, Pdt. Mery Kolimon. Catatan sisipan: frasa “Sabtu (16/9)”  yang tertulis pada kalimat  alinea ketiga yang berbunyi, “pelaksanaan syukuran 75 tahun pekabaran Injil di Desa Nunkolo di Gereja Efata  Nunkolo, Sabtu (16/9)”—seharusnya , Minggu (16/9), sebab hari Sabtu jatuh pada tanggal 15 September 2018.

Berkenaan dengan kesaksian “pencurahan Roh Kudus di Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tahun 1943 yang terjadi atas diri seorang ibu bernama Sarlina Manao-Nokas yang biasa disapa mama Yuliana”, sesungguhnya dapat diperdebatkan: benarkah kesaksian itu?  Oleh karena Ketua Sinode GMIT, Pdt. Mery Kolimon menyinggung nama Piter Middelkoop sebagaimana diberitakan di Koran Timor Express yang telah dikutip di atas, maka saya  akan mengemukakan beberapa catatan di bawah ini berdasarkan hasil investigasi P. Middelkoop  terkait dengan “kasus Nunkolo” yang terjadi pada tahun 1943 itu.

Ketika Jepang menduduki Kupang (Timor) pada 20 Februari 1942, pendeta-pendeta Belanda yang bertugas di Kupang, Camplong, Soe, Alor, ditawan dan diasingkan ke luar Timor. Setelah Jepang menyerah kepada Amerika pada bulan Agustus 1945, pendeta-pendeta Belanda kemudian berdatangan ke Kupang (Timor). Menurut  Pdt. Dr. F. Djara Wellem, pendeta-pendeta Belanda yang  tiba di Kupang pada 5 Desember 1945 yakni Pdt. E. Durkstra, van Alphen, dan P. Middelkoop (Sejarah Gereja Masehi Injili Di Timor Jilid 1. Pratama Aksara Jakarta 2011:160).   Data yang saya miliki terkait dengan P. Middelkoop berbeda dengan yang disebutkan Djara Wellem.

Setelah Jepang menyerah kepada Amerika pada bulan Agustus 1945, P. Middelkoop kembali ke Timor dan tiba di Soe pada tanggal 4 November 1945. Middelkoop segera mempelajari dan menyelidiki pertentangan pendapat atau perselisihan yang terjadi di pusat Badan Gereja di Soe berkenaan dengan lagak atau sikap Pdt. J. Sine di Nunkolo yang ruwet mengenai gerakan kebangunan  rohani  yang timbul di wilayah kekuasaan raja Amanatun, yang berdekatan dengan  wilayah pelayanannya di Nunkolo. Sebuah tim investigasi segera dibentuk guna melakukan investigasi di Nunkolo. Tim investigasi terdiri atas tiga orang yaitu Pdt. T. Benoefinit, Penginjil Isu, dan P. Middelkoop yang sangat mengetahui dan mendalami kehidupan rohani serta bahasa orang Timor. Tim ini bekerja (melakukan investigasi) selama satu minggu di Nunkolo. Hasil investigasi tentang gerakan kebangunan rohani di Nunkolo itu kemudian ditulis dalam bentuk artikel oleh P. Middelkoop berjudul, De gestesbeweging in Nunkolo op Timor, kemudian diterbitkan melalui Algemeen Zendingstijdschrift “De Heerbaan” year 1951 nr 9, 10, 11; year 1952 nr 4, 5, 6. Berdasarkan  artikel De gestesbeweging in Nunkolo op Timor itulah, maka pada tanggal 1 Oktober 1970, di Driebergen, P. Middelkoop membuat sebuah ulasan tentang gerakan kebangunan rohani yang terjadi di Nunkolo itu dalam bahasa Inggris berjudul, Review of the Revival Movement during the Japanese occupation.

Saya kutip alinea petama  Review yang dibuat oleh P. Middelkoop, yang menunjukkan keseriusannya terhadap pertentangan pendapat di pusat badan Gereja di Soe berkenaan dengan peristiwa gerakan kebangunan rohani di Nunkolo: “When we return from Japanese internment to Timor arriving at Soe November 4, 1945, we learned about an intense disagreement of the central Church Board at Soe with the attitude of the Rev. J. Sine at Nunkolo, being involved in a puzzling revival movement in the residential area of the raja of Amanatun near his residence then at Nunkolo” (hlm.1). Keseriusan P. Middelkoop memperhatikan Jemaat di Timor Tengah Selatan dan  pusat pelayanan Gereja di Soe—khususnya Nunkolo, sangat luar biasa.  Antara tahun 1923 sampai tahun 1955, ketika melayani Jemaat di Soe dan sekitarnya, P. Middelkoop berkata begini: “During the years 1923 – 1955 I used to visit Nunkolo two times a year…” (hlm.7, butir 1).  Beberapa hasil investigasi berkenaan dengan gerakan kebangunan rohani di Nunkolo akan saya kutip di bawah ini, bukan menurut terjemahan harfiah melainkan sebagai parafrasa.

1.      Pada 24 Agustus 1943 istri seorang guru bernama Simon Mnao, ketika sedang sibuk memasak minyak kelapa, sekonyong-konyong mendengar suatu suara yang memanggilnya tiga kali. Oleh karena istri Simon Mnao (selanjutnya akan saya sapa, mama Mnao) memasak minyak kelapa di dalam rumah, maka ia tidak segera mempedulikan suara yang memanggilnya itu. Akan tetapi sekonyong-konyong perasaan batin yang sangat intens bangkit dan mempengaruhinya lantaran suara yang memanggilnya terjadi berulang kali. Mama Mnao segera meninggalkan minyak kelapa yang sedang dimasaknya,  lalu bergegas keluar guna mencari tahu, siapa yang memanggilnya dan untuk mendengar  apa yang hendak dikatakan oleh orang yang memanggilnya itu. Ternyata mama Mnao tidak melihat seorang pun, selain hanya mendengar suara saja. Suara yang memanggil itu menuntun mama Mnao untuk menyampaikan panggilan Allah kepada orang-orang lain. Mama Mnao berkeberatan, dan menolak panggilan Allah, karena ia sama sekali tidak bersekolah dan/atau terajar di sekolah. Akan tetapi suara  itu berkata:  “Orang yang sudah belajar atau terajar di sekolah dan menulis, dapat membaca Kitab Suci, tetapi Aku ingin mengajar secara langsung orang yang tidak bersekolah dan terajar di sekolah mana pun.”  Maka berlututlah mama Mnao, lalu mengaku dosa-dosanya seraya berkata: “Jikalau diperkenankan, Ya, Tuhan, buanglah segala dosaku jauh-jauh ke belakang-Mu. Amin.”  Lalu mama Mnao mulai menyanyikan sebuah lagu doa memohon tuntunan Tuhan.
2.      Suami mama Mnao yaitu Simon Mnao yang adalah seorang guru, pada mulanya acuh tak acuh dan bersikap masa bodoh terhadap panggilan Allah yang telah berlaku atas istrinya. Tetapi pada suatu waktu, ketika mereka sedang duduk menghadap meja untuk makan, mama Mnao menyarankan Simon Mnao agar menunjukkan rasa hormatnya dan mengakui panggilan Allah yang telah didengar dan diterimanya. Mendengar saran mama Mnao seperti itu, Simon Mnao menghampiri mama Mnao, lalu keduanya berlutut dan berdoa bersama-sama berkenaan dengan panggilan Allah yang telah berlaku atas mana Mnao.  Setelah selesai berdoa, salah satu anak mereka [yang masih bayi] yang sakit parah langsung sembuh seketika; sedangkan satu anak mereka yang sudah agak besar, yang menderita luka borok dan penyakit gatal kulit mengalami kesembuhan total pada hari ketiga. Pada hari itu juga raja Amanatun menyerahkan selembar kain cita yang dibeli di toko kepada mama Mnao agar kain itu dijahitkan menjadi sebuah baju untuk seorang janda. Mama Mnao keberatan, sebab ia sangat sibuk dengan urusan rumah tangganya. Akan tetapi sekonyong-konyong ia mendengar suara yang memanggilnya itu datang. Suara itu menganjurkannya untuk menjahitkan baju untuk seorang janda sebagaimana permintaan raja. Suara itu berkata kepada mama Mnao: “Apabila engkau tidak patuh, Akulah Dia; Aku akan membawa pergi anakmu dari hidupmu.”  Mendengar suara berkata seperti itu, mama Mnao mengabulkan permintaan raja untuk menjahitkan sebuah baju bagi seorang janda.
3.      Pada hari Minggu, 17 Oktober 1943 mama Mnao mendengar beberapa  kawan sekerja (pelayan) gereja berbicara tentang rencana mereka untuk memutuskan suatu keluhan menentang anggota-anggota gereja bersama komandan tentara Jepang. Mama Mnao mencegah dan berkata kepada  mereka:  “Obrolan seperti itu tidak baik.”  Lagi-lagi mama Mnao mengalami siksaan batin, dan suara yang ia selalu dengar mendorongnya untuk berkata: “Baiklah semua guru dan pekerja gereja, beserta empat keluarga seluruhnya datang berkumpul untuk  mencurahkan isi hati dan berdoa bersama-sama.  Semua yang mendengarkan anjuran mama Mnao segera datang berkumpul. Mereka berdoa dan menyanyi memuji Tuhan secara  bergiliran.
4.      Pada hari Selasa, 19 Oktober 1943 ketika doa pagi, mama Mnao mengalami ekstase lalu memprotes cara jemaat menghadiri  kebaktian di gereja.  Mama Mnao berkata: “Karena kamu telah membuat rumahku menjadi sebuah rumah pelelangan….”  Dengan berteriak, mama Mnao mengajak  semua yang hadir untuk melakukan kebaktian pada hari Minggu dengan ketentuan sebagai berikut:  (a) pada jam 07.00 pagi, kebaktian dilakukan untuk “pendatang baru”, yaitu  orang-orang kafir  dan orang-orang yang belum dibaptis, bersama-sama dengan anak-anak sekolah minggu; (b) pada jam 08.00 pagi tambur dipukul (dibunyikan) untuk memanggil anggota-anggota jemaat regular guna menghadiri kebaktian di gereja; (c) pada jam 09.00 pagi kebaktian  di gereja harus dimulai dan diakhiri pada jam 10.30 siang. Pada hari yang sama, suara memerintahkan mama Mnao agar suaminya, Simon Mnao pergi mencari dan mengumpulkan semua orang yang lalai atau tidak menghadiri kebaktian. Mereka datang, dan bersama dengan semua orang yang hadir berlutut seraya berdoa, dan menyatakan sepakat untuk mendukung  penyelenggaraan kebaktian sesuai kesepakatan yang baru. Dan barangsiapa yang ingin menjadi kristen harus menyerahkan patung-patung ukiran, benda-benda keramat yang berasal dari para leluhur yang disebut azimat. Azimat-azimat itu digantungkan pada dinding atau tiang bangunan gereja. Kemudian, suara menuntun mama Mnao untuk memberitahukan kepentingan bersama dengan seluruh jemaat, bahwa semua benda berhala dan azimat tidak boleh tetap digantungkan di dinding atau tiang bangunan gereja, melainkan harus dibakar pada saat itu juga. Upacara dilakukan di alam terbuka. Mereka menyanyi memuji Tuhan; memohon Tuhan mencurahkan Roh Kudus; lalu semua benda keramat dikumpulkan dan dibakar…
5.      Pada tanggal 21 Oktober 1943 suara menyampaikan tuntunan susulan kepada mama Mnao dalam suatu persekutuan doa. Suara itu berkata kepada mama Mnao: “Katakan kepada semua yang hadir untuk pergi ke istana raja.” Dalam keadaan ekstase mama Mnao berkata: “Saya merasa  seakan-akan  mempunyai sayap.  Itu berarti, saya beserta adik perempuan dari istri Pdt. Sine yaitu Cornelia, dan istri Penginjil Lot Hauoni harus pergi lebih dahulu ke istana raja; kemudian baru disusul oleh semua yang hadir.” Setelah semuanya tiba dan masuk ke istana raja, Penginjil Lot Hauoni mengajak paduan suara untuk menyanyikan sebuah lagu pujian kepada Tuhan. Sementara paduan suara menyanyi memuji Tuhan, suara mendorong mama Mnao untuk berbicara dengan istri raja yang belum menganut agama kristen. Adik laki-laki raja bernama Bosen Banunaek juga hadir. Mama Mnao bercerita kepada istri raja tentang kematian saudara perempuannya setelah kedatangan militer Jepang. Ia mati akibat kekejaman suaminya sendiri. Suara mendorong mama Mnao untuk mengatakan kepada istri raja bahwa dalam sebuah penglihatan rohani, mama Mnao melihat saudara perempuannya—kendati pun dihiasi dengan kemewahan secara berlimpah dan jasadnya diletakkan secara sempurna di dalam peti jenazah—tetap miskin, melarat, berpakaian compang-camping. Istri raja menangis dan berkata kepada mama Mnao: “Kalau saja suami saya, raja, mengizinkan saya, seharusnya saya sudah menjadi kristen bertahun-tahun yang lalu.”  ….
6.      Pada hari Minggu, 24 Oktober 1943 sekelompok gerakan kebangunan rohani beranggotakan sembilan orang yang dipimpin oleh tiga orang perempuan pergi ke Manufui untuk bertemu dengan jemaat di sana. Akan tetapi majelis jemaat dan seluruh anggota jemaat menolak dengan tegas kehadiran mereka. Pertengkaran terjadi. Anggota-anggota kelompok gerakan kebangunan rohani menendang-nendang mimbar gereja, mengambil pinggan dari atas mimbar lalu menghancurkannya, kemudian mereka merobek sebuah buku bacaan Alkitab sekolah, lantaran niat dan upaya mereka untuk memimpin kebaktian pada hari Minggu pagi itu sia-sia. Dalam emosi kemarahan yang meluap-luap, secepat kilat mereka menyingkir dari rumah kebaktian Manufui. Akan tetapi pada keesokan harinya sembilan anggota  gerakan kebangunan rohani itu datang bertemu dengan majelis jemaat untuk meminta maaf, melakukan perdamaian,  berjanji untuk mengganti  pinggan yang telah mereka hancurkan, serta mengganti buku bacaan Alkitab sekolah yang telah mereka robek.
7.      Pelayan Jemaat Gereja Manufui bernama Cornelis Kase menuturkan beberapa alasan penolakannya terhadap kelompok gerakan kebangunan rohani itu, yakni: “Ia tidak setuju dengan sikap tiga orang perempuan (tidak disebutkan nama mereka) sebagai pemimpin gerakan kebangunan rohani yang datang ke Gereja Manufui. Karena ketiga perempuan itu memberikan kesaksian yang menyesatkan. Salah satu dari ketiga perempuan itu berkata: “Aku adalah Yesus” karena “Yesus telah menaklukkan aku”; kemudian perempuan kedua berkata: “Aku adalah Roh Kudus”; dan perempuan ketiga berkata: “Aku adalah Allah”.  Mereka berbicara seperti itu dari atas mimbar agar dapat mempengaruhi orang-orang yang datang untuk mengaku dosa. Akan tetapi sikap pelayanan mereka tidak menyenangkan, tidak sesuai dengan Alkitab, dan tidak menurut cara yang sepatutnya. Mereka merobek gambar Yesus yang tersalib dari halaman buku bacaan Alkitab; kemudian gambar Yesus yang tersalib itu ditaruh di lantai; setelah itu mereka berlutut dan mencium gambar Yesus yang tersalib itu. Praktik seperti itu mereka anjurkan dan wajibkan  untuk dilakukan oleh semua orang hadir di gedung gereja. Catatan sisipan: Nama tiga perempuan tidak disebutkan oleh pelayan jemaat gereja Manufui (Cornelis Kase), namun ketiga perempuan itu adalah Cornelia (istri Pdt. Sine), istri Penginjil Lot Hauoni, dan mama Mnao, yang memimpin kelompok gerakan kebangunan rohani ke Manufui, sebagaimana disebut pada wedaran butir lima di atas.

Sesuai artikel P. Middelkoop yang saya miliki, saya dapat mewedarkan banyak kesakian yang berkaitan dengan gerakan kebangunan rohani di Nunkolo, Timor Tengah Selatan pada tahun 1943. Akan tetapi tidak perlu saya singkapkan semuanya melalui tulisan ini, sebab pengaruh ilah zaman dalam dunia pedagogi dan sains modern abad ini telah membutakan kardias, nous dan dianoia banyak pengikut Yesus dalam mencari dan menyaksikan kebenaran. Berdasarkan pertimbangan ini, maka menurut hemat saya, tujuh butir wedaran di atas sudah lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai “stair-stepping” dan/atau “stairwise” guna menapaki: apakah benar, pada tahun 1943 terjadi pencurahan Roh Kudus di Nunkolo, Kabupaten Timor Tengah Selatan?

 Pertama, Berdasarkan hasil investigasi Pdt. T. Benoefinit, Penginjil Isu, dan Pdt. P. Middelkoop, sama sekali tidak disebutkan terjadinya pencurahan Roh Kudus di Nunkolo, Timor Tengah Selatan pada tahun 1943. Bahkan tidak ada seorang pun dari kelompok gerakan kebangunan rohani—yang berbicara dalam bahasa Roh—termasuk mama Mnao, yang pertama kali mendengar suara (ilahi) memanggilnya.

Kedua, Yang terjadi di Nunkolo, Timor Tengah Selatan pada tahun 1943 adalah gerakan kebangunan rohani, yang bermula dari suara (ilahi) yang berlaku atas mama Mnao yang statusnya adalah istri seorang guru yang bernama Simon Mnao. Dengan demikian, mama Mnao tidak berprofesi sebagai  guru. Ia hanya berstatus sebagai ibu rumah tangga (istri seorang suami bernama Simon Mnao yang berprofesi sebagai guru). Disayangkan, tim investigasi tidak menyebut nama  istri Simon Mnao yang menerima panggilan ilahi itu.

Ketiga, Mama Mnao tidak melayang-layang di udara; mama Mnao tidak diangkat oleh Roh Kudus sehingga mengangkasa sementara dalam perjalanan dari Oenlasi ke Nunkolo. Ia hanya menyampaikan pesan yang ia terima dari suara (ilahi) yang menuntunnya untuk bersaksi.

Keempat, Dalam artikel P. Middelkoop, ada banyak nama yang disebutkan terkait dengan aktivitas gerakan kebangunan rohani di Nunkolo. Akan tetapi P. Middelkoop tidak mencatat nama Nelci Selan-Bana yang disebut, “juga mendapat karunia dari Kristus”. Tetapi ada seorang yang mengalami penglihatan melalui mimpi dalam hubungannya dengan kedatangan Jepang,  yakni Set Banunaek.

Kelima, Terdapat beberapa kelompok gerakan kebangunan rohani di Nunkolo, Timor Tengah Selatan pada tahun 1943. Antara lain ada kelompok beranggotakan empat orang yang menerima panggilan untuk pergi ke Alor. Kelompok ini tidak berada di bawah koordinasi mama Mnao,  mama Cornelia (istri Pdt. Sine), dan istri Penginjil Lot Hauoni. Penguasa Jepang tidak memberi izin kepada kelompok empat orang itu. Mereka kemudian berhasil meloloskan diri dari pengawasan Jepang di Soe, Timor Tengah Selatan, lalu ke Kupang untuk mencari perahu ke Alor. Namun penguasa Jepang di Kupang berhasil menangkap mereka dan menyerahkan mereka kepada raja Kupang. Raja Kupang mengatakan kepada penguasa Jepang bahwa keempat orang yang tergabung dalam gerakan kebangunan rohani  itu bukan orang-orang jahat, bukan orang berbahaya, sehingga mereka tidak ditahan, melainkan dipulangkan ke Nunkolo. Ada pula kelompok yang beranggotakan delapan orang pergi ke Menu, sebuah kampung dekat pantai, akan tetapi mereka tidak memperoleh peluang untuk melakukan aktivitas kebangunan rohani di tempat itu. Di samping itu ada kelompok yang beranggotakan sembilan orang, pergi ke Manufui, akan tetapi ditolak oleh Majelis Jemaat Manufui sebagaimana  diwedarkan di atas.

Keenam, Semua anggota gerakan kebangunan rohani di Nunkolo tidak melakukan mukjizat penyembuhan orang sakit dan sebagainya. Mereka hanya bersaksi menurut gerakan roh yang menuntun mereka untuk berbicara. Yang menonjol dalam aktivitas mereka ialah: berdoa, menyanyi memuji Tuhan; bersaksi, mendesak orang agar tidak menyembah berhala, membuang semua benda yang berkekuatan gaib; menganjurkan orang untuk tidak minum alkohol; menuntun orang untuk menjadi kristen; serta mendorong setiap orang untuk rajin menghadiri kebaktian di gereja.

Ketujuh, Mukjizat kesembuhan hanya terjadi pada dua orang anak mama Mnao dan suaminya Simon Mnao, yaitu: ketika mama Mnao dan Simon Mnao selesai berdoa bersama, anak mereka yang masih berusia bayi yang sakit parah langsung sembuh pada saat itu, dan seorang anak mereka yang menderita luka borok dan penyakit gatal kulit mengalami kesembuhan pada hari ketiga (baca wedaran butir 2 di atas).

Kedelapan, Khusus bagi mama Mnao, ketika suara yang menuntunnya sangat kuat, ia mengalami ekstase, dan dalam keadaan ekstase ia mengucapkan apa yang dikatakan oleh suara yang menuntunnya.

Kesembilan, Kesaksian pribadi: “Aku adalah Yesus”; “Aku adalah Roh Kudus”; dan “Aku adalah Allah” yang dikemukakan oleh tiga orang perempuan yang memimpin kelompok gerakan kebangunan rohani ke Manufui untuk berbakti  bersama  Jemaat Gereja Manufui (baca wedaran butir 7. hlm.6 di atas), patut diuji: apakah kesaksian pribadi itu berasal dari tuntunan Roh Kudus, atau roh kedagingan, atau roh kegelapan!? Dalam konteks ini,  2 Korintus 11:13 – 15 dan 1 Yohanes 4:1a  patut diperhatikan.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar