Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Senin, 04 Mei 2020

Istilah KORUPSI Dalam Perjanjian Baru



Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

Catatan pengantar
Memperingati dan merayakan Hari Ulang Tahun Ke-70 GMIT pada 31 Oktober 2017 yang lalu, Prof. Dr. Samuel Benyamin Hakh mempersembahan kepada GMIT sebuah tulisan berjudul, “KORUPSI MENURUT PERJANJIAN BARU” (Baca, 70 Tahun: GMIT Berhikmat & Berbagi – ALLAH YANG HIDUP PERBAHARUI DAN PULIHKANLAH GMIT. Penerbit Kandil Semesta [tanpa tahun dan alamat], hlm.374-394).  Tulisan tersebut—sudah  mengalami beberapa perubahan—sebenarnya telah dimuat dalam buku, AKAL BUDI & HATI NURANI (Pdt. Samuel Hakh. Penerbit Bina Media Informasi Bandung. 2014:125-145).

Prof. Dr. Samuel Benyamin Hakh (selanjutnya, dalam tulisan ini saya sapa: Samuel Hakh) telah memberikan suatu sumbangsih yang bermanfaat bagi GMIT berkenaan dengan korupsi menurut Perjanjian Baru. Para Pendeta GMIT, dan mahasiswa sekolah tinggi teologi di wilayah pelayanan GMIT dengan sendirinya berterima kasih kepada Samuel Hakh atas sumbangsihnya yang bermanfaat itu. Kendatipun demikian, dalam pengamatan saya terdapat beberapa ketimpangan pembahasan seputar istilah korupsi dalam Perjanjian Baru yang perlu dibereskan, demi pemahaman yang lebih baik dan terarah. Inilah yang akan saya wedarkan dalam artikel ini.

1. Istilah korupsi
Istilah ialah kata atau gabungan kata (sebutan atau ungkapan khusus) yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Dengan demikian, kata korupsi adalah ungkapan khusus yang dipergunakan dengan cermat untuk mengungkapkan makna konsep, proses atau sifat yang khas dalam bidang tertentu di mana terjadi penyelewengan atau penyalahgunaan milik pihak lain untuk keuntungan pribadi dan/atau orang lain. Atas dasar pertimbangan ini maka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata korupsi diartikan: penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dsb) untuk keuntungan pribadi atau orang lain; mengorupsi, artinya menyelewengkan atau menggelapkan (uang, dsb); korup, artinya: 1 buruk; rusak (merusak); busuk; merendahkan martabat; kehinaan; 2 suka memakai barang (uang) yang dipercayakan kepadanya; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi); dan kata mengorup artinya menyelewengkan (menggelapkan)  barang (uang) milik perusahan (negara) tempat kerjanya.

Dalam kamus Perjanjian Baru bahasa Yunani-Indonesia, tidak terdapat entri pokok yang bermakna denotasi, korupsi sebagaimana didefinisikan dalam istilah di atas. Kata korupsi, hanya merupakan salah satu arti dari kata (bahasa) Yunani yang dalam tulisan ini saya transkripsikan, phthora, yang oleh Samuel Hakh ditranskripsikan, fthora. Kata Yunani phthora adalah entri pokok yang menyarankan arti:  rottenness;  perishableness; corruption; decay; decomposition. Dalam tulisan ini saya tidak merujuk Kamus Yunani-Indonesia (Barclay M. Newman Jr), melainkan A POCKET LEXICON To The GREEK NEW TESTAMENT (Alexander Souter, M.A. Oxford University Press). Berdasarkan catatan di atas maka kata korupsi bukan diterjemahkan dari kata Yunani phthora sebagaimana dijelaskan oleh Samuel Hakh, melainkan kata korupsi merupakan salah satu arti dari kata Yunani phthora sebagai entri pokok, yang memiliki lima arti sebagaimana dijelaskan di atas.

Kata Yunani phthora yang diartikan sebagai rottenness menyarankan arti: busuk (misalnya telur busuk), kebusukan; jahat; kejahatan; tidak menyenangkan (bahasa percakapan dalam arti umum). Kata Yunani phthora yang diartikan sebagai perishableness menyarankan arti: hal atau sifat mudah rusak, lekas busuk (terutama tentang makanan); membusuk; hancur (terutama tentang bangkai binatang; jenazah, dsb); mati; binasa; musnah; rusak (dalam arti umum).

Kata Yunani phthora yang diartikan sebagai corruption menyarankan arti: kebusukan, kejahatan, kejelekan (tentang orang, kelakuannya dalam arti umum). Dalam arti spesifik tentang orang dan kelakuannya dalam bidang kehidupan tertentu, corruption dalam konteks bahasa Inggris dan bahasa Indonesia menyarankan arti: ketidakjujuran; penyogokan; penyuapan; penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dsb) untuk keuntungan pribadi dan/atau orang lain.

Kata Yunani phthora yang diartikan sebagai decay menyarankan arti status kehilangan kemuliaan (misalnya seorang pejabat tinggi negara dipecat dari jabatannya lantaran melakukan kejahatan); status kehilangan nasib baik (misalnya seorang kaya kehilangan hartanya lantaran mengalami musibah); status kejatuhan ke dalam kekurangsempurnaan (misalnya orang yang merdeka menjadi orang yang kehilangan kemerdekaan; orang yang memiliki kaki yang normal, tiba-tiba salah satu kakinya diamputasi karena kecelakaan). Dan kata Yunani phthora yang diartikan sebagai decomposition menyarankan arti: membusuk, menjadi busuk, pembusukan (seperti pembusukan yang terjadi dalam pembuatan kompos).

Dalam Roma 8:21 Perjanjian Baru bahasa Yunani-Indonesia (selanjutnya akan disingkatkan menjadi PBYI), transkripsi kata Yunani phthora diterjemahkan oleh LAI dengan kata kebinasaan; dalam Perjanjian Baru bahasa Inggris RSV dan GNB, phthora tidak diterjemahkan dengan kata corruption melainkan decay. Dalam 1 Korintus 15:42, PBYI, phthora diterjemahkan dengan kata binasa; dalam RSV diterjemahkan dengan kata perishable; dan dalam GNB diterjemahkan dengan kata mortal.

Dalam Galatia 6:8; 2 Petrus 1:4; 2:19, PBYI, phthora diterjemahkan dengan kebinasaan; membinasakan; dan kebinasaan; dalam RSV diterjemahkan dengan corruption; dalam GNB diterjemahkan dengan death; dan destructive. Dalam 2 Petrus 2:12 PBYI, phthora diterjemahkan dengan dimusnahkan; dalam RSV dan GNB, diterjemahkan dengan killed.

Selain kata Yunani  phthora, ada pula kata lain yang juga merupakan entri pokok yaitu phtheirō, arti harfiahnya:  destroy (merusak, menghancurkan, membinasakan, memusnahkan); waste (sia-sia, menyia-nyiakan); damage (merusakkan, merugikan); deprave (berakhlak buruk, jahat, berbudi rendah); dan injure (melukai, merusak, merugikan). Jika dipergunakan sebagai metafora, phtheirō menyarankan arti (tentang orang dan kelakuannya): jahat, tidak jujur; suka menyogok, menerima sogok, menyuap dan menerima suap. Dengan demikian arti kata phtheirō yang dipergunakan sebagai metafora bersinonim dengan korupsi.

Dalam 1 Korintus 3:17 PBYI, deklensi kata Yunani phtheirō yaitu phtheirei dan phtherei diterjemahkan dengan membinasakan; dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan destroy. Dalam 1 Korintus 15:33 PBYI, deklensi kata Yunani phtheirō yaitu phtheirousin diterjemahkan dengan merusakkan; dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan ruins dan ruin. Dalam Yudas 1:10 PBYI, deklensi kata Yunani phtheirō yaitu phtheirontai diterjemahkan dengan kebinasaan; dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan destroyed dan destroy.

Dalam 1 Korintus 5:5 PBYI, kata Yunani phthora dan phtheirō tidak digunakan melainkan kata olethron yang digunakan dan diterjemahkan dengan binasa; dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan destruction dan destroyed. Dalam 1 Tesalonika 5:3; 2 Tesalonika 1:9 dan 1 Timotius 6:9 PBYI, kata Yunani olethron digunakan dengan arti keruntuhan, serta kata Yunani apōleian digunakan dan diterjemahkan dengan  kebinasaan; dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan kata destruction.  

Dalam Yohanes 3:16 PBYI, kata Yunani apolētai yang digunakan dan diterjemahkan dengan binasa; dalam RSV diterjemahkan dengan perish, dan dalam GNB diterjemahkan dengan die. Dalam Yohanes 10:10 PBYI, kata Yunani apolesē(i) yang digunakan dan diterjemahkan dengan membinasakan; dalam RSV dan GNB diterjemahkan dengan destroy.

Dalam Ibrani 1:11 PBYI, kata Yunani apolountai digunakan dan diterjemahkan dengan binasa; dalam RSV diterjemahkan dengan perish, dan dalam GNB diterjemahkan dengan disappear. Kata Yunani apolētai, apolesē(i) dan apolountai adalah deklensi dari kata leksikal (entri pokok) apollumi.

Dalam PBYI, deklensi-deklensi kata Yunani apollumi, yakni: apolētai, apolesē(i), apolountai, apollumenois, apolomenou,  apollumetha, apoleisthe, digunakan untuk menggambarkan tentang: binasa, hancur, hilang, dibunuh, mati. Perhatikan antara lain: Matius 5:29,30; 9:17; 8:25; 18:4; 26:52; Markus 4:38; Lukas 5:37; 8:24; 11:51; 13:3,5; 14:33; 15:17; 21:18; Yohanes 3:16; 10:28; 11:50;  Roma 2:12; 1 Korintus 1:18; 8:11; 2 Korintus 2:15; 2 Tesalonika 2:10; 2 Petrus 3:9 dan banyak perikop yang tak dapat disebutkan dalam tulisan ini.

Pada halaman 377 (70 Tahun GMIT Berhikmat & Berbagi), Samuel Hakh membuat kesimpulan begini: “….. nyata bahwa para penulis PB memakai beberapa istilah untuk menggambarkan kata “korupsi” (phthora, phtheirō, olethros) itu dalam beberapa pengertian.” Kesimpulan Samuel Hakh sebagaimana dikutip di atas sesungguhnya tidak benar. Tiga kata Yunani (phthora, phtheirō, dan olethros, sama sekali bukan istilah yang menggambarkan kata korupsi. Contoh-contoh ayat yang dikutip dari PBYI, RSV, dan GNB di atas memberi petunjuk yang jelas mengenai arti kata Yunani phthora, phtheirō, dan olethros, tidak mutlak menyarankan arti korupsi (corruption) yang dipergunakan secara konsisten. Dengan demikian, kata korupsi hanya merupakan salah satu arti kata dari entri pokok kata Yunani phthora yang memiliki lima arti sebagaimana telah diuraikan di atas. Ketiga kata Yunani itu memiliki makna denotatif sendiri-sendiri, dan dalam konteks tertentu memiliki makna konotatif atau metafora yang harus dicermati agar tidak terjadi salah tampa.

Selain kesimpulan yang salah sebagaimana dijelaskan di atas, Samuel Hakh juga salah melakukan terjemahan karena tidak cermat. Dalam Injil Yohanes 12:6, secara jelas Yudas Iskariot disebut: all’ hoti kleptēs.., artinya:  karena ia seorang pencuri. Akan tetapi Samuel Hakh katakan: Kata “pencuri” diterjemahkan dari kata Yunani yang transkripsinya berbunyi, ebastazein (LAI: “selalu mencuri”) (70 Tahun GMIT. do.ib. hlm.379).

Kata Yunani ebastazein yang dipergunakan dalam Yohanes 12:6 itu adalah deklensi dari entri bastazō, yang memiliki arti: (a) I carry, bear; (b) I carry [take] away; dan “I pilfer”. Dalam Matius 3:11, kata Yunani bastasai dalam frasa: hou ouk eimi hikanos ta hupodēmata bastasai diterjemahkan dengan membawa (arti butir a); dalam Yohanes 20:15, kata Yunani ebabtasas dalam frasa: Kurie, ei su ebastasas auton, diterjemahkan dengan mengambil (arti butir b); dan  arti berikut dari kata Yunani bastazō yakni  “I pilfer” artinya, “mencuri [barang atau uang] dalam jumlah sedikit-sedikit atau kecil-kecilan” dipergunakan dalam Yohanes 12:6 (POCKET LEXICON, do.ib., hlm.48).

Yudas Iskariot diketahui sebagai pemegang kas atau pundi-pundi uang. Murid-murid Yesus mengetahui bahwa ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas atau pundi-pundi yang dipegangnya (dibawanya). Karena praktik seperti itulah maka Yudas Iskariot disebut sebagai seorang pencuri (kleptēs). Perhatikan secara saksama Yohanes 12:6 (PBYI). Berdasarkan arti atau makna kata  pilfer yang tersirat dalam kata Yunani bastazō itulah maka LAI menerjemahkan “sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya” (kai to glōssokomon echōn ta ballomena ebastazen).

Dengan demikian, LAI sama sekali tidak menerjemahkan kata Yunani ebastazen dalam Yohanes 12:6 itu dengan kata “selalu mencuri”; dan ebastazen juga bukan berarti pencuri, sebagaimana dicatat oleh Samuel Hakh. Kata Yunani kleptēs artinya pencuri, maling; kleptō artinya  mencuri; dan kleptōn artinya orang yang mencuri (Efesus 4:28).  Sesungguhnya praktik yang dilakukan oleh Yudas Iskariot, yaitu mengambil [mencuri] uang sedikit-sedikit atau kecil-kecilan dari pundi-pundi atau kas yang dipegangnya itu terhisab praktik  korupsi!

  Berkenaan dengan kata Yunani ephtheiren dalam kitab Wahyu 19:2, ternyata pula Samuel Hakh tidak membaca perikop tersebut secara cermat. Saya kutip lagi pernyataan Samuel Hakh sebagai berikut: “Penulis kitab Wahyu memakai kata yang sama untuk menghibur jemaat yang ia sapa, bahwa Allah telah membinasakan (ephtheiren) (LAI: menghakimi) musuh mereka yaitu pelacur besar (Babel) itu…” (70 Tahun GMIT, do.ib. hlm.376, tiga baris kalimat terakhir).

Ketidakcermatan Samuel Hakh terbukti di sini: dalam kitab Wahyu 19:2 (PBYI terjemahan LAI), kata Yunani ephtheiren, tidak diterjemahkan oleh LAI dengan kata menghakimi, melainkan merusak. Sedangkan kata Yunani ekrinen dalam ayat itu yang diterjemahkan dengan kata menghakimi. Perhatikan secara saksama dua frasa kalimat dari Wahyu 19:2 yang saya kutip berikut ini: hoti ekrinen tēn pornēn tēn megalēn hētis ephtheiren tēn gēn en tē(i) porneia autēs”. Terjemahan LAI: “karena Dialah yang telah   menghakimi pelacur besar itu, yang merusak bumi dengan percabulannya.” Kedua frasa kalimat dari Wahyu 19:2 itu diterjemahkan dalam RSV sebagai berikut: “he has judged the great harlot who corrupted the earth with her fornication.” Dan terjemahan GNB: “He has condemned the prostitute who was corrupting the earth with her immorality.” Catatan sisipan: kata Yunani ekrinen (= judged; condemned; menghakimi); dan kata Yunani ephtheiren (= corrupted; corrupting; merusak);

Kata Yunani ephtheiren adalah deklensi dari entri phtheirō yang salah satu arti denotasinya adalah merusak. Kata corrupted; corrupting yang dipergunakan dalam terjemahan RSV dan GNB juga berarti merusak.  Dengan demikian, terjemahan LAI benar 100%; karena itu, tidak dapat disangkal dengan dalih apa pun, Samuel Hakh telah melakukan salah tampa atas Wahyu 19:2.

2. Kata Yunani, nous
Tentang nous, Samuel Hakh berkata begini: “Kata nous dalam dunia Helenis adalah ‘mata batin’ yang sanggup menerobos kenyataan yang tidak tampak dan mengolah serta mengatur kesan-kesan dari yang tampak, yang masuk melalui indera manusia. Dengan demikian maka manusia, melalui nous-nya, dapat melihat dan membedakan mana yang salah dan mana yang benar, sehingga ia secara tepat mengambil keputusan. Persoalannya adalah apabila nous-nya sudah dibutakan maka yang jahat bisa dianggap baik dan yang baik bisa dianggap jahat. Demikian juga yang salah bisa jadi benar dan yang benar bisa menjadi salah. Maka Yudas, walaupun secara fisik, bersama Yesus dan menjadi murid-nya, tetapi secara batiniah nous-nya, yang telah dibutakan dan dikuasai oleh cinta akan uang, harta dan kekayaan itu, belum dibaharui sehingga dapat menjadi “alat” yang dipakai iblis untuk melakukan kejahatan (bnd. Luk.22:3). ‘Mata batin’ (nous) dari Yudas telah dibutakan sehingga ia tidak lagi mampu membedakan mana tindakan yang salah dan mana tindakan yang benar. Karena nous-nya telah ditaklukkan oleh iblis sehingga ia berani mengkhianati dan menjual gurunya itu. Mestinya Yudas berani menolak karena Yesus adalah gurunya, tetapi yang terjadi, ia malah pergi meminta imbalan, jika ia menyerahkan Yesus. Menurut Injil Lukas, iblis masuk ke dalam Yudas dan memperalat dia sehingga ia pergi kepada para pemimpin agama untuk menyerahkan Yesus kepada mereka (bnd. Luk. 22:3-4). Yohanes lebih tegas lagi, dengan menyebut Yudas sebagai iblis (Yoh. 6:70). Sikap Yudas ini mengingatkan setiap pengikut Yesus bahwa kedekatan seseorang dengan Yesus belum tentu menjamin bahwa dirinya tidak dikuasai oleh iblis, jika ia tidak membaharui nous-nya. Sebab jika nous-nya masih dikuasai oleh kecintaan akan uang atau harta dan meghambakan diri padanya atau menjadi hamba mamon maka ia dapat menjadi alat iblis untuk melakukan kejahatan korupsi” (70 Tahun GMIT…, in.loc.cit. hlm. 381-382).

Sebenarnya Samuel Hakh pernah membahas kata Yunani, nous dalam buku, AKAL BUDI & HATI NURANI (Penerbit: Bina Media Informasi Bandung, 2014:18-19). Kata Yunani nous yang Samuel Hakh jelaskan dalam buku terbitan tahun 2014 tersebut, berbeda atau tidak sama dengan nous yang diuraikan dalam artikel “Korupsi Menurut Perjanjian Baru” (tahun 2017). Jadi, dalam benak saya timbul pertanyaan: mana yang benar!?

Saya coba mencermati rujukan yang dipakai oleh Samuel Hakh yang mengatakan bahwa “Kata nous dalam dunia Helenis adalah mata batin. Namun saya tidak memperoleh petunjuk yang jelas. Apakah uraian tentang nous (= mata batin) dalam dunia Helenis itu terdapat dalam buku karya Norval Galdenhuys yang disebut pada catatan kaki nomor 135 pada halaman 382?  Entahlah; namun saya yakin, tidak! Sebab, tidak mungkin Norval Galdenhuys menjerumuskan dirinya dalam jurang kesalahan yang menghancurkan reputasinya. Menurut pertimbangan saya, Samuel Hakh merumuskan arti nous yakni mata batin berdasarkan asumsinya sendiri. Rupanya Samuel Hakh mengasosiasikan mata batin dengan mata hati. 

Dalam Efesus 1:18 (PBYI) terdapat ungkapan bahasa Yunani ophthalmous tes kardias yang diterjemahkan oleh LAI dengan mata hati. Rupanya dari ungkapan inilah Samuel Hakh menganalogikan nous artinya mata batin.  Apabila ini yang terjadi, tetap salah juga, karena dalam PBYI tidak terdapat ungkapan ophthalmous tes nous yang boleh diartikan sebagai “mata akal budi” atau “mata pikiran”.

Berdasarkan sumber yang saya miliki, nous  sebagai suatu istilah bahasa Yunani non-semitis dalam filsafat Plato berarti: 1 reason (bersinonim dengan mind yang menyarankan arti: akal budi, pikiran, daya pikir, akal sehat); 2 intuition (daya batin untuk mengetahui atau mengerti sesuatu tanpa berpikir atau belajar; 3 intellectual faculty (berkenaan dengan daya pikiran berdasarkan intuisi (penjelasan selengkapnya, baca: A POCKET LEXICON To The GREEK NEW TESTAMENT. Alexander Souter, M.A., Oxford University Press 1943:168).  

Berdasarkan catatan di atas, sesungguhnya tidak benar apabila Samuel Hakh katakan bahwa dalam dunia Helenis, nous adalah mata batin… Nous, pada hakikatnya hanya menyarankan arti: reason (mind); intuisi (intuition); dan daya pikiran berdasarkan intuisi. Perlu dicatat bahwa kata intuition, dalam bahasa Inggris  artinya: the power of the mind by which it immediately perceives the truth of things without reasoning or analysis (Chambers Twentieth Century Dictionary. W & R Chambers. London 1972:689). Kata intuition telah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi intuisi, dan diartikan sebagai: daya batin (daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati). Intuisi atau daya batin (menurut terjemahan dalam bahasa Indonesia) dan/atau daya pikiran [power of the mind] berdasarkan intuisi (intellectual faculty)  tidak sama dengan mata batin; sebab mata batin hanya menyarankan arti sebatas bagian batin yang paling dalam; perasaan dalam hati, untuk menghayati dan memahami sesuatu.

Sumber kedua tentang nous yang saya miliki, dapat dibaca dalam A THEOLOGICAL WORD BOOK OF THE BIBLE (Alan Richardson, D.D. SCM PRESS LTD. Bloomsbury Street London, 1962:144-146; 257).  Sedikit cuplikan saya berikan disini: Dalam Perjanjian Baru bahasa Yunani kata dianoia dan nous dipergunakan terutama untuk menyarankan arti mind atau reason (secara umum) dalam bahasa Inggris, yang dalam bahasa Indonesia menyarankan arti (secara umum): akal budi, pikiran, daya pikir, akal sehat, kecerdasan, cara berpikir, bakat, pembawaan, perasaan.

Nous  (akal budi; pikiran), dipergunakan secara umum, antara lain dalam Roma 7:23, 26; 1Korintus 14:14,15; Efesus 4:17,23; Filipi 4:7; Kolose 2:18; 1 Timotius 6:5; 2 Timotius 3:8; Titus 1:15; Wahyu 17:9. Sedangkan nous yang Paulus pergunakan dalam Roma 11:34 dan 1 Korintus 2:16 secara khusus menyarankan arti daya pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) Yesus. Dengan daya pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) inilah, Yesus mengetahui dan memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari.  Sebagai contoh, saya ambil dari Lukas 22:3-4: “Lalu masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu. Yudas pun pergi kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka. Kemudian perhatikan lagi Lukas 22:21, kata Yesus: “Tetapi, lihat, tangan orang yang menyerahkan Aku, ada bersama dengan Aku di meja ini.”  Dari mana Yesus tahu bahwa Yudas sudah merencanakan penyerahan diri-Nya kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah? Yesus tahu, karena nous yang menyarankan arti daya pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) yang bergelut aktif dalam batin-Nya!

Contoh berikutnya, juga dari Lukas 22:33-34: “Jawab Petrus kepada-Nya, ‘Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau!’ Tetapi Yesus berkata, ‘Aku berkata kepadamu, Petrus, hari ini ayam tidak akan berkokok, sebelum engkau tiga kali menyangkal bahwa engkau mengenal Aku.’” Kemudian, perhatikan hubungannya dalam Lukas 22:54-62. Setelah Yesus ditangkap dan digiring ke rumah Iman Besar, Petrus mengikuti dari jauh sampai ke tengah-tengah halaman rumah itu. Seorang hamba perempuan melihat Petrus duduk dekat api. Perempuan itu mengamati Petrus, lalu berkata, ‘orang  ini juga bersama-sama dengan Dia.’ Tetapi Petrus menyangkal, katanya, ‘Aku tidak kenal Dia…!’

Penyangkalan Petrus terjadi tiga kali. Dan pada penyangkalan yang ketiga, berkokoklah ayam, lalu Yesus berpaling dan memandang Petrus. Maka teringatlah Petrus bahwa Yesus telah berkata kepadanya, ‘Sebelum ayam berkokok pada hari ini, engkau telah tiga kali menyangkal Aku’. Lalu Petrus pergi ke luar dan menangis dengan sedih.

Dari manakah Yesus, sebelum ditangkap dan digiring ke rumah Imam Besar, mengetahui bahwa Petrus akan menyangkali-Nya tiga kali sebelum ayam berkokok? Yesus tahu, karena nous yang menyarankan arti daya pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) yang bergelut aktif dalam batin-Nya! Perhatikan pula Yohanes 13:21,26,27, dan 36-38.  Saya yakin pembaca tulisan ini dapat menyebutkan contoh-contoh lain.

Itulah keistimewaan nous yang menyarankan arti daya pikiran berdasarkan intuisi (daya batin). Manusia memiliki nous dalam arti seperti yang disebutkan di sini, namun lantaran kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka nous yang menyarankan arti daya pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) telah mengalami kelumpuhan (lemah, tidak berdaya). Dan karena dosa maka nous yang menyarankan arti akal budi dan pikiran pun menjadi lemah dan tidak tahan uji; serta akal budi dan pikiran yang ditolak oleh Allah. Dalam Roma 1:28, nous manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dilukiskan sebagai adokimon noun. LAI menerjemahkan ungkapan bahasa Yunani ini dengan pikiran-pikiran yang terkutuk. Tetapi saya memahami dan menghayati makna adokimon noun sebagai pikiran-pikiran yang tidak tahan uji; atau pikiran-pikiran yang ditolak; sebab kata Yunani adokimon artinya tidak tahan uji; ditolak.

Namun Allah—dengan perantaraan Yesus Kristus dan Roh Kudus—dapat memulihkan daya pikiran berdasarkan intuisi (daya batin) maupun nous dalam arti umum (akal budi; pikiran), serta dianoia, dan kardia manusia yang hendak dipakai-Nya sebagai “pengikut Yesus” dan “saksi Yesus” yang tangguh, untuk mewartakan dan bersaksi tentang kebenaran Injil keselamatan. Paulus merupakan contoh nyata orang yang nous dan dianoia, serta kardia-nya dipulihkan oleh Allah. Paulus—dari seorang penganiaya pengikut-pengikut Yesus—dipilih oleh Allah menjadi seorang rasul Yesus yang militan!

Di samping nous yang dibahas di atas, dianoia yang menyarankan arti akal budi, pikiran, pemikiran, maksud, tujuan, niat, rencana, dipergunakan antara lain dalam hukum yang terutama, yang Yesus katakan: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu (tē kardia[i] sou) dengan segenap jiwamu (tē psuchē[i] sou)… dengan segenap akal budimu ( dianoia sou) (Matius 22:37; Markus 12:28; Lukas 10:27);  dan Ibrani 8:10; 10:16; 1 Petrus 1:13; 2 Petrus 3:1; 1 Yohanes 5:20.

Mengapa dalam hukum terutama dalam tiga perikop Injil yang disebutkan di atas ini Yesus, menurut ketiga penulis Injil itu, tidak mempergunakan nous, melainkan  dianoia untuk menyarankan arti akal budi?

Inilah penjelasannya: nous meant in class. Gk. intellect or reason (esp. in philosophers), and also mind in a more general sense, including feeling; dianoia was not extended to include feeling, but could mean intention or purpose; and also was used for a specific thought, as nous was not (Alan Richardson, in.loc.cit.).

Berdasarkan penjelasan di atas ini maka tujuan, niat, rencana Yudas menyerahkan Yesus kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah (Lukas 22:3,4, dyb), tidak ada kaitannya dengan aktivitas nous melainkan aktivitas dianoia Yudas Iskariot.

Lukas 22:3, khususnya frasa yang berbunyi, “Lalu masuklah Iblis ke dalam Yudas…,” (transkripsi teks bahasa Yunani, Eisēlthen de Satanas eis Youdav…”) dapat dibaca dan/atau dipahami, “Lalu jatuhlah Yudas ke dalam pencobaan Iblis”. Sebab transkripsi kata Yunani dalam frasa ayat itu, eisēlthen, adalah bentuk deklensi dari kata eiserchomai, yang tidak saja berarti masuk, melainkan jatuh ke dalam (pencobaan).  

Patut dicatat pula bahwa kata Yunani kardia  (hati) merupakan tempat atau kedudukan akal budi, pikiran, perasaan, dan kehendak (Matius 15:19; Markus 7:21).  Kardias anthrōpos adalah manusia batiniah (1 Petrus 3:4) di mana pengalaman keagamaan berakar di dalamnya, serta menentukan tabiat serta tingkah laku (1 Petrus 3:4-7; Kisah 16:14; Roma 5:5; Efesus 3:17). Kardia (hati) merupakan pusat kehidupan yang diperebutkan oleh “penguasa kegelapan, yakni Iblis” versus “penguasa terang kehidupan, yakni Allah dengan perantaraan Yesus Kristus dan Roh Kudus”. Apabila “penguasa terang kehidupan” menguasai kardia, maka dari dalam hati manusia akan mengalir aliran-aliran air hidup (Yohanes 7:38) Dan dianoia (akal budi; pikiran; pemikiran; maksud; tujuan; niat; rencana) manusia dalam arti umum, akan dijuruskan oleh penguasa terang kehidupan, yaitu Allah dengan perantaraan Yesus Kristus dan bimbingan Roh Kudus untuk hidup di dalam Roh menuju kemuliaan dan keselamatan (Roma 7:21-25; 8:1-17).

Akan tetapi apabila “penguasa kegelapan, yakni Iblis” menguasai kardia, maka dianoia (akal budi; pikiran; pemikiran; maksud; tujuan; niat; rencana) manusia akan dijuruskan oleh “penguasa kegelapan, yakni Iblis” untuk hidup di dalam daging (kejahatan, kefasikan, kebusukan) menuju kebinasaan.

Contoh dan bukti yang mengukuhkan penjelasan di atas ini secara lugas dapat dilihat pada Yudas Iskariot. Dalam Yohanes 13:2, dikatakan begini: “Ketika mereka sedang makan bersama, Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot,..” Samuel Hakh ternyata tidak teliti, sehingga perikop Yohanes 13:2 ini terlangkaui. Samuel Hakh hanya fokus pada nous Yudas Iskariot yang diberi arti [sekehendak hati] sebagai mata batin yang telah dibutakan oleh Iblis! Samuel Hakh tidak melihat  kardia (hati) sebagai benteng utama yang harus ditaklukkan, agar dianoia dapat dijuruskan  sesuai dengan bisikan hati dan/atau dorongan hati.

Perhatikanlah apa yang dilakukan Yudas Iskariot setelah Iblis membisikkan rencana dalam hatinya. Perhatikan pula apa kata Petrus kepada Ananias dalam Kisah Para Rasul 5:3: “Ananias, mengapa hatimu dikuasai Iblis, …”  Dari hati yang dikuasai Iblis akan timbul segala pikiran jahat… (Matius 15:19; Markus 7:21,22). Dalam Matius 15:19 dan Markus 7:21 (PBYI), kata Yunani yang pergunakan untuk menyarankan arti pikiran, yakni dialogismoi.

Dialogismoi merupakan “pikiran atau pemikiran spesifik” dari dianoia. Dengan demikian, ketika Yudas Iskariot bertemu dengan imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal untuk berunding dan mengatur siasat, bukan nous yang berperan aktif dalam benak Yudas Iskariot, melainkan dianoia dan dialogismoi!

Dalam situasi dan kondisi di mana Iblis bertakhta di dalam kardia (hati) manusia, dan dianoia serta dialogismoi dijuruskan oleh Iblis untuk berbuat dan bertingkah laku menurut kehendak Iblis, maka nous menjadi daya pikiran dan daya batin yang tertawan. Situasi dan kondisi sebagaimana diuraikan ini sangat jelas dan tepat dilukiskan oleh Paulus dalam Roma 7:21-25. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar