Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 29 Maret 2012

L O G O S (1)


Kita tidak dapat menyangkali akan adanya ‘motif akomodasi’ dan ‘motif distansi’ yang saling bergumul di dalam keseluruhan pikiran ‘apologetis’, dan di dalam usaha untuk menyesuaikan iman Kristen dengan pikiran dan kebudayaan pada waktu tertentu. Apa yang dikatakan ini selalu ada supaya Injil Yesus Kristus didengar dan dimengerti oleh manusia dengan berlatar belakang kebudayaannya pada setiap ruang dan waktu tertentu. Usaha ini jelas sekali pada para apologet. Mereka mengkonfrontasikan dan menyesuaikan Injil dengan pikiran dan ilmu (filsafat) Yunani. Peristilahan dan dunia pikiran Hellenisme digunakan untuk mengungkapkan kabar baik tentang Allah dalam Yesus Kristus. Salah satu contoh yang paling spesifik yang dapat ditunjukkan di sini ialah: doktrin tentang logos.

Dalam Kamus Alkitab (BPK Gunung Mulia 2009:243), W.R.F.Browning menjelaskan sebagai berikut: logos Kata benda bahasa Yunani yang biasa diterjemahkan dengan ‘perkataan’, tapi juga ‘pertimbangan/nalar’, atau ‘arti’. Lazim digunakan dalam filsafat Yunani sejak Heraklitos (abad ke-6 sM) sampai ahli filsafat Yahudi, Philo dari Aleksandria (abad pertama M) untuk prinsip pengikat yang mendasari jagad raya. Dalam LXX, logos adalah terjemahan dari kata Ibrani dabar, yang adalah firman kreatif Allah dan sejajar dengan sofia (hikmat), yaitu pengantara Allah dalam hubungan dengan ciptaanNya Amsal 9:1-2). Dalam Injil Yohanes (Yoh. 1:14) dan dalam Kitab Wahyu (Why. 19:13), Yesus disebut Firman Allah. Ini adalah perkembangan penting dalam Kristologi: ini suatu pernyataan tegas bahwa firman yang adalah pengantara Allah dalam penciptaan itu adalah sama dengan manusia Yesus dari Nazaret (Yoh.1:46).”

Selanjutnya, dalam tulisan berjudul “Menerjemahkan Teks-Teks Keagamaan” (baca: Satu Alkitab Beragam Terjemahan. Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta 2005, hlm.45), Pdt. Daud Soesilo, Ph.D., menjelaskan secara singkat tentang logos sebagai berikut: “Seperti halnya dengan kata ‘agapao’ dan ‘phileo’, kata Yunani ‘logos’ dalam Injil Yohanes juga diangkat dari kebudayaan lokal. ‘Logos’ merupakan istilah teknis yang mula-mula dipakai oleh filsuf Heraklitus pada abad ke-6 s.M. Istilah ini menjadi gagasan dan semboyan yang penting dalam filsafat Stoa bermula pada abad ke-3 s.M. Istilah ini kemudian diambil alih oleh Philo seorang teolog Yudaisme yang mencoba memadukan teori filsafat Yunani dengan kisah Alkitab mengenai firman/sabda Allah yang menciptakan alam semesta. ‘Logos’ Allah menjadi perantara antara Sang Pencipta dengan ciptaan-Nya dan menjadi wujud wahyu Ilahi. Dalam Perjanjian Baru, ‘logos’ berarti ‘kata’, ‘ucapan’, ‘firman’, ‘sabda’ atau ‘wacana’, dan merupakan padanan kata Ibrani ‘dabar’ dalam Septuaginta (terjemahan pertama Alkitab Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani yang mulai diusahakan pada abad ke-3 s.M.). Kata benda ‘logos’ dibentuk dari kata kerja ‘lego’ yang artinya ‘berkata’. Logos bermakna perkataan yang diucapkan (Mat.7:24,28; Luk.4:32) atau hal yang dikerjakan (Mat.21:24 = Mrk.11:29 = Luk.20:3; Kis.8:2; 15:6). Dalam sastra Yohanes, ‘logos’ merupakan gelar Yesus: Yesus adalah ‘Firman’ atau ‘Sabda’ yang berpribadi (Yoh.1:1, 14; 1Yoh.1:1; Why.19:13)…” Uraian W.R.F. Browning dalam Kamus Alkitab dan penjelasan singkat Pdt. Daud Soesilo, Ph.D., tentang logos sebagaimana dikutip di atas, ingin saya tinjau dalam kaitannya dengan konsepsi Heraklitus, salah seorang tokoh filsafat Yunani, sebagai berikut.

Menurut Heraklitus (540 – 480 s M), logos itu adalah sebuah ‘undang-undang yang bersifat ilahi’, yang membimbing, menjiwai serta mengatur segala-galanya, dan yang menghukum tanpa ampun segala tantangan terhadap kehendaknya. Logos itu selain berarti guna, juga membuat segala sesuatu berguna pula. Logos pula yang menerangkan segala sesuatu, bahkan segala sesuatu terjadi pula menurut kehendak logos. Orang pun pantas hidup sesuai dengan logos, sebab logos  sama bagi semua manusia. Menurut pendapat Heraklitus, logos adalah satu-satunya unsur yang tetap. Manusia bukannya tidak mampu mendekati atau bertemu dengan logos itu, melainkan manusia tidak mau mengerti tentang logos itu.

Heraklitus seringkali terdesak bila dalam batinnya dia merasa bahwa ada “Allah sebagai asal, sumber dan permulaan dari segala sesuatu”. Dalam keadaan seperti itu,  tidak diketahuinya lagi apa yang seharusnya dibuat dengan logos itu. Dalam keadaan yang demikian, Herakliktus menyamakan logos itu dengan theos, artinya allah. Akan tetapi yang dimaksudkan oleh Heraklitus, bukanlah allah atau dewa-dewa sebagaimana diketahui oleh bangsa Yunani dahulu kala yang percaya kepada lebih dari satu allah, melainkan suatu allah yang dalam dugaan Herakliktus kira-kira sama dengan logos itu. Bila Heraklitus tidak sanggup memecahkan soal ini, kadang-kadang logos itu disamakannya pula dengan roh Allah, atau dengan pikiran (gnome) Allah. Gnome (pikiran) Allah itu sering disebutnya “yang menjalankan serta memerintahkan segala sesuatu sejak permulaan dan untuk selama-lamanya”.

Mengenai theos (Allah), Heraklitus mengatakan bahwa semua unsur yang merupakan dunia ini bercampur dan saling memasuki yang satu pada yang lain, sebagai akibat dari kekuatan logos dan theos (Allah) bersama “yang memerintah serta memelihara segala sesuatu”. Dengan demikian, logos disamakan dengan suatu allah, suatu substansi rohaniah, suatu hakikat rohaniah seperti Allah. Logos itu tetap tidak dapat dimengerti oleh manusia, walaupun manusia sudah mendengarnya. (Pandangan Heraklitus tentang logos yang saya kutip di atas ini dapat dibaca dalam buku: Tokoh-Tokoh Dunia dalam lapangan Berpikir. Ds. F.K.N Harahap. 1978:64 – 86).

Apakah yang dapat disimpulkan dari pandangan Heraklitus sebagaimana dijelaskan di atas? Ini: logos sama dengan Allah (theos); logos sama dengan suatu Allah (theos); logos adalak pikiran (gnome) Allah (theos); logos adalah suatu substansi rohaniah, suatu hakikat rohaniah seperti Allah(theos); sebagai akibat dari kekuatan logos dan Allah (theos) dunia dirupakan (diciptakan); logos adalah Allah (theos). Pandangan Heraklitus ini tersirat di dalam Injil Yohanes 1:1-3.

Doktrin tentang logos dalam filsafat Yunani yang dicetuskan oleh Heraklitus (540 – 480 s M) dan terus berkembang sampai zaman Neo-Platonisme dengan Plotinus (205 – 270 M) sebagai tokoh terbesar, tidak dapat disangkal telah diakomodasi di dalam pemikiran kekristenan tentang logos, dan diakomodasi pula dengan pemikiran Yahudi tentang hikmat (Amsal 8).  Teolog-teolog Kristen diilhami dalam hal ini terutama oleh Philo dari Alexandria, seorang  filsuf Yahudi-Hellenistis yang meninggal pada tahun 45 Masehi. Menurut Philo, “Logos adalah suatu hypostasis keallahan yang ikut mengambil bagian dalam hakikat ilahi termasuk sifat kekekalannya, tetapi yang pergi keluar dari keallahan itu (emanasi). Orang-orang Kristen menyamakan logos ini dengan Kristus yang—pada zaman yang diperkenankan oleh Allah—turun ke bumi, menjelma di dalam tubuh dan dilahirkan oleh Maria (inkarnasi) dan yang dengan demikian dapat menyelenggarakan karya keselamatannya sebagai Allah sejati dan manusia sejati.” Inilah ajaran Orthodox mengenai Kristus yang dikembangkan dari pemikiran Philo, filsuf Yahudi-Hellenistis  itu (T.W. Manson. A Companion To The Bible. Edinburch 1947:413-415), yang berpangkal pada filsafat Heraklitus sebagaimana diuraikan di atas.

Mengenai Philo, Browning (Kamus Alkitab, hlm.361-362) mencatat bahwa ia (Philo) adalah orang sezaman Yesus dan Paulus (20 SM – 50 M). Ia seorang penulis yang produktif di Iskandaria. Philo tidak memperlihatkan pengenalan tentang kekristenan. Dia adalah seorang apologet untuk Yudaisme di tengah kebudayaan Helenis (Yunani). Tujuan Philo adalah menggabungkan keyahudian nonrabinik dengan filsafat Platonik dengan sering menggunakan alegori. Penggunaan konsep Logos dari Philo mengingatkan pada prolog Injil Yohanes. Dan ada pula pemikiran Philo yang berdekatan dengan pikiran dalam Surat Ibrani.Teolog-teolog Kristen kemudian di Aleksandria (Klemens dan Origenes) kelihatan lebih jelas dipengaruhi Philo.  

Kelemahan dari doktrin keperantaraan dalam filsafat Yunani tentang logos ialah  doktrin mereka tidak pernah secara sungguh-sungguh menjembatani jurang antara tatanan yang bertalian dengan kehidupan rohani dan dunia kebendaan di mana manusia hidup. Filsafat Yunani menganjurkan pembebasan dari dominasi kebendaan melalui renungan tatanan kerohanian, tetapi melupakan seluruh dasar kehidupan kebendaan manusia sehingga tidak dapat dipulihkan. Itulah yang diinterpretasikan kembali oleh penulis Injil Yohanes dalam Injil Kristen yang fundamental, yang tidak pernah dikenal dan dilakukan oleh penulis Injil Matius, Markus, Lukas, bahkan oleh penulis-penulis surat pastoral lainnya yang terhimpun di dalam Perjanjian Baru.

Logos (Firman) telah menjadi manusia” (Yohanes 1:14). “Firman, pikiran kreatif Allah, yang sekaligus adalah kekuatan dan kekuasaan yang oleh-Nya atau dengan perantaraan-Nya dunia diciptakan, dan ‘makna’ yang tetap ada di dalam-Nya, baik sebagai ‘kehidupan’ dan ‘terang’ bagi manusia, mengidentifikasikan diri-Nya sendiri dengan eksistensi manusia di dalam tatanan material atau dunia kebendaan ini. Sehingga dengan demikian, dunia kebendaan yang nyata ini memperoleh makna baru sebagai wahana ketuhanan di dalam kehidupan Yesus, yaitu logos  yang berinkarnasi itu. Prolog Injil keempat menurut Yohanes yang berbunyi, “Pada mulanya adalah logos; logos itu bersama-sama dengan Allah dan logos itu adalah Allah…, segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan; dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia; terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan tidak menguasainya; dan logos itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita…(Yohanes 1:1 – 5, 10 – 14), adalah ‘motif akomodasi’ sekaligus ‘motif distansi’ tentang pemikiran logos (menurut filsafat Yunani, Heraklitus) sekaligus pemikiran Yahudi tentang hikmat menurut  Philo, seorang filsuf Yahudi-Hellenistis, sebagaimana dijelaskan di atas, ke dalam pemikiran kekristenan tentang Yesus Kristus, yang penulis Injil Yohanes alamatkan kepada para pembaca yang berlatar belakang kebudayaan Hellenistik, agar mereka dengan cepat menyetujui dan menerima Injil Kristus (T.W. Manson, Ibid, hlm.411-416).

Konsekuensi ‘motif akomodasi’ sekaligus ‘motif distansi’ sebagaimana dikatakan di atas ini melahirkan ”doktrin keallahan tentang logos menurut Injil Yohanes” yang beraneka ragam dalam perkembangan Gereja Kristen pada abad ke-2 sampai abad ke-4. Tertullianus (160—220 ?), misalnya, mengatakan: Tuhan Allah memiliki akal atau budi. Akal atau budi ini dilahirkan atau dikeluarkan di dalam kalam atau logos-Nya pada waktu penjadian alam semesta. Jadi, kalam atau logos itu keluar atau dilahirkan dari akal atau budi, karena itu kalam atau logos itu disebut Anak. Pada mulanya Roh Kudus adalah satu dengan logos, juga pada waktu logos menjadi manusia (Yesus) dan menderita sengsara. Setelah Yesus Kristus ditinggikan, barulah Roh Kudus itu keluar dari pada Bapa dan Anak. Origenes (185—253 ?), mengatakan bahwa Allah merupakan Roh a-zat, immaterial, Bapa, Chalik dari kekal. Di bawah Allah ialah Anak, atau logos, pengantara antara yang satu dan yang jamak. Di bawah Anak atau logos ialah Roh Kudus. Paulus dari Samosata (meninggal pada tahun 260 ?) mengatakan bahwa Allah hanya dapat dipandang sebagai satu pribadi saja. Tetapi di dalam diri Allah bisa dibedakan antara logos atau kalam dan hikmat. Logos dapat disebut Anak, dan hikmat dapat disebut Roh. Logos bukan suatu pribadi, melainkan suatu kekuatan yang tidak berpribadi. Logos sudah bekerja pada diri Musa dan para nabi di dalam Perjanjian Lama; selanjutnya Logos bekerja di dalam Yesus Kristus. Begitu pula dengan pandangan Sabellius, Arius (320), Nestorius (430), dan Eutyches (450), semuanya merupakan ‘doktrin-doktrin keallahan tentang logos atas Injil Yohanes pasal 1:1—5; 10—14, yang lahir dari ‘motif akomodasi’ terhadap filsafat Yunani tentang logos dan pemikiran Yahudi tentang hikmat.

Lalu, bagaimanakah hasil perenungan dan pemahaman tentang logos (Yohanes 1:1—5; 10—14) yang dirumuskan dalam Pengakuan Iman Rasuli dan Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel? Jawaban atas pertanyaan ini tidak akan saya berikan dalam bentuk deskripsi panjang-lebar, tetapi dalam bentuk pernyataan singkat sebagai berikut. Pertama, rumusan Pengakuan Iman Rasuli yang mulai dimasukkan dalam kebaktian gereja pada masa pemerintahan raja Karel de Groot (tahun 800—814 M), sama sekali tidak diwarnai kerugma Yohanes 1:1—14. Ia merefleksikan penghayatan iman jemaat Kristen mula-mula antara tahun 30—50 M sampai dengan pertumbuhan jemaat Kristen pelayanan rasul Paulus antara tahun 50—64 M.  

Kedua, rumusan Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel yang proses perumusan awalnya dimulai di Nicea pada tahun 325, kemudian disempurnakan lagi di Konstantinopolis pada tahun 381, dan didiskusikan lagi di Kalsedon pada tahun 451,  lebih tajam merefleksikan doktrin keallahan tentang logos menurut Yohanes 1:1—5; 10—14 yang sangat diwarnai filsafat Yunani (Heraklitus), dan  Philo, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pengakuan Iman ini (Nicea Konstantinopel) dipengaruhi oleh semangat pergumulan dan perjuangan bagi eksistensi kekristenan pada zaman kekaisaran Roma (“Christianity’s Struggle for Existence in the Roman Empire”) antara tahun 150—325;  tahun 325—381; dan antara tahun 381—451 M. Pemikiran-pemikiran filosofis dan teologis/kristologis dari  pemikir-pemikir, antara lain Aleksander, Hosios, Athanasius, Basil yang Agung, adiknya Gregory Nysa, Gregorius Nazianzus dan lain-lain di satu pihak, yang didukung Konstantinus yang menjadi raja kerajaan Roma dalam menentang ajaran Arius dan pengikut-pengikutnya yang terkenal antara lain, Eusebius, sangat mewarnai roh  Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel.

Bertumpu pada Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel itulah gereja dari masa ke masa membangun dan mempertahankan ajaran Trinitas dengan segala upaya pembenaran yang dicari di dalam Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Upaya pembenaran ajaran Trinitas yang bertumpu pada Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel tersebut, banyak kali dilakukan dengan tidak jujur.  Dengan alasan Kristologi, ayat-ayat Alkitab ditafsirkan sedemikian rupa untuk membenarkan dan/atau mempertahankan praanggapan Yesus adalah Allah sejati; Yesus adalah Yahweh (YHWH) itu sendiri seperti yang dilakukan oleh kaum kristen fundamentalis; meskipun Yesus, selagi hidup bersama-sama dengan murid-murid-Nya, tidak pernah mengatakan satu kali pun bahwa Ia adalah Allah sejati atau Ia adalah Yahweh (YHWH). Dalam Yohanes 17:3, misalnya, Yesus berkata: “Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus”.  Dan bukankah Yesus sendiri sebelumnya telah berkata:  “Aku datang dalam nama Bapa-Ku dan kamu tidak menerima Aku; jikalau orang lain datang atas namanya sendiri, kamu akan menerima dia. Bagaimanakah kamu dapat percaya, kamu yang menerima hormat seorang dari yang lain dan yang tidak mencari hormat yang datang dari Allah yang Esa?” (Yohanes 5:43, 44). Juga, ketika Yesus bangkit dan menampakkan diri kepada Maria Magdalena, Yesus berkata: “Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa Aku sekarang akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allah-mu.”  

Bahkan penulis Injil Yohanes yang mengawali tulisannya dengan mengatakan tentang Yesus bahwa “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1); dan yang mencatat pula jawaban Thomas kepada Yesus: “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yohanes 20:28), toh pada bagian akhir tulisannya bersaksi tentang Yesus: “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yohanes 20:31)? Mengapakah penulis Injil Yohanes tidak mengukuhkan jawaban Thomas yang ditafsirkan oleh kaum fundamentalis bahwa “Yesus adalah Tuhan dan Yesus adalah Allah”, tetapi menegaskan secara lugas bahwa “Yesus adalah Mesias, Anak Allah”? Jawabannya: penulis Injil Yohanes pasti memaklumi sedalam-dalamnya makna jawaban Thomas kepada Yesus melalui ungkapan yang berbunyi, “Ya Tuhanku dan Allahku”, pada hakikatnya tidak senada dengan tafsiran kaum fundamentalis yang mengklaim “Yesus adalah Allah”, “Yesus adalah Allah sejati”, bahkan “Yesus adalah YHWH itu sendiri”. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar