Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Rabu, 02 Mei 2012

TRITUNGGAL (Bagian Pertama)


TANGGAPAN ATAS
PA GKRI EXODUS
Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

SETELAH  membaca naskah “PA GKRI EXODUS TRITUNGGAL” yang disusun oleh Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M., maka saya tertarik untuk mengemukakan tanggapan berkenaan dengan doktrin Tritunggal yang dijelaskan dalam naskah tersebut. Dalam tulisan ini saya hanya akan menanggapi konsepsi teologis-alkitabiah seputar doktrin Trinitas saja, Materi-materi lainnya, untuk sementara saya langkaui. Mudah-mudahan akan saya bahas pada kesempatan lain.

Pertama. Pada halaman 1 Doktrin Tritunggal: Penjelasan & Pembelaan (1) Pendahuluan,  Yakub Tri Handoko (selanjutnya saya singkatkan dengan YTH) menjelaskan kata “trinity” yang berasal dari bahasa Latin “trinite” atau “trinitas” yang berarti “keadaan menjadi tiga” (the state of being threefold). Dengan penjelasan singkat ini, YTH menunjuk pada Webster’s New Collegiate Dictionary: A Merriam Webster (Springfield: G & C Merriam Company, 1973:1250). Ini memberi petunjuk bahwa YTH menerapkan metode ilmiah dalam karya tulisnya. Namun tampaknya YTH kurang teliti. Perkenankanlah saya merujuk pada sumber lain untuk menjelaskan kata/istilah “Trinity” secara lebih baik sebagai berikut:

“Trinity”, [Old French, trinite (French, trinité), berasal dari Late Latin, trinitas; Latin, trinus, arti harafiahnya, “threefold”]. Dalam bidang teologi Kristen, “Trinity” (diindonesiakan menjadi “Trinitas”) digunakan sebagai sebuah istilah yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep “the union of three distinct persons, Father, Son, and Holy Spirit, in one Godhead” (= keesaan tiga oknum [pribadi]  yang berbeda, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus, di dalam satu Allah). Demikianlah yang dicatat dalam buku The Lexicon Webster Dictionary Volume II, 1977: 105. Mudah-mudahan Webster’s New Collegiate Dictionary: A Merriam Webster yang dirujuk oleh YTH mencatat rumusan tentang Trinity sebagaimana saya kutip di atas.

Dengan demikian, penjelasan tentang “trinity” oleh YTH sebagaimana dikutip di atas tidak membantu ke arah pemahaman yang baik dan benar.

Kedua. YTH menjelaskan tentang “Tritunggal” sebagai berikut: “Apa yang dimaksud dengan “Tritunggal” (tiga tapi satu)? Tiga dalam hal apa? Satu dalam hal apa? Secara sederhana, istilah “Tritunggal” dapat didefinisikan “tiga pribadi ilahi (hypostasis) dalam satu hakekat (ousia). Menurut YTH, penjelasan yang lebih baku dirumuskan dalam Pengakuan Iman Konstantinopel sebagai berikut “kami percaya bahwa ada satu hakekat (ousia) dari Bapa dan Anak dan Roh Kudus dalam tiga kepribadian yang sempurna (hypostasis) atau tiga Pribadi yang sempurna (prosōpois). Penekanan pada rumusan ini sebenarnya lebih terletak pada kesatuan dan kesamaan hakekat (homoousios) yang dimiliki oleh ketiga pribadi dalam Tritunggal.” Begitulah uraian YTH.

Catatan: Tampaknya YTH tidak memiliki konsepsi yang jelas tentang Trinitas dan Tritunggal. YTH mendefinisikan “Tritunggal”: “tiga pribadi ilahi (hypostasis) dalam satu hakikat (ousia). Apa yang dikatakan oleh YTH ini salah. Tritunggal dipakai untuk menyebut Allah, the triune God (Father, Son, and Holy Spirit), sehingga kita dapat berkata Allah Tritunggal: Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Sedangkan mengenai doktrinnya, bukan disebut  doktrin Tritunggal, melainkan doktrin Trinitas.  Dengan demikian uraian singkat YTH yang dikutip di atas ini, bukan menyangkut Tritunggal, melainkan menyangkut ajaran atau doktrin Trinitas.

YTH mengatakan: “tiga pribadi ilahi (hypostasis) dalam satu hakikat (ousia)”. Penggunaan istilah dalam pernyataan ini sangat rancu. Pertama, makna lugas  kata Gerika, hypostasis, yaitu “substance, essence”, yang diindonesiakan menjadi “substansi, esensi”. Dengan demikian, “substansi” dan “esensi” tidak perlu dibedakan secara tajam, sebab “substansi” dan “esensi” terhisab ke dalam medan makna kata hypostasis. Dan kata “hakikat” itu pun terhisab ke dalam medan makna kata “esensi”. Kedua, kata Gerika, hypostasis, dipergunakan sebagai metafora untuk menyatakan tentang “the essence or real personal subsistence or substance of each of the three divisions of the Trinity” (Chambers Twentieth Century Dictionary, 1972: 644).

Dalam teologi Kristen, hypostasis dirumuskan sebagai “one of the three real and distinct subsistences in the one undivided substance  or essence  of God; a person of the Trinity; the one personality of Christ in which His two natures, human and divine, are united.”  (The Lexicon Webster Dictionary 1977:473). Dalam rumusan ini kita lihat bahwa kata “substance” (substansi) dan “essence” (esensi)  dipergunakan untuk menyatakan arti yang bersinonim. Itulah sebabnya, doktrin Trinitas yang bersumber pada Pengakuan Iman Nicea Konstantinopel dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bapa, Anak, dan Roh Kudus beda satu dengan lain. Bapa bukan Anak, Anak Bukan Bapa  juga bukan Roh Kudus; seperti Bapa juga bukan Roh Kudus. Kendatipun Bapa, Anak, dan Roh Kudus berbeda namun Bapa, Anak, dan Roh Kudus satu Allah. Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, dan Roh Kudus juga adalah Allah. Kalau Bapa, Anak, dan Roh Kudus kumpul, Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya satu Allah. Begitu juga kalau Bapa, Anak, dan Roh Kudus ada sendiri-sendiri—Bapa, Anak, dan Roh Kudus tetap satu Allah. Dari pertama sekali, sebelum dunia ada, Tuhan Allah sudah ada sebagai satu Allah: sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Allah inilah (Bapa, Anak, dan Roh Kudus) yang menciptakan dunia dan manusia”. Inilah inti doktrin Trinitas yang dianut juga oleh GMIT (Gereja Masehi Injili Timor), di mana saya terhisab sebagai warga dan memilih untuk berbakti di gereja Imanuel Oepura Kupang (dan sejak 18 Desember 2011, berbakti di gereja Gunung Sinai Naikolan [GMIT]) namun saya tidak mengamini inti doktrin Trinitas sebagaimana dikutip di atas ini.

 Berkenaan dengan hypostasis dan ousia, YTH menjelaskan pada catatan kaki butir 5 bahwa “baik kata hypostasis maupun ousia muncul dalam Alkitab (Lukas 15:12-13 “bagian/harta”; Ibrani 1:3 “wujud”). Kata Gerika ousias/ousian dalam Lukas 15:12,13)  dari kata dasar ousia, memang artinya harta milik. Yang menjadi pertanyaan ialah, apakah harta milik bersinonim dengan hakikat dan/atau harta milik identik dengan hakikat?  Pertanyaan ini diajukan, mengingat YTH mencatat  sebelumnya tentang pribadi ilahi (hypostasis) dan hakikat (ousia). Ternyata YTH melakukan kesalahan dalam perujukan. Ada kata Gerika lain yaitu, ousiā, yang artinya “eksistensi, substansi, esensi/hakikat”. Kata Gerika ousia dan ousiā  adalah homonim. Yang dimaksudkan dengan homonim ialah dua kata atau lebih yang ejaannya atau lafalnya sama, tetapi maknanya berbeda. Kata Gerika, ousiā  yang berarti “eksistensi, substansi, esensi/hakikat” inilah yang terdapat dalam bentuk kata homoiousian, yang berasal dari kata homos = same; homoios = like, similar  dan ousiā = being (= existence; substance; essence). (periksa, Chambers Twentieth Century Dictionary 1972:625,117). Dalam teologi Kristen kata homoiousian artinya “believing the Father and Son to be of similar essence” (Ibid.); atau “an adherent of a 4th century church party which asserted that the essence of the Son is similar to, but not  the same as, that of the Father” (The Lexicon Webster Dictionary 1977:460). Arti kata homoiousian inilah yang tersirat dalam istilah teologi homoousios.

Catatan:  Ketika Konsili Nicea diadakan pada tahun 325 yang dipimpin langsung oleh Konstantinus yang menjadi kaisar dalam kerajaan Roma raya, atas nasihat dari ahli teologinya yang bernama Hosios, uskup dari Kordoba, maka kaisar Konstantinus dengan paksa mengusulkan kata homoousios untuk dikenakan pada Yesus. Kata itu artinya “Yesus sama dengan Allah Bapa. Yesus adalah Allah; Allah yang menjadi manusia. Jadi, Yesus benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Bukan seperti pandangan Arius yang mengatakan bahwa Yesus setengah Allah setengah manusia. Pada saat itu, uskup-uskup tidak bisa melawan. Mereka berpikir bahwa inilah jalan yang paling baik untuk mengatasi persoalan, sekalipun belum jelas bagi mereka arti homoousios itu. (Dr. Eben Nuban Timo. Sejarah Pengakuan Iman Rasuli. Yayasan Afnekan GMIT 2004:28).

Salah satu uskup bernama Eusebius dari Kaesarea yang dalam Konsili Nicea memegang peranan penting dan mendapat tempat terhormat, yaitu duduk di sebelah kanan kaisar Konstantinus yang memimpin Konsili, sebenarnya tidak setuju, mengajukan keberatan, dan menghindari pemakaian istilah homoousios, karena menurut keyakinannya istilah ini tidak alkitabiah, jauh menyimpang dari Kitab Suci. Namun, istilah homoousios akhirnya dia terima juga dalam Konsili Nicea karena terpaksa. Patut dicatat di sini bahwa Eusebius adalah sahabat karib kaisar Konstantinus, sehingga   Eusebius dipercayakan untuk mengawasi salinan-salinan Kitab Suci yang dipakai dalam Gereja Konstantinopel (Dr. F.D. Wellem, M.Th. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-Tokoh dalam Sejarah Gereja. BPK Gunung Mulia Jakarta 2003:76).

 Lalu, bagaimanakah dengan hypostasis  yang YTH hubungkan dengan Ibrani 1:3 dengan menunjuk pada kata “wujud”? Lagi-lagi pada bagian ini YTH keliru. Mari kita perhatikan frasa Ibrani 1:3 transkripsi bahasa Gerika berikut ini: hos ōn apaugasma tēs doxēs kai charaktēr tēs hupostaseōs autou,… Terjemahan LAI: “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah,”. Ungkapan gambar wujud adalah terjemahan dari kata Gerika charaktēr (= gambar wujud yang sempurna [rupa yang persis sama dengan aslinya]). Dengan demikian, terlihat bahwa LAI tidak menerjemahkan kata Gerika hupostaseōs, yang dalam teks Ibrani 1:3 berarti “substance” (substansi), yang dalam RSV diterjemahkan dengan “nature” , dan dalam GNB diterjemahkan dengan “being” (= existence, substance, essence).

Beralih ke halaman 2 tulisan YTH, maka dengan mempertimbangkan catatan-catatan di atas ini mudah-mudahan YTH dapat menyadari bahwa pemahaman tentang hakikat tak terpisahkan dari substansi dan esensi. Namun ‘loncatan pikiran’ YTH yang tersirat dalam pernyataannya, “Allah pasti BUKAN berhubungan dengan materi. Allah adalah roh (Yoh 4:24; 2Kor 3:17-18), sehingga tidak relevan kalau kita membicarakan-Nya dalam konteks materi atau ruang (Yoh 4:21,23; Kis 17:24)”  membuat saya bertanya: apa gerangan relevansi pernyataan ini dengan doktrin Trinitas dan/atau sebutan Allah Tritunggal? Benar, Allah bukan materi. Sebab Allah adalah roh. Tetapi  juga “Allah adalah terang” (1 Yohanes 1:5,6), “Allah adalah benar” (Yohanes3:33); “Allah damai sejahtera” (1 Tesalonika 5:23); “Allah sumber pengharapan” (Roma 15:13); “Allah adalah kasih” (1 Yohanes 4:8, dyb.); “Allah (adalah) kudus” (Imamat 11:44,45; 19:2; 1 Petrus 1:16); “Allah adalah sempurna” (Matius 5:48); “Allah adalah setia” (1 Korintus 1:9), yang pada hakikatnya menjadi “materi” (= sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, pertimbangan, perenungan, percakapan, diskusi), yang pada gilirannya melahirkan teologi.

Allah dalam Alkitab dipahami sebagai yang omnipoten (berkuasa di mana-mana), omnisiens (serba mengetahui), dan benar-benar pencipta yang baik atas segala sesuatu yang ada. Diharapkan bahwa ketaatan kepada Allah akan membawa kesejahteraan personal dan komunal serta terhindar dari bahaya. Ketaatan tersebut dilakukan dalam cara hidup yang telah ditentukan.  Dalam Perjanjian Lama, Taurat berisi hukum ritual dan perilaku etis, dan itu semua dianggap langsung berasal dari Allah. Karena itu, bagi umat Israel, percaya kepada Allah berarti harus pula ambil bagian dalam kehidupan persekutuan dan upacara-upacaranya. Allah yang transenden  (di luar segala kesanggupan manusia) adalah juga Allah yang berkenan merendahkan diri untuk diam di tengah-tengah umat-Nya. Orang Ibrani percaya bahwa “Kemah Suci” adalah “hadirat Allah” di tengah-tengah mereka dan pada waktunya Allah diam di Bait-Nya (Keluaran 40:34-38; Bilangan 9:15-23). Allah dipandang sebagai Allah yang menuntut kebenaran dan keadilan, dan murka-Nya akan ditimpakan kepada mereka yang tidak taat kepada-Nya.

Dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sangat banyak kita temukan kesaksian tentang Allah berhubungan dengan materi sebagai simbol karya/penciptaan-Nya,  kehadiran-Nya, kasih-Nya, penyertaan-Nya, perlindungan-Nya, murka-Nya dan penghukuman-Nya. Di sini saya tidak perlu memberikan  banyak contoh sebab YTH dapat memahami satu dua contoh yang saya sebutkan berikut ini. “Malaikat TUHAN menampakkan diri kepada Musa di dalam nyala api yang keluar dari semak duri” (Keluaran 3:2,dyb). Perhatikan Keluaran 4:1-17, bagaimana Allah berhubungan dengan materi dalam rangka menyatakan kehadiran-Nya, kuasa-Nya, dan penyertaan-Nya terhadap Musa yang diutus-Nya. Perhatikan pula Keluaran 19:1-25, bagaimana Allah berhubungan dengan materi dalam menampakkan diri dan kuasa-Nya kepada Musa. Terlalu banyak untuk mengemukakan semuanya di sini. Dan dalam terang kesaksian Perjanjian Baru, sesungguhnya percakapan tentang Allah yang adalah roh, terang, benar, damai sejahtera, sumber pengharapan, kasih, kudus, sempurna, dan setia itu tidak dapat dipisahkan dari konteks materi, ruang, dan waktu, karena Allah di dalam Yesus Kristus telah masuk ke dalam sejarah manusia. Dan di dalam perkembangan sejarah manusia, Yesus Kristus tidak berdiri sendiri, tetapi Ia—melalui ajaran-Nya maupun kehidupan-Nya—merupakan perwujudan hakikat dan kehendak Allah yang adalah roh, terang, benar, damai sejahtera, sumber pengharapan, kasih, kudus, sempurna, dan setia.

Masih pada halaman 2, YTH mengemukakan pernyataan begini: “Terlepas dari ambiguitas arti dari masing-masing istilah yang dipakai, doktrin Tritunggal dapat diterangkan sebagai berikut:” Berkenaan dengan pernyataan YTH ini ada dua hal yang ingin saya kemukakan. Pertama, kalau arti sebuah istilah yang dipakai untuk mengungkapkan sebuah konsep sudah ambigu, niscaya orang tidak akan sampai pada pemahaman yang baik dan benar. Perhatikan uraian tentang arti kata ousia, ousiān, dan hypostasis, serta trinitas dan Tritunggal  yang telah dikemukakan di atas. Kedua, perlu ditegaskan lagi bahwa penyebutan doktrin Tritunggal itu salah. Istilah Tritunggal tidak pernah dipakai untuk dogma atau doktrin gereja tentang Allah. Kalau ada teolog (entah dia bergelar doktor maupun profesor) yang menyebut doktrin Tritunggal sehingga YTH mengutip istilah itu, maka teolog itu telah melakukan kesalahan yang memalukan sekali. Dan juga memalukan, karena YTH mengutip kesalahan yang dilakukan orang lain sebagai sebuah kebenaran. Penyebutan istilah yang benar ialah doktrin Trinitas atau ajaran Trinitas. Dalam bahasa Inggris disebut “Doctrine of the Trinity”. Sedangkan istilah Tritunggal dipakai  untuk menyebut tentang Allah—the triune God (= Allah Tritunggal [Bapa, Anak, dan Roh Kudus]).  Pada halaman 2, 4, 5, dst., YTH tetap menyebut istilah doktrin Tritunggal. Penyebutan ini salah, dan memberi petunjuk bahwa memang YTH tidak tahu perbedaan konsepsi yang tersirat dalam istilah Trinitas dan Tritunggal.. Mudah-mudahan YTH insaf, karena orang-orang di luar gereja (yang bukan kristen) akan mengejek: “Ah, bagaimana seorang pendeta, penganut doktrin Trinitas, yang percaya kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak, dan Roh Kudus), kok bisa salah menggunakan istilah terkait dengan doktrin gereja yang dianutnya?!”


Selanjutnya, YTH menerangkan tentang Tritunggal sebagai berikut:

• Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah setara dalam hakikat di antara ketiganya, tidak ada yang hakikatnya  lebih tinggi atau lebih rendah.

• Ketiganya tidak hanya memiliki hakikat yang setara, tetapi juga hakikat yang  satu. Tritunggal tidak  mengajarkan adanya “tiga atau banyak Allah” yang bersatu” (triteisme/politeisme).

• Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah pribadi yang berbeda. Hal ini terlihat dengan jelas pada waktu peristiwa baptisan Yesus (Mat 3:16-17) dan teks-teks lain yang menunjukkan  adanya komunikasi antara Bapa dan Anak (Yoh 11:41-42).

• Ketiga pribadi dalam Tritunggal adalah satu Allah dan satu-satunya Allah yang benar. Walaupun dalam dunia ini banyak yang disebut atau dianggap allah, tetapi bagi kita hanya satu Allah (Ul 6:4; Kel 20:3; 1Kor 8:5; Gal 4:8 (kamu memperhambakan diri kepada allah-allah yang pada hakikatnya [phusis] bukan Allah).

            Doktrin Trinitas yang menjelaskan tentang Allah Tritunggal secara ringkas sebagaimana dikutip di atas ini sesungguhnya tidak Alkitabiah, sekalipun  ayat-ayat  Alkitab dikutip untuk membenarkan doktrin tersebut. Berikut ini saya akan memberikan beberapa catatan berdasarkan data ayat-ayat kitab Perjanjian Baru secara komprehensif.

PERTAMA: Di dalam keempat kitab Injil, Yesus menggunakan sebutan/sapaan “Bapa”  bagi Allah”, sebanyak 148 kali di dalam berbagai hubungan.  “Bapa” digunakan dalam 61 ayat; “Ya Bapa” digunakan dalam doa kepada Allah, dalam 17 ayat; “Bapa-Ku” digunakan dalam 50 ayat; “Bapamu”, kadang-kadang “Bapamu yang di surga”, digunakan dalam 18 ayat; “Bapa kami”, digunakan dalam “doa Bapa kami” (Matius 6:9; Lukas 11:2).  Secara keseluruhan, sebutan/sapaan “Bapa” yang ditujukan kepada “Allah” terdapat kira-kira 300 kali di dalam kitab Perjanjian Baru (Robert Ernest Hume, Ph.D. The World’s Living Religions. New York 1933:251).

Berdasarkan penjelasan di atas ini, “Bapa” adalah sapaan/sebutan yang Yesus tujukan kepada “Allah”. Dalam Yohanes 8:54, Yesus berkata: “……Bapa-Kulah yang memuliakan Aku, tentang siapa kamu berkata: Dia adalah Allah kami,”  Jadi, frasa yang berbunyi Bapa-Kulah yang memuliakan Aku,”  sama dengan Allah-Kulah yang memuliakan Aku”. Dan kalau Yesus mengajar murid-murid-Nya berdoa: Bapa kami yang di sorga,”  maka sebutan Bapa dalam frasa ini adalah sebutan yang ditujukan kepada Allah”.  Oleh karena Yesus menyebut “Allah” sebagai “Bapa” dan mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa kepada Allah dengan menyebut Allah sebagai Bapa, maka dengan demikian Allah yang omnipoten (mahakuasa) menjadi Bapa (pengayom) yang ideal bagi semua umat manusia (Efesus 3:14-15). Sehingga Paulus pun menegaskan, “namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup…” (1 Korintus 8:6). Berdasarkan penghayatan inilah muncul ungkapan “Allah Bapa” (1 Tesalonika 1:1, par.); “Allah, Bapa kita” (1 Korintus 1:3, par.); “Allah dan Bapa kita” (Galatia 1:4, par.). Ya, karena Yesus sendiri mengatakan bahwa “Allah” adalah “Bapa-Nya” dalam frasa “Bapa-Ku ……Allah-Ku” (Yohanes 20:17), maka “Allah” juga disapa/disebut “Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (Efesus 1:3, par).

Catatan: Pada halaman 2, Doktrin Tritunggal: Penjelasan dan Pembelaan (6): Bapa Sebagai Allah, YTH mengatakan sebagai berikut: “Jika segala sesuatu – termasuk manusia – diciptakan oleh Yesus (Yoh 1:3; Kol 1:16), maka Yesus paling tidak layak untuk disebut sebagai Bapa dalam arti nativistik (band. Kis 17:28). Alkitab pun pernah menyebut Yesus sebagai Bapa (Yes 9:6 ‘Bapa yang kekal’).”  Pernyataan YTH ini menunjukkan bahwa YTH memiliki pemahaman yang keliru atas kerugma Yohanes 1:3; Kolose 1:16; Kisah 17:28; dan Yesaya 9:6. Baiklah kita simak ayat-ayat tersebut.

(1) Yohanes 1:3: “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan”.  YTH  berasumsi ayat ini menyaksikan  bahwa Yesus adalah pencipta segala sesuatu termasuk manusia. Karena itu, Yesus layak disebut sebagai Bapa. Frasa “Segala sesuatu dijadikan oleh Dia”, transkripsi teks Gerika, panta di’ autou egeneto, lebih tepat diterjemahkan: “Segala sesuatu dijadikan dengan perantaraan Dia…”  Kata Gerika dia, yang ditulis di’  di depan autou egeneto, tidak seharusnya diterjemahkan ‘oleh’, melainkan seharusnya diterjemahkan ‘dengan perantaraan’ (= by the instrumentality of)  yang menyatakan ‘bertindak sebagai perantara’ dan bukannya sebagai ‘pencipta yang orisinal (baca, Alexander Souter, M.A. A Pocket Lexicon To The Greek New Testament, Hlm.61, entry  dia.). Kata Gerika dia  yang berarti ‘dengan perantaraan’  terdapat juga dalam Matius 1:22:  “Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi…” (Gerika, dia tou prophētou, terjemahan yang tepat, ‘dengan perantaraan nabi’). Begitu pula dengan kata Gerika dia dalam 1 Korintus 8:6: “…yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup; transkripsi Gerika: di’ hou ta panta kai hēmeis di’ autou. Terjemahan yang tepat, ‘yang dengan perantaraan-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan dengan perantaraan Dia kita hidup.’

(2) Kolose 1:16, khususnya frasa yang berbunyi ‘…segala sesuatu diciptakan oleh Dia...’ transkripsi Gerika, ta panta di’ autou,  sangat tepat diterjemahkan: ‘segala sesuatu diciptakan dengan perantaraan Dia.’  Kata Gerika, dia, dapat juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan kata through; dan apabila diterjemahkan dengan by, maka arti kata by lebih tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan perantaraan.

(3) Kisah 17:28. Sangat keliru sekali apabila YTH berasumsi bahwa Kisah 17:28 merupakan kesaksian Paulus tentang Yesus. Kisah 17:28 harus dicermati hubungannya  mulai dari ayat 22 sampai dengan ayat 31. Di situ Paulus tampil sebagai saksi Kristus dan pemberita Injil, yang memanfaatkan pengertian-pengertian keagamaan dan kebudayaan orang-orang Atena (namun tidak menyembahnya) untuk bersaksi tentang ‘Allah yang diimaninya di dalam Yesus Kristus, yaitu Allah yang tidak dikenal oleh orang-orang Atena (ayat 23), yang  telah menjadikan bumi dan segala isinya, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi…(ayat 24), yang memberikan hidup dan nafas dan segala sesuatu kepada semua orang (ayat 25), yang dari satu orang saja [yaitu Adam] Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka (ayat 26), supaya mereka mencari Dia dan mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia, walaupun Ia tidak jauh dari kita masing-masing (ayat 27); sebab di dalam Dia kita hidup, kita bergerak, kita ada, seperti yang telah juga dikatakan oleh pujangga-pujanggamu: Sebab kita ini dari keturunan Allah juga (ayat 28).

 Dengan melakukan kesaksian dan pemberitaan tentang Allah yang diimani di dalam Yesus Kristus dengan memanfaatkan pengertian-pengertian keagamaan dan kebudayaan orang-orang Atena seperti itulah, maka Paulus mulai mengarahkan perhatian orang-orang Atena untuk menginsafi kesia-siaan peribadatan mereka untuk datang kepada pertobatan (ayat 29-30), karena Allah telah menetapkan suatu hari di mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia dengan perantaraan seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati (ayat 31). Camkan baik-baik: kesaksian Paulus tentang Yesus dan kebangkitan-Nya, serta peranan-Nya sebagai hakim akhir zaman, baru dinyatakan secara tersirat (tanpa menyebut nama Yesus) dalam ayat 31. Sementara kesaksian Paulus mulai ayat 22 sampai 29 adalah tentang ‘Allah yang diimani di dalam Yesus Kristus’ dengan bertolak dari ‘Allah yang tidak dikenal’ yang tertulis pada sebuah mezbah (ayat 23). Dengan demikian, sungguh sangat keliru apabila YTH berasumsi bahwa Kisah 17:28 menyaksikan tentang Yesus, sehingga Yesus dapat disebut sebagai Bapa dalam arti nativistik.

 (4) Yesaya 9:5: “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebut orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.”  Ayat ini diadopsi sebagai nubuat mesianik yang digenapi oleh Yesus. YTH mengutip ayat ini untuk mengukuhkan asumsinya tentang Yesus disebut sebagai Bapa. Perlu diperhatikan bahwa  pemahaman atas Yesaya 9:5 harus dikaitkan dengan ayat 6, sebab ayat 5 dan 6 itu merupakan suatu kesatuan. Benarkah Yesaya 9:5-6 itu merupakan nubuat mesianik yang digenapi oleh Yesus? Jawab saya tegas: tidak. Yesaya 9:5-6 itu adalah nubuat mesianik politis berkenaan dengan seorang raja  yang dinanti-nantikan kedatangannya untuk duduk di atas takhta Daud guna memerintah bangsa Israel. Yesus tidak datang ke dunia untuk menggenapi nubuat mesianik politis itu!  Perhatikan sikap Yesus sebagaimana tertulis dalam Yohanes 6:14-15: “Ketika orang-orang itu melihat mujizat yang telah diadakan-Nya, mereka berkata: ‘Dia ini adalah benar-benar Nabi yang akan datang ke dalam dunia’. Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.” Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Yesus bukan datang ke dunia untuk memenuhi nubuat mesianik politis Yesaya 9:5-6 (par).  Yesus datang ke dunia untuk memenuhi nubuat mesianik Hamba TUHAN yang menderita  sebagaimana tertulis dalam Yesaya 53 (par). Dengan demikian, menyebut Yesus dengan sebutan Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai, adalah salah kaprah yang telah berabad-abad disebarluaskan melalui doktrin gereja!.

KEDUA:  Tentang “Anak”. Di dalam keempat kitab Injil dan keseluruhan kitab Perjanjian Baru, Yesus disebut “Anak Allah Yang Mahatinggi” (Lukas 1:32); “kudus, Anak Allah” (ayat 35); “Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa” (Yohanes 1:18). Sesudah Yesus  dibaptis, terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Matius 3:17, par.). Yesus sendiri menyaksikan tentang diri-Nya sebagai Anak (Yohanes 5:1-19-26, dyb). Dan perlu dicamkan bahwa di dalam keempat Injil dan keseluruhan kitab Perjanjian Baru, tidak terdapat satu ayat pun yang menyebut Yesus sebagai “Allah Anak”. Sebutan Allah Anak yang dikenakan kepada Yesus dikembangkan dalam teologi kristen berdasarkan  analogi (yang keliru). Karena di dalam Perjjanjian Baru ada sebutan Allah Bapa, maka Yesus sebagai Anak  disebut Allah Anak, begitu pula Roh Kudus disebut Allah Roh Kudus. Padahal, kenyataannya di dalam Perjanjian Baru tidak terdapat satu ayat pun yang menyebut  Allah Anak  dan Allah Roh Kudus.

Gelar Anak Allah di dalam alam kepercayaan Yahudi, erat hubungannya dengan mesias. Di dunia Timur memang tidak asing bahwa raja itu diakui sebagai anak Allah. Dalam kitab 2 Samuel 7:12-14,  TUHAN berkata dengan perantaraan nabi Natan kepada Daud: “… maka Aku akan membangkitkan keturunanmu yang kemudian, anak kandungmu, dan Aku akan mengokohkan kerajaannya. Dialah yang akan mendirikan rumah bagi nama-Ku dan Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya untuk selama-lamanya. Aku akan menjadi Bapanya, dan ia akan menjadi anak-Ku. …”

Pada waktu penobatan raja, biasa ada pernyataan ilahi yang berbunyi: “Pada hari ini Aku (Allah) memperanakkan engkau.”  Pernyataan ilahi pada waktu penobatan raja seperti ini masih dapat dikenali bunyi pernyataannya dalam Mazmur 2:7: “… ketetapan TUHAN; Ia berkata kepadaku: ‘Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini.”  Pengertian seperti ini masih tersimpan dalam tradisi cerita pembaptisan Yesus. Pada saat pembaptisan Yesus itu terdengar suara dari surga yang menyatakan: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Markus 1:11, par.), begitu juga ketika Yesus dimuliakan di atas gunung (Matius 17:5.); dan kesaksian Paulus tentang Yesus (Kisah 13:32-34). Anak Allah di sini adalah Mandataris dari Allah. Mandataris artinya ‘orang yang menerima (diserahi, menjalankan) mandat. Dan ‘mandat’ itu sendiri artinya ‘kekuasaan untuk melakukan kewenangan kekuasaan dari pihak yang memberikan mandat’. (baca, Yohanes 5:19-43; par.). Seperti itulah kedudukan dan kewibawaan Yesus, karena itu Yesus mempunyai kuasa Ilahi sehingga roh-roh jahat takut kepada-Nya (Markus 3:11; 5:7-8). Demikianlah Yesus adalah Anak Allah. Kemudian, di lingkungan alam Yunani lebih berkembanglah pengertian Anak Allah secara metafisik (Matius 1:18-25; Lukas 1:26-38). Pengertian Anak Allah secara metafisik yang khas diwarnai filsafat Heraklitus, tersirat dalam Injil Yohanes 1:1-18 (Baca, tulisan saya berjudul “Logos”). Garis pengertian metafisik ini semakin nyata pada abad-abad berikut sesuai dengan perkembangan kepercayaan Kristen ke daerah-daerah kebudayaan Yunani, seperti tampak dalam Konsili Nicea tahun 325 M, dimana kedudukan ilahi yang pasti diberikan kepadaYesus.

Catatan: Dalam Doktrin Tritunggal: Penjelasan dan Pembelaan (8): Keilahian Yesus: Gelar “Anak Allah”, mulai dari halaman 1-6, YTH menjelaskan tentang ‘Yesus sebagai Anak Allah; dan sebutan Anak Allah untuk Yesus menyiratkan kesetaraan dengan Allah’. Pada halaman 2, YTH mengemukakan sanggahannya terhadap konsepsi tentang Anak Allah menurut kaum non-Trinitarian.. Namun sayangnya, sanggahan YTH sangat lemah, padahal konsepsi tentang Anak Allah dari kaum non-Trinitarian yang dikutip YTH itu sangat rancu. YTH tidak mengemukakan latar belakang konsepsi tentang Anak Allah sebagaimana saya kemukakan di atas.
             Pada halaman 3 YTH mengatakan bahwa sebutan Anak Allah untuk Yesus menyiratkan kesetaraan dengan Allah. Ini merupakan pandangan kaum ortodoks dan kaum fundamentalis ekstrem pada umumnya, yang biasanya merujuk pada Yohanes 10:30: “Aku dan Bapa adalah satu”;  Yohanes 10:38: “Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa”;  Yohanes 14:10: “…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku…” Akan tetapi dengan ayat-ayat itu Yesus sesungguhnya  tidak menyetarakan  diri-Nya dengan Allah. Ayat-ayat itu hanya mau menegaskan tentang “persatuan dan keselarasan hubungan timbal balik yang esensial antara Yesus (Anak) dan Allah (Bapa). Mengenai topik ini, baca tulisan saya, “Yohanes 10:30” (“Menyiasati Tanggapan Balik Pdt. Budi Asali, M.Div., dan Esra Alfred Soru, S.Th., Atas Tanggapan A. G. Hadzarmawit Netti”, halaman 40-46).
Yesus tetap menyadari diri-Nya sebagai Anak yang diutus oleh Bapa, yaitu Allah (Yohanes 3:33-35; 5:19-43); Yesus tetap menyadari bahwa Ia tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Nya sendiri, dan tidak menuruti kehendak-Nya sendiri, melainkan kehendak Dia (Bapa) yang mengutus-Nya (Yohanes 5:30; 8:28-29; 12:4-50). Yesus tetap menyadari bahwa segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Nya supaya dilaksanakan, itulah yang dikerjakan-Nya (Yohanes 5:36;14:31). Yesus tetap menyadari eksistensinya, bahwa Bapa lebih besar dari pada-Nya sebagai Anak (Yohanes 14:28). Dalam ilustrasi yang lain Yesus berkata: “Seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutus” (Yohanes 13:16). Berdasarkan ayat ini, “Bapa” yang mengutus lebih besar dari pada “Anak” yang diutus. Dan Allah yang Mahakudus lebih besar dari pada Yesus, Hamba Allah yang kudus (baca, Kisah Para Rasul 4:27,30, dimana Yesus disebut ‘Hamba-Mu [Hamba Allah] yang kudus’). Dan oleh karena Allah (Bapa) lebih besar dari Yesus (Anak), maka Paulus berkata, “…Kepala dari Kristus ialah Allah” (1 Korintus 11:3); “Kristus adalah milik Allah” (1 Korintus 3:23); “……maka Ia (Kristus Yesus) sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia (Allah), yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Korintus 15:28).
Namun lucunya, YTH tetap bersikukuh bahwa  Yohanes 5:19-24 memberikan indikasi kuat tentang kesetaraan antara Yesus dan Bapa. Empat butir alasan yang YTH kemukakan, akan saya uji kebenarannya . (1) Anak melakukan apa saja yang dilakukan oleh Bapa (ayat 19b). Untuk mampu melakukan apa saja yang dilakukan Bapa, maka Yesus harus memiliki kuasa yang setara dengan Bapa. Begitulah kata YTH. Sayang sekali bahwa YTH melangkaui pernyataan Yesus yang berbunyi: “Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari dirinya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya…” (ayat 19a); “Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri;…” (ayat 30a); “Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku,” (ayat 30c); “segala pekerjaan yang diserahkan Bapa kepada-Ku, supaya Aku melaksanakannya. Pekerjaan itu juga yang Kukerjakan sekarang, dan itulah yang memberi kesaksian tentang Aku, bahwa Bapa yang mengutus Aku” (ayat 36).
Catatan: YTH mengatakan bahwa LAI:TB tidak menerjemahkan kata ha……tauta yang seharusnya diterjemahkan “apa saja”. Lihat semua versi Inggris. Perlu YTH ketahui bahwa terjemahan versi Good News Bible dan Today’s English Version berbunyi begini: “…What the Father does, the Son also does” (Apa yang Bapa kerjakan, Anak juga kerjakan). Transkripsi teks Gerika begini: ha gar ekeinos poiē(i), tauta kai ho huios homoiōs poiei. Terjemahan harafiah dari saya: “Karena apa yang dikerjakan (Bapa), seperti itu juga Anak kerjakan.”  Dalam teks Gerika, tidak ada kata yang berarti “saja” yang YTH katakan tidak diterjemahkan oleh LAI:TB. Rupanya YTH harus mencamkan kesaksian Petrus yang dipenuhi Roh Kudus di hari Pentakosta: “Hai orang-orang Israel, Dengarlah perkataan ini: Yang  kumaksudkan, ialah Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang dilakukan Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu, seperti yang kamu tahu.”
(2) Anak memberi hidup kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya (ayat 21). Otoritas ini setara dengan otoritas Bapa (band. “sama seperti Bapa membangkitkan orang mati dan menghidupkannya…”). Bukan hanya itu, Anak juga memiliki kebebasan penuh untuk menghidupkan  barangsiapa yang dikehendaki-Nya. Begitulah keyakinan YTH. Saya heran, mengapa YTH tidak memperhatikan ayat 20 yang berbunyi: “Sebab Bapa mengasihi Anak dan Ia menunjukkan kepada-Nya segala sesuatu yang dikerjakan-Nya sendiri, bahkan Ia akan menunjukkan kepada-Nya pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar lagi dari pada pekerjaan-pekerjaan itu, sehingga kamu menjadi heran.”  Ayat 21 terkait erat dengan ayat 20, sebagaimana ayat 20 terkait erat dengan ayat 19. Pendek kata, Yohanes 5:19 sampai dengan ayat 47 berisi satu rangkaian kesatuan kerugma yang harus diperhatikan secara komprehensif. Dan apabila ayat 20 secara cermat dipertimbangkan sesuai ruang dan waktunya ketika ayat itu diucapkan oleh Yesus—“pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada pekerjaan-pekerjaan yang telah dikerjakan oleh Yesus, belum diserahkan oleh Allah (Bapa) kepadaYesus—maka bukankah ini memberi petunjuk bahwa Bapa lebih besar dari pada Anak, seperti kata Yesus dalam Yohanes 14:28?
(3) Anak menjalankan penghakiman atas semua manusia (ayat 22). Pernyataan ini menyiratkan kesetaraan dengan Bapa, karena bagi orang Yahudi, Hakim seluruh bumi adalah Allah (Kej 18:25). Dalam tulisan para rabi disebutkan bahwa hak ini merupakan prerogatif Allah yang tidak akan diberikan kepada siapapun, termasuk mesias. Begitulah kata YTH. Sayang sekali bahwa YTH tidak melihat hubungan antara ayat 22 dengan ayat 27 yang berbunyi: “Dan Ia [Allah] telah memberikan kuasa kepada-Nya [= Anak] untuk menghakimi, karena Ia [= Anak] adalah Anak Manusia”. Selain itu, mengapa YTH lupa kesaksian Petrus: “Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah [= Yesus] yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang yang hidup dan orang-orang mati” (Kisah 10:42; juga kesaksian Paulus dalam Kisah 17:31; dyb.).YTH mengatakan bahwa dalam tulisan para rabi disebutkan bahwa hak menghakimi merupakan prerogatif Allah yang tidak akan diberikan kepada siapapun, termasuk kepada mesias. Saya tidak tahu tulisan rabi-rabi mana yang dirujuk oleh YTH. Tetapi saya persilakan YTH membaca kesaksian Petrus dalam Kisah 10:43: “Tentang Dialah semua nabi bersaksi, bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya, ia akan mendapat pengampunan dosa oleh karena nama-Nya.”  Ayat ini harus dipahami dalam kaitannya dengan ayat 42b yang berbunyi: “…bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati.”  Dengan demikian, Allah yang memiliki hak prerogatif telah melimpahkan kuasa-Nya kepada Yesus untuk menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati.
(4) Anak dan Bapa menerima penghormatan yang sama (ayat 23). Kesimpulan yang dibuat oleh YTH atas ayat 23 ini, sangat salah.  Perhatikan baik-baik. “Ayat 23a merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ayat 22. Jadi, ayat itu harus dibaca begini: “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak, supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa.” Setelah kalimat panjang ini diucapkan, barulah ada tanda titik (.) Baru dilanjutkan lagi dengan ayat 23b: “Barang siapa tidak menghormati Anak, ia juga tidak menghormati Bapa, yang mengutus Dia.”  Ayat 22-23a itu merupakan suatu pemberitahuan atau pemakluman disertai suatu pengharapan. Apakah gerangan pemberitahuan atau pemakluman  itu? Ini: “Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak.” Lalu, apakah pengharapan yang disertakan dengan pemberitahuan atau pemakluman itu? Ini: supaya semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa.”  Perhatikan: kata supaya  yang terdapat di bagian depan kalimat ini adalah “kata penghubung untuk menandai tujuan atau harapan” yang bersinonim dengan kata “agar hendaknya”.  Jadi makna ayat 22-23a itu begini: “Karena Bapa tidak menghakimi siapapun, melainkan Bapa telah menyerahkan penghakiman itu seluruhnya kepada Anak, agar hendaknya  semua orang menghormati Anak sama seperti mereka menghormati Bapa.”  Jadi, ayat 22-23a itu belum menunjukkan bahwa semua orang sudah menghormati Anak seperti penghormatan yang semua orang sudah berikan kepada Bapa, melainkan barulah merupakan suatu pengharapan belaka. Berdasarkan uraian di atas ini, seluruh asumsi YTH berkenaan dengan ayat 23 sebagaimana dikemukakan pada butir 4 itu saya gugurkan.
Berkenaan dengan asumsi YTH seputar Markus 14:61-63 (Matius 26:63-65) pada halaman 5 Doktrin Tritunggal: Penjelasan dan Pembelaan (8): Keilahian Yesus: Gelar “Anak Allah”, saya langkaui saja karena tidak relevan. Saya akan beralih ke halaman 6 untuk menyiasati asumsi YTH tentang  Yohanes 20:31. Untuk itu, ayat 31 perlu dikutip di sini: “tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya.”  Berkenaan dengan ayat ini, YTH berkata: dalam teks ini Yohanes memberitahukan tujuan injilnya, yaitu untuk meyakinkan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah. Apa yang dikatakan oleh YTH ini benar. Lebih tegas lagi, Yohanes 20:31 itu merupakan pernyataan yang bersifat afirmasi. Afirmasi artinya penegasan, peneguhan, penetapan yang positif, pernyataan atau pengakuan yang sungguh-sungguh. Frasa-frasa dalam ayat 31 yang memberi petunjuk bahwa ayat itu merupakan suatu afirmasi , yaitu frasa yang berbunyi: tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya”; dan partikel penegas untuk mengungkapkan penegasan, yaitu -lah, yang ditempatkan di belakang nama Yesus, pada frasa yang berbunyi: bahwa Yesus-lah Mesias, Anak Allah. Sehingga ayat ini apabila diparafrase akan berbunyi: bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias, Anak Allah. Perlu diperhatikan bahwa ayat 31 itu merupakan catatan penutup atau simpulan akhir  dari Yohanes pasal 20 yang mengisahkan tentang kebangkitan Yesus; penampakan diri Yesus kepada Maria Magdalena; penampakan diri Yesus kepada murid-murid-Nya; dan penampakan diri Yesus kepada Thomas.
Dalam penampakan diri kepada Maria Magdalena, terjadi suatu percakapan yang sangat mendasar yang diucapkan Yesus kepada Maria Magdalena: “…sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapa-mu, kepada Allah-Ku dan Allahmu.”  Pernyataan Yesus ini memberi petunjuk secara jelas dan tegas  bahwa Yesus tetap menyadari eksistensi-Nya sebagai Anak, dan Allah sebagai Bapa. Dengan demikian, Yesus adalah Anak Allah.
            Ketika Yesus menampakkan diri kepada Thomas, dalam keheranan/ketakjuban yang luar biasa Tomas berkata kepada Yesus: “Ya Tuhanku dan Allahku!”  Apakah jawaban Thomas ini memberi petunjuk bahwa Yesus adalah Allah?  Tidak demikian! Bacalah tulisan saya berjudul “Pengakuan Tomas”. Jikalau benar Yesus adalah Allah sebagaimana kata Thomas, niscaya penulis Injil Yohanes akan memberi catatan penutup atas Yohanes pasal 20 dengan mengukuhkan pernyataan Thomas bahwa Yesus adalah Allah. Ternyata penulis Injil Yohanes secara tegas mengafirmasi: “bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah…
            Untuk mempertahankan asumsi bahwa Yesus adalah Allah, YTH merujuk pada Yohanes 1:1. Ini memberi petunjuk bahwa YTH menjunjung pandangan ortodoks secara buta. Yohanes 1:1 itu menyaksikan tentang “pra-eksistensi Yesus yang pada mulanya sebagai logos”. Dimana disaksikan bahwa logos itu bersama-sama dengan Allah dan logos adalah Allah. Tetapi bukankah logos itu telah menjadi manusia (Yohanes 1:14); dan untuk menjadi manusia maka logos yang ada dalam   rupa Allah itu telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Filipi 2:6-7); dan manusia  itu bernama Yesus dari Nazaret yang dinobatkan sebagai Anak Allah ? Bukankah setelah kebangkitan dan kenaikan ke surga, “Yesus tetap sebagai Anak Allah yang duduk di sebelah kanan Allah?” Hendaknya YTH ingat bahwa setelah kebangkitan, Yesus tidak naik ke surga untuk berada kembali sebagai Logos. Bahkan berkenaan dengan kedatangan Yesus yang kedua kalinya pada akhir zaman, Yesus lebih menyukai sebutan bagi diri-Nya sebagai  Anak Manusia, yang akan datang pada kesudahan zaman sebagai raja dan hakim untuk menghakimi semua orang yang hidup dan yang mati.

KETIGA: “Roh Kudus” adalah “Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia.”  Dalam Perjanjian Lama hanya terdapat tiga ayat yang secara transparan menyebut “Roh Kudus”, yaitu Yesaya 63:10: “Tetapi mereka memberontak dan mendukakan Roh Kudus-Nya; …” Yesaya 63:11: “…… Di manakah Dia yang menaruh Roh Kudus-Nya dalam hati mereka;”  Mazmur 51:13: “…… dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!”

“Roh Kudus” yang merupakan “Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia”, di dalam kitab Injil, terbaca dalam Matius 1:18: “Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, Ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami isteri.” Lukas 1:35: “Jawab malaikat itu kepadanya: ‘Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau’ ……”  Dan juga tentang kelahiran Yohanes, malaikat Tuhan berkata kepada Zakharia: “Sebab ia akan besar di hadapan Tuhan dan ia tidak akan minum anggur atau  minuman keras dan ia akan penuh dengan Roh Kudus mulai dari rahim ibunya.”  Selanjutnya, ketika Yesus dibaptis, “…… turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya”. Penulis kitab Injil Matius menyebut Roh Kudus dengan sebutan Roh Allah; penulis kitab Injil Markus menyebut Roh Kudus dengan sebutan Roh. Penulis kitab Injil Yohanes 1:33 mengatakan: “Jikalau engkau melihat Roh itu turun ke atas seseorang dan tinggal di atas-Nya, Dialah itu yang akan membaptis dengan Roh Kudus.” Jadi, Roh Kudus dapat disebut Roh, atau Roh Allah, yang tidak lain dan tidak bukan adalah “Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia” sebagaimana telah dikatakan di atas. Dengan “Kuasa Ilahi…”  inilah, yaitu  Roh Kudus, atau Roh Allah¸ Yesus mengusir setan (Matius 12:28; Lukas 11:20). Siapa yang menentang Roh Kudus tidak akan diampuni (baca: Matius 12:32). Mengapa? Sebab menentang Roh Kudus sama artinya dengan menentang Allah sendiri, karena Roh Kudus  adalah “Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia.”

Yesus yang telah berada dalam kehidupan supernatural setelah kebangkitan, dapat memberikan Roh Kudus kepada murid-murid-Nya dengan cara menghembusi murid-murid-Nya (Yohanes 20:22). Dan pada hari Pentakosta, Roh Kudus memenuhi murid-murid Yesus (Kisah 2:4), setelah tiba-tiba turun dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang memenuhi seluruh rumah, dimana murid-murid Yesus berada, dan tampak lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing (Kisah 2:2-3). Petrus dan Yohanes menumpangkan tangan  di atas orang-orang Samaria yang telah menerima firman Allah dan yang telah dibabtis dalam nama Tuhan Yesus, lalu mereka menerima Roh Kudus (Kisah 8:14-17).

Penulis kitab Injil Yohanes mempergunakan kata Gerika paraklētos untuk mempersonifikasi (mengumpamakan Roh Kudus seolah-olah bertindak sebagai manusia) atau mengantropomorfisme (=mengenakan ciri-ciri manusia kepada)  Roh Kudus (Yohanes 14:26, dyb.). Dengan demikian, Roh Kudus yang adalah “Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia”, yang oleh penulis kitab Injil Yohanes disebut Paraklētos itu artinya: seorang yang  menaruh simpati terhadap yang lain; seorang yang bersedia menolong terhadap yang lain (one who speaks in favour of another); seorang yang berdoa atau menyampaikan permohonan untuk orang lain (an intercessor); penolong (helper [Yohanes 14:16]);  penghibur (consoler [Yohanes 14:26; 16:7]). Roh Kudus itu juga disebut Roh Kebenaran (Yohanes 14:17; 16:13).  Roh Kudus yaitu Roh Kebenaran itu tidak akan berkata-kata dari dirinya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengarnya itulah yang akan dinyatakan-Nya…; Roh Kudus yaitu Roh Kebenaran akan memuliakan Yesus (Anak), sebab Ia akan memberitakan apa yang diterimanya dari Yesus (Anak). Segala sesuatu yang Bapa (Allah) punya, adalah juga Anak (Yesus) punya; sebab itu Yesus berkata: Ia ( Roh Kudus atau Roh Kebenaran) akan memberitakan apa yang diterimanya dari Yesus (baca, Yohanes 16:12-15).

Memperhatikan tiga butir catatan di atas inilah kita harus memahami pernyataan Yesus sebagaimana dicatat oleh penulis Injil Matius: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,(Matius 28:19). Dalam ayat ini Yesus menegaskan tiga nama yang diistimewakan benar-benar dalam pembaptisan. Pertanyaan yang patut direnungkan dan dijawab sekarang ialah: siapakah Bapa? Siapakah Anak? Siapakah Roh Kudus? Dengan memperhatikan ketiga butir penjelasan di atas maka jawabannya: Bapa adalah sebutan untuk Allah, yang  dalam Yohanes 17:3, Yesus saksikan sebagai satu-satunya Allah yang benar. Anak adalah sebutan untuk Yesus. Dan Roh Kudus adalah sebutan untuk “Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia.”   Ini berarti: Bapa, Anak, dan Roh Kudus beda satu dengan lain. Bapa bukan Anak, karena Bapa adalah Allah yang disebut sebagai Bapa oleh Yesus sebagai Anak. Anak bukan Bapa dan juga bukan Allah, karena Anak adalah Yesus yang disebut Anak. Dan Roh Kudus bukan Bapa dan bukan Allah; Roh Kudus juga bukan Anak dan juga bukan Yesus yang disebut Anak; melainkan Roh Kudus adalah Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia. Bahkan  ketika Yesus berada dalam kehidupan supernatural setelah kebangkitan, Yesus memberikan Roh Kudus kepada murid-murid-Nya dengan cara menghembusi murid-murid-Nya (Yohanes 20:22). Jikalau demikian, hanya ada satu Allah yang disebut Bapa. Dan Yesus bukan Allah melainkan Anak Allah. Serta Roh Kudus bukan Allah melainkan Kuasa Ilahi yang timbul (keluar) dari kehidupan adikodrati Allah yang berhubungan langsung dengan manusia.

Berdasarkan tinjauan di atas inilah pada tahun 2001, ketika Tuhan menuntun saya untuk mengalami pertobatan pada usia yang keenam puluh tahun, Roh Kudus mengilhami saya untuk berkata begini:  “ALLAH Yang Esa—dalam karya penciptaan, penebusan, dan penyelamatan, menyatakan diri dan penyertaan-Nya dalam citra Bapa sebagaimana diperkenalkan oleh Yesus sebagai Anak-Nya, dan Roh Kudus sebagai Penolong, yang menyertai setiap orang percaya sampai kesudahan zaman.”  Dan inilah inti doktrin Trinitas yang saya anut.***

1 komentar: