Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Minggu, 30 September 2018

Vibrasi Sejarah Dan Vibrasi Kepeloporan Tokoh Sejarah Dalam Eksistensi Bangsa Indonesia Dari Masa Ke Masa

Gambar: akalmu.com


Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


Sebagai seorang pionir teori vibrasi sejarah  yang telah menerbitkan buku Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia (B You Publishing Surabaya 2010); dan sebagai seorang pionir teori vibrasi kepeloporan yang telah mempublikasikan vibrasi kepeloporan sejumlah tokoh yang tampil di pentas politik nasional maupun daerah yang mencalonkan diri sebagai presiden maupun kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota serta anggota DPR dan DPRD); saya terpanggil untuk mewedarkan hasil penelitian dan deteksi tentang vibrasi kepeloporan tokoh-tokoh terkemuka bangsa Indonesia di pentas politik dari masa ke masa. 

Tujuan saya bukan untuk “melawan lupa” seperti yang dilakukan oleh para sejarawan yang  secara periodik  tampil dalam tayang bincang melalui stasiun televisi nasional di Jakarta, yang mengisahkan berbagai peristiwa sejarah masa lampau yang tidak boleh dilupakan; melainkan tujuan saya untuk menyingkapkan vibrasi yang terselindung di balik suatu peristiwa sejarah, gerakan politik dan sebagainya), agar setiap orang dapat menyadari dan memungut hikmah dari vibrasi sejarah masa lalu guna membenahi hidup dan pengabdian pada masa kini demi masa depan secara arif. Analisis dalam buku Vibrasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan dan Vibrasi Eksistensi Bangsa Indonesia  yang diterbitkan pada tahun 2010 itu merupakan bukti yang mengukuhkan apa yang saya katakan di atas ini.

Dengan teori vibrasi kepeloporan saya berupaya mencari tahu hikmah suatu peristiwa sejarah, bobot vibrasi kepeloporan seseorang tokoh dalam hubungannya dengan kedudukan politis yang ingin diraih; serta bobot  kualitas vibrasi kepeloporan dan hasil kerja seseorang tokoh yang telah meraih kedudukan politis yang diincarnya.  Vibrasi kepeloporan juga dapat memberi petunjuk tentang berhasil atau tidak berhasilnya seseorang tokoh dalam upaya meraih kedudukan politis yang diincarnya. Perlu dicatat di sini bahwa skor bobot vibrasi kepeloporan seseorang yang tinggi dalam suatu bidang kehidupan dan pengabdian tertentu tidak serta-merta berlaku  pada bidang  kehidupan dan pengabdian lain. Dan dengan mengetahui bobot vibrasi kepeloporan orang dapat mengendalikan dan/atau menjuruskan ambisinya untuk meraih hasrat yang didambakan.

Berdasarkan uraian pengantar di atas ini saya akan mewedarkan di bawah ini vibrasi sejarah dan vibrasi kepeloporan beberapa tokoh sejarah dalam eksistensi bangsa Indonesia dari masa ke masa, sebagaimana telah uraikan dalam buku yang judulnya telah saya sebutkan di atas, mulai dari zaman pergerakan kemerdekaan sampai kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945; sejarah eksistensi bangsa Indonesia antara 1945 – 1949; sejarah pembebasan Irian Barat sampai timbulnya G-30-S/PKI pada tahun 1965; diterbitkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 sampai  MPRS menetapkan dan melantik Soeharto menjadi Presiden pada tahun 1968; luas siklus vibrasi kepeloporan Soeharto sebagai Presiden RI mencapai kulminasinya pada 11 Maret 1998; setelah itu vibrasi kepeloporan Soeharto  mengalami stagnasi pada tanggal 21 Mei 1998 malam karena guncangan vibrasi reformasi yang sangat dahsyat!

Vibrasi sejarah (siklus vibrasi dan luas siklus vibrasi tonggak sejarah)
antara tahun 1908 sampai tahun 1998/1999
(1) Tahun 1908 tercatat sebagai tonggak sejarah Kebangkitan Nasional. Luas siklus vibrasi Kebangkitan Nasional tahun 1908  adalah 1+9+0+8 = 18 (1+8) = 9. Apabila angka tahun 1908 dijumlahkan dengan angka 9 secara terus-menerus maka luas siklus vibrasi tahun 1908 akan mencapai kulminasinya pada tahun 1998. Kalau pada tahun 1908 tercetus vibrasi Kebangkitan Nasional sebagai tonggak awal sejarah pergerakan kemerdekaan bagi eksistensi bangsa Indonesia pada awal abad ke-20, maka pada tahun 1998 tercetus vibrasi reformasi terhadap eksistensi bangsa Indonesia pada akhir abad ke-20 sebelum bangsa Indonesia  memasuki abad ke-21.

(2) Tahun 1928 tercatat sebagai tonggak sejarah Sumpah Pemuda yang mengikrarkan semangat satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air yaitu Indonesia. Luas siklus vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 adalah 1+9+2+8 = 20 (2+0) = 2. Apabila angka tahun 1928 dijumlahkan dengan angka 2 secara terus-menerus maka siklus vibrasi tahun 1928 mencapai tahun 1948 yang di dalamnya tersirat vibrasi disintegrasi bangsa. Pada tahun 1948 vibrasi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia mengalami ujian dan tantangan yang berat, akan tetapi ternyata eksistensi bangsa Indonesia tetap mempertahankan vibrasi persatuan dan kesatuan bangsa. Apabila perhitungan terus dilanjutkan yaitu 1948 + 2 dan seterusnya, maka siklus vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 akan mencapai tahun 1968 yang di dalamnya tersirat vibrasi eksistensi bangsa Indonesia yang bersatu di awal tonggak sejarah Orde Baru ketika MPRS menetapkan dan melantik Jenderal Soeharto menjadi Presiden RI, setelah vibrasi G-30-S/PKI mengalami stagnasi di bawah vibrasi kepeloporan Soeharto sebagai pemegang SP 11 Maret 1966. Dan apabila perhitungan dilanjutkan terus maka luas siklus vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 akan mencapai kulminasinya pada tahun 1998, yaitu tahun munculnya vibrasi reformasi  eksistensi bangsa Indonesia pada akhir abad ke-20 yang sudah jenuh terhadap vibrasi kepeloporan Soeharto yang telah menjadi presiden RI selama 30 tahun antara tahun 1968 sampai tahun 1998. Pada tahun 1998, ketika vibrasi reformasi terjadi begitu dahsyat, ternyata vibrasi Sumpah Pemuda tahun 1928 tidak mengalami stagnasi. Vibrasi Semangat Sumpah Pemuda tahun 1928 tetap mempertahankan eksistensi bangsa Indonesia  yang bersatu pada tahun 1998 (akhir abad ke-20)  sekalipun pada waktu itu timbul vibrasi disintegrasi bangsa yang merembes ke tahun-tahun awal abad ke-21.

(3) Tahun 1945 tercatat sebagai tahun kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Luas siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945 adalah 1+9+4+5 = 19 (1+9) = 10 (1+0) = 1. Luas siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia berdasarkan analisis ini menyiratkan dua makna. Pertama, makna vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia dapat muncul dan dirasakan atau dialami dalam luas siklus vibrasi sepuluh tahunan.  Kedua, makna vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia berlangsung secara alamiah dan ajek dari tahun ke tahun berdasarkan luas siklus vibrasi tahunan dengan segala dinamika dan romantika yang berkembang dari tahun ke tahun.  Analisis bagian pertama sangat menarik untuk diperhatikan. Apabila vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia tahun 1945 dijumlahkan dengan angka 10 yaitu skor luas siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia, maka hasil penjumlahannya adalah  1955. Peristiwa yang muncul pada tahun 1955 adalah Pemilihan Umum yang menggunakan sistem demokrasi liberal, dimana pemilihan anggota DPR diikuti oleh 118 partai politik atau gabungan atau perseorangan. Apabila luas siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan tahun 1945 dilanjutkan terus dengan menambahkan angka 10 sesudah tahun 1955 maka hasilnya adalah 1965. Peristiwa apa yang terjadi pada tahun 1965? Pada tahun 1965 terjadi G-30-S/PKI yang merongrong eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia. Apabila perhitungan dilanjutkan lagi maka siklus vibrasi eksistensi kemerdekaan akan muncul pada tahun 1975, yaitu Timor Timur direbut oleh Pemerintah Indonesia dan dihisabkan ke dalam wilayah kedaulatan RI. Jika perhitungan dilanjutkan maka siklus vibrasi kemerdekaan RI bermuara pada tahun 1995, yaitu tahun eksistensi kemerdekaan RI yang genap berusia 50 tahun. Apabila perhitungan terus dilanjutkan, yaitu 1995+10 maka hasilnya akan bermuara pada tahun 2005, tahun penandatanganan perdamaian Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia, sehingga Aceh tidak lagi menjadi Daerah Operasi Militer yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

Catatan sisipan: Ketika bangsa Indonesia akan merayakan “Tahun Emas Kemerdekaan” pada 17 Agustus 1995, Buletin  Akademi Leimena Jakarta Vol.1/Th. I,  Edisi Juli 1995 bertema “Nasionalisme Memasuki Milenium Ketiga” memuat artikel saya berjudul “Presensi dan Doa bagi Negeri  Berwajah Cerah”. Artikel itu diterbitkan bersama-sama dengan artikel-artikel yang ditulis oleh Siswono Yudohusodo, Laksamana Madya TNI A. Hartono, Prof. Dr. Midian Sirait, John Pieris, SH., MS., dan Dr. Phil. J. Garang.  Enam orang Indonesia inilah yang pertama kali merenungkan “Nasionalisme Indonesia memasuki milenium ketiga”, masing-masing menurut kepakarannya.  Melalui artikel berjudul “Presensi dan Doa bagi Negeri Berwajah Cerah” , pada tahun 1995 saya sudah memperoleh petunjuk berdasarkan teori vibrasi sejarah yang saya tekuni bahwa “menjelang akhir abad ke-20 bangsa Indonesia akan mengalami kerusuhan besar. Dalam membayangkan kerusuhan besar yang bakal terjadi itu saya berdoa: “Ya, TUHAN! Berikanlah kepada bangsa Indonesia keberanian setajam pedang untuk mempertahankan republik ini!” Dan ternyata, tiga tahun setelah  bangsa Indonesia  merayakan tahun emas kemerdekaannya pada 17 Agustus 1995, mulai tahun 1996, 1997 terjadi berbagai kerusuhan di berbagai daerah yang akhirnya memuncak dalam  kerusuhan besar yang terjadi di Jakarta, bertepatan dengan gerakan reformasi yang berhasil menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998!

(4) Vibrasi tahun 1955, tahun dilaksanakannya Pemilihan Umum pertama setelah kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, memiliki  skor luas siklus vibrasi 2 yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1955 (1+9+5+5 = 20; 2+0 = 2).  Jika angka tahun 1955 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 2 maka hasilnya adalah 1965, tahun terjadinya G-30-S/PKI; angka tahun 1965 dijumlahkan lagi dengan angka 2 secara terus-menerus maka hasilnya adalah 1975, yaitu di Timor Timur direbut oleh pemerintah Indonesia; dan jika dijumlahkan lagi dengan angka 2 secara terus-menerus maka hasilnya adalah 1999, tahun terjadinya Pemilihan Umum  menjelang akhir abad ke-20 yang diikuti oleh 48 Partai Politik, setelah reformasi tahun 1998 yang berhasil menumbangkan kekuasaan Presiden Soeharto.

(5) Vibrasi tahun 1965, tahun terjadinya G-30-S/PKI memiliki luas siklus vibrasi 3 yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun 1965 (1+9+6+5 = 21; 2+1= 3). Jika angka tahun 1965 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 3 maka hasilnya adalah 1968, tahun pelantikan Soeharto (pemegang SP 11 Maret 1966) menjadi Presiden RI oleh MPRS. Jika angka tahun 1968 dijumlahkan lagi dengan angka 2 secara terus-menerus maka hasilnya adalah 1974, tahun terjadinya kerusuhan besar di Jakarta pada bulan Januari yang terkenal dengan sebutan  Peristiwa Malari. Kemudian jika angka tahun 1974 dijumlahkan lagi secara terus-menerus maka hasilnya adalah 1998, tahun terjadinya gerakan reformasi—dan juga kerusuhan besar di Jakarta—yang  menumbangkan kekuasaan Soeharto.

(6) Vibrasi tahun 1975, tahun terjadinya perang Timor Timur dan pemerintah RI merebut Timor Timur ke dalam wilayah kedaulatan RI. Tahun 1975 memiliki luas siklus vibrasi 4 yang diperoleh dari penjumlahan angka tahun  1975 (1+9+7+5 = 22; 2+2 = 4). Jika angka tahun 1975 dijumlahkan secara terus-menerus dengan angka 4 maka hasilnya adalah 1999, Timor Timur terlepas dari kekuasaan  Pemerintah RI. Catatan sisipan:  Mengenai Timor Timur terlepas dari NKRI, pada 8 Februari 1999 Koran POS KUPANG, NTT memuat artikel saya berjudul “Pergolakan Timor Timur menurut teori vibrasi”. Berkenaan dengan dua opsi tentang Timor Timur yang dikeluarkan oleh Presiden B. J. Habibie pada waktu itu, saya katakan bahwa menurut teori vibrasi Timor Timur akan terlepas  dari NKRI. Dan terbukti menjadi kenyataan menjelang akhir tahun 1999.

            Berdasarkan enam butir catatan mengenai siklus vibrasi dan luas siklus vibrasi tonggak sejarah antara tahun 1908 sampai tahun 1999 di atas kita dapat melihat kekuatan vibrasi sejarah yang tersirat dalam tahun-tahun peristiwa yang tercatat sebagai peristiwa sejarah.

Vibrasi kepeloporan tokoh sejarah dalam eksistensi bangsa Indonesia
dari masa ke masa
Di dalam tahun-tahun peristiwa sejarah pada hakikatnya tersirat vibrasi kepeloporan setiap tokoh yang terkait langsung dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Vibrasi kepeloporan tokoh sejarah dapat dideteksi. Sebagaimana dokter dapat mendeteksi dan mendengarkan bunyi kerja alat tubuh dalam rongga dada (terutama bunyi paru-paru dan jantung) dengan sebuah alat yang disebut stetoskop; atau sebagaimana kekuatan getaran gempa bumi dapat diukur dan direkam dengan sebuah alat yang disebut seismometer; atau sebagaimana kebohongan dapat dideteksi dengan alat yang disebut lie-detector, demikian pula vibrasi kepeloporan seseorang dalam kaitannya dengan sesuatu aktivitas dapat dideteksi oleh seorang pionir teori vibrasi kepeloporan. Di bawah ini saya wedarkan hasil deteksi vibrasi kepeloporan  beberapa tokoh sejarah terkemuka dalam eksistensi bangsa Indonesia.

Pertama, Aktivitas perjuangan Soekarno di pentas politik pada masa pergerakan kemerdekaan  mulai tahun 1925, 1926, 1927, 1928 sampai kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 memiliki skor vibrasi kepeloporan 120. Ini merupakan skor vibrasi kepeloporan batas atas yang normal; sedangkan skor vibrasi kepeloporan batas bawah yang normal adalah 80.  Vibrasi kepeloporan Soekarno sebagai Presiden RI antara tahun 1945 – 1955 memiliki skor 90/100. Vibrasi kepeloporan Soekarno sebagai Presiden RI antara tahun 1955 – 1965 memiliki skor 80/90 ketika terjadi peristiwa G-30-S/PKI. Dan mulai tahun 1966/1967 vibrasi kepeloporan Soekarno  mengalami stagnasi sampai wafat pada tahun 1970.

Kedua, Aktivitas perjuangan Mohammad Hatta pada zaman pergerakan kemerdekaan mulai tahun 1926/1927 sampai kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 memiliki skor vibrasi kepeloporan sebesar 90/100. Vibrasi kepeloporan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden RI antara tahun 1945 - 1950 memiliki skor 80. Vibrasi kepeloporan Mohammad Hatta mengalami stagnasi karena faktor ketidakharmonisan dengan vibrasi kepeloporan Soekarno sehingga akhirnya Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden  pada tahun 1956.

Ketiga, Vibrasi kepeloporan Soeharto muncul secara kuat pada tahun 1949. Skor vibrasi kepeloporannya pada waktu itu 90. Skor vibrasi kepeloporan Soeharto muncul lagi pada tahun 1962 dan meningkat  menjadi 90/100 pada tahun 1962 sampai 1965. Pada tahun 1966 sampai 1968 skor vibrasi kepeloporan Soeharto mencapai 100/110.  Pada tahun 1968 sampai 1978 vibrasi kepeloporan Soeharto mulai mengalami degradasi sehingga skornya menjadi 80/90.  Kemudian pada tahun 1978 – 1988 skor vibrasi kepeloporan menurun menjadi 80; dan pada tahun 1988 – 1998 (bulan Maret),  skor vibrasi kepeloporan Soeharto sebesar 60/70 ; setelah itu mengalami stagnasi pada 21 Mei 1998 lantaran dahsyatnya guncangan vibrasi reformasi.

Keempat, Vibrasi kepeloporan yang sangat menentukan Soeharto tumbang dari kekuasaannya sebagai presiden yang terpilih pada Sidang Umum MPRS bulan Maret 1998 adalah vibrasi kepeloporan massa (aktivis) yang melakukan demonstrasi, menuntut Soeharto meletakkan jabatan. Aktivis Forum Kota—yang dikoordinasi oleh Adian Napitupulu (skor vibrasi kepeloporan 100/110) yang  beranggotakan aktivis mahasiswa dari 56 kampus di Jakarta dan sekitarnya termasuk mahasiswa dari FKSMJ, UI, HMI dan MPO (seluruhnya memiliki skor vibrasi kepeloporan 120) yang sesungguhnya punya andil menumbangkan Soeharto  pada tahun 1998. Gerakan massa (aktivis) ini dimanfaatkan dan/atau disusupi oleh kelompok-kelompok lain yang menimbulkan vibrasi kaos yang mencemaskan.  Tokoh-tokoh nasional yang menonjol pada saat reformasi tahun 1998 antara lain: Megawati Soekarnoputri (tokoh terkemuka PDI)—yang terkenal sebagai oposan PDI pimpinan Soerjadi yang didukung Soeharto—memiliki skor vibrasi kepeloporan 120. Abdurrahman Wahid sebagai salah satu Ulama terkemuka (Ketua Umum PBNU) memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90 akan tetapi skor vibrasi kepeloporannya dalam bidang politik kepartaian sebesar 60; Nurcholis Madjid sebagai seorang tokoh cendekiawan Muslim Indonesia memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90; Amien Rais (mantan Ketua Umum Muhammadiyah) dan tokoh cendekiawan Muslim Indonesia memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90 akan tetapi skor vibrasi kepeloporannya dalam kancah politik sebesar 60. Yusril Ihza Mahendra memiliki skor vibrasi kepeloporan 80/90 dalam bidang hukum ketatanegaraan, akan tetapi dalam bidang politik hanya memiliki skor vibrasi kepeloporan 50. Hamzah Haz memiliki skor vibrasi kepeloporan politik kepartaian 60/70. Vibrasi kepeloporan Harmoko, Akbar Tanjung dan tokoh-tokoh Golkar mengalami stagnasi ketika terjadi reformasi yang menumbangkan Soeharto. Jenderal Wiranto ketika terjadi reformasi tahun 1998 memiliki skor vibrasi kepeloporan 90/100; Susilo Bambang Yudhoyono memiliki skor vibrasi kepeloporan 60/70 dan Prabowo Subianto memiliki skor vibrasi kepeloporan 30/40. Dan selain itu, ada vibrasi-vibrasi politis terselubung yang hakikatnya ingin memecah-belah bangsa serta menjuruskan dan/atau memberi corak baru dalam politik pemerintahan negara Republik Indonesia pascareformasi.   

Kelima, Vibrasi kepeloporan B. J. Habibie, ketika Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden pada 21 Mei 1998 malam, memiliki skor vibrasi kepeloporan 60 . Meskipun demikian, vibrasi pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan B. J. Habibie sebagai pengganti Soeharto berhasil menggenapi tuntutan kekuatan vibrasi reformasi yang menghendaki Pemilihan Umum yang demokratis dilakukan pada tahun 1999. Setelah itu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) hasil Pemilihan Umum  tahun 1999 melakukan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Keenam, Pemilihan Umum 1999 melahirkan vibrasi kepeloporan partai politik (sesuai hasil penghitungan suara pemilihan umum) sebagai berikut: (1) Vibrasi kepeloporan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan  sebesar 33,12%. (2) Vibrasi kepeloporan Partai Golongan Karya sebesar 25,97%. (3) Vibrasi kepeloporan Partai Persatuan Pembangunan sebesar 12,55%.  (4) Vibrasi kepeloporan  Partai Kebangkitan Bangsa sebesar 11,03%. (5) Vibrasi kepeloporan Partai Amanat Nasional sebesar 7,36%.  (6) Vibrasi kepeloporan Partai Bulan Bintang  sebesar 2,81%. Vibrasi kepeloporan partai politik yang berada di bawah 2% tidak disebutkan di sini.  Demikianlah realitas objektif dan realitas faktual vibrasi kepeloporan partai politik dalam Lembaga MPR hasil Pemilihan Umum tahun 1999 setelah terjadi reformasi pada tahun 1998. Akan tetapi realitas objektif dan realitas faktual vibrasi kepeloporan partai politik yang tercermin dalam Lembaga MPR itu distagnasikan oleh suatu kekuatan vibrasi lain yang pada hakikatnya merongrong  kekuatan vibrasi demokrasi yang dilahirkan oleh vibrasi reformasi. Kekuatan vibrasi lain yang merongrong vibrasi demokrasi hasil reformasi sebagaimana tercermin dalam Lembaga MPR pada tahun 1999 itu adalah vibrasi kekuatan poros tengah yang dimotori dan/atau dikendalikan oleh Amin Rais (tokoh terkemuka Partai Amanat Nasional). Vibrasi kekuatan poros tengah inilah yang mengempang vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri dengan “tanggul gender” agar tidak terpilih sebagai Presiden pada Sidang Umum MPR tahun 1999. Dan untuk merealisasikan  vibrasi tersebut—melalui vibrasi kekuatan poros tengah yang dikendalikan oleh Amin Rais—Abdurrahman Wahid (Ulama terkemuka PBNU dan Partai Kebangkitan Bangsa) “dilobikan” dan dicalonkan menjadi Presiden RI setelah berbagai persyaratan terkait kesehatan fisik diubah untuk disesuaikan dengan kondisi fisik Abdurrahman Wahid. Akhirnya, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri diajukan sebagai calon presiden untuk dipilih oleh Anggota MPR melalui mekanisme pemungutan suara pada Sidang Umum MPR pada tanggal 20 Oktober 1999. Abdurrahman Wahid memperoleh dukungan 373 suara dari seluruh anggota MPR yang berjumlah 691 orang (5 suara abstain), menyisihkan Megawati Soekarnoputri yang memperoleh dukungan 313 suara.  Pada waktu itu semua pihak tidak menyadari bahwa sesungguhnya suatu vibrasi perongrongan terhadap demokrasi dan keluhuran aspirasi rakyat telah terjadi dalam Lembaga MPR hasil Pemilihan Umum  tahun 1999 yang jujur, bersih dan adil! Dan ini merupakan benih krisis yang ditanamkan dan/atau ditaburkan oleh MPR pada Sidang Umum MPR RI Tahun 1999.

Vibrasi krisis demokrasi dan politik pada awal abad ke-21
            Vibrasi krisis baru dalam  demokrasi dan politik di Indonesia setelah memasuki abad ke-21 terjadi pada tahun 2001. Sesuai  ketentuan UUD 1945, Abdurrahman Wahid yang dipilih oleh MPR pada tahun 1999 seyogianya melaksanakan tugas kepresidenan sampai akhir masa jabatan pada tahun 2004. Akan tetapi ternyata MPR RI melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001. Pada tahun 1999  Amien Rais sebagai Ketua MPR RI bermanuver politik di MPR melalui vibrasi poros tengah untuk memuluskan Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI. Demi penataan dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan memuaskan, MPR RI di bawah kepemimpinan Amien Rais menetapkan Sidang MPR setiap tahun untuk mengevaluasi kinerja  Presiden dan kabinet. Ternyata pada tahun 2001 Presiden Abdurrahman Wahid terjaring politisasi! Lalu Amien Rais sebagai Ketua MPR RI melalui sidang MPR yang dipimpinnya, terbuka hati dan tangan untuk melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid!  Vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri yang berada pada posisi Wakil Presiden ditingkatkan pada posisi atau kedudukan Presiden sampai habis masa jabatan pada tahun 2004, dan Hamzah Haz terpilih untuk menjadi Wakil Presiden. Pada era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden mulai tahun 2001 sampai 2004, Amin Rais sebagai Ketua MPR memutuskan: MPR tidak perlu lagi melakukan sidang tahunan untuk mengevaluasi kinerja presiden dan kabinet!

Catatan antara untuk dicamkan: Menjelang akhir abad ke-20  yaitu pada tahun 1998, terjadi demonstrasi besar-besaran untuk melengserkan Presiden Soeharto yang ditetapkan oleh MPR RI hasil Pemilihan Umum tahun 1997 yang dinilai tidak demokratis. Akibatnya, Presiden Soeharto lengser. Dan pada awal abad ke-21 yaitu pada tahun 2001, terjadi politisasi demonstrasi besar-besaran untuk melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid yang dipilih oleh MPR RI hasil Pemilihan Umum tahun 1999 yang sesungguhnya sangat demokratis. Akibatnya, Presiden Abdurrahman Wahid lengser. Perhatikan skor luas siklus vibrasi politik tahun  2001 yaitu angka 3 dalam hubungannya dengan  angka tahun 1998 yaitu 1998 +3 = 2001. Inilah hasil yang dituai dari benih krisis yang ditabur oleh MPR RI dalam Sidang Umum MPR tahun 1999. Berdasarkan teori vibrasi sejarah yang saya kembangkan, vibrasi krisis yang terjadi pada tahun 1998 yang merupakan kulminasi vibrasi multikrisis yang terjadi antara tahun 1908 sampai tahun 1998 muncul kembali pada tahun 2001.

            Perlu diperhatikan bahwa krisis yang terjadi pada tahun 1998 itu bukan saja terbatas pada krisis demokrasi dan politik, melainkan terhisab pula krisis  ekonomi dan moneter, krisis sosial dan budaya, krisis keamanan dan hukum, krisis akhlak dan moral, krisis bencana alam dan krisis kemanusiaan.  Vibrasi multikrisis ini menembus abad: tidak mencapai kulminasinya pada tahun 1998 dan stagnan di akhir abad ke-20, melainkan merembes gerbang abad ke-21 dan merebak pada tahun 2001 dan seterusnya. Skor luas siklus vibrasi tahun 2001, yaitu 3, jika dijumlahkan dengan angka tahun 2001 maka hasilnya adalah 2004, yaitu tahun berakhirnya masa jabatan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI yang menggantikan Abdurrahman Wahid sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Dengan terjadinya krisis demokrasi dan politik pada tahun 2001 maka luas siklus vibrasi krisis selalu berpeluang eksis di sela-sela kurun waktu 3 tahunan. Dengan demikian, luas siklus vibrasi krisisnya dapat dipetakan sebagai berikut: tahun 1998/1999  – 2001// 2001 – 2004 // 2004 -- 2007 // 2007 -- 2010 // 2010 – 2013 // 2013  – 2016  //  2016– 2019 // 2019 – 2022 // 2022 – 2025 // 2025 – 2028 // 2028  – 2031 // 2031 – 2034 // 2034  – 2037// 2037  – 2040 // 2040 – 2043 // 2043 – 2046 // 2046 – 2049 …, dan seterusnya. Di sela-sela luas siklus vibrasi krisis yang dipetakan ini timbul pula krisis-krisis yang berkaitan erat dengan dinamika vibrasi pemilihan umum lima tahunan mulai tahun 2004 – 2009// 2009 – 2014// 2014 – 2019// 2019 – 2024// 2024 – 2029// 2029 – 2034// 2034 – 2039// 2039 – 2044// 2044 – 2049 … dan seterusnya.  

            Pada tanggal 8 Januari 1999, Mingguan DIAN yang terbit di Ende, Flores, memuat artikel saya berjudul “Menghadapi Gelombang Depresi, Bagaimana Sikap Kita?” Dalam artikel itu saya menguraikan tentang gelombang depresi yang muncul pada tahun 1930-an – 1940-an; 1950-an – 1960-an; 1970-an – 1980-an sampai tahun 1990-an. Saya sebutkan pada waktu itu (Januari tahun 1999) bahwa letupan-letupan depresi masih akan muncul pada tahun 2001 – 2006 dan tahun 2010 – 2015. Dan vibrasi yang tersirat dalam tahun 2007 – 2009 memiliki kepekaan dan kerawanan yang patut dicermati! Skor luas siklus vibrasi tahun 2001 yaitu 3 turut menentukan kepekaan dan kerawanan yang tersirat dalam vibrasi tahun 2007 – 2009. Apa yang saya katakan berdasarkan teori vibrasi pada tahun 1999 sebagaimana dikutip di atas ini tidak meleset, sebab kronologi dan latar belakang krisis financial yang beritakan melalui detikfinance edisi Rabu 15 April 2009 12.06 WIB ternyata sesuai dengan hasil deteksi dan analisis saya. Vibrasi krisis yang tersirat dalam tahun 2007 akan bersiklus dengan vibrasi tahun 2010, 2013, 2016, 2019 dan seterusnya. Dan vibrasi krisis yang tersirat dalam tahun 2009 akan bersiklus dengan vibrasi tahun 2012, 2015, 2018, 2021, dan seterusnya. Demikianlah romantika kehidupan berbangsa dan bernegara  Indonesia dalam abad ke-21.

Krisis ekonomi dan  krisis nilai tukar rupiah, telah saya wedarkan dalam artikel berjudul “Menghadapi gelombang depresi, bagaimana sikap kita” (Mingguan DIAN Ende, Flores, 8 Januari 1999); “Menelusuri  gelombang krisis dari masa ke masa” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id,  edisi Kamis, 04 Agustus 2011); dan artikel berjudul “Vibrasi krisis belum berakhir” (www.bianglalahayyom.blogspot.co.id edisi Selasa, 01 September 2015). Letupan luas siklus vibrasi krisis ekonomi dan nilai tukar rupiah akan muncul dalam luas siklus krisis yang kurun waktunya telah dipetakan dan diwedarkan atas ini, termasuk krisis yang ditimbulkan oleh bencana alam; krisis politik, krisis  moral dan akhlak yang merongrong nama baik/reputasi, serta aksi teror dan makar.   Di sini saya tidak menyebut semua krisis yang telah terjadi dan yang muncul kembali sesuai luas siklus vibrasinya. Semua pengamat yang cerdas dan rajin mendokumentasikan setiap peristiwa yang berhubungan erat dengan krisis dari masa ke masa niscaya akan tahu dan mengakui kebenaran yang telah ditunjukkan oleh analisis teori vibrasi yang dipetakan dan diwedarkan di atas ini. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar