Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Rabu, 21 November 2018

Marginalia: Meng-hari-ini-kan Injil Di Bumi Pancasila


 Bergereja dengan Cita Rasa Indonesia

(Bagian pertama)

Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


Catatan pendahuluan
MENG-HARI-INI-KAN INJIL DI BUMI PANCASILA – Bergereja  dengan Cita Rasa Indonesia. Demikianlah judul buku karya Ebenhaizer I. Nuban Timo (selanjutnya dalam tulisan ini saya sapa, Nuban Timo). Buku tersebut diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia Jakarta tahun 2017. Tebal buku: xxxi + 487 halaman, terdiri atas dua jilid; jilid pertama enam bab dan jilid kedua enam belas bab. Pada kulit belakang buku, saya terkesan dengan selayang pandang tentang buku tersebut, khususnya pada kalimat alinea ketiga yang berbunyi: “Buku ini menyodorkan aroma keindonesiaan dari Gereja. Tanpa membuang Calvinisme, Lutheranisme, dan sebagainya—karena semua itu tetap diperlukan sebagai kerangka teoretik—buku ini berupaya merumuskan pemahaman Indonesia tentang Gereja sebagai hasil pergulatan di bumi Pancasila. Dari situ, diharapkan muncul realitas primordial dan nasional bagi eklesiologi khas Indonesia. Kiranya, buku ini bisa menjadi bacaan yang layak didalami bukan hanya para mahasiswa atau dosen teologi, melainkan juga menjadi bahan perenungan bagi para warga Gereja umumnya” (alinea ketiga, pada kulit belakang buku, Ibid.),

Kalimat terakhir pada alinea ketiga sebagaimana dikutip di atas ini ada dua pokok pikiran yang menarik perhatian saya untuk direnungkan: Pertama, pokok pikiran yang tersirat dalam frasa  kalimat yang berbunyi, “buku ini berupaya merumuskan pemahaman Indonesia tentang Gereja sebagai hasil pergulatan di bumi Pancasila”. Frasa pemahaman Indonesia tentang Gereja menyarankan arti: “Indonesia sebagai pihak yang berkepentingan untuk memahami (memaklumi, mengetahui) tentang Gereja yang bergulat di bumi Pancasila. Pertanyaan yang muncul ialah: (1) apakah buku karya Nuban Timo berjudul, MENG-HARI-INI-KAN INJIL DI BUMI PANCASILA—Bergereja dengan Cita Rasa Indonesia adalah hasil pemahaman Indonesia (yang dilakukan oleh Nuban Timo) sebagai pihak yang berkepentingan untuk memahami tentang Gereja yang bergulat di bumi Pancasila?  Atau, (2) buku Nuban Timo berjudul, MENG-HARI-INI-KAN INJIL DI BUMI PANCASILA—Bergereja dengan Cita Rasa Indonesia itu adalah hasil pemahaman Gereja (yang dilakukan oleh Nuban Timo sebagai ahli teologi) yang bergulat di bumi Pancasila sebagai pihak yang berkepentingan untuk memahami tentang Indonesia dalam rangka berteologi kontekstual?

Saya mengafirmasi pokok pikiran butir (2) sebagaimana dikemukakan di atas. Karena itu, menurut hemat saya, frasa pemahaman Indonesia tentang Gereja sesungguhnya rancu dan salah! Frasa itu harus diganti dengan frasa pemahaman Gereja tentang Indonesia, sehingga frasa kalimatnya menjadi: “buku ini berupaya merumuskan pemahaman Gereja tentang Indonesia sebagai hasil pergulatan di bumi Pancasila”. Mengapa frasa kalimat tersebut harus diubah demikian? Karena Indonesia adalah teks sekaligus konteks bagi Gereja yang (hendak) mengembangkan teologi kontekstual: meng-hari-ini-kan dirinya sekaligus meng-hari-ini-kan Paskah dan Pentakosta dan/atau meng-hari-ini-kan Injil di bumi Pancasila (Indonesia). Apa yang saya katakan inilah yang sesungguhnya diwedarkan oleh Nuban Timo dalam bukunya itu (secara ringkas, perhatikan halaman: 167-172 ; 176 – 378; 463 – 469. dyb.).

Kedua, karena saya seorang warga Gereja yang berinteraksi sosial melalui presensi tanpa berteologi, dengan cara meng-konkret-kan iman dalam kata dan perbuatan demi kerukunan, kedamaian, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan bersama di setiap unit kehidupan dengan sesama manusia yang multiagama di Indonesia (di mana saya ada dan berkarya)—bukan seperti seorang pendeta yang mengurung diri dalam konsistori untuk bermeditasi; atau dosen teologi yang lebih banyak berkutat di kampus perguruan tinggi untuk berteori dan berteologi manasuka (sesuka hati)—maka buku Nuban Timo tersebut segera saya baca sebagai bahan perenungan.

Daftar Isi buku Nuban Timo tersebut cukup kuat membangkitkan rangsangan terhadap saya untuk membaca  buku tersebut, bukan karena pemikiran teologisnya yang brilian, melainkan karena aplikasi teologis-alkitabiahnya yang perlu disimak. Banyak hal yang terlintas dalam pikiran saya untuk dikontemplasikan dalam kamar baca dan perenungan. Dan tulisan ini adalah (bagian pertama) hasil kontemplasi yang keluar dari kamar baca dan perenungan saya sebagai seorang warga Gereja Masehi Injili di Timor yang berdomisili di Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tulisan ini merupakan suatu wedaran “marginalia”. Kata “marginalia” tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat tahun 2008. Yang terdapat dalam KBBI hanyalah kata “marginal; marginalisasi, dan marginalisme”. Kata “marginalia” saya pungut dari kamus  The New Lexicon Webster International Dictionary 1977, dan Chambers Twentieth Century Dictionary New Edition 1972. Kata “marginalia” saya perkenalan pertama kali dalam sebuah artikel polemik sastra (POS KUPANG, edisi16 Januari 2008). “Marginalia” artinya “notes written on the margin” (= catatan-catatan yang ditulis di pinggir kertas [pias] halaman buku). Ketika membaca buku Nuban Timo, ada bagian-bagian tertentu dalam buku  itu yang saya berikan catatan di pinggir halaman buku untuk dipertimbangkan dan direnungkan. Catatan-catatan pinggir itu kemudian saya tinjau dan bahas sebagaimana diwedarkan dalam tulisan ini.

Marginalia pertama
Judul buku, MENG-HARI-INI-KAN INJIL DI BUMI PANCASILA, sangat unik. Tanda hubung (-) yang dipakai dalam ungkapan meng-hari-ini-kan, memperjelas dan mempertegas makna hubungan bagian-bagian  ungkapan.  Perfiks meng- dan  sufiks -kan  yang diimbuhkan pada ungkapan hari-ini menjadi meng-hari-ini-kan sebagai kata kerja dalam hubungannya dengan Injil sebagai objek, menyarankan arti: Injil sebagai objek dalam keadaan gerak (dinamis), karena digerakkan, dan di-hari-ini-kan di suatu belahan bumi yang bertanda nama bumi Pancasila. Ini artinya, Injil [niscaya] diwartakan secara aktif dan dinamis dalam konteks masa kini dan di sini, di bumi Pancasila. Nuban Timo berkata: “Yang kami maksudkan dengan meng-hari-ini-kan Injil adalah membawa berita Paskah dan Pentakosta masuk ke dalam setiap unit kehidupan dunia di mana manusia hadir dan berinteraksi.” (hlm.145).

            Pernyataan Nuban Timo sebagaimana dikutip (kursif tebal, AGHN) di atas ini mencerminkan semangat dan/atau tekad seorang “laskar Gereja” yang benar-benar militan. Pada halaman 224, Nuban Timo mengatakan bahwa “Gereja memiliki karakter aggiornare (Gereja meng-hari-ini-kan) dirinya”.  Sedikit catatan pembetulan perlu saya berikan lagi di sini. Di belakang kata aggiornare, Nuban Timo memberikan tambahan keterangan atau penjelasan dalam tanda kurung (Gereja meng-hari-ini-kan) dirinya, sehingga seolah-olah ungkapan Gereja meng-hari-ini-kan dirinya…, merupakan  arti, keterangan, atau penjelasan dari kata aggiornare. Saya ingin bertanya kepada Nuban Timo: kata  aggiornare itu dipungut dari sumber mana?

Dari sumber yang saya miliki yakni, Chambers Twentieth Century Dictionary, tidak terdapat entri aggiornare. Yang ada hanya entri aggiornamento berasal dari kata (bahasa) Italia, dalam bahasa Inggris artinya modernising atau modernizing, artinya: to give a modern character to (memberikan karakter modern kepada); to adapt to (menyesuaikan kepada) … as modern styles, opinions, and tastes (… misalnya ragam modern atau ragam mutakhir, pikiran-pikiran atau pendapat-pendapat mutakhir, dan cita rasa). Dengan demikian, “karakter aggiornamento   bukan karakter [spesifik] yang dimiliki Gereja seperti kata Nuban Timo, melainkan  karakter yang bersifat umum bagi semua institusi, lembaga manusia, masyarakat, bangsa dan setiap individu atau kelompok orang yang mendambakan kemodernan dalam eksistensinya. Nuban Timo seharusnya memberikan penjelasan singkat atas setiap kata, ungkapan, atau istilah baru (dari bahasa asing) yang dipungut dan digunakan dalam karya tulis. Sebab tidak semua mahasiswa dan dosen mengetahui berbagai kata, ungkapan, dan istilah bahasa asing. Berdasarkan catatan singkat di atas ini, saya melihat bahwa Nuban Timo hanya asal kutip, “take for granted” (menganggap benar) apa yang dikutip.

Marginalia kedua
Bumi Pancasila bukan tunggal warna, melainkan bineka (dalam suku bangsa, bahasa, kebudayaan, adat-istiadat, tradisi, dsb.). Bumi Pancasila bukan tunggal rasa, melainkan bineka (dalam pandangan hidup, kearifan-kearifan lokal, kearifan nasional, dsb.). Dalam tulisan ini saya  membayangkan realitas objektif dan realitas faktual bumi Pancasila yang multiagama dan aliran kepercayaan: ada agama Islam, agama Hindu, agama Budha, agama Konghucu, agama Roma Katolik, agama Kristen (Protestan) sebanyak lebih-kurang 324 denominasi di Indonesia, agama Kristen Tauhid, Saksi Yehova, serta ada pula aliran-aliran kepercayaan dan/atau kebatinan.

Gereja-gereja Kristen di bumi Pancasila ini pun tetap saling tidak akur dalam pokok-pokok ajaran iman tertentu. Nuban Timo dalam bukunya (do.ib. hm. xxiv) telah mewedarkan sedikit gambaran tentang persoalan yang muncul dalam konteks pluralisme agama-agama di kalangan kaum Kristen umumnya. Terdapat perbedaan pemahaman, pengakuan, dan penghayatan iman dari kitab Injil yang sama: doktrin denominasi agama Kristen yang satu menganggap yang lainnya sesat.
Catatan sisipan: Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) telah meng-hari-ini-kan Kistologi dalam cita rasa budaya masyarakat NTT. Bagi warga GMIT etnis atoni pah meto (orang  Timor), Yesus Kristus adalah Fatu Putun Honis (Batu Karang Kehidupan). Bagi warga GMIT etnis Alor, Yesus Kristus adalah Kenari Kehidupan. Bagi warga GMIT etnis Rote, Yesus Kristus adalah Pohon Lontar Kehidupan. Bagi warga GMIT etnis Sabu, Yesus Kristus adalah Mone Ama Yang Sejati. Dan bagi warga GMIT etnis Sumba, Yesus Kristus adalah Ibu-Bapa Segala Sesuatu.  

Kontekstualisasi Kristologi seperti ini sesungguhnya mereduksi kekhidmatan terhadap Yesus Kristus. Persatuan dan persekutuan Jemaat GMIT yang terdiri atas beberapa etnis (masing-masing dengan kebudayaannya) menjadi tidak akur (mufakat, seia sekata, bersatu hati) iman terhadap Yesus Kristus yang dijunjung, disembah dan dimuliakan. Ternyata pemikiran berlandaskan  budaya etnis lebih  diutamakan! Catatan buat Nuban Timo: dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-4 tahun 2008, subentri cita rasa memiliki dua arti: 1 rasa seperti rasa lezat, sedap; 2 derajat penerimaan ternak terhadap bahan makanan atau ransum. Dalam KBBI, tidak terdapat arti kiasan untuk subentri cita rasa. Niscaya Nuban Timo memilih arti butir 1 dari subentri cita rasa dalam berteologi kontekstual. Lantaran cita rasa (lezat, sedap) inilah Nuban Timo mendukung Perjamuan Kudus yang dilakukan di salah satu Jemaat GMIT di pulau Rote pada bulan Oktober 2016, yang mengganti “roti perjamuan” dengan “rebusan sayur daun kelor” dan “anggur perjamuan” diganti dengan “nira lontar” (air manis sadapan dari mayang pohon lontar). Kekhidmatan ibadah perjamuan kudus disingkirkan oleh pemuasan selera cita rasa (lezat, sedap) rebusan sayur daun kelor dan nira lontar (air manis sadapan dari mayang pohon lontar).

Kembali ke topik
Di kalangan agama Kristen, terdapat golongan Kristen pluralis, karismatik, pietisme, Injili, dan lain-lain. Selain itu, ada pula Saksi-saksi Yehova, yang ajarannya bertolak belakang dengan doktrin agama Kristen Protestan dan Roma Katolik. Saksi-saksi Yehova sangat militan (baik secara individu, berdua, atau bertiga). Mereka berani masuk ke setiap unit kehidupan dunia di mana manusia hadir dan berinteraksi untuk meng-hari-ini-kan ajaran Yehova melalui buku-buku dan majalah terbitan Menara Pengawal. Jadi, di kalangan agama Kristen saja terdapat warna-warni doktrin agama yang tidak keruan (tidak pasti; tidak tentu). Pertanyaan saya: Injil (dan doktrin agama Kristen) versi kaum Kristen mana yang di-hari-ini-kan di bumi Pancasila?  Berita Paskah dan Pentakosta versi denominasi agama Kristen manakah yang harus di-hari-ini-kan ke dalam setiap unit kehidupan dunia di mana manusia hadir dan berinteraksi di bumi Pancasila?

Saran saya: Sebaiknya Nuban Timo menjadi ahli teologi nomor satu di Indonesia yang meng-hari-ini-kan doktrin trinitas di sentral kehidupan Saksi-saksi Yehova di Indonesia, jangan melalui buku atau artikel yang dimuat di koran atau majalah, melainkan melalui dialog tatap muka di gedung yang terbuka untuk semua warga Gereja yang ingin menghadiri acara dialog tersebut.

            Selain itu, agama Islam, Hindu, Budha, Konghucu, dan aliran-aliran kepercayaan lain juga adalah unit-unit kehidupan di bumi Pancasila, di mana manusia hadir dan berinteraksi. Dalam unit-unit kehidupan ini pula Nuban Timo merasa terpanggil dan diutus untuk meng-hari-ini-kan Injil; meng-hari-ini-kan Paskah dan Pentakosta; meng-hari-ini-kan Gereja, sehingga diharapkan Gereja dapat menampilkan diri sebagai paguyuban multisentra: “ … Gereja Muslim, Gereja Hindu, Gereja Budha, yang Nuban Timo kategorikan sebagai paguyuban multisentra ikutan… (hlm.467). 

            Sungguh fantastis (= sangat hebat; sangat luar biasa) jika di bumi Pancasila ini terbentuk paguyuban multisentra Gereja Muslim, Gereja Hindu, dan Gereja Budha sebagaimana yang digambarbayangkan oleh Nuban Timo. Kata “fantastis” (adjektiva), kata dasarnya “fantasi” (nomina), dan “berfantasi” adalah kata kerja (verba). Berkenaan dengan “berfantasi” sebagai kata kerja, ada tiga karakter tentang berfantasi yang setiap orang wajib insafi, yaitu: (1) berfantasi yang berangkat dari kenyataan dan pulang ke kenyataan (ini berfantasi positif); (2) berfantasi yang berangkat dari kenyataan dan tidak pulang ke kenyataan (ini berfantasi negatif, dan menyesatkan); (3) berfantasi yang tidak berangkat dari kenyataan dan tidak pulang ke kenyataan (ini berfantasi yang in vain [sia-sia]). Tiga karakter berfantasi ini dapat dipakai sebagai teropong untuk meneropong  paguyuban multisentra Gereja Muslim, Gereja Hindu, dan Gereja Budha yang digambarbayangkan oleh Nuban Timo dalam berteologi kontekstual: meng-hari-ini-kan Injil; meng-hari-ini-kan Paskah dan Pentakosta; meng-hari-ini-kan Gereja dalam unit kehidupan Muslim, Hindu, dan Budha di Indonesia!

Untuk membentuk paguyuban multisentra Gereja rumah tangga, Gereja petani, Gereja guru, Gereja pelaut, Gereja pemulung, Gereja mahasiswa, Gereja pemuda, Gereja anak, Gereja sepak bola, Gereja politisi, Gereja pebisnis…” (Ibid.); dan bisa ditambah lagi: Gereja pasar, Gereja tukang loak, Gereja tukang sayur, Gereja tukang sampah, Gereja tukang ukur jalan, Gereja tukang pijit atau tukang urut, dan lain-lain, boleh saja! Di Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), lulusan Sekolah Tinggi Teologi UKAW Kupang terus bertambah setiap tahun. Mereka sebaiknya langsung ditahbiskan dan ditempatkan sebagi Pendeta pada  Gereja paguyuban multisentra yang digagas oleh Nuban Timo, sebagaimana disebutkan di atas. Setelah itu, dengan penuh kesabaran kita menunggu untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan Gereja paguyuban multisentra itu! Akan tetapi para pendeta yang melayani di Gereja paguyuban multisentra itu memperoleh  gaji dari mana? Niscaya dari  kotak-kotak derma (syukur, nazar, dan perpuluhan) yang disediakan di setiap Gereja paguyuban multisentra!

Dari semua agama yang terdapat di bumi Pancasila, ada tiga agama yang tergolong agama wahyu, yaitu agama Kristen (dan berbagai denominasi), agama Katolik, dan agama Islam. Berdasarkan kodrat agama wahyu, pekabaran Injil atau penginjilan merupakan kodrat agama Kristen (dan berbagai denominasi) serta agama Roma Katolik; sedangkan berdakwah adalah kodrat agama Islam.

Yang saya bayangkan ialah agama Islam sebagai agama wahyu yang mayoritas di bumi Pancasila ini, yang melekat padanya kodrat berdakwah. Jikalau para Pemimpin Umat Islam di Indonesia juga mau berteologi kontekstual seperti Nuban Timo dan merasa terpanggil untuk  meng-hari-ini-kan Al Quran di bumi Pancasila serta Berjemaah dengan Cita Rasa Indonesia dalam setiap unit kehidupan di bumi Pancasila [termasuk di wilayah pelayanan GMIT],  bagaimanakah sikap dan pendapat Nuban Timo?  

Dan apabila para Pemimpin Umat Islam di bumi Pancasila ini berkata bahwa, “Yang kami maksudkan dengan meng-hari-ini-kan Al Quran adalah membawa ajaran Al Quran masuk ke dalam setiap unit kehidupan di mana manusia hadir dan berinteraksi di setiap wilayah pelayanan Gereja Kristen di bumi Pancasila? Bagaimanakah sikap dan pendapat Nuban Timo?  Yang saya wedarkan di atas ini hanya bersifat dialektik-polemis berkenaan dengan teologi meng-hari-ini-kan Injil di Bumi Pancasila yang diperkenalkan oleh Nuban Timo!

Catatan sisipan: Bagaimana pendapat dan/atau tanggapan Nuban Timo mengenai 19 warga Kristen (16 warga Protestan GMIT dan 3 warga Katolik) yang di-syahadat-kan oleh Kiai Haji Dr, Achmad Annuri, M.A., Ketua Pembina Dewan Dawah Nasional, di wilayah pelayanan GMIT Klasis Amanuban Timur pada tanggal 22 dan 23 Juli 2018? Pihak GMIT mengajukan keberatan, dan berencana bertemu Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan dan Forum Komunikasi Umat Beragama untuk membahas persoalan ini, karena dari 16 warga Kisten (GMIT) yang di-syahadat-kan itu terdapat 14 orang anak yang berusia antara 8 tahun hingga 15 tahun. Empat belas anak tersebut   bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Oe Ue di Kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi NTT.

Menurut pertimbangan saya, wajar, karena anak-anak itu bersekolah di Madrasah; bukan bersekolah di sekolah Negeri atau sekolah GMIT! Sebagai siswa sekolah Madrasah,  rupanya setiap hari mereka merasa sangat tertarik dan terkesan mendengar dan memperhatikan teman-teman mereka mengaji di Madrasah sehingga mereka ingin memeluk agama Islam. Jikalau demikian, apa salahnya? Dan semoga Nuban Timo sebagai seorang ahli teologi kontekstual yang bercita-cita meng-hari-ini-kan Gereja di setiap unit kehidupan sehingga tampil paguyuban multisentra Gereja Muslim, Gereja Hindu, Gereja Budha (Nuban Timo, do.ib. hlm. 467) juga harus memandang wajar tentang 16 warga Kristen (GMIT) yang telah di-syahadat-kan di wilayah pelayanan GMIT Klasis Amanuban Timur.

Marginalia ketiga
            Mengenai Pancasila, saya ingin mengutip pendapat Soekarno yang dikemukakan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai berikut: “Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a  Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan  Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda: ‘Philosofische  grondslag’ dari pada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran-yang-sedalam-dalamnya jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi…” (Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Walikukun, 1 Juli 1947. Lahirnya Pancasila, dalam Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia. Departemen P.P. dan K. Jakarta 1960, hlm.289). Dan dalam pidato selanjutnya, Soekarno berkata: “Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta  d a s a r, minta  Philosofische  grondslag, atau, jika kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu ‘Weltanschauung’, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu” (do.ib. hlm. 293).

            Lima prinsip dasar Philosofische grondslag atau Weltanschauung yang dikemukakan oleh Soekarno pada sidang BPUPKI 1 Juni 1945 itu yakni: 1 Kebangsaan Indonesia; 2 Internasionalisme,  —atau peri-kemanusiaan; 3 Mufakat, —atau demokrasi; 4 Kesejahteraan Sosial; 5 Ketuhanan. Lima prinsip dasar negara ini yang diterima oleh BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk dimusyawarahkan; kemudian pada 22 Juni 1945 dibentuklah Panitia Kecil yang diketuai oleh Soekarno untuk merumuskan formula yang disepakati oleh golongan Nasional dan golongan Islam yang ada dalam BPUPKI. Adapun formula yang disepakati oleh Panitia Kecil itu ialah apa yang dikenal dengan Piagam Jakarta.

Selanjutnya, setelah terbentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang diketuai oleh Soekarno dengan wakilnya, Muhammad Hatta, BPUPKI dibubarkan.  Dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, Pembukaan UUD 1945 ditetapkan dengan mengambil naskah Piagam Jakarta sebagai dasarnya, tetapi yang disahkan sebagai Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu adalah tanpa 7 kata dari Piagam Jakarta, yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”  

            Sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 itu  dihadiri 19 anggota, kemudian ditambah  lagi 6 anggota, dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua sidang dan Hatta sebagai wakil ketua. Soekarno antara lain berkata: “Tuan-tuan sekalian tentu mengetahui dan mengakui, bahwa kita duduk dalam suatu zaman yang beralih sebagai kilat cepatnya. Maka, berhubung dengan itu, saya minta kepada tuan-tuan sekalian supaya kita pun bertindak dalam sidang sekarang ini dengan kecepatan kilat. Janganlah kita terlalu tertarik oleh kehendak yang kecil-kecil, tetapi marilah kita menurut garis-garis besar saja yang mengandung sejarah” (D. Rini Yunarti, do.ib. hlm. 74). Pembicaraan memang singkat, hanya ada diskusi kecil melanjutkan informasi perubahan kata-kata oleh Hatta, antara lain penghapusan  7 kata dan lain-lain. Menurut Hatta, “Inilah perubahan yang mahapenting menyatukan segala bangsa”. Hal itu dilakukan, antara lain supaya dapat mewujudkan persatuan yang bulat (in.loc.cit.).

Penghapusan 7 kata dilakukan karena beberapa  anggota PPKI dari wilayah Timur yaitu Dr. Sam Ratulangie (wakil Sulawesi), Tadjoedin Noor  dan Ir. Pangeran Noor (wakil Kalimantan), I Ketut Pudja (wakil dari Bali) dan Latuharhary (wakil Maluku) mengajukan keberatan. Selain itu, sehari sebelumnya, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945, sebelum Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, seorang opsir Kaigun Jepang menghubungi Hatta, menyampaikan keberatan wakil  Protestan dan Katolik terhadap corak Islami dasar negara dengan 7 kata  dalam Pembukaan konsep UUD. Setelah melalui percakapan informal Hatta dengan pemuka golongan agama Islam, maka 7 kata itu dihapus dan diganti dengan  Yang Maha Esa (Tim Balitbang PGI. Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia – Theologia Religionum, BPK GM. 2003:126; D. Rini Yunarti, do.ib. hlm.152).
Berkenaan dengan kata “Allah”—dalam alinea ketiga Pembukaan UUD  Negara RI Tahun 1945—dalam frasa kalimat yang berbunyi, “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa”, Nuban Timo katakan bahwa  “kata  ‘Allah’ dalam alinea ke-3, atas usul ketut Pudja Oka, anggota PPKI perwakilan Bali, diganti dengan kata ‘Tuhan’ tanpa adanya keberatan dari peserta sidang” (Nuban Timo, do.ib. hlm. 170). Apa yang dikemukakan oleh Nuban Timo sebagaimana saya kutip di sini sesungguhnya salah.  Sekali lagi, kutipan ini memberi petunjuk yang gamblang bahwa Nuban Timo hanya asal kutip saja: “take for granted” (menganggap benar) apa yang dikutip, entah dari sumber mana!

Nama anggota PPKI perwakilan Bali, salah tulis! Bukan ketut Pudja Oka. Nama yang sebenarnya ialah I Gusti Ktut Pudja (Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia, do.ib. hlm.65). Dalam buku Tim Balitbang PGI (do. Ib. hlm. 126, catatan kaki no.8, hanya ditulis I Ktut Pudja, tanpa Gusti); dan dalam buku  yang ditulis oleh D. Rini Yunarti (do.ib. hlm. 152,  ditulis I Ketut Pudja, tanpa Gusti). Menyangkut usul yang disampaikan oleh I Gusti Ktut Pudja dan penjelasan yang berkaitan dengan usul tersebut, selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan tanggal 18 Agustus 1945, sehari sesudah Proklamasi, di mana dibicarakan Undang-Undang Dasar ini, sebenarnya oleh anggota  I  GUSTI  KTUT  PUDJA  dari Bali telah diusulkan perkataan Allah diganti dengan perkataan Tuhan, tetapi ternyata dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar hingga kini masih berbunyi sebagai tersebut di atas, meskipun dalam rapat Panitia Persiapan itu telah disetujui perubahan tadi. Hal ini hendaknya dihubungkan dengan sumpah Presiden/Wakil Presiden pada pasal 9 Bab III, di mana juga digunakan perkataan “Demi Allah…” (Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia, do.ib. hlm.65). Berdasarkan penjelasan ini, saya persilakan Nuban Timo untuk membaca Pembukaan UUD 1945! Pada frasa kalimat alinea ketiga, tertulis: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Perkataan “Allah” tetap digunakan; tidak diganti dengan perkataan “Tuhan” sebagaimana diusulkan oleh I Gusti Ktut Pudja! Dengan demikian, dari sumber mana Nuban Timo mengetahui bahwa perkataan “Allah” dalam frasa kalimat alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu telah tidak digunakan lagi dan diganti dengan perkataan “Tuhan”? Ini memberi petunjuk bahwa Nuban Timo tidak membaca dan mencermati Pembukaan UUD 1945!

Pernyataan Nuban Timo selanjutnya yang mengatakan bahwa, “Soekarno yang dengan gigih mendesak semua anggota BPUPKI untuk menerima naskah Pernyataan Proklamasi dan Pancasila serta UUD yang dipersiapkan tanggal 22 Juni sebagai hasil kompromi tertinggi, justru tidak keberatan dengan perubahan mendasar itu. Proklamasi kemerdekaan dilaksanakan justru pada tanggal 17 Agustus 1945, meleset dari rencana semula. Teks proklamasi yang juga sudah disiapkan (beraroma ketidaksetaraan) juga tidak dipakai” (do.ib. hlm.170).

Pernyataan Nuban Timo sebagaimana saya kutip di atas ini sangat rancu. Dalam susunan Pengurus BPUPKI, yang menjadi ketua adalah dr. K.R.T Radjiman Wedyodiningrat, sedangkan Soekarno sebagai anggota (dalam daftar keanggotaan, nama Soekarno tercatat pada nomor urut ke-37). Dalam susunan keanggotaan Panitia Kecil atau Panitia Sembilan, barulah  Soekarno menjadi ketua. Dari Panitia Kecil inilah lahir Piagam Jakarta, yang dipakai sebagai rancangan Pembukaan UUD 1945; dan dalam susunan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diketuai pula oleh Soekarno dengan didampingi Hatta sebagai wakil ketua. Perlu dicatat bahwa dalam setiap persidangan, baik dalam rapat BPUPKI maupun PPKI, Soekarno tidak bersikap gigih mendesak anggota-anggota peserta rapat untuk mengikuti pendapatnya. Soekarno senantiasa menempuh jalan musyawarah  untuk mufakat.

            Musyawarah untuk mufakat dalam setiap persidangan merupakan hal yang wajar dan sesuai dengan prinsip Soekarno, sebagaimana tercermin dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945. Soekarno berkata: “Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, … Kita bersama-sama mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari  p e r s a t u a n   p h i l op h i s c h e   g r o n d s l a g, mencari satu W e l t a n s c h a u u n g  yang kita semua setuju..… , ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? … Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? …. Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, …”  (Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia, do.ib. hlm. 295).

Pandangan dan prinsip Soekarno sebagaimana tercermin dalam cuplikan pidatonya pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI itulah yang menentukan mengapa rumusan dan susunan lima prinsip dasar negara yang dikemukakannya pada 1 Juni 1945 itu tidak dipertahankannya, melainkan dibiarkan mengalami perubahan rumusan dan susunannya pada sidang Panitia Kecil atau Panitia Sembilan. Demikian pula dengan 7 perkataan dari Piagam Jakarta  yang tidak dicantumkan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disahkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Soekarno pada 18 Agustus 1945, sesungguhnya sesuai dengan ide Soekarno yang diucapkan pada pidato 1 Juni 1945 sebagai berikut: “Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Masehi, yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya…” (Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia, do.ib. hlm. 303)

Demikianlah sekelumit latar belakang lahirnya lima prinsip dasar negara yang disebut Pancasila, yang dikemukakan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 sampai ditetapkan sebagai dasar Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945. Saya sarankan agar Nuban Timo lebih sungguh-sungguh dan teliti mendalami Sejarah Nasional Indonesia, apabila Nuban Timo benar-benar terpanggil untuk meng-hari-ini-kan Gereja di bumi Pancasila.

Berkenaan dengan pendapat John A. Titaley, sebagaimana dikutip oleh Nuban Timo, bahwa “moderna Indonesia yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945 adalah Injil (Nuban Timo, do.ib. hlm.171). Saya tidak tahu secara persis apa yang dimaksudkan oleh Titaley dengan ungkapan moderna Indonesia. Apakah yang dimaksudkan  dengan kata moderna itu ialah moderne (Prancis), modernus (Low Latin), modus (Latin), yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai “the way in which anything works” yang ditetapkan oleh PPKI yang bersidang pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu dihapusnya 7 kata dalam Pancasila? Apabila dugaan saya ini benar, maka saya sebagai warga Gereja Kristen memandang moderna Indonesia yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 itu sebagai suatu ketetapan yang melapangkan dada dan memberikan kelegaan bagi golongan yang beragama Kristen dan Katolik di bumi Pancasila yang berada di bawah payung perjuangan politik golongan kebangsaan [moderat] yang mayoritas beragama Islam pada waktu itu. Di samping itu, sikap toleransi golongan nasionalis Muslim yang tidak berkukuh untuk mempertahankan 7 kata dalam sila pertama Pancasila, patut disyukuri pula oleh umat Kristen, sebab sesungguhnya golongan nasionalis Muslim pada waktu itu mempunyai harapan agar negara Indonesia merdeka yang bakal datang hendaknya sebuah negara Islam (Dr. Victor Tanya. Himpunan Mahasiswa Islam. Sinar Harapan, Jakarta 1982, hlm. 35). Dengan demikian, pengakuan Titaley terhadap  ketetapan hasil sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 itu sebagai Injil, menurut pertimbangan saya, merupakan suatu sinkretisasi (pencampuradukan Injil dan politik; serta pencampuradukan ungkapan dan diksi Agama Kristen  ke dalam ideologi bangsa, politik, dan undang-undang yang pada hakikatnya melecehkan Injil Yesus Kristus, sekaligus menimbulkan ketidaksenangan pada golongan nasionalis Muslim di Indonesia terhadap golongan Kristen. Patut dicamkan: Pancasila dan Agama mempunyai sumber yang berbeda; hakikat Pancasila dan Agama pun berbeda; sehingga Pencasila tidak identik dengan Agama; Pancasila tidak identik dengan Injil!

Pernyataan Nuban Timo, sebagai suatu pembelaan terhadap Titaley bahwa pendapat yang dikemukakan oleh Titaley itu “bukan sebagai pengganti Injil, melainkan sebagai penerapan nilai-nilai Injil” (in.loc.cit.), bahkan lebih tidak dapat diterima akal sehat. Pernyataan Nuban Timo ini pun sangat mengada-ada, dan sangat salah. Mengapa? Karena kata adalah yang digunakan oleh Titaley dalam pernyataannya itu merupakan suatu pengukuhan, yang mengandung tiga arti yang sangat mendasar, yaitu: 1 identik dengan; 2 sama maknanya dengan; 3 termasuk di dalam kelompok atau golongan (KBBI).

Dengan demikian maka pernyataan Titaley yang berbunyi, “moderna Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah Injil” sama maknanya dengan “moderna Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 identik dengan Injil; sama maknanya dengan Injil; termasuk di dalam kelompok Injil [Matius, Markus, Lukas, Yohanes]. Maaf, kalau saya mengatakan bahwa ini merupakan suatu bentuk dan/atau jenis teologi kontekstual yang menyesatkan! 

Saya juga tidak sependapat dengan Nuban Timo yang menegaskan bahwa, “Pancasila ia pahami sebagai peristiwa Pentakosta bagi Indonesia” (do.ib. hlm. 241); dan pada halaman 463 Nuban Timo menegaskan bawa,  “Tidak ada alasan untuk mematahkan kesimpulan bahwa 17 & 18 Agustus 1945 merupakan peristiwa Pentakosa dengan cita rasa Indonesia” (do.ib. hlm. 464).  Pernyataan Nuban Timo ini pun merupakan suatu pernyataan yang sangat tidak masuk akal sehat, sangat dipaksakan, yang lahir dari roh sinkretisme yang rancu, akibat salah tampa!

Saya persilakan Nuban Timo baca dan simak semangat politik yang berkembang tegang antara tanggal 15 Agustus sampai 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi, yaitu Peristiwa Rengasdengklok; sampai Soekarno dan Hatta—atas nama bangsa Indonesia—memproklamasikan kemerdekaan RI  (baca, D. Rini Yunarti. BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI. Penerbit Buku Kompas, Jakarta , Juni 2003: 36 – 44). Apakah  semangat politik yang tegang dan kaku, dibarengi ancaman, yang terjadi antara tanggal 15 sampai 17 Agustus 1945, berkenaan dengan “pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia” antara kaum muda yang dipelopori mahasiswa kedokteran, dengan Soekarno - Hatta di mana Wikana mengancam Soekarno, sehingga dalam kemarahan Soekarno menjawab ancaman Wikana: “Ini batang leherku, Saudara boleh membunuh saya sekarang juga…” (Ibid. hlm. 39) identik dengan spiritualitas Pentakosta? Apakah sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 sebagaimana telah saya wedarkan di atas juga identik dengan spiritualitas Pentakosta yang dikisahkan dalam Kisah Para Rasul 1:8; Pasal 2; 10:45?

Jikalau benar peristiwa sejarah yang terjadi pada tanggal 17 dan 18 Agustus 1945 itu adalah peristiwa Pentakosta dengan cita rasa Indonesia, mengapa spiritualitas Pentakosta dengan cita rasa Indonesia yang Nuban Timo katakan itu hanya bersifat sementara saja? Apakah peristiwa yang muncul pada tanggal 1 Oktober 1945 bermotif pengambil-alihan kekuasaan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta melalui edaran Surat Wasiat Palsu yang dibuat oleh Tan Malaka (A. H. Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia 2. 1977, hlm. 101-102) merupakan pengaruh spiritualitas Pentakosta? Apakah peristiwa yang terjadi pada 31 Oktober 1945, yaitu  komplotan Tan Malaka melakukan gerakan untuk mendudukkan Tan Malaka menjadi Kepala Negara Republik Indonesia, namun tidak berhasil (A. H. Nasution. Ibid. Jilid 3; 1977. hlm. 352-353) juga merupakan pengaruh dari spiritualitas Pentakosta Kemudian, apakah peristiwa yang terjadi pada tahun 3 Juli 1946, yaitu Tan Malaka dan komplotannya (PKI) melakukan coup d’etat, namun gagal, juga merupakan spiritualitas Pentakosta?

Berdasarkan  peristiwa-peristiwa  yang disebutkan di atas ini, saya ingin bertanya kepada Nuban Timo: mengapa peristiwa Pentakosta yang Nuban Timo imani sebagai telah terjadi pada tanggal 17 dan 18 Agustus 1945 itu, “tiupan angin kerasnya yang turun dari langit sangat cepat mereda” dan   “lidah apinya” cepat padam? Mengapa spiritualitas Pentakosta yang Nuban Timo yakini telah turun pada peristiwa tanggal 17 dan 18 Agustus 1945 begitu cepat “dipadamkan” oleh spiritualitas pengkhianatan, ketidakharmonisan?

Nuban Timo dengan penuh keyakinan berkata: “Tidak ada alasan untuk mematahkan kesimpulan bahwa 17 & 18 Agustus 1945 merupakan peristiwa Pentakosta dengan cita rasa Indonesia” (do.ib. hlm. 464). Namun rupanya Nuban Timo harus menepuk dada hampa! Sebab cukup dengan dua peristiwa sejarah yang saya sebutkan di atas sebagai alasan, kesimpulan Nuban Timo tersebut di atas ini bukan saja patah, melainkan luluh lantak!

Sesungguhnya, lebih benar pernyataan Pdt. Dr. Sutarno yang mengatakan: “Mengingat politik hanyalah merupakan bagian dari keseluruhan realitas dan aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara, maka nilai dari norma-norma etis dalam politik tidak dapat dilepaskan dari nilai dan norma-norma kehidupan berbangsa dan bernegara secara keseluruhan. Bagi kita bangsa Indonesia, Pancasila, dan UUD 1945 berisikan nilai-nilai dan norma-norma hukum yang telah disepakati bersama untuk dijadikan dasar dan sumber bersama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara…” (Di dalam tetapi tidak dari Dunia—Pemikiran Teologis tentang pergumulan gereja dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. BPK GM Jakarta 2004:145). ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar