Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Minggu, 26 Agustus 2018

Majas Interogasi



Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti


INTEROGASI adalah kata adaptasi atau kata pungutan dari bahasa Inggris, “interrogation”, yang disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Kata “interrogation” dalam bahasa Inggris itu sendiri berasal dari bahasa Latin, interrogare, interrogatum; inter, artinya “di antara” dan rogare, artinya “bertanya”. Dalam bahasa Indonesia, “interogasi” diartikan dengan “hal menanyai (biasanya pada suatu penyelidikan)”, atau “mengajukan pertanyaan dengan harapan memperoleh jawaban secara wajar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa cetakan pertama, edisi ke-4 tahun 2008, “interogasi” diartikan dengan “pertanyaan; pemeriksaan terhadap seseorang melalui pertanyaan lisan yang bersistem”.

Dalam sastra, “interogasi” tergolong salah satu majas atau gaya bahasa yang memiliki fungsi dan daya gugah tersendiri. Menurut Nesfield, majas interogasi pada umumnya dipergunakan dalam dua cara. Pertama, apabila pembicara atau penulis mengungkapkan nosi (pendapat, tanggapan, gagasan) secara tidak langsung dalam bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menggugah pendengar atau pembaca untuk merenungkan nosi yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan tersebut. Kedua, apabila pembicara atau penulis mengungkapkan suatu nosi dalam bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menguraikan, menjelaskan, atau mengomentari sendiri nosi yang telah diajukan dalam bentuk pertanyaan tersebut. “Soliloquy” (percakapan seorang diri), yaitu apabila pembicara atau penulis mengemukakan suatu nosi dalam bentuk pertanyaan bagi dirinya kemudian pertanyaan tersebut dijawabnya sendiri, terhisab pada penggunaan majas interogasi cara kedua (J.C. Nesfield. Figures Of Rhetoric, hlm.246). Kata “soliloquy” telah dipungut ke dalam bahasa Indonesia menjadi “solilokui” yang sama artinya dengan kata “senandika”, yaitu “wacana seorang tokoh dalam karya susastra dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut, atau untuk menyajikan informasi yang diperlukan pembaca atau pendengar” (KBBI, Ibid, hlm.1266, 1328). Perhatikan larik-larik sajak yang dibangun dengan majas interogasi berikut ini.

“Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?/ Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ Kita harus pergi ke mana, di mana rumah kita?/ Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ bimbang kalbu oleh cedera/ Di bumi yang hangus hati selalu bertanya/ hari ini maut giliran siapa?”  (W.S. Rendra. “Bumi Hangus”). Larik-larik sajak W.S. Rendra yang dikutip ini dibangun dengan majas interogasi cara pertama. Penyair mengungkapkan nosi secara tidak langsung tentang kecemasan/kegamangan hidup di “bumi yang hangus” (bumi yang kacau balau lantaran berkecamuknya peperangan) dalam larik-larik bermajas interogasi, dengan maksud untuk menggugah pembaca merenungkan sendiri nosi kecemasan/kegamangan hidup di “bumi yang hangus”. Perhatikan lagi larik-larik sajak berikut ini.
“Rumah batu, rumah kelabu/ begitu remang berpenghuni satu/ kesuraman merebahinya/ redup lampu, denting piano bertalu// terpendam penghuninya mengurung diri/ warna duka menembusi jendela/ lagu piano, lelap sepi, redup lampu// Racun apa mendindingi dirinya/ begitu benar dicintainya sepi?// Pupus kepercayaan oleh ketidakabadian segala/ Apa ia kelewat mencintai dirinya?/ Tidak dibiarkan satu luka di sisi bekas yang lama?/ Mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?// Penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi/ di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri?// Rumah batu, rumah kelabu/ kemuramannya tidak memberita kecuali teka-teki” (W. S. Rendra. “Rumah Kelabu”).

Sajak yang dikutip di atas ini terdiri atas enam bait. Pemisahan bait-bait saya tandai dengan garis miring rangkap (//) dan pemisahan larik-larik, seperti lazimnya, ditandai dengan garis miring tunggal (/). Bait pertama dan kedua hanya merupakan sebuah lukisan tentang sebuah rumah dan penghuninya, kesuraman dan duka, tentang redup lampu, lagu, piano dan sepi. Lukisan itu hidup dan sugestif, karena konkret dan cermat. Dengan lukisan tersebut penyair ingin menggambarkan suatu suasana ketertutupan yang mengundang tanda tanya, yang merupakan sebuah teka-teki: “Penghuni rumah batu, rumah kelabu, yang mengurung diri bersama hati yang dirundung sepi dan duka, serta mencoba berusaha mengatasinya sendiri… Mengapa? Atau, kenapa…?”

Untuk menerobos dan menyingkapkan tabir misteri yang menyelubungi penghuni yang menyendiri dalam rumah batu, rumah kelabu itu, maka dalam bait ketiga sampai bait kelima penyair mengemukakan beberapa nosi secara tidak langsung dalam majas interogasi cara pertama: “Racun apa mendindingi dirinya/ begitu benar dicintainya sepi?// Pupus kepercayaan oleh ketidakabadian segala?/ Apa ia kelewat mencintai dirinya?/ Tidak dibiarkan satu luka di sisi bekas yang lama?/ Mati cita rasa bagi nikmat agung sedetik bunga?// Penghuni yang mengunci diri dan hati pada sepi/ di hati kutanya-tanya, kapan ia bunuh diri?”  Dengan larik-larik bermajas interogasi ini penyair ingin menggugah pembaca untuk merenungkan sendiri beberapa nosi dan emosi yang penyair ungkapkan dalam bentuk pertanyaan, sehubungan dengan suasana ketertutupan penghuni rumah batu, rumah kelabu yang mengundang tanda tanya, yang merupakan teka-teki itu.

Majas interogasi cara kedua dapat kita lihat dalam sajak Amir Hamzah yang berjudul “Turun Kembali”.  “Kalau aku dalam engkau/ Dan engkau dalam aku/ Adakah begini jadinya/ Aku hamba engkau penghulu?// Aku dan engkau berlainan/ Engkau raja, maha raja/ Cahaya halus tinggi mengawang/ Pohonnya rindang menaung dunia// Di bawah teduh engkau kembangkan/ Aku berhenti semati hati/ Pada bayang engkau mainkan/ Aku melipuri meriang hati// Diterangi cahaya engkau sinarkan/ Aku menaiki tangga mengawang/ Kecapi firdausi melena telinga/ Menyentuh gambuh dalam hatiku// Terlihat ke bawah,/ Kandil kemerlap/ Melambai cempaka ramai tertawa/ Arti duniawi melambung tinggi/ Berpaling aku turun kembali”. Dalam sajak ini, majas interogasi cara kedua terdapat pada bait pertama yang berbunyi: “Kalau aku dalam engkau/ Dan engkau dalam aku/ Adakah begini jadinya/ Aku hamba engkau penghulu?”  Dan berkenaan dengan nosi dan emosi yang dibangun dengan majas interogasi cara kedua ini, penyair mengemukakan penjelasan, uraian, atau komentarnya pada bait kedua yang diawali dengan larik yang berbunyi, “Aku dan engkau berlainan”, sampai dengan bait kelima yang diakhiri dengan larik yang berbunyi, “Berpaling aku turun kembali”.

Majas atau gaya bahasa interogasi terdapat juga dalam ayat-ayat Alkitab (Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru). Pada umumnya majas interogasi dikenal oleh para teolog dengan sebutan “pertanyaan retoris” (C. Hassell Bullock. Kitab-Kitab Puisi Dalam Perjanjian Lama, 2003:101), atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan sebutan “rhetorical question” (T.W. Manson. A Companion To The Bible, 1947:18).

Pengenalan majas interogasi sebagai suatu “pertanyaan retoris” atau “rhetorical question”, menurut hemat saya tidak banyak membantu pemahaman yang baik dan benar akan ayat-ayat Alkitab yang dibangun dengan majas interogasi. Sebab, “pertanyaan retoris” atau “rhetorical question”  pada umumnya hanya dipahami sebagai suatu “pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban kecuali demi efek retoris (efek yang menyentuh perasaan) belaka”. Padahal majas interogasi, sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal tulisan ini, memiliki kegunaan yang lebih luas dari pada apa yang dimaksudkan dengan pertanyaan retoris atau “rhetorical question”. Perhatikanlah kutipan-kutipan ayat Alkitab yang disusun dalam majas interogasi berikut ini.

“Dapatkah engkau memberkas ikatan bintang Kartika, dan membuka belenggu bintang Belantik? Dapatkah engkau menerbitkan Mintakulburuj pada waktunya, dan memimpin bintang Biduk dengan pengiring-pengiringnya? Apakah engkau mengetahui hukum-hukum bagi langit? Atau menetapkan pemerintahannya di atas bumi? Dapatkah engkau menyaringkan suaramu sampai ke awan-awan, sehingga banjir meliputi engkau? Dapatkah engkau melepaskan kilat, sehingga sabung menyabung, sambil berkata kepadamu: Ya? Siapakah menaruh hikmat dalam awan-awan atau siapa memberi pengertian kepada gumpalan mendung? Siapakah dapat menghitung awan dengan hikmat, dan siapa dapat mencurahkan tempayan-tempayan langit, ketika debu membeku menjadi logam tuangan, dan gumpalan tanah berlekat-lekatan?” (Ayub 38:31-38; perhatikan juga ayat 2,4-8,12,16-20,22-29).

Semua ayat yang dikutip di atas ini dibangun dengan majas interogasi. Jika diinterpretasikan menurut penggunaan majas interogasi cara pertama, maka dengan majas ini kita digugah untuk merenungkan nosi dan emosi tentang “keterbatasan manusia dalam memahami kekuasaan Tuhan yang memenuhi alam semesta”, yang penulis kitab Ayub ungkapkan secara tidak langsung dalam ayat-ayat bermajas interogasi tersebut. Tetapi jika diinterpretasikan menurut penggunaan majas interogasi cara kedua, maka dengan majas tersebut kita (para ilmuan modern) didorong untuk melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh penulis kitab Ayub tersebut.

Perhatikan lagi majas interogasi yang rasul Paulus pergunakan dalam tulisannya yang saya kutip di bawah ini.

“Bukankah aku rasul? Bukankah aku orang bebas? Bukankah kamu adalah buah pekerjaanku  dalam Tuhan? (1 Korintus 9:1). “Tidakkah kami mempunyai hak untuk makan dan minum? Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan saudara-saudara Tuhan dan Kefas? Atau hanya aku dan Barnabas sajakah yang tidak mempunyai hak untuk dibebaskan dari pekerjaan tangan? Siapakah yang menanami kebun anggur dan tidak makan buahnya? Atau siapakah yang menggembalakan kawanan domba dan yang tidak minum susu domba itu?” (1 Korintus 9:4-7; perhatikan juga ayat-ayat bermajas interogasi yang tersisip pada ayat 8 sampai ayat 18).

Dengan ayat-ayat bermajas interogasi tersebut rasul Paulus mau menjelaskan, menguraikan, mengomentari hak dan kewajibannya sebagai seorang rasul sebagaimana dapat dibaca dalam 1 Korintus 9: 8 sampai ayat 27. Dengan demikian, dalam 1 Korintus 9:4-7 itu rasul Paulus bukan mempergunakan majas interogasi cara pertama, melainkan majas interogasi cara kedua.

Dalam kitab Ayub, kitab Mazmur dan bagian-bagian lain dalam kitab Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Baru, terdapat banyak ayat yang dibangun dengan majas interogasi cara pertama maupun majas interogasi cara kedua. Untuk memperluas dan memperdalam pemahaman tentang fungsi dan daya gugah majas interogasi, saya kutip lagi satu contoh yang terdapat dalam Mazmur 8:4,5 yang berbunyi: “Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?”  Mazmur 8:4,5 ini dibangun dengan majas interogasi cara kedua, yang dapat disifatkan juga sebagai  solilokui atau senandika, sebagaimana telah dijelaskan di awal tulisan ini. Dengan majas ini pemazmur mengungkapkan nosi dan emosi dalam bentuk pertanyaan dengan maksud untuk menguraikan, menjelaskan atau mengomentari nosi dan emosi yang diajukan dalam bentuk pertanyaan tersebut.

Apakah nosi dan emosi yang pemazmur ungkapkan dalam majas interogasi dalam Mazmur 8:4,5 itu?  Jawabnya: “Manusia (yang lemah dan hina) yang diingat TUHAN”, atau “manusia (yang lemah dan hina) yang diindahkan TUHAN”. Inilah nosi dan emosi yang pemazmur ungkapkan dalam kalimat bermajas interogasi: “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Ungkapan “anak manusia”, atau “son of man” dalam bahasa Inggris (transksipsi bahasa Ibrani, ben adam), secara sederhana berarti “manusia” (Inggris, “human being”, atau “member of the human race”) banyak kali dipergunakan dalam Perjanjian Lama dan biasanya dipergunakan sebagai padanan kata “manusia” (Inggris, “man”, yang juga berarti “orang, pria, orang laki-laki”, Ibrani: ish, atau enosh). Ungkapan “manusia” dan “anak manusia” dipergunakan untuk menekankan “kelemahan dan kehinaan manusia jika dibandingkan dengan keagungan/kemuliaan Tuhan”. “Manusia” dan “anak manusia” dalam arti inilah yang dimaksudkan atau yang tersirat dalam Mazmur 8:5, sehingga ayat tersebut dapat diparafrasa sebagai berikut: “Apakah arti manusia yang lemah dan hina ini, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah arti manusia yang lemah dan hina ini, sehingga Engkau mengindahkannya?” Berkenaan dengan nosi dan emosi yang tersirat dalam ayat ini, pemazmur berkata: “Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya: kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang dipadang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan” (Mazmur 8:6-9).

Itulah refleksi pemazmur yang menunjuk kembali ke berita Kejadian 1:26,27. Itulah uraian, penjelasan, komentar yang pemazmur berikan berkenaan dengan nosi dan emosi yang diungkapkannya dalam majas interogasi cara kedua yang berbunyi: “Apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” Dan berkenaan dengan kepedulian Tuhan atas manusia, serta “mahkota rajawi” yang Tuhan berikan kepada manusia (ayat 6-9), pemazmur bermadah: “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (ayat 10).

Ayat 10 tersebut adalah repetisi ayat 2 bagian a. Dalam puisi, repetisi semacam ini adalah majas yang dimaksudkan untuk mengaksentuasi sekali lagi “bagian utama” sebuah puisi demi intensifikasi makna sebelum puisi itu diakhiri (J.C. Nesfield, Ibid, hlm.249). Sehubungan dengan Mazmur 8, “bagian utama” adalah “keagungan/kemuliaan TUHAN yang meliputi seluruh bumi (alam semesta), tanpa kecuali manusia, yang ditakjubi dan dimadahkan oleh pemazmur”, yang secara padat dan bernas tersirat dalam ayat 2 bagian a yang berbunyi: “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” Kemudian digemakan lagi dalam ayat 2 bagian b yang berbunyi: “Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan”. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar