Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 15 September 2011

FILIPI 2:6-7


DALAM opini “Yesus Bukan Allah (3)” (Timex, 15 November 2006), Esra Alfred Soru (selanjutnya akan saya sapa, Esra) menguraikan Filipi 2:6 dalam hubungannya dengan ayat 7 secara panjang-lebar. Namun ada beberapa hal yang harus ditinjau lebih dalam. Sebelum meninjau beberapa hal yang saya maksudkan itu, terlebih dahulu transkripsi teks Gerika Filipi 2:6,7 saya kutip demi kepentingan analisis.

hos en morphē(i) theou huparchōn ouch harpagmon hēgēsato to einai isa theō(i), alla heauton ekenōsen morphēn doulou labōn, en homoiōmati anthrōpōn genomenos; kai schēmati heuretheis hōs anthrōpos ( yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia) (terjemahan LAI).

Dari teks Gerika,  Filipi 2:6,7 di atas ini, Esra menggarisbawahi kata huparchōn dan menjelaskan bahwa kata tersebut ada dalam bentuk “present participle”. Bentuk “present” dari kata huparchōn ini menunjuk pada “continuance of being” (keberadaan yang terus-menerus). Esra mengutip Walter Martin yang mengatakan bahwa kata huparchōn berarti “remaining or not ceasing to be” (tetap atau tidak berhenti sebagai). Esra juga mengutip William Barclay yang mengatakan, “kata kerja bahasa Yunani huparkhein menjelaskan tentang seseorang di dalam hakikatnya yang tidak dapat berubah.”  Berkenaan dengan penjelasan Esra sebagaimana dikutip di atas ini, saya ingin memberikan beberapa catatan pinggir sebagai berikut:

Kata Gerika huparchōn bukan bentuk “present participle” seperti kata Esra, melainkan bentuk “adjectival participle” (H.P.V. Nunn. The Elements Of New Testament Greek. Cambridge University Press 1958:74). Sebagai bentuk “adjectival participle”, kata huparchōn berarti: “I am, denoting originally a state or condition still subsisting” (A Pocket Lexicon To The Greek New Testament. Prof. Alexander Souter, M.A. Oxford University Press, 1943:268). Artinya, “ada,  menunjuk kepada keadaan masih ada  pada mulanya yang menjadi sifatnya, atau keadaan masih ada  pada asalnya yang menjadi sifatnya”. Dengan demikian, frasa yang berbunyi hos en morphē(i) theou huparchōn, artinya “yang masih ada pada mulanya dalam rupa Allah”, atau “yang masih ada pada asalnya dalam rupa Allah”. Frasa tersebut bisa juga diterjemahkan: “yang masih ada dalam rupa Allah pada mulanya”, atau “yang masih ada dalam rupa Allah pada asalnya”.  Frasa Filipi 2:6a ini memberi petunjuk tentang “Kristus Yesus dalam keadaan asal-Nya”, yaitu “eksistensi Kristus Yesus sebelum inkarnasi” (pra-eksistensi Kristus Yesus) seperti yang disaksikan dalam Yohanes 1:1,2—yaitu “eksistensi Kristus Yesus yang pada mulanya adalah logos, di mana dikatakan bahwa ia (logos) ada bersama-sama dengan Allah dan ia (logos) itu  Allah. Kata Gerika, morphē  yang digunakan dalam Filipi 2:6a mengacu kepada “the pre-incarnate Christ with divine attributes” (atribut, pangkat, kedudukan, lambang dan sifat-sifat  keallahan [keilahian] Kristus, atau pra-eksistensi Kristus), yaitu ketika Kristus masih sebagai logos (Prof. Alexander Souter, M.A., Ibid. hlm. 162-163). Inilah makna yang tersirat dalam frasa hos en morphē(i) theou huparchōn, yang diterjemahkan oleh LAI dengan “yang walaupun dalam rupa Allah” (Filipi 2:6a).

Ternyata Esra sama sekali tidak memahami secara baik dan benar ungkapan en morphē(i) theou huparchōn (ada dalam rupa Allah) yang terdapat dalam Filipi 2:6a dan ungkapan morphēn doulou labōn (mengambil rupa seorang hamba) dalam Filipi 2:7b. Rupanya Esra pakai metode ‘kacamata kuda’ dalam ilmu tafsir sehingga perhatian Esra terarah pada kata morphē saja, tanpa memperhatikan secara komprehensif ‘konteks’ di mana kata morphē itu dipergunakan. Dalam Filipi 2:6a, kata morphē dipergunakan dalam satu frasa en morphē(i) theou huparchōn (ada dalam rupa Allah) untuk melukiskan “sifat-sifat keallahan (keilahian) Kristus pra-eksistensi” sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sedangkan dalam Filipi 2:7b, kata morphē dipergunakan dalam satu frasa morphēn doulou labōn, artinya  mengambil  rupa seorang hamba. Esra ternyata tidak tahu, bahwa Kristus Yesus yang mengambil rupa seorang hamba itu telah mengosongkan diri-Nya sendiri dari rupa Allah yang pada awalnya (atau pra-eksistensi) ada pada-Nya.  Coba Esra perhatikan secara saksama Filipi 2:6. Di situ Paulus menyaksikan tentang Kristus Yesus (pra-eksistensi) “yang walaupun ada dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba”. Ayat ini menyaksikan suatu perubahan yang drastis (luar biasa).  Perubahan apakah itu? Ini, jawabannya: Kristus Yesus mengosongkan dirinya dari rupa Allah yang pada mulanya ada pada-Nya, lalu Kristus Yesus mengambil rupa seorang hamba…” Esra camkan ini sebaik-baiknya!  Dengan mengosongkan diri dari rupa Allah dan mengambil rupa seorang hamba, barulah Kristus Yesus “dilahirkan seperti  manusia”, atau “menjadi sama dengan keturunan manusia” (en homoiōmati anthrōpōn genomenos); “dan berada dalam rupa ( sifat, tingkah laku, cara bicara, dan gaya)  seperti manusia”  (kai schēmati euretheis hōs anthrōpos). Bandingkan uraian yang saya berikan ini dengan Filipi 2:7 menurut teks Gerika, dan terjemahan Jerman: Zwingli-Bibel Zűrich dan Genfer Bibelgesellschaft; juga terjemahan Prancis: La Société Biblique De Genève, sebab terjemahan LAI dan RSV menerjemahkan  frasa  en homoiōmati anthrōpōn genomenos dan frasa kai schēmati heuretheis hōs anthrōpos hanya dalam satu frasa yang berbunyi “dan menjadi sama dengan manusia” (LAI); “being born in the likeness of men” (RSV). Karena itu sangat-sangat rancu sekali pendapat Esra yang menyejajarkan dan/atau menyamakan “morphe” (rupa) Allah dengan “morphe” (rupa) seorang hamba”. Perlu ditegaskan di sini bahwa morphē(i) theou (rupa Allah) berbeda, atau tidak sama dengan morphēn doulou (rupa seorang hamba). Morphē(i) theou menunjuk kepada kemuliaan sifat-sifat keallahan (keilahian) yang Kristus Yesus miliki sebelum Ia berinkarnasi (Yohanes 1:1-3).  Sedangkan morphēn doulou menunjuk kepada status kerendahan yang diambil oleh Yesus yang telah mengosongkan diri-Nya sendiri dari morphē(i) theou, demi mengemban misi karya penyelamatan sebagai Hamba Allah (Mesias) yang harus menderita untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (Lukas 24:26, dyb).

Patut Esra sadari pula, bahwa frasa “mengambil rupa seorang hamba”, serta frasa “dan menjadi sama dengan manusia” adalah frasa-frasa yang saling memberi makna sebagai suatu kesatuan ungkapan yang  mendukung satu gagasan, yaitu gagasan “Hamba Allah (Mesias) yang harus menderita di dalam mengemban misi karya penyelamatan”—(baca, antara lain: Matius 8:17; 16:21; 24:26; 26:67,68; 27:29,30; Markus 8:31; 9:12; Kisah 8:32,33; 2 Korintus 5:21-23; 1 Petrus 2:21,24, dyb)—seperti yang dijelaskan oleh Paulus dalam Filipi 2:8 yaitu: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”.  Dengan penjelasan yang saya kemukakan di atas ini, tersingkap lagi kerancuan teologi Esra yang tersirat dalam pernyataan yang berbunyi: “Tetapi sebagai Allah, Ia tidak berubah. Karena itu dipergunakan MORPHE. Juga sebagai hamba, Ia tidak berubah. Ia boleh menjadi dewasa, tua, kurus, gemuk, dsb., tetapi Ia tetap adalah hamba. Dan karena itu di sini juga digunakan MORPHE” (Timex, 15 November 2006).
Pernyataan Esra sebagaimana dikutip di atas ini sungguh aneh.  Bukankah ini telah menunjukkan terjadinya perubahan? Perubahan yang terjadi akibat en morphē(i) theou huparchōn (ada dalam rupa Allah) telah dikosongkan, dan morphēn doulou (rupa seorang hamba) diambil agar menjadi sama dengan manusia demi dapat menggenapi misi “Hamba Allah (Mesias) yang harus menderita?”  Selain itu, konsepsi teologis Esra tentang “Hamba Allah (Mesias) yang harus menderita dalam rangka mengemban misi karya penyelamatan” pun ternyata sangat naïf, ketika Esra mengatakan: “Juga sebagai hamba, Ia tidak berubah. Ia boleh menjadi dewasa, tua, kurus, gemuk, dsb., tetapi Ia tetap adalah hamba”. Gejala-gejala insaniah antara lain “boleh menjadi dewasa, tua, kurus, gemuk, dsb.,” yang Esra sebutkan itu terhisab kepada hakikat schēma, dan sama sekali tidak bersangkut-paut dengan morphēn doulou (rupa seorang hamba), yang menunjuk kepada konsepsi teologis “Hamba Allah (Mesias) yang harus menderita dalam rangka mengemban misi karya penyelamatan”, sebagaimana telah saya uraikan di atas.

Esra lupa, atau barangkali tidak tahu, bahwa setelah Kristus Yesus selesai mengemban misi karya penyelamatan sebagai “Hamba Allah yang harus menderita”, maka berakhirlah morphēn doulou (rupa seorang hamba) yang diambil dan diperankan oleh Kristus Yesus, lalu Kristus Yesus masuk ke dalam kemuliaan-Nya (Lukas 24:26), sebagaimana disaksikan oleh Paulus: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah menyerahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan menganugerahkan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada dibawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Filipi 2:8—11). Atau seperti yang disaksikan dalam surat Ibrani2:9: “Tetapi Dia, yang untuk waktu yang singkat dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, yaitu Yesus, kita lihat, yang oleh karena penderitaan maut, dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat, supaya oleh kasih karunia Allah Ia mengalami maut bagi semua manusia” (band. Efesus 1:20—22; Ibrani 1:3-4; 2:5—8; Kisah 2:23-24; 32-36, dyb.).

Dalam opini bagian keempat (Timex, 16 November 2006), Esra mengutip Calvin, dalam Institutes of the Christian Religion (Book II, Chapter XIII, No.4) yang antara lain mengatakan: “Kristus tidak bisa melepaskan diri-Nya sendiri dari keilahian-Nya; tetapi menyembunyikannya untuk sementara waktu, supaya tak kelihatan, di bawah kelemahan daging. Jadi, Ia mengesampingkan kemuliaan-Nya dalam pandangan manusia, bukan dengan menguranginya, tetapi dengan menyembunyikannya”. Pandangan Calvin ini Esra kutip sebagai alasan argumentasi tentang istilah “mengosongkan diri” (Filipi 2:7).

Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada tokoh reformator Calvin, saya mau katakan bahwa pandangan Calvin yang Esra kutip itu  sesungguhnya bukan saja sudah “out of date”, melainkan tidak selaras dengan kesaksian Paulus dalam Filipi 2:7. Kata Gerika, ekenōsen  yang dipakai oleh Paulus dalam Filipi 2:7 itu sedikit pun tidak menyiratkan arti “menyembunyikan”, atau “menyembunyikan untuk sementara waktu supaya tidak kelihatan” seperti kata Calvin, melainkan berarti “mengosongkan”. “menghampakan”, “meniadakan”, “menanggalkan, “melucuti”, “melepaskan”, “mencopot”. Dalam dua versi terjemahan Jerman yang telah saya sebutkan di atas, kata Gerika ekenōsen dieterjemahkan dengan kata “entäusserte” yang artinya “menanggalkan”, “melucuti”, “melepaskan”, “membuka” (seperti halnya membuka pakaian dari badan). Dan dalam versi terjemahan Prancis yang saya sebutkan di atas, kata Gerika ekenōsen  diterjemahkan dengan kata “depouille” yang artinya sama dengan terjemahan Jerman yang telah dijelaskan diatas ini. Dengan demikian, “ada dalam rupa Allah” (en morphē[i] theou huparchōn) benar-benar dikosongkan, dihampakan, dilucuti, dicopot, ditanggalkan oleh Kristus Yesus sendiri, agar Kristus Yesus dapat “mengambil rupa seorang hamba” (morphēn doulou labōn), dan menjadi sama dengan manusia.

Seandainya Paulus maksudkan bahwa Kristus Yesus hanya “menyembunyikan”, atau “menyembunyikan untuk sementara ‘rupa Allah’ yang pada mulanya ada padanya”, sudah tentu Paulus tidak akan mempergunakan kata ekenōsen, melainkan akan mempergunakan kata apokruptō yang artinya “menyembunyikan”, sehingga “rupa Allah”  yang pada mulanya ada pada Kristus Yesus menjadi aphanēs (tersembunyi, tidak kelihatan) pada pandangan manusia, seperti pendapat Calvin yang Esra kutip itu. Ternyata tidak demikian. Paulus, dalam Filipi 2:7, menyatakan bahwa “Yesus telah mengosongkan diri-Nya sendiri dari ada-Nya dalam rupa Allah, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”.

Selanjutnya, Esra mengutip Herman Hoeksema, teolog Reformed, yang antara lain berkata: “… ini tidak berarti bahwa Anak Allah untuk sementara waktu mengesampingkan hakikat ilahi, untuk menukarnya dengan hakikat manusia. Ini mustahil, karena hakikat ilahi tidak bisa diubah… Tetapi itu berarti bahwa Ia  masuk kedalam manusia sedemikian rupa sehingga di depan manusia kemuliaan dan keagungan ilahi-Nya tersembunyi, sekalipun bahkan dalam saat perendahan pun itu kadang-kadang memancar keluar, seperti misalnya dalam pelaksanaan/pertunjukan keajaiban-Nya.”

Aduh, kasihan…, saya sangat prihatin dengan pandangan Herman Hoeksema yang disebut teolog Reformed yang Esra kutip itu. Pandangannya sangat rancu, dan tidak mencerminkan pemahamannya yang benar atas kerugma Filipi 2:6,7. Pandangan  Herman Hoeksema tentang Yesus, dan juga Calvin,  ternyata mirip dengan kepercayaan kafir  orang-orang Likaonia di kota Listra terhadap Paulus dan Barnabas, yang menganggap Paulus dan Barnabas merupakan “dewa Zeus dan dewa Hermes yang telah turun ke tengah-tengah orang Likaonia di kota Listra dalam rupa manusia (Kisah 14:11-12), di mana ‘rupa dewa Zeus dan Hermes’ tersembunyi di dalam rupa manusia Paulus dan Barnabas”. Dalam Filipi 2:6,7, Paulus tidak berbicara sedikit pun mengenai “kemustahilan pengesampingan hakikat ilahi oleh Anak Allah untuk menukarnya dengan hakikat manusia!” Paulus juga tidak berbicara tentang “cara Anak Allah masuk ke dalam manusia sedemikian rupa sehingga di depan manusia kemuliaan dan keagungan ilahi-Nya tersembunyi…”  Tidak! Dalam Filipi 2:6,7, Paulus secara tegas dan gamblang mengatakan tentang “Kristus Yesus yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.”

Dengan Filipi 2:6,7, itu Paulus mau menyaksikan tentang ketaatan, perendahan diri, dan kerelaan Kristus Yesus mengosongkan dirinya dari ‘keallahan (keilahian)’ guna menjadi sama dengan manusia demi mengemban misi karya penyelamatan, sebagaimana dikemukakan pada ayat kedelapan: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Faktor ‘ketaatan, perendahan diri, dan kerelaan mengosongkan diri yang tercermin dalam diri Yesus’ inilah yang Paulus tekankan dan harapkan agar orang-orang percaya di Filipi perhatikan dan teladani. Perhatikan ayat 2-5, terutama ayat 4-5 yang berbunyi: “dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, ……”  Patut diperhatikan bahwa Filipi 2:5 – 7 adalah satu kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran dan perasaan, bahkan termasuk pula ayat 8.

Rupanya Calvin pada masanya, dan Herman Hoeksema, termasuk Esra dan banyak lagi orang lain yang menamakan dirinya ‘teolog’ pada masa kini, ‘tidak sampai hati’ kalau “Yesus mengosongkan dirinya sendiri dari ‘rupa Allah’, dan mengambil ‘rupa seorang hamba’, dan menjadi sama dengan manusia”. Tetapi Allah tidak demikian! Demi keselamatan dunia dan manusia, “Allah tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi menyerahkan-Nya bagi kita semua” (Roma 8:32). Allah—di dalam menyerahkan Anak-Nya yang tunggal bagi dunia dan manusia—tidak mempertahankan “rupa Allah” yang ada pada Anak-Nya,  melainkan merelakan Anak-Nya  menghampakan diri-Nya sendiri dari “rupa Allah”, dan mengambil “rupa seorang hamba”, dan menjadi sama dengan manusia (kecuali dosa), demi mengemban misi Hamba Allah yang menderita. Inilah pemikiran dan perenungan Paulus tentang Yesus dalam Filipi 2:6—11. ***


2 komentar:

  1. Penjelasan anda bagus dan mudah dipahami Pak. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas apresiasi Anda. Tuhan beserta kita. Shalom.

      Hapus