Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Rabu, 07 September 2011

Prōtotokos & chokmah


Opini Esra Alfred Soru (selanjutnya akan saya sapa, Esra) berjudul “Yesus bukan Allah?”, yang merupakan telaah teologis atas buku Allah Dalam Alkitab & Alquran karangan Frans Donald (Timor Express, Senin, 13 November 2006), mengundang perhatian saya untuk menyiasati dua gagasan lagi, yaitu prōtotokos dan chokmah.

1.      prōtotokos

Prōtotokos adalah sebuah kata/istilah yang terdapat di dalam Kitab Perjanjian Baru Bahasa Gerika. Kata/istilah ini bisa ditemukan antara lain dalam Kolose 1:15, yang menjadi perhatian saya untuk disiasati dalam marginalia ini. Prōtotokos mempunyai beberapa arti yaitu: ‘anak sulung’ (“first-born”), ‘yang sulung, tertua’ (“eldest”), ‘yang lahir terdahulu dari kandungan’ (“earliest born”); ‘yang pertama; yang pertama-tama; terutama; yang terdahulu’.

Dalam konsep Perjanjian Lama, anak sulung laki-laki (manusia) maupun anak sulung jantan (hewan), dipandang sebagai kepunyaan/milik Tuhan. Anak sulung jantan dari hewan dipersembahkan, namun anak sulung jantan dari keledai harus di tebus dengan seekor domba, dan jika tidak menebusnya maka batang lehernya harus dipatahkan. Dan mengenai manusia, setiap anak sulung di antara anak-anak lelaki, harus ditebus (Keluaran 13:11-16; 22:29,30; 34:19,20; Ulangan 15:19-23). Keluaran 13:1: “Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: Kuduskanlah bagi-Ku semua anak sulung, semua yang lahir terdahulu dari kandungan pada orang Israel, baik pada manusia maupun pada hewan; Akulah yang empunya mereka.” Bilangan 3:13: “Sebab Akulah yang punya semua anak sulung. Pada waktu Aku membunuh semua anak sulung di tanah Mesir, maka Aku menguduskan bagi-Ku semua anak sulung yang ada pada orang Israel, baik dari manusia maupun dari hewan; semuanya itu kepunyaan-Ku; Akulah TUHAN.”  Mungkin, pada suatu ketika, anak sulung dipersembahkan sebagai korban bakaran (2 Raja-Raja 3:27; Mikha 6:7).

Anak sulung memiliki ‘hak asasi’, ‘hak istimewa’ dalam arti, ia (biasanya) menggantikan, atau memiliki hak untuk menggantikan ayahnya, mewarisi takhta kerajaan, kebesaran, kemuliaan, atau kegagahan  ayahnya yang pertama-tama, dan juga mempunyai hak kesulungan dalam pembagian warisan (Ulangan 21:15-17). Dalam kasus tertentu, hak kesulungan anak sulung dilangkaui (1 Tawarikh 26:10; Kejadian 25:29-34). Demikianlah kedudukan istimewa anak sulung.

Aplikasi hak kesulungan ‘anak sulung’ dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Israel disebut ‘anak sulung’ Tuhan (Keluaran 4:22; Yeremia 31:9) memiliki kedudukan/hak istimewa di antara semua bangsa (Ulangan 14:1,2). (2) Kepada raja keturunan Daud, dikatakan: “Akupun juga akan mengangkat dia menjadi anak sulung, menjadi yang mahatinggi di antara raja-raja bumi” (Mazmur 89:28). (3) Dalam Perjanjian Baru, Yesus Kristus adalah ‘anak sulung’ di antara banyak saudara (Roma 8:29); Yesus Kristus menjadi ‘yang sulung’, ‘lebih utama’ dari segala yang diciptakan (Kolose 1:15); ‘yang sulung’, ‘yang pertama’ bangkit dari antara orang mati, dan ‘yang lebih utama dalam segala sesuatu’ (Kolose 1:18); Yesus Kristus adalah ‘anak sulung’, yang semua malaikat harus menyembah Dia (Ibrani 1:5); Yesus Kristus adalah ‘anak sulung’[yang pertama] dari orang mati dan ‘berkuasa atas raja-raja bumi ini’ (Wahyu 1:5; 1 Korintus 15:20,23). Inilah makna dari ungkapan ‘anak sulung’ (“first-born”) yang dilekatkan pada Yesus Kristus, yaitu “keutamaan-Nya”, “kedudukan-Nya yang utama dan istimewa” sebagai ‘gambar kepenuhan Allah’, sebagaimana dijelaskan oleh rasul Paulus dalam Kolose 1:15-23.

Jikalau kesetiaan TUHAN kepada Daud sebagaimana disaksikan dalam  Mazmur 89:28, “Aku pun juga akan mengangkat dia menjadi anak sulung, menjadi yang mahatinggi di antara raja-raja bumi”, maka Yesus yang adalah tunas Daud, yaitu keturunan Daud ditetapkan menjadi “anak sulung”, menjadi “yang mahatinggi”, yaitu “Anak Allah Yang Mahatinggi” (Lukas 1:32); “yang berkuasa atas raja-raja bumi ini” (Wahyu 1:5); yang menjadi “Tuan di atas segala tuan dan Raja di atas segala raja” (Wahyu 17:14); dan “yang memegang segala kunci maut dan kerajaan maut” (Wahyu 1:18). Itulah makna keutamaan, superioritas “anak sulung” atau “yang sulung” yang melekat pada Yesus Kristus, sebagaimana disaksikan di dalam Perjanjian Baru.

Ternyata Frans Donald tidak menjelaskan konsepsi tentang “anak sulung” dan aplikasi teologis alkitabiah dari ungkapan ‘anak sulung’, atau ‘yang sulung’, yang dikenakan kepada Yesus Kristus. Frans Donald hanya menjelaskan ungkapan ‘anak sulung’ atau ‘yang sulung’ itu sebatas arti leksikal, sehingga membuat kesimpulan: “kedudukan/status Yesus hanyalah ‘anak pertama’ atau ‘yang dilahirkan lebih dahulu’ dan/atau Yesus adalah ‘makhluk’/ pribadi permulaan dari ciptaan Allah”. Dan ini mencerminkan keterbatasan pemahaman Frans Donald.

Keterbatasan pemahaman Frans Donald mengenai aplikasi teologis alkitabiah dari ungkapan ‘anak sulung’ sebagaimana dikatakan di atas ini dapat saya maklumi, karena Frans Donal bukan seorang yang berpendidikan teolog. Namun yang sangat saya sesalkan ialah konsepsi dan argumentasi Esra seputar makna ungkapan ‘anak sulung’ dalam menanggapi pandangan Frans Donald. Esra, yang berpendidikan teologi, dan yang konon menguasai hermeneutika, ternyata sama sekali tidak melakukan ‘telaah teologis’ (alkitabiah) sebagaimana bunyi judul penjelasan dari opininya yang dimuat di Harian Pagi Timor Express  edisi Senin, 13 November 2006. Esra hanya melakukan telaah kata, ‘bermain kata’, dan menuding Frans Donald  tidak menguasai hermeneutika Alkitab terkait Kolose 1:15,16, seraya mengutip The Wycliffe Bibel Commentary.

Esra kemudian mengutip Kolose 1:15 menurut teks PB Bahasa Gerika. Di sini saya tidak mengutip transkripsi Gerika menurut versi Esra, melainkan menurut versi saya sebagai berikut: hōs estin eikōn tou theou tou aoratou, prōtotokos pasēs ktiseōs, artinya, “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” (terjemahan LAI); “He is the image of the invisible God, the first-born of all creation” (RSV). Esra menjelaskan bahwa kata prōtotokos dalam Kolose 1:15 sebenarnya berarti “yang mendahului” tidak harus berarti ciptaan yang pertama. Lebih lanjut Esra mengatakan, dalam ayat 18 kata yang sama digunakan adalah “contoh” kebangkitan oleh Yesus yang mendahului kebangkitan manusia. Setelah itu, Esra menyebut Roma 8:29 dan Ibrani 1:6 yang dalam ayat-ayat tersebut terdapat juga kata prōtotokos.

Ternyata konsepsi teologis alkitabiah Esra mengenai kata/istilah prōtotokos yang dilekatkan pada Yesus Kristus sempit dan dangkal. Esra sama sekali tidak melakukan ‘telaah teologis alkitabiah’. Aplikasi teologis alkitabiah tentang “anak sulung” yang dilekatkan pada Yesus Kristus sebagaimana saya kemukakan di atas secara singkat, namun bernas, sama sekali tidak disinggung oleh Esra, selain mengutip konkordansi ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata prōtotokos. Dan yang sangat disesalkan ialah, hanya untuk menepis pendapat Frans Donald tentang prōtotokos, Esra berani ‘memangkas’ arti leksikal dan makna teologis alkitabiah prōtotokos  yang diaplikasikan dalam Perjanjian Baru kepada Yesus Kristus.  Kata Gerika prōtotokos yang berarti “anak sulung” (“first-born”), “yang sulung, tertua” (“eldest”), “yang lahir terdahulu dari kandungan” (“earliest born”), “yang pertama, yang pertama-tama, yang utama, yang terdahulu”, ternyata Esra ‘pangkas’ arti yang paling utama dari prōtotokos yang diaplikasikan kepada Yesus yaitu “anak sulung”, “yang sulung”, seraya mengatakan bahwa kata prōtotokos yang dipakai dalam Kolose 1:15 sebenarnya berarti “yang mendahului”. Sungguh sangat disesalkan, hanya lantaran ambisi untuk memenangkan polemik dengan Frans Donald, Esra tega ‘memangkas’ keutamaan’ dan/atau ‘kedudukan istimewa Yesus Kristus’ sebagai “anak sulung”, sebagai “yang sulung dari segala yang ada di sorga dan yang ada di bumi…”,  menjadi sekadar ‘yang mendahului’ berdasarkan konsepsi teologis alkitabiah Esra ‘yang warnanya tidak jelas’ dan ternyata sangat sempit dan dangkal. Saya sarankan agar Esra   merenungkan kembali kerugma Kolose 1:15-19. Di situ, rasul Paulus menyaksikan tentang ‘keutamaan’ (superioritas) dan/atau ‘kedudukan istimewa Yesus Kristus’, yang rasul Paulus sebut dengan ungkapan “yang sulung”—bukannya kedudukan Yesus Kristus sebagai ‘yang mendahului’ menurut konsepsi Esra yang sangat konyol.


2.      chokmah

Chokmah, kata sifatnya, chakam, adalah kata Ibrani, yang artinya: “hikmat, kearifan, kebijaksanaan”, bagi orang Ibrani berakar pada sikap yang benar kepada Allah (Amsal 9:10; 15:33; Mazmur 111:10; Ayub 28:28). “Hikmat” adalah pemberian dari Tuhan (1 Raja-Raja 3:11,12; Pengkhotbah 2:26; Yesaya 11:2; Daniel 1:17).

Dalam Perjanjian Baru, “hikmat” (Gerika, sophia), adalah “bakat, pemberian yang berkenaan dengan daya pikiran (kecerdasan, kecendekiaan, kearifan) tertinggi yang luas, meliputi banyak hal tentang maksud dan tujuan Allah” (A Pocket Lexicon To The Greek New Testament 1943:238); misalnya, arti/makna sophia dalam Kisah 6:3; Yakobus 1:5; 3:13,15; 1 Korintus 6:5). Arti/makna “hikmat” memperoleh perkembangan yang sangat penting dalam pandangan rasul Paulus tentang Yesus Kristus. Dalam 1 Korintus 1:24, Paulus mengatakan bahwa “Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah”. Dalam 1 Korintus 1:30, Paulus mengatakan bahwa “oleh Allah, Yesus Kristus menjadi hikmat bagi kita yang berada di dalam Dia”. Dalam Kolose 2:3, Paulus berkata: “Di dalam Dia (yaitu Yesus Kristus) tersembunyi segala ‘harta hikmat’ dan ‘pengetahuan’” (banding, Markus 6:2; Yohanes 7:15,16).

Lebih lanjut, Paulus berkata tentang Yesus Kristus yang adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah sebagai berikut: “Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi…, segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia…, karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia” (baca selengkapnya, Kolose 1:15-19). Pandangan rasul Paulus ini paralel dengan pandangan penulis Injil Yohanes pasal 1:1-18, tentang logos. Dalam kaitannya dengan Amsal 8:1-36, dapat dikatakan bahwa “hikmat” (chokmah, chakam) yang dipersonifikasikan dalam Amsal 8:1-36 itu ‘mengejawantah’ di dalam Yesus Kristus. Pemahaman ini jangan dibalik seolah-olah Yesus Kristus adalah “hikmat” yang diwartakan dalam Amsal 8:1-36, sehingga timbul penafsiran atau anggapan seperti yang dikemukakan oleh Frans Donald, bahwa Amsal 8:1-36, khususnya ayat 22-25, menyaksikan tentang “penciptaan Sang Hikmat (Yesus, ho logos) oleh Allah, sebagai permulaan pekerjaan Allah”. Penafsiran/ pemahaman seperti ini jelas salah 1000%, karena ho logos yang disaksikan oleh penulis Injil Yohanes pasal 1:1-4 itu adalah ‘Allah’ yang berperan aktif sebagai ‘mediator’ dalam proses penciptaan bersama-sama dengan ALLAH. Dan di dalam ‘ho logos’ yang adalah ‘Allah’ itu, ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.

Berdasarkan pengertian/ pemahaman sebagaimana dikemukakan di atas ini, maka “hikmat” (chokmah, chakam) yang dipersonifikasikan dalam kerugma Amsal 8:1-36 itu menyarankan bahwa “hikmat” sudah ada lebih dahulu sebelum penciptaan; bahkan, “hikmat” ada bersama-sama dengan Allah sebelum penciptaan dan pada waktu penciptaan, karena hikmat itu bersumber di dalam Allah dan berasal dari Allah sendiri. Ungkapan-ungkapan seperti ‘menciptakan aku’, ‘aku dibentuk’, ‘aku telah lahir’ (Amsal 8:22-25), ‘aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan”, ‘aku bermain-main di hadapan-Nya” (ayat 30,31) adalah ungkapan-ungkapan personifikasi untuk menjelmakan  “hikmat” yang diwartakan agar “hikmat” yang abstrak menjadi konkret, ‘bertindak’ dan ‘berbicara’ layaknya manusia, sehingga kerugma menjadi  hidup,  atraktif, impresif dan persuasif. Dengan demikian, sesungguhnya “hikmat” tidak diciptakan, tidak dibentuk, tidak dilahirkan, sebab “hikmat” itu bersumber di dalam Allah dan berasal dari Allah, yang kemudian mengejawantah  di dalam Yesus Kristus (1 Korintus 1:24,30; Kolose 2:3,dyb).

Penulis-penulis Alkitab sering mempergunakan lukisan-lukisan dengan majas  personifikasi untuk mengintensifkan kerugma, antara lain misalnya: “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam” (Mazmur 19:2,3). “Samudera raya berpanggil-panggilan dengan deru air terjun-Mu” (Mazmur 42:8a). “Kiranya gunung-gunung membawa damai sejahtera…, dan bukit-bukit membawa kebenaran” (Mazmur 72:3). “Sebelum gunung-gunung dilahirkan, dan bumi dan dunia diperanakkan” (Mazmur 90:2a). “Gunung-gunung melompat-lompat seperti domba jantan” (Mazmur 114:4,6). “Ada apa, hai laut, sehingga engkau melarikan diri” (Mazmur 114:5). Dan sebagainya.

Ternyata Esra tidak memiliki konsepsi teologis alkitabiah yang baik tentang “hikmat” (chokmah, chakam; sophia) sebagaimana saya paparkan di atas, sehingga tanggapan Esra terhadap Frans Donald tidak mencerminkan  sebuah ‘telaah teologis’ seperti Esra katakan pada judul opini, melainkan apa yang Esra lakukan adalah ‘telaah kata lepas kata’ dan mencopot arti/makna kata dari konteksnya. Hal ini terlihat, bukan saja pada kecerobohan Esra ‘mencopot’ keutamaan Yesus yang tersirat dalam ungkapan “anak sulung” atau “yang sulung” yang Esra ganti dengan ungkapan “yang mendahului”, melainkan juga terlihat dalam upaya Esra menjelaskan kerugma Amsal 8:22-25 dengan metode telaah kata. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar