Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Selasa, 12 November 2013

VIBRASI SEJARAH PERGERAKAN KEMERDEKAAN DAN VIBRASI EKSISTENSI BANGSA INDONESIA


MEMPELAJARI sejarah sesungguhnya memberikan kesenangan tersendiri. Kesenangan itu dapat berupa kesenangan estetis seperti halnya kita mempelajari karya-karya sastra naratif. Kesenangan lainnya adalah kesenangan pesona perlawatan, karena dari kisah sejarah yang kita pelajari itu kita seolah-olah sedang melakukan suatu perlawatan sambil menyaksikan berbagai perkembangan, kejadian, peristiwa, dan perjuangan dari sekelompok manusia yang hidup di suatu ruang dan waktu yang jauh dari ruang dan waktu kehidupan kita sekarang ini.
Tetapi sejarah tidak saja memberikan kepada kita kesenangan sebagaimana disebutkan di atas. Sejarah juga dapat memberikan kepada kita manfaat. Ada beberapa manfaat yang dapat kita pungut dari sejarah: manfaat rekreatif, manfaat inspiratif, manfaat instruktif, dan manfaat kebijaksanaan atau hikmat.
Manfaat rekreatif dapat membebaskan kita dari monotonitas kehidupan yang cenderung menenggelamkan kita ke dalam lembah kebosanan hidup sehari-hari. Manfaat inspiratif dapat menggugah kita dan pikiran kita untuk membuat karya-karya historis/monumental. Manfaat instruktif dapat memperkaya pengetahuan dan wawasan kita. Dan manfaat kebijaksanaan atau hikmat dapat menjadi suluh yang menerangi langkah-langkah perjalanan maupun perjuangan kita yang sementara hidup kini dan di sini…, menuju ke masa depan yang didambakan.
Memperhatikan apa yang dikatakan di atas ini, kiranya sungguh tepat pernyataan Dr. A.L. Netti, M.Th., yang antara lain mengatakan: “Semboyan lama, ‘historia vitae magistra’ (sejarah menjadi guru bagi hidup kita), adalah sesuatu yang sangat penting. Ia penting, sebab ia dapat menolong dan meladeni kita. Dan apabila ia (sejarah) dipahami secara kritis, ia sungguh berfaedah. Memahami dan mengenal secara baik sejarah masa lampau membuat kita masa kini menahan diri untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan masa lalu, atau tidak untuk memperbaiki keburukan-keburukan dengan menciptakan sesuatu yang baru sebagai keburukan baru, karena teoritis dianggap terbaik menurut selera sendiri, tetapi yang sebenarnya tidak mampu menjawab masalah dan lalu menjadi lebih buruk lagi” (Kata Sambutan dalam naskah “Pengabaran Injil Di Pulau Timor”. Rev. Gordon Dicker, B.A., B.D. 1960:2).
Jikalau apa yang dikemukakan oleh Dr. A.L. Netti, M.Th., di atas ini dapat kita terima, maka dalam mempelajari sejarah seharusnyalah kita melakukan pendekatan historis-refleksif dan pendekatan historis-komparatif, sebab sejarah masa lampau yang kita pelajari kini dan di sini bukan lagi demi masa lampau, melainkan demi masa kini yang sedang bergerak mengarah ke masa depan. Dengan pendekatan historis-refleksif kita berusaha untuk melihat pengalaman, hal-ihwal atau situasi kita sekarang ini sebagai suatu titik dalam kontinuitas sejarah yang membentang dari masa lampau, melalui masa kini, dan terus bergerak mengarah ke masa depan.
Dengan mengetahui rangkaian peristiwa yang mendahului situasi kita sekarang ini, maka kita akan mengerti mengapa situasi kita adalah seperti adanya sekarang. Dan dengan pendekatan historis-komparatif kita berusaha untuk melakukan perbandingan, sehingga kita bisa melihat dan/atau menemukan hal-hal atau masalah-masalah yang memiliki persamaan maupun perbedaan, yang dari padanya barangkali kita bisa memungut manfaat demi masa kini dan masa depan.
Untuk tujuan sebagaimana dikemukakan di atas inilah saya  mengembangkan sebuah ‘teori’, yang saya namakan ‘teori vibrasi sejarah’ , sehingga pendekatan historis-refleksif dan pendekatan historis-komparatif di dalam mempelajari sejarah menjadi ‘pendekatan historis-refleksif berdasarkan teori vibrasi’ dan ‘pendekatan historis-komparatif berdasarkan teori vibrasi’. Dengan mengandalkan ‘teori’ ini, saya ingin menyingkapkan melalui buku kecil ini: (a) bagaimana vibrasi pergerakan kemerdekaan dan eksistensi bangsa Indonesia dari tahun 1908—2008  menuju ke tahun 2028—2048; (b) bagaimana vibrasi kepeloporan Soekarno dan vibrasi pemberontakan/pengkhianatan PKI yang merongrong vibrasi kepeloporan Soekarno; (c) bagaimana vibrasi kepeloporan Mohammad Hatta sehingga mengundurkan diri pada tahun 1956; (d) bagaimana vibrasi kepeloporan Soeharto, sehingga Soeharto menduduki takhta kepresidenan Republik Indonesia selama enam periode lima tahunan, mulai dari tahun 1968 sampai dengan tahun 1998; (e) bagaimana vibrasi kepeloporan B.J. Habibie; (f) bagaimana vibrasi kepeloporan Abdurrahman Wahid; (g) bagaimana vibrasi kepeloporan Megawati Soekarnoputri di pentas politik nasional; dan (h) bagaimana vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono sehingga muncul  sebagai presiden di pentas politik nasional Indonesia pada tahun 2004; dan bagaimana vibrasi kepeloporan Susilo Bambang Yudhoyono dalam kaitannya dengan pemilihan umum/pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat pada tahun 2009.
Apabila Shakespeare berkata, “All the world’s a stage, and all the men and women merely players: They have their exits and entrances, and one man in his time plays many parts,…” (Garth Boomer, 1970:139), maka sesuai hasil penelitian saya

Kupang, 28 Oktober 2004 menuju 28 Oktober 2009

A. G. Hadzarmawit Netti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar