Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Sabtu, 20 September 2014

Beberapa catatan atas opini Marsel Robot

Catatan Pengantar:
Atas permintaan pembaca, berikut ini saya muat di blog saya lima artikel yang terdapat di lampiran buku SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWARDALAM KONTEMPLASI (B You Publishing Surabaya 2011 halaman 179-243) masing-masing berjudul: 1. IMAJINASI DAN FANTASI MENURUT KONSEP PSIKOLOGI 2. Marginalia atas: 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur; 3. Sungguh Trenyuh (Catatan untuk Silvester Ule seputar “Perlukah ‘trenyuh’ itu?”); 4. Seputar Jurnalisme Sastrawi (Catatan untuk Isidorus Lilijawa); 5. Beberapa catatan atas opini Marsel Robot Tentang Fantasi: Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan. Mudah-mudahan uraian dalam kelima artikel ini dapat dibaca oleh para pihak yang tidak memiliki buku saya sebagaimana judulnya telah disebutkan di atas. SELAMAT MEMBACA!

Tentang fantasi: Sebuah pertengkaran
yang menyembuhkan
                                                      
 Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti

Catatan pendahuluan

Setelah membaca artikel Marsel Robot (selanjutnya saya sapa, Robot) “Tentang fantasi: Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan” (Pos Kupang, 26 Februari 2008), saya ingin memberikan beberapa catatan pendahuluan sebelum masuk ke dalam percakapan tentang fantasi menurut versi Robot.

Pertama, artikel saya berjudul “Marginalia atas opini Maria Matildis Banda seputar imajinasi, fantasi dan khayalan” (Pos Kupang, 16 Januari 2008) merupakan sebuah masukan yang saya serahkan kepada editor buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur. Masukan tersebut bukan untuk dipublikasikan di media Pos Kupang, melainkan untuk dibaca dan dipertimbangkan secara khusus oleh editor buku 15 tahun Pos Kupang, yaitu Tony Kleden, Dion D.B. Putra, dan yang terutama ialah sebagai masukan bagi Maria Matildis Banda sendiri yang opininya saya tanggapi.

Mengenai judul, saya heran mengapa judul artikel “Marginalia atas opini Maria Matildis Banda: Seputar Imajinasi, Fantasi dan Khayalan” itu dikatakan oleh Robot sebagai sebuah judul yang agak arogan. Arogan artinya congkak, sombong, mempunyai perasaan tinggi hati. Pernyataan Robot membuat saya bertanya-tanya: kata, atau ungkapan yang manakah dalam judul artikel saya itu yang menyarankan arti arogan? Tidak ada. Rupanya kata “marginalia” telah disalahartikan oleh Robot. Kalau benar demikian, sungguh memalukan sekali. Perkataan “marginalia” dalam bahasa Inggris, menurut Chambers Twentieth Century Dictionary (London 1972:802) artinya “notes written on the margin” (catatan-catatan yang ditulis pada bagian tepi halaman buku).  Kalau kita membaca sebuah buku lalu kita membuat beberapa catatan pada bagian tepi halaman buku berkenaan dengan isi buku tersebut, apakah itu merupakan perbuatan yang arogan?  Ah, alangkah ibanya hati saya atas ketidakpahaman Robot.

Kedua, perlu pula Robot ketahui bahwa masukan yang saya serahkan kepada editor buku 15 tahun Pos Kupang dengan surat pengantar tertanggal 2 Januari 2008 itu bukan hanya berupa tanggapan atas opini Maria Matildis Banda, melainkan  juga koreksi terhadap beberapa kesalahan yang terdapat dalam empat tulisan lain, dan sekelumit pertimbangan saya tentang gambar sampul buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, yang boleh disetujui atau tidak disetujui oleh editor.

Ketiga, atas permintaan editor buku 15 tahun Pos Kupang (Tony Kleden) yang ingin mempublikasikan tanggapan saya atas opini Maria Matildis Banda di media Pos Kupang dengan tujuan agar dapat ditanggapi oleh siapa saja dalam rangka “pencarian kebenaran” seputar perbedaan pandangan antara saya dan Maria Matildis Banda tentang imajinasi, fantasi, dan khayalan, maka saya memberikan persetujuan  sehingga tanggapan saya tersebut dimuat di Pos Kupang edisi 16 Januari 2008. Tujuan editor buku 15 tahun Pos Kupang pun terpenuhi. Pada 19 Januari 2008 Silvester Ule menanggapi opini saya; pada 31 Januari 2008 Isidorus Lilijawa menanggapi lagi opini saya; dan pada 26 Februari 2008 Marsel Robot terdorong ikut membedah opini saya dengan  pisau bedahnya yang tumpul. Saya tidak tahu, apakah masih ada lagi yang ingin ikut membedah opini saya atau tidak.

Sebenarnya, yang sangat saya nanti-nantikan ialah tanggapan balik dari Maria Matildis Banda atas sanggahan yang saya tujukan kepadanya. Saya baru akan mengerahkan seluruh perhatian saya untuk berdiskusi tentang imajinasi, fantasi dan khayalan, seandainya saya sudah membaca dan mempertimbangkan tanggapan baliknya. Namun sampai sekarang Maria Matildis Banda belum menanggapi opini saya. Dengan demikian, antara saya dan Maria Matildis Banda belum terjadi perdebatan atau adu argumentasi apa-apa. Namun anehnya, menurut Robot, antara saya dan Maria Matildis Banda telah terjadi pertengkaran, sehingga Robot merasa terpanggil untuk campur tangan dalam menyelesaikan pertengkaran, untuk memulihkannya menjadi “sebuah pertengkaran yang menyembuhkan”. Inilah ketidakcermatan Robot. Dan lantaran ketidakcermatan, Robot salah mendiagnosa, salah memberikan resep pengobatan demi menyembuhkan penyakit pertengkaran. Akibatnya, penyakit pertengkaran tidak tersembuhkan, malahan Robot melimbulkan penyakit pertengkaran baru yang lebih parah. Ini akan saya buktikan nanti.

Keempat, tujuan saya memberi enam masukan kepada editor buku 15 tahun Pos Kupang adalah demi pembetulan kesalahan/kekeliruan tertentu dari  isi buku 15 tahun Pos Kupang bila dicetak-ulang pada waktu yang akan datang, dan bukannya debat untuk menyuburkan kreativitas dalam bersastra, atau membangun debat demi debat dan hasil debat didebatkan lagi seperti  anggapan Robot yang ngawur. Mengapa saya katakan anggapan Robot ngawur? Karena debat dan hasil debat yang didebatkan lagi oleh orang-orang dalam “ranah  pencarian kebenaran” adalah lebih terpuji dari pada orang-orang yang  memupuk kebiasaan  “take for granted”  atas sesuatu yang sesungguhnya salah/tidak benar lalu ditularkan lagi kepada orang lain, sehingga kesalahan dan ketidakbenaran semakin berkembang luas. Mereka yang disebutkan terdahulu memang tidak banyak yang gemuk dan terkadang ‘kemomos’, namun punya harga diri dan prinsip hidup yang sejati, tidak bermental “yes-man”, dan tidak memupuk kebiasaan “take for granted”.  Sedangkan mereka yang disebutkan kemudian, sekalipun terdapat  banyak yang gemuk, kelihatan ’necis’ dan tergolong elite, namun argumen-argumen mereka banyak yang kurus, terkadang lebih  ‘kemomos’ dari  mereka yang dicap tidak banyak gemuk dan terkadang ‘kemomos’ itu. Kenyataan semacam inilah yang ditunjukkan oleh Marsel Robot dalam tulisannya berjudul “Tentang fantasi: Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan”.

Kelima, kelihatannya Robot sangat prihatin melihat saya bertahan hidup dalam daerah sastra yang gersang di NTT. Tentang ini Robot berkata, “Dia memang penggarap setia di ladang yang  disebut sastra, sebuah bidang kajian yang gersang, tetapi dia kerasan menikmati dunia yang sepi itu. Saya sangat sulit menemukan sosok seperti Netti yang bertahan hidup dalam daerah gersang seperti itu, sementara karya sastra bukan merupakan kebutuhan dalam masyarakat NTT yang masih sibuk mempertahankan taraf hidup dan belum bergerak untuk meningkatkan taraf hidup.” 

Pernyataan Robot sebagaimana saya kutip di atas ini mencerminkan kedangkalan memahaman dan penghayatannya terhadap hidup dan kehidupan. Dengan pernyataannya itu, dia hanya berpikir sebatas perut ke telapak kaki. Pernyataannya itu mencerminkan penghayatannya tentang denyut kehidupan yang berdetak  dari lubuk dada ke ubun-ubun kepala bersifat rudimentir. Perlu kiranya Robot tahu bahwa sastra bukan lahan garapan saya, melainkan “bilik kontemplasi” saya. Saya bukan sastrawan, bukan novelis, bukan cerpenis, dan bukan penyair. Saya hanyalah apresiator sastra. Sebagai apresiator, sastra bagi saya merupakan “bilik kontemplasi”,  tempat saya melakukan renungan dengan seluruh kebulatan pikiran, perasaan, dan roh, dalam upaya pencarian nilai-nilai human dan nilai-nilai spiritual. Dalam bilik kontemplasi itu saya melakukan perjumpaan/pertemuan dengan hasil karya (puisi) para penyair yang menggeluti hidup dan kehidupan. Di dalam bilik itulah saya berkontemplasi dan berdoa,  sebab bahasa yang menjembatani cara emosional dan rasional itu adalah puisi. Ia (puisi) adalah karya seni yang otentik dapat membawa manusia untuk berdoa (Keselamatan Masa Kini. BPK GM. Jakarta 1973:31). Dan hasil kontemplasi yang telah menyatu dengan doa itu saya tuangkan dalam bentuk artikel, kemudian saya serahkan ke media cetak untuk diterbitkan dengan harapan: semoga bermanfaat bagi mereka yang menaruh minat pada sastra dapat membaca dan merenungkannya.

Bukankah Robot sendiri pernah secara langsung menyatakan pujian dan kekaguman kepada saya di salah satu ruang dosen FKIP Undana Lama Kupang dalam suatu pertemuan pada tahun 1990-an, berkenaan dengan kajian saya atas sajaknya  yang   berjudul “Remang Senja Di Kampung”, yang dimuat di SKM Dian Ende edisi 25 September 1992? Robot pasti sudah lupa peristiwa pertemuan antara dia dan saya pada tahun 1990-an itu, sekaligus pasti sudah lupa apa yang dia katakan kepada saya, yang dia akhiri dengan suatu pengharapan yang mendalam agar saya terus melakukan kajian atas sajak-sajaknya yang dimuat di SKM Dian. Dia juga tidak tahu, bahwa antara tahun 1991 dan tahun 2000, ketika dua kali saya diundang untuk menyajikan makalah dalam seminar sastra (29 April 1991 dan 6 Mei 2000); satu kali menjadi anggota dewan juri lomba karya tulis cerpen dan puisi bersama-sama  Drs. Hayon G. Nico dan Drs. H. Jehane pada seleksi daerah Badan Seni Mahasiswa Indonesia Daerah Provinsi NTT  yang akan diikutsertakan pada Pekan Seni Mahsiswa Indonesia Tingkat Nasional Tahun 1991 di Surakarta; satu kali menjadi ketua dewan juri puisi pada Festival Seni Kampus Tahun 1992 FKIP Undana Kupang; dan satu kali menjadi narasumber dalam diskusi panel sastra dalam rangka memperingati hari Chairil Anwar pada 29 April 1998, banyak mahasiswa FKIP Undana Kupang Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia telah memungut manfaat dari saya yang setia berkontemplasi dalam bilik kontemplasi sastra. Sangat disayangkan bahwa selama beberapa kali saya dilibatkan dalam kegiatan seni sastra di kampus Undana sebagaimana telah dikemukakan di atas, panitia tidak pernah melibatkan Marsel Robot untuk bersanding dengan saya, kecuali hanya Drs. Hayon G. Nico dan Drs. H. Jehane. Ah, baiklah catatan pendahuluan ini saya akhiri untuk beralih ke pokok “pertengkaran” tentang fantasi menurut versi Robot.

Bagian pertama: Tentang fantasi
           
Tanggapan dan uraian Robot di bawah judul kecil “tentang fantasi” secara keseluruhan sebenarnya mendukung dan/atau membenarkan pandangan saya, sekalipun beberapa distorsi ia lakukan. Apabila pandangan saya dibenarkan, maka dengan sendirinya pandangan Maria Matildis Banda tidak benar.  Namun ternyata tidak demikian. Pada satu sisi Robot membenarkan pandangan saya dan menyalahkan pandangan Maria Matildis Banda; namun pada sisi lain Robot membenarkan pandangan Maria Matildis Banda dan menyalahkan pandangan saya, dan Robot menganggap pandangannya yang paling benar. Apabila kita memperhatikan pendapat Maria Matildis Banda tentang imajinasi, fantasi dan khayalan (15 tahun Pos Kupang 2007:174,175), maka kita dapat melihat secara gamblang pendapatnya yang menafikan potensi dan peranan fantasi, bukan saja dalam sastra dan jurnalisme sastra, melainkan juga dalam kehidupan manusia pada umumnya. Pada pandangan Maria Matildis Banda, potensi dan peranan fantasi itu negatif: tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan, gambaran semu tentang sesuatu yang tidak bisa diubah menjadi kenyataan, mengandai-andai yang hanya menimbulkan rasa lelah atau membawa si pengandai tenggelam dalam khayalan-khayalan hampa yang indah berbunga-bunga. Singkatnya, fantasi pada pandangan Maria Matildis Banda bukan proses mental yang kreatif dan bermakna. Pada titik ini, pandangan Maria Matildis Banda ditentang atau tidak dibenarkan oleh Robot. Sebab menurut Robot, “berfantasi adalah proses mental yang sangat mendasar dan berpusat pada otak kanan manusia..…; dan berfantasi adalah proses mental yang sengaja, kreatif, bertujuan dan bermakna.”  
           
            Namun pada pihak lain Robot mengatakan, “Maria Matildis Banda juga benar ketika ia mengkaji fantasi berangkat dari hasil karya…” Dengan pernyataan ini Robot menjerumuskan dirinya ke dalam kepalsuan argumen, sebagai upaya untuk melindungi Maria Matildis Banda. Mengapa? Sebab sesungguhnya Maria Matildis Banda tidak mengkaji fantasi berangkat dari hasil karya, melainkan ia hanya menjelaskan tentang  ketidakmasukakalan, kehampaan dan kesemuan fantasi berdasarkan anggapannya yang keliru atas terminologi imajinasi dan fantasi. Dan untuk mendukung pandangannya, ia membandingkannya dengan  kisah tentang fantasi si tukang madu yang malas yang ingin menjadi kaya, serta fantasi  seorang wartawan yang bermimpi menjadi presiden. Di sinilah letak kekeliruan Maria Matildis Banda yang secara tegas membedakan imajinasi dari fantasi, dan tidak melihat adanya hubungan kodrati antara imajinasi dan fantasi. Ia tidak menyadari bahwa contoh tentang fantasi si tukang madu yang malas yang ingin menjadi kaya, dan contoh fantasi seorang wartawan yang bermimpi menjadi presiden itupun adalah kreasi imajinasi. Tidak mungkin ada fantasi tanpa imajinasi, sebab fantasi adalah imajinasi yang diteruskan di dalam pikiran, atau fantasi adalah imajinasi yang dikembangkan di dalam pikiran. Jadi, pandangan Maria Matildis Banda yang membedakan fantasi dari imajinasi serta menganggap bahwa fantasi tidak bermakna adalah pandangan yang keliru. Begitu pula pandangan  Robot yang hanya menyebutkan peranan fantasi tanpa mengaitkannya dengan imajinasi adalah pandangan yang pincang. Harvey Cox, dalam bukunya The Feast of Fools, A Theological Essay on Festivity and Fantasy (Harvard 1969:62) mengatakan: “Imajinasi dan fantasi, keduanya adalah sumber kreativitas yang menyerupai gambar Allah dalam manusia. Melalui fantasi, manusia membuat sesuatu ex nihilo.”

            Bagian kedua: Tentang fantasia

Saya dapat memaklumi kiat yang tersirat dalam pernyataan Robot yang  mengatakan bahwa “Maria Matildis Banda juga benar ketika ia mengkaji fantasi berangkat dari hasil karya”. Dengan pernyataan ini, sebenarnya Robot mau mengalihkan perhatian serta menuntun opini pembaca kepada pengertian “fantasia” menurut Ensiklopedi Wikipedia yang memberi pengertian, fantasi is genre that uses magic and other supernatural forms as a primary element plot, theme, and/or setting. Pernyataan Robot di atas ini salah. Mengapa? Sebab, sebagaimana telah dikatakan di atas, Maria Matildis Banda samasekali tidak mengkaji fantasi berangkat dari hasil karya, melainkan menafikan fantasi dalam karya jurnalisme sastra dan hanya mengakui peranan imajinasi. Selain itu, Robot pun salah, jika mengutip Ensiklopedi Wikipedia yang memberi pengertian fantasi is genre that uses magic and other supernatural forms as a primary element plot, theme, and/or setting sebagai kiat untuk menggugurkan pandangan saya tentang imajinasi dan fantasi di dalam menafikan pandangan Maria Matildis Banda. Mengapa saya katakan Robot salah?  Karena “fantasia” sebagaimana dirumuskan dalam Ensiklopedi Wikipedia itu bukan “fantasi dalam pengertian  sebagai suatu proses mental” atau “fantasi sebagai metabolisme pikiran” (pinjam konsepsi Robot sendiri), melainkan “fantasia” sebagai suatu terminologi untuk menyebutkan “suatu genre” (aliran/gaya sastra) “yang mempergunakan bentu-bentuk kekuatan supernatural dan bentuk-bentuk kekuatan magis sebagai unsur utama plot, tema, dan/atau setting”.

            Selain itu, saya minta permisi untuk bertanya kepada Robot: apakah benar penulisan kata “fantasi” yang Robot kutip dari Ensiklopedi Wikipedia itu? Di dalam kamus bahasa Inggris, kata “fantasi” ditulis “fantasy” dan “phantasy”—bukan “fantasi” sebagaimana dikutip oleh Robot. Dengan demikian, jikalau Robot tidak salah kutip atau salah ketik, maka kesalahan ada pada Ensiklopedi Wikipedia. Kesalahan ketik itu lumrah. Tetapi dengan ini saya ingin memberitahukan kepada Robot bahwa sumber (referensi) yang paling tepat untuk menjelaskan “genre” (aliran/gaya sastra) yang Robot kutip dari Ensiklopedi Wikipedia itu ada di dalam Chambers Twentieth Century Dictionary.  

Dalam Chambers Twentieth Century Dictionary (London 1972:473) disebutkan bahwa  fantasia: a strory, film, etc., not based on realistic characters or setting (fantasia: suatu ceritera, film, dan lain-lain yang tidak didasarkan pada karakter-karakter atau setting yang realistis atau menurut keadaan yang sesungguhnya). Dalam konteks ini, “fantasia” dipergunakan sebagai sebuah terminologi untuk menjelaskan suatu genre (aliran/gaya sastra)  sebagaimana telah dikemukakan di atas, termasuk pula ke dalamnya “aliran/gaya musik, atau karangan-karangan lain yang tidak dipengaruhi oleh bentuk dan ketentuan-ketentuan yang biasa”. Dan dalam The Lexicon Webster  (1971:355) dihisabkan pula a play or poem in which the outhor creates the illusion of a fantasy (sandiwara, lakon, pertunjukan, atau syair, sajak yang didalamnya pengarang menciptakan ilusi dari suatu fantasi).

Berdasarkan penjelasan singkat di atas ini sekali lagi saya tegaskan bahwa istilah  fantasia sebagai suatu genre (aliran/gaya sastra) tidak sama dengan istilah fantasi yang menyatakan proses imajinasi (daya pikir untuk membayangkan atau menciptakan gambar angan-angan) yang dikembangkan atau  yang diteruskan di dalam pikiran. Dengan demikian, kiat Robot untuk membenarkan Maria Matildis Banda menjadi sia-sia, termasuk pula ceritera  (folk-tale atau folk-lore) ‘Makhluk Poti Wolo’ di Manggarai; legenda ‘Batu Ba Daon’ di Larantuka; dan ilustrasi tentang seorang gadis telanjang, berambut pirang dan panjang, dua payudara menjulur menggulung awan, gadis itu mengendarai kuda berekor naga, kuda itu berlari di udara seolah turun gunung-gunung awan dan menuju bulan setengah bulat dibalut korona, yang disobek oleh Robot dari sebuah situs internet itu samasekali tidak ada sangkut-pautnya dengan konsepsi Maria Matildis Banda tentang fantasi yang saya sanggah.

Selain itu, ketiga ilustrasi itu pun tidak dapat digolongkan ke dalam genre (aliran/gaya sastra) yang disebut fantasia versi Ensiklopedi Wikipedia yang dirujuk oleh Robot sendiri. Karena genre ini menekankan “penggunaan unsur-unsur kekuatan ilmu sihir, daya kekuatan rahasia atau kekuatan gaib (magis) dan bentuk-bentuk kekuatan supernatural sebagai elemen utama plot, tema dan/atau setting. Jadi, bukan unsur ketidakmasukakalan dan ketiba-tibaan sebagaimana anggapan Robot. Dalam tulisan ini saya tidak perlu menguraikan lebih jauh tentang fantasia sebagai genre (aliran/gaya sastra) karena ia berada di luar konteks pembahasan yang dipolemikkan, yaitu fantasi yang menyatakan proses imajinasi yang dikembangkan atau diteruskan di dalam pikiran.

Menurut pertimbangan saya, emosi Robot kurang terkendali ketika dia menulis artikelnya yang berjudul, “Tentang fantasi: Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan”. Lantaran emosi yang kurang terkendali, maka daya pikir Robot pun tidak berperan dengan baik di dalam membangun argumen-argumen. Robot menilai uraian saya tentang fantasi sebagai hanya suatu sobekan yang tidak lengkap, begitu pula konsepsi tentang fantasi yang dianut oleh Maria Matildis Banda pun dikatakannya sebagai suatu sobekan. Namun pada kenyataannya, konsepsi Robot tentang fantasi yang sepantasnya disebut sebagai suatu sobekan yang bukan saja tidak lengkap melainkan juga konyol. Karena fantasi tidak dibicarakan dalam kaitannya dengan imajinasi; karena fantasi dikira sama dengan fantasia; dan jenis ceritera yang disebut “folk-tale” atau “folk-lore”  dihisabkannya ke dalam fantasia.

Sobek-menyobek pandangan yang dilakukan oleh Robot dalam artikelnya terlihat pula dalam contoh yang dikemukakannya untuk membedakan manusia yang mampu berfantasi, dan binatang yang tidak mampu berfantasi. Beginilah contoh yang Robot kemukakan: “Herder, anjing kesayangan Anda diajari cara tertentu untuk merespon. Katakan, setiap kali hendak memberi makan kepadanya, Anda akan mengeluarkan bunyi ‘ooo…’ lalu disusul dengan menyodorkan piring yang berisikan makanan. Herder pun datang mendekati Anda. Kemudian ia melahap makanan yang Anda berikan. Setiap kali bunyi ‘ooo…’ maka Herder selalu memberikan respon yang sama. Perilaku anjing itu adalah bentuk respon dari stimulus kata ‘ooo…’ yang selalu disertai dengan tindakan memberikan makanan kepadanya. Dalam konteks ini, perilaku Herder bukan berdasarkan fantasi…”

Tahukah Robot bahwa contoh hasil penelitian seperti itu  telah dilakukan sebelum tahun 1927? Ahli fisiologi Pavlov adalah orang pertama yang melakukan percobaan seperti itu untuk menentukan hubungan antara perangsang dan respons. Waktu seekor anjing melihat sepotong daging, air liur mulai keluar dari mulut anjing itu. Kemudian Pavlov memperlihatkan daging itu persis pada waktu yang sama, dengan disertai bunyi bel. Akhirnya, bunyi bel itu saja yang dipakainya, tetapi air liur anjing itu mengalir seperti halnya ketika daging itu diperlihatkan. Dalam percobaan klasik ini bel berfungsi sebagai tanda bahwa daging akan diberikan sebentar lagi. Tetapi tidak ada hubungan yang wajar antara bunyi bel dan daging itu, sebab bunyi bel itu tidak mengenyangkan perut anjing. Hasil penyelidikan Pavlov itu diterbitkan pada tahun 1927, dan sesudah itu, banyak sekali dikembangkan percobaan yang setaraf dengan mempergunakan perangsang lain dari pada bel, namun semuanya berfungsi sebagai tanda (Dr. Robert R. Boehlke. Sekitar Theologia Simbolisme Sebagai Dasar Komunikasi Kristen. Jakarta 1972:13-14).

Tujuan saya mengutip percobaan Pavlov sebagaimana diuraikan di atas ini hanyalah sebagai suatu pemberitahuan kepada Robot agar Robot jangan teledor bangga bahwa contoh “Herder, anjing kesayangannya yang diajari cara tertentu untuk merespon” itu seolah-olah suatu hasil penyelidikan baru di awal abad ke-21 ini. Robot mungkin baru mengetahui hasil penyelidikan seperti itu dalam tahun 2007/2008. Akan tetapi saya sudah mengetahuinya sejak lama sekali. Begitu pula dengan fantasia sebagai genre (aliran/gaya sastra) mungkin Robot baru mengetahuinya dari Ensiklopedi Wikipedia, sehingga Robot menganggapnya sebagai informasi dari pustaka moderen, padahal yang sesungguhnya fantasia sebagai genre (aliran/gaya sastra)  bukan sesuatu yang baru atau moderen. Dengan ini saya ingin membungkamkan mulut Robot yang secara arogan mengatakan “…ketika Netti terlalu arogan dengan sejengkal argumentasinya dan memamerkan pustaka lamanya…” 

Dalam artikelnya, Robot menyebut sejumlah nama penulis-penulis tenar termasuk J.R.R. Tolkien. Tahukah Robot, apakah pendapat J.R.R. Tolkien tentang fantasi? Dalam bukunya berjudul Tree and leaf (London 1964), ia mengatakan bahwa “fantasi tidak merusak akal budi dan tidak mengeruhkan ketajaman pengamatan ilmiah. Makin baik fantasi seseorang, makin terang dan hidup kegiatan inteleknya; dan semakin terang dan hidup kegiatan intelek seseorang, makin baik pula fantasinya”. Pandangan Tolkien ini telah saya singgung dalam artikel saya yang ditanggapi oleh Robot, namun Robot melangkauinya, lantaran praktik sobek-menyobek konsepsi yang diterapkan oleh Robot.

Fantasi yang dimaksudkan oleh Tolkien dalam pernyataannya itu bukan fantasia sebagai genre (aliran/gaya sastra) yang Robot sobek dari Ensiklopedi Wikipedia itu,  melainkan fantasi sebagai proses imajinasi yang dikembangkan dan diteruskan di dalam pikiran.



Catatan akhir

Mengakhiri tulisan ini saya ingin mengingatkan Robot tiga hal. Pertama, bahwa setiap  artikel yang disertai biodata/curriculum vitae penulis, seperti: A. G. Hadzarmawit Netti, penulis buku Kristen Dalam Sastra Indonesia; atau Marsel Robot, Dosen Undana Kupang, mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Unpad Bandung, mengandung risiko yang tinggi. Ia merupakan sebuah pertanggungjawaban kepada publik pembaca,  bahwa artikel itu bukan ditulis oleh sembarang orang. Apabila opini yang kita tuangkan di dalam artikel itu ngawur, lalu ada orang yang mengritik kita sambil menyebut predikat kita sesuai dengan biodata/curriculum vitae yang kita tonjolkan atau sertakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari artikel kita, apakah pantas kita tersinggung, marah, dan menilainya sebagai suatu pelecehan terhadap profesi dan gelar yang melekat pada diri kita? 

Kedua, hal lain yang patut Robot maklumi ialah: tujuan berpolemik bukan mencari kemenangan, melainkan kebenaran. Karena itu alangkah naifnya jika Robot bertujuan mencari kemenangan di dalam berpolemik dengan mempergunakan pemeo (pepatah kuno): “dalam ilmu silat tidak ada yang juara dua, dan dalam silat ilmu tidak ada yang juara satu.”  Ketiga, apabila Robot masih ingin melanjutkan debat, saya sarankan agar “berpikir hermeneutis yang memandang persoalan dalam dialektika yang utuh di mana setiap unsur yang berbeda memberi kontribusi terhadap keutuhan makna…,” seperti kata Robot sendiri, tidak usah diterapkan. Terapkanlah metode itu dalam menganalisis problematika masyarakat, atau di dalam menganalisis sebuah karya sastra. Kalau tentang imajinasi dan fantasi yang kita diskusikan atau polemikkan, “stick to the point” sajalah. Tidak usah berpikir hermeneutis yang salah kaprah, sebagaimana tersirat dalam artikel Robot. Sebenarnya yang Robot coba terapkan dalam artikel itu adalah berargumen dengan metode berpikir secara dialektis a la Hegel (Sindhunata. Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta 1982:33-38), bukan berpikir hermeneutis. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar