Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Jumat, 19 September 2014

Seputar Jurnalisme Sastrawi

Catatan Pengantar:
Atas permintaan pembaca, berikut ini saya muat di blog saya lima artikel yang terdapat di lampiran buku SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWARDALAM KONTEMPLASI (B You Publishing Surabaya 2011 halaman 179-243) masing-masing berjudul: 1. IMAJINASI DAN FANTASI MENURUT KONSEP PSIKOLOGI 2. Marginalia atas: 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur; 3. Sungguh Trenyuh (Catatan untuk Silvester Ule seputar “Perlukah ‘trenyuh’ itu?”); 4. Seputar Jurnalisme Sastrawi (Catatan untuk Isidorus Lilijawa); 5. Beberapa catatan atas opini Marsel Robot Tentang Fantasi: Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan. Mudah-mudahan uraian dalam kelima artikel ini dapat dibaca oleh para pihak yang tidak memiliki buku saya sebagaimana judulnya telah disebutkan di atas. SELAMAT MEMBACA!

(Catatan untuk Isidorus Lilijawa)

Oleh: A. G. Hadzarmawit Nettu 

SETELAH membaca “Seputar jurnalisme sastrawi” (Ruang diskusi untuk A.G. H. Netti) yang ditulis oleh Isidorus Lilijawa—selanjutnya akan saya sapa, IL—(Pos  Kupang edisi Kamis, 31 Januari 2008), saya ingin mengemukakan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, Opini saya yang dimuat di Pos Kupang edisi Rabu, 16 Januari 2008, bukan opini yang menafikan “jurnalisme sastrawi”, melainkan opini yang menafikan pendapat Maria MB tentang ‘imajinasi, fantasi, dan khayalan’, yang saya uraikan di bawah judul “Marginalia atas opini Maria Matildis Banda seputar ‘imajinasi, fantasi, dan khayalan’”.
Kedua, konsepsi yang saya anut tentang ‘imajinasi, fantasi, dan khalayan’ adalah konsepsi yang bukan saja berlaku  bagi penulis dalam ranah sastra imajinatif melainkan juga  berlaku bagi penulis dalam ranah  sastra non-imajinatif di mana  jurnalisme terhisab ke dalamnya.

Ketiga, dalam ranah teori sastra maupun psikologi, tidak pernah ada konsepsi yang mengatakan bahwa “imajinasi adalah makhluk merdeka yang memiliki kekuatan dahsyat...” (menurut opini Maria MB dalam 15 tahun Pos Kupang 2007:180); atau “imajinasi adalah energy drink dan supplement food...” (menurut anggapan IL dalam “Seputar jurnalisme sastrawi”, Pos Kupang edisi 31 Januari 2008). Konsepsi seperti ini  hanya ada dalam dunia illusion (deceptive appearance; false conception). Dengan demikian, terjebak dalam false conception berarti tidak akan sampai pada pengenalan serta pemahaman yang baik dan benar.

Keempat, penyebutan atau penulisan ungkapan bahasa Latin, argumentatum ad hominem dan argumentatum ad rem yang dilakukan oleh IL itu salah. Yang benar ialah argumentum ad hominem dan argumentum ad rem. Yang dimaksudkan dengan argumentum ad rem yaitu “argument to the purpose” (= argumen yang bersangkut-paut dengan pokok persoalan). Apabila ada orang yang mengatakan argumentum ad factum, barulah dapat diartikan sebagai “argumen yang bersangkut-paut dengan fakta”. Yang menjadi pokok persoalan  ialah adanya perbedaan pendapat dan pemahaman antara saya (AGHN) dan Maria MB seputar ‘imajinasi, fantasi, dan khayalan’—bukannya perbedaan pendapat dan pemahaman tentang ‘jurnalisme sastrawi’. Dengan demikian, diskusikanlah tentang ‘imajinasi, fantasi, dan khayalan’ yang menjadi pokok persoalan; dan jangan mengambang ke ranah “jurnalisme sastrawi” yang bukan pokok persoalan. Namun patut saya tandaskan bahwa saya tidak akan berdiskusi tentang “imajinasi sebagai makhluk merdeka yang memiliki kekuatan dahsyat yang tak seorang pun mampu membelenggunya….” (menurut Maria MB) dan tak /atau “imajinasi adalah energy drink dan supplement food…” (menurut IL),  Sebab bagi saya, imajinasi adalah “power of the mind to imagine; power or the faculty of forming images in the mind”, di samping imajinasi sebagai “the artist’s creative power” yang menurut Coleridge, sebagaimana dikutip oleh Rachmat Djoko Pradopo, adalah “kekuatan membentuk gambaran angan (imaji) atau perasaan untuk mengubah imaji-imaji lain, dan dengan semacam penyempurnaan memaksa yang banyak menjadi satu…” (baca, Prinsip-Prinsip Kritik Sastra 1994:60). Lalu, apakah yang dimaksudkan dengan argumentum ad hominem?

Argumentum ad hominem yaitu “an argument to the individual man; i.e., to his interests and prejudices” (= argumen terhadap manusia perseorangan yang berhubungan dengan soal-soal pribadi; yaitu terhadap interes dan prejudisnya [yang berada diluar konteks tulisan] sehingga merugikan kepentingan orang itu). Contoh mengenai argumentum ad hominem, saya persilakan IL perhatikan nada polemik antara Arief Budiman dengan Umar Kayam, dan polemik antara Arief Budiman dengan Sutardji Chalzoum Bachri seputar perdebatan sastra kontekstual (Ariel Heryanto. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta 1985: 227-236; 347-351).

Antara Arief Budiman dengan Umar Kayam yang sama-sama bergelar Doktor, Arif Budiman tidak segan mengatakan Umar Kayam memiliki pandangan yang “kurang benar”; “belum menangkap dengan benar tesis utama dari konsep sastra kontekstual”; “dengan demikian Umar Kayam telah salah menebak sasarannya”; dan secara agak sinis Arief Budiman berkata kepada Umar Kayam, “dan tampaknya, tidak percuma Kayam memperoleh gelar Doktor dalam sosiologi dari Universitas Cornel yang terkenal itu”. Nada polemik antara Arief Budiman dengan Umar Kayam masih wajar. Tetapi bagaimanakah nada polemik antara Arief Budiman dengan Sutardji Chalzoum Bachri? Perhatikan kutipan argumen Arief berikut ini.

“Saya harap Sutardji dapat berhati-hati kalau dia mau menulis tentang fakta, karena meskipun ini kesalahan kecil, tapi dia mencerminkan suatu pribadi yang ceroboh. Saya tahu Sutardji seorang yang jadi bertambah kreatif dalam membacakan puisinya kalau dia sedang teller minum bir. Tapi kalau menulis esei, saya kira sebaiknya dia tidak dalam keadaan mabuk bir. Saya harap sesudah pengalaman ini, Sutardji akan lebih bersikap kontekstual sedikit, yakni dengan melihat dalam situasi apa dia boleh teller, dan kapan dia sebaiknya sadar kembali.”  Argumen Arief Budiman terhadap Sutardji seperti inilah yang dapat kita sebut argumentum ad hominem, yaitu “argumen terhadap manusia perseorangan yang berhubungan dengan soal-soal pribadi; yaitu terhadap interes dan prejudisnya [yang berada di luar konteks tulisan] sehingga merugikan kepentingan orang itu”. Argumen seperti inilah yang tidak pantas dilakukan, namun ternyata dilakukan juga oleh Arief Budiman. Semoga dengan contoh ini IL dapat memahami secara lebih baik dan benar apa yang dimaksudkan dengan argumentum ad hominem itu, sehingga jangan membuat pernyataan secara apriori dan ‘asbun’ (=asal bunyi).
Kelima, penyebutan atau penulisan ungkapan/idiom “taken for granted” yang dilakukan oleh IL dalam opininya yang berjudul “Seputar jurnalisme sastrawi” itu pun salah. Penyebutan atau penulisan yang benar ialah “take for granted”; “take something for granted” (baca, The Advanced Learner’s Dictionary Of Current English; dan Chamber Twentieth Century Dictionary; atau boleh juga baca Kamus Inggris-Indonesia yang disusun oleh A.S. Hornby-E.C. Parnwell-Siswojo-Siswojo; maupun Kamus Inggris-Indonesia  yang disusun oleh John M. Echols-Hassan Shadily; dan Kamus Idiom Lengkap susunan Herpinus Simanjuntak).
Demikianlah lima catatan ringan yang saya kembalikan kepada IL untuk direnungkan sebagai ganti diskusi tentang “jurnalisme sastrawi” yang bukan menjadi pokok persoalan bagi saya.
Namun seandainya saya ingin berdiskusi tentang jurnalisme sastra, maka saya akan berbicara mulai dari peranan Ernest Miller Hemingway (1898 – 1961) yang pernah bekerja sebagai seorang wartawan kawakan Amerika yang kemudian terkenal pula sebagai novelis dan cerpenis terkemuka. Dialah yang memelopori suatu cara penulisan dalam kesusastraan, di mana teknik penulisan jurnalistik diterapkan dalam novel-novel dan cerpen yang ditulisnya. Setelah itu, banyak pengarang lain dari berbagai negara mengikuti teknik penulisannya, tidak terkecuali di Indonesia yang diikuti oleh Idrus, Pramudya Ananta Toer, Mochtar Lubis. Dan dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh saling ambil dan memberi antara sastra dan jurnalistik berkembang dengan pesat di Indonesia yang dipelopori oleh Majalah Berita Mingguan TEMPO. Apa yang saya katakan ini ternyata tidak disinggung sama sekali di dalam tulisan Maria Matildis Banda! Dan masih banyak lagi yang dapat saya bicarakan. Namun sekali lagi saya tegaskan, bahwa dalam ranah ‘jurnalisme sastrawi’ saya masih dapat memahami  opini Maria Matildis Banda (walaupun opininya  tidak lengkap). Yang saya tolak dari artikel Maria Matildis Banda yaitu  pandangan/pemahamannya tentang ‘imajinasi, fantasi, dan khayalan’.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar