Deskripsi

“Lengkung SPEKTRUM FAJAR SENJA aneka warna KASIH SETIA ALLAH yang mengayomi JEJAK LANGKAH KEHIDUPAN bertanda nama 'BELUM'!"

Kamis, 18 September 2014

SUNGGUH TRENYUH

Catatan Pengantar:
Atas permintaan pembaca, berikut ini saya muat di blog saya lima artikel yang terdapat di lampiran buku SAJAK-SAJAK CHAIRIL ANWARDALAM KONTEMPLASI (B You Publishing Surabaya 2011 halaman 179-243) masing-masing berjudul: 1. IMAJINASI DAN FANTASI MENURUT KONSEP PSIKOLOGI 2. Marginalia atas: 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur; 3. Sungguh Trenyuh (Catatan untuk Silvester Ule seputar “Perlukah ‘trenyuh’ itu?”); 4. Seputar Jurnalisme Sastrawi (Catatan untuk Isidorus Lilijawa); 5. Beberapa catatan atas opini Marsel Robot Tentang Fantasi: Sebuah pertengkaran yang menyembuhkan. Mudah-mudahan uraian dalam kelima artikel ini dapat dibaca oleh para pihak yang tidak memiliki buku saya sebagaimana judulnya telah disebutkan di atas. SELAMAT MEMBACA!

(Catatan untuk Silvester Ule seputar “Perlukah ‘trenyuh’ itu?”)

Oleh: A. G. Hadzarmawit Netti
            Catatan pendahuluan

Saya memperoleh kesan bahwa Silvester Ule (selanjutnya akan saya sapa, SU) belum membaca tulisan Maria Matildis Banda yang terdapat di dalam buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur. Kesan ini muncul ketika saya membaca pernyataan SU yang berbunyi, “Rupanya, inti keberatan AG bukan terletak pada definisi positif imajinasi (kalau memang ada dalam keseluruhan tulisan asli MM), melainkan pada distingsi yang dibuat oleh MM.”  Kalau tulisan Maria Matildis Banda saja belum dibaca oleh SU, apatah lagi dengan buku-buku referensi yang saya sebutkan dalam tulisan saya.

Berdasarkan kesan dan pertimbangan di atas ini, maka saya merasa sebenarnya   tidak ada faedahnya untuk berdiskusi dengan SU. Sebab, tulisan SU in esse (bukan in se seperti yang digunakan SU dalam tulisannya) menyiratkan luapan emosi seorang anak terhadap orang yang mengritik bundanya, sehingga sang anak terdorong bangkit untuk membela bundanya dengan sekuat keterbatasan kemampuan yang ada, dan dengan segala cara, walaupun falsus. Namun sebagai tanda penghargaan saya terhadap SU yang telah meluangkan waktunya untuk “mempertimbangkan ‘marginalia’ yang saya buat terhadap tulisan Maria Matildis Banda” (Pos Kupang, 16-1-2008), maka saya persembahkan tulisan ini kepada SU, walaupun hanya berupa catatan..

Catatan pertama

SU berkata, “Sebenarnya tidak ada keistimewaan pada tulisan AG in se yang perlu ditanggapi. Jika pendapat AG berbeda dari pendapat MM, maka hal itu sangatlah wajar sebagai ekspresi kemerdekaan berpikir, dan sebagai gambaran mengenai dalamnya realitas. Perbedaan adalah hal yang wajar sesuai dengan prinsip dasar penemuan kebenaran, bahwa kebenaran itu tidak pernah tunggal. Ia dapat dicapai dengan berbagai jalan dan dari berbagai sudut pandang.”  SU rupanya mau berfilsafat tentang kemerdekaan berpikir dan berekspresi, serta berfilsafat tentang kedalaman realitas yang kompleks. Namun sayang, apa yang dikemukakan SU  tidak relevan dengan pembicaraan seputar kebenaran deskriptif tentang “imajinasi, fantasi atau khayalan” dalam ranah teori sastra.  Sebelumnya, SU mengatakan, “Dengan pelbagai kutipan, AG sepertinya menegaskan bahwa imajinasi, khayalan dan fantasi sama saja.”  Pernyataan SU ini pun mencerminkan  pemahamannya yang pincang atas opini saya! Rupanya pikiran dan perasaan SU  tidak tenang ketika membaca tulisan saya. Jikalau benar demikian, dan memang sangat terasa demikian, saya cukup maklum.

Dalam menanggapi pendapat MM yang mengatakan bahwa “Imajinasi bukan khayal. Imajinasi berbeda dari fantasi...”,  saya mengutip hasil penelitian dua orang sarjana Prancis, Roger Fretigny dan Andre Viler (pakar psikologi), yang mengatakan bahwa “ada empat macam kesadaran manusia yaitu kesadaran imajinatif, kesadaran refleksif, kesadaran aktif, dan kesadaran kontemplatif. Dan fantasi memainkan peranan sentral dan menentukan dalam perkembangan psikis manusia, di mana fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif. Tanpa fantasi, maka daya pemikiran kita yang kerja secara diskursif akan menjadi pincang dan terkurung dalam sebuah sistem yang tertutup dan beku. Tetapi dengan fantasi, hidup manusia seutuhnya akan bergerak menurut suatu ritme tertentu antara kenyataan dan harapan.” Apa yang dapat dilihat dari kutipan ini? Ini: fantasi memainkan peranan sentral dan menentukan dalam perkembangan psikis manusia, dan fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif.  Apabila dikatakan bahwa fantasi adalah contoh pertama dari kesadaran imajinatif, maka itu berarti bahwa “fantasi adalah bagian yang tak terpisahkan dari kesadaran imajinatif; ia (fantasi itu) adalah daya roh yang tak terpisahkan dari kesadaran imajinatif”. Perhatikan pula pernyataan Mary Harrington yang mengutip hasil penelitian Bradbury yang mengatakan bahwa “Bakat berfantasi merupakan bakat untuk hidup. Penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, inspirasi, atau ilham”.  Inilah “permata pengetahuan”  dalam ranah teori psikologi yang belaku dalam bidang sastra dan bidang-bidang kehidupan lainnya yang ingin saya berikan kepada MM, sebab MM dengan tegas/gamblang mengatakan, “imajinasi berbeda dari fantasi...!”

Lalu, apa itu “khayal” atau “khayalan”? Dalam tulisan saya, saya katakan bahwa “khayal” atau “khayalan” adalah sebutan lain dari “fantasi”. Dan mengenai ini, MM hampir-hampir benar ketika ia mengatakan “fantasi sama dengan khayalan...”;  tetapi ternyata menjadi salah, ketika dikatakan bahwa “fantasi sama dengan khayalan yang tidak nyata, tidak masuk akal, dibuat-buat, mimpi yang tak mugkin menjadi kenyataan”,  dan seterusnya sampai dengan kalimat yang berbunyi, “Fantasi adalah daya yang menghasilkan khayalan, berkaitan dengan gambaran objek yang tidak mungkin dan memang tidak ada dalam kenyataan…”  Inilah kelemahan teori sastra MM berkenaan dengan fungsi dan peranan fantasi, yang dengan kata lain disebut khayal atau khayalan, yang didukung dan dibela oleh SU. Padahal, apa yang disebut fantasi itu, seperti kata Cox, tidak lain adalah “imajinasi yang diteruskan (dikembangkan), yang mengatasi struktur kenyataan sehari-hari”. Dan ia merupakan bakat hidup, di mana penemuan-penemuan baru sering diakibatkan karena fantasi, seperti kata Mary Harrington.

Kata “fantasi” dalam bahasa Indonesia, dipungut dari kata “fantasy”, “phantasy” dalam bahasa Inggris, yang diambil dari bahasa Latin melalui bahasa Gerika, phantasiā – phantazein, artinya “to make visible” (membuat jadi nyata, kelihatan, dapat dilihat). Dalam bahasa Inggris terdapat pula kata “fancy” yang artinya sama dengan “fantasy”, karena kata “fancy” adalah kata yang disusutkan/disingkatkan (contracted) dari kata “fantasy”. Kata fantasi (fantasy) bersinonim dengan kata imajinasi (imagination) yang berasal dari kata Latin, imāgināri – imāgō yang artinya “an image” atau “a picture or representation (not necessarily visual) in the imagination or memory”. (Baca, Cambers Twentieth Century Dictionary). Memperhatikan latar belakang arti kata “fantasy” (fantasi) dan “imagination” (imajinasi) inilah maka para peneliti (pakar) seperti Harvey Cox dalam buku Feast of fools (1969) mengatakan, “fantasi adalah imajinasi yang dikembangkan dan diteruskan mengatasi struktur kenyataan sehari-hari”.

Berdasarkan tinjauan singkat di atas ini, maka orang yang mempertentangkan fantasi dengan imajinasi, orang itu sesungguhnya berteori di atas landasan falsus. Serentak dengan itu, orang yang menyamakan fantasi (fantasy) dengan ilusi (illusion), orang itu pun berteori di atas landasan falsus. Mengapa? Karena orang itu tidak tahu bahwa ilusi (illusion) pada hakikatnya bertolak belakang dengan fantasi (fantasy). Kata “ilusi” (illusion) berasal dari kata Latin, illumināre, berarti “penampakan yang bersifat penipuan atau penyesatan; pikiran atau anggapan yang keliru”. Arti kata ilusi seperti ini bertentangan sama sekali dengan arti kata fantasi sebagaimana diuraikan di atas. Dengan demikian, pandangan H. Tedjoworo, sebagaimana dikutip oleh SU, yang menyamakan fantasi atau khayalan dengan ilusi, adalah pandangan yang salah pula, karena fantasi pada hakikatnya tidak sama dengan ilusi (Chambers Twentieth Century Dictionary, 1972:473,651).

Catatan kedua

Selanjutnya, sebagai upaya dukungan dan pembelaan, SU nekat mereduksi hasil penelitian Roger Fretigny dan Andre Viler yang saya kutip, lalu menambal-sulamkannya dengan pendapat SU yang rancu demi pemuasan ego. Saya sampai tidak habis pikir, apakah praktik seperti yang dilakukan oleh SU ini di dalam ranah (bidang disiplin) keilmuan dapat dipuji, atau harus dikatakan ‘tipu diri’ sekaligus ‘tipu publik pembaca’?  Itulah salah satu ciri kenekatan: tidak ragu-ragu melakukan apa saja (menghalalkan cara) demi tujuan. Pertanyaannya: apakah SU adalah pakar dan peneliti pasca Roger Fretigny dan Andre Viler, yang berhasil menemukan temuan baru dalam ranah psikologi untuk menyempurnakan atau menggugurkan hasil penelitian Roger Fretigny-Andre Viler?

SU mengatakan bahwa kesadaran imajinatif adalah konsep umum atau konsep luas tentang kemampuan manusia  yang bisa dibagi lagi dalam lamunan, angan-angan, imaji, imajinasi, khayalan, dll. Pernyataan ini menunjukkan  bahwa SU tidak tahu tentang apa itu  “kesadaran imajinatif”. Yang dimaksudkan dengan “kesadaran imajinatif” adalah “kesadaran yang penuh dengan imajinasi” atau “kesadaran yang diliputi/dilingkupi oleh imajinasi”. “Kesadaran refleksif” adalah “kesadaran yang memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi”. “Kesadaran aktif” adalah “kesadaran untuk mewujudkan/melakukan aksi, tindakan, perbuatan, kerja, aktivitas, dll”. Dan “kesadaran kontemplatif” adalah “kesadaran untuk melakukan kontemplasi, perenungan, permenungan”. Inilah empat macam kesadaran manusia yang dimaksudkan oleh Roger Fretigny-Andre Viler. Keempat macam kesadaran ini—menurut Jacques Maritain—adalah daya-daya roh yang saling jalin-menjalin, saling meliputi/melingkupi dan merangkul bagaikan kerucuk-kerucuk yang bertumpukan di dalam diri manusia (Creative Intuition in Art and Poetry. London 1954). Pada saat kesadaran imajinatif giat dan aktif, maka kesadaran refleksif, kesadaran aktif, dan kesadaran kontemplatif pun giat dan aktif sesuai dengan kebutuhan/tuntutan imajinasi kreatif.
Kembali ke “kesadaran imajinatif”, apa kata SU?  Dengan penuh rasa percaya diri, SU membagi-bagi kesadaran imajinatif menjadi beberapa bagian kesadaran yaitu lamunan, angan-angan, imaji, imajinasi, khayalan, dll. Imajinasi berbeda (dalam kata dan arti) dengan khayal, berbeda dengan imaji (gambaran konkret tentang suatu benda), dengan khayalan, dll. Lantaran ketidaktahuan, SU mencampuradukkan “kesadaran” (awareness, consciousness) dengan “daya/kemampuan” (power/faculty). Imajinasi (imagination) adalah “daya atau kemampuan untuk membentuk imaji di dalam pikiran” (the power or the faculty of forming images in the mind).  Sedangkan kesadaran imajinatif (imaginative awareness, imaginative consciousness) adalah “kesadaran yang penuh dengan imajinasi (the awarenes which full of imagination), atau “kesadaran yang diliputi/dilingkupi oleh imajinasi (the awareness which suffused with imagination).
Dan,  sementara berbicara tentang imajinasi, saya persilakan SU membuka buku 15 tahun Pos Kupang, dan bacalah pandangan MM tentang apa itu imajinasi pada halaman 180. Di situ MM dengan penuh kepastian berkata, “…di tangan seorang penulis, imajinasi adalah makhluk merdeka yang memiliki kekuatan dahsyat  yang tak seorang pun mampu membelenggunya kecuali kalau pemiliknya dengan sadar membikinnya diam. Perhatikan frasa yang diketik dengan huruf tebal. Itulah definisi MM tentang imajinasi. Sedangkan  di bagian lain dari tulisannya, MM katakan bahwa “imajinasi berkaitan dengan daya”; “daya itu adalah imajinasi”; “imajinasi adalah daya pikir untuk membayangkan dan menciptakan”. Dengan ini, saya ingin tanya kepada SU: kalau imajinasi adalah makhluk merdeka yang memiliki kekuatan dahsyat yang tak seorang pun mampu membelenggunya kecuali kalau pemiliknya dengan sadar membikinnya diam,  tolong beritahukan kepada saya apakah imajinasi itu makhluk berkaki dua atau berkaki empat atau jenis makhluk melata, atau makhluk gaib? Apakah makhluk imajinasi itu berbulu, bersayap, atau bertanduk; dan  apakah makhluk imajinasi itu jantan, betina, atau banci? Apakah makhluk imajinasi itu adalah belua multorum capitum (monster with many heads), yaitu “makhuk aneh dengan banyak kepala yang berukuran luar biasa dan menakutkan”, sehingga MM mengatakan bahwa imajinasi adalah makhluk merdeka yang memiliki kekuatan dahsyat? Bagaimanakah makhluk imajinasi yang memiliki kekuatan dahsyat itu bisa berada di dalam diri (benak) manusia sebagai daya pikir untuk membayangkan dan menciptakan imaji dalam pikiran, lantas pada momen tertentu ia menjadi alat di tangan penulis, dan sifatnya hanya sementara di dalam diri seorang penulis?  Pandangan MM tentang imajinasi dalam ranah teori sastra sebagaimana diuraikan pada alinea terakhir halaman 180 itulah yang membuat saya sangat trenyuh, tetapi saya sengaja tidak membahasnya dalam opini saya yang dimuat di Pos Kupang edisi 16 Januari 2008.
Saya tidak habis pikir: sejak kapan, dan siapakah pakar yang pertama kali melakukan penelitian dan menemukan makhluk imajinasi yang memiliki kekuatan dahsyat itu, yang pada saat tertentu dapat berubah menjadi daya, daya pikir, dan alat di tangan penulis. Sebab, saya belum temukan satu buku teori sastra maupun psikologi yang menguraikan eksistensi makhluk imajinasi yang aneh dan menyeramkan itu. 

Catatan ketiga

SU berkata, “tidak ada keistimewaan pada tulisan AG in se...  Namun, yang menjadi hal yang luar biasa pada tulisan ini adalah upaya “marginalia” (seperti istilah AG sendiri) terhadap tulisan MM, bahkan terdapat kecenderungan kuat ke arah “marginalia” pribadi MM sendiri”.

Dari pernyataan SU sebagaimana dikutip di atas ini, saya memperoleh kesan bahwa SU sama sekali tidak dan/atau belum tahu arti kata “marginalia”. Untuk itu, saya persilakan SU melihat arti kata “marginalia” dalam kamus bahasa Inggris Chambers Twentieth Century Dictionary. London 1972:802.Di situ, kata “marginalia” berarti, “notes written on the margin”, artinya “catatan-catatan yang ditulis di pinggir halaman buku”. Ketika saya membaca tulisan MM dalam buku 15 tahun Pos Kupang (halaman 167 – 181), saya membuat sejumlah catatan di pinggir halaman buku tersebut berkenaan dengan opini MM seputar imajinasi, fantasi atau khayal. Catatan-catatan di pinggir halaman buku itulah yang kemudian saya perluas menjadi sebuah tulisan, sebagaimana dimuat di Pos Kupang edisi 16 Januari 2008. Berkenaan dengan arti kata “marginalia” ini, ternyata sekali lagi ketidaktahuan SU, sehingga di bagian lain tulisannya SU berkata: “Apalagi merasa pasti dengan kebenaran sendiri sambil me-‘marginalia’-kan orang lain, tanpa alasan yang cukup.”  Apa gerangan maksud SU dengan pernyataan yang berbunyi “me-‘marginalia’-kan orang lain”?  Membuat orang lain menjadi catatan-catatan yang ditulis di pinggir halaman buku?  Dalam konteks ini, membuat MM menjadi catatan-catatan yang ditulis di pinggir halaman buku?   Alangkah rancunya!

Dengan penjelasan di atas ini, ternyata SU telah telanjur membuat pernyataan bahwa tulisan saya berupa marginalia itu “luar biasa”, padahal sebelumnya SU mengatakan “tidak ada keistimewaan pada tulisan AG”. Dalam kamus sinonim Bahasa Indonesia, kata “istimewa” bersinonim dengan kata “luar biasa, khas, spesifik, terutama”; dan kata “luar biasa” bersinonim pula dengan kata “istimewa, khas, hebat, spesifik”.  

Tulisan  saya yang dimuat di Pos Kupang edisi 16 Januari 2008 itu, hanyalah sebuah tulisan yang biasa-biasa saja. Tetapi rupanya SU punya maksud lain dengan mengutip pernyataan saya: “Teori sastra Maria MB tentang imajinasi, khayalan dan fantasi dengan sendirinya menciderai citra Maria Matildis Banda sendiri sebagai dosen sastra, sekaligus mempengaruhi bobot buku 15 tahun Pos Kupang Suara Nusa Tenggara Timur, lantaran posisi Redaktur Khusus Pos Kupang dan editor buku di atas”. . Lebih lanjut, SU berkata, “Beberapa kali AG menulis bahwa ia trenyuh karena MM tidak memiliki pengetahuan yang benar, belum tahu banyak, atau tidak tahu apa-apa’ tentang imajinasi, fantasi dan khayalan.”  “Kata-kata yang cukup pedas. Meminjam kata-kata dalam Injil: ‘Sabda ini keras!’”  Agaknya, bagian inilah yang dimaksudkan oleh SU sebagai “hal yang luar biasa”, sehingga SU berkata dalam nada interogasi, “Persoalannya adalah: apakah kata yang sekeras ini pantas dialamatkan pada MM?” Dan inilah yang mendorong SU untuk “masuk dalam diskusi, dalam semangat pencarian kebenaran dan pemahaman yang utuh...”

Pertanggungjawaban:  Pertama, Ya, itulah suara ketrenyuhan saya secara jujur (tidak munafik). Saya trenyuh karena saya benar-benar merasa heran, mengapa pandangan Roger Fretigny, Andre Viler, Marry Harrington yang mengutip penelitian Bradbury, Harvey Cox, Tolkien seputar imajinasi, fantasi atau khayal yang saya sebutkan di dalam tulisan saya itu ‘belum dan/atau sama sekali tidak diketahui (!?) dan/atau tidak diketahui secara baik oleh Maria MB. Sudah tentu faktor buku-buku referensi yang menjadi persoalan yang menentukan perbedaan perbendaharaan pengetahuan seputar imajinasi, fantasi atau khayal, di antara saya dan Maria MB.

Kedua, saya sangat trenyuh karena “bobot opini Maria MB seputar imajinasi, fantasi atau khayalan berada jauh di bawah bobot novel Surat-Surat dari Dili, apalagi  dalam buku 15 tahun Pos Kupang, halaman 167, di bawah foto tertulis: “Dra. Maria Matildis Banda, MS adalah Redaktur Khusus Pos Kupang. Saat ini bekerja sebagai dosen tetap Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar Bali, dosen luar biasa pada STFK Ledalero, Maumere. Pernah bekerja sebagai Dosen FKIP Undana Kupang, dan Dosen FKIP Universitas Flores, Ende. Beberapa novel telah ditulisnya.”  Realitas inilah yang membuat saya trenyuh. Sekiranya Maria MB adalah seorang  tamatan SMA, sudah tentu saya tidak akan trenyuh. Dan sekiranya biodata/curriculum vitae Maria MB (sebagai dosen sastra) tidak disertakan sebagai promosi di bawah foto pribadi yang terpampang di bagian awal tulisan Maria MB, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari artikel Maria MB dalam buku 15 tahun Pos Kupang (halaman 167), niscaya saya tidak akan menyinggungnya di dalam tulisan saya. Dengan demikian, saya tidak melakukan argumentum ad hominem.

Di dalam buku 15 tahun Pos Kupang, setiap artikel dilengkapi foto dan biodata/curriculum vitae penulis, agar setiap pembaca mengenal setiap penulis dan jati dirinya. Foto dan biodata/curriculum vitae setiap penulis yang dipajang pada halaman pertama setiap artikel yang dihimpun di dalam buku 15 tahun Pos Kupang itu adalah merupakan ‘jaminan pertanggungjawaban’ bobot atau kualitas setiap artikel. Oleh karena itu, “sah”, jika orang menyinggung penulis dan jati dirinya sehubungan dengan pandangan atau opininya yang dituangkan di dalam tulisan. Apakah dengan demikian telah terjadi argumentum ad hominem? Tidak.

Oleh karena itu, pertanyaan SU, “Perlukah ‘trenyuh’ itu?” saya kembalikan kepada SU untuk dipertimbangkan. Dan mengenai keinginan SU masuk dalam diskusi, yang katanya mau mencari kebenaran dan pemahaman yang utuh (!) bukannya membuat saya gembira, malah membuat saya semakin trenyuh lagi. Mengapa? Karena dari tulisan SU yang dimuat di Pos Kupang edisi 19 Januari 2008, terlihat bahwa SU hanya terdorong oleh gelora emosi dan ‘kenekatan’ seorang anak untuk membela sang ibu semata-mata! Dengan  mengandalkan metode penulisan reductio ad absurdum yang sepenuhnya belum dikuasai, dan tanpa dukungan data pustaka yang bermutu,   kecuali berupaya mereduksi dan mendistorsi opini dan data pustaka yang saya kemukakan dalam tulisan saya yang dimuat di Pos Kupang edisi 16 Januari 2008, SU menyatakan siap berdiskusi dalam pencarian kebenaran dan pemahaman utuh! Ah, mana mungkin?

Catatan keempat

Menurut SU, ada beberapa kelemahan pada tulisan saya. Pertama, kata SU, tulisan saya terlalu banyak kutipan. Seandainya MM sebagai pihak yang mengritik, maka pasti diberinya label “sesak”, seperti puisi yang terlalu banyak kata, dikatakannya sebagai “sesak”. Pernyataan ini sangat naif dan rudimentir. Bukankah kutipan sekian banyak pandangan pakar kaliber dunia di dalam argumen saya itu adalah untuk membuktikan kebenaran deskriptif tentang apa yang disebut imajinasi, fantasi atau khayal, yang ternyata tidak tercermin dalam tulisan MM? Apakah pengutipan dengan tujuan seperti itu patut diberi label “sesak”, seperti puisi yang terlalu banyak kata, dikatakannya “sesak”?

Pernyataan ini sekali lagi membuktikan keterbatasan pengetahuan SU yang mengandaikan diri sebagai MM di dalam memberikan penilaian atas tulisan saya. Untuk itu, saya persilakan SU membuka buku Manifes Puisi Indonesia – Belanda, yang disunting oleh Toeti Heraty dan A. Teeuw (Jakarta 1986). Lihatlah di situ antara lain, puisi Abdul Hadi W.M berjudul “Laut” yang jumlah kata-katanya sebanyak 208 kata; puisi Darmanto Yatman berjudul “Istri”, jumlah kata-katanya 258 kata; puisi Hamid Jabbar berjudul “Homo Homini Lupus”, jumlah kata-katanya 249 kata, di dalamnya terdapat kata-kata yang berbunyi “plakplakplakplak” yang memekikkan telinga bila dibacakan dengan suara lantang sebanyak 19 larik, jadi di dalam puisi itu terdapat perulangan kata “plak” sebanyak 76 kali; puisi Rendra berjudul “Sajak kenalan lamamu”, jumlah kata-katanya sebanyak 716 kata. Setelah itu, lihat lagi Majalah BASIS (Majalah Kebudayaan Umum. Edisi XV – 4 Januari 1965, dan lihat di situ puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Pada suatu malam”, jumlah kata-katanya sebanyak 709 kata; dan lihat lagi puisi Taufiq Ismail berjudul “Kota2, pelabuhan2, ladang2, angin dan langit”, jumlah kata-katanya 1207 kata! Lihat pula sajak Rendra yang berjudul “Nyanyian Angsa”, jumlah kata-katanya sebanyak 1315 kata! Lihat pula buku kumpulan puisi penyair kontemporer Amerika, John Updike, berjudul Midpoint and other poems  (Yew York 1969), dan lihat puisi pertama di bagian pendahuluan yang diawali dengan larik Of nothing but me, me. Kata-kata dalam puisi ini sebanyak 1119 kata, bahkan ada lagi puisi dalam buku tersebut yang terdiri lebih dari 1500 kata sampai 2000 kata dan beraneka simbol-simbol!

Penyair-penyair yang namanya telah tersohor dan karya-karya puisinya yang tak dapat disangkali bobotnya, yang telah saya sebutkan di atas ini, dapatkah SU mereduksi bobotnya dan memberikan label “sesak”? Ah! Kalau yang SU ketahui tentang seluk-beluk puisi cuma  “sehalaman buku” janganlah  “show off” seolah-olah sudah “sederet buku” yang SU ketahui!

Kedua, menurut SU, terdapat kesalahan pemakaian bahasa dalam pemaparan saya, misalnya tentang imajinasi negatif. Menurut SU, dalam pemaparan tentang persoalan manusia, negatif dan positif mengungkapkan kualitas nilai dalam arti baik dan buruk. Beralaskan arti ini, SU berinterogasi: apakah setiap bayangan dan hasrat yang tidak sesuai dengan kenyataan, buruk sifatnya? Dari aspek yang mana? Aspek moral, atau efektivitas kerja, psikologis, atau aspek yang mana?  Jawaban terhadap pertanyaan SU ini sebenarnya sudah dijelaskan oleh MM di dalam tulisannya melalui ilustrasi pertama dan kedua, yaitu tentang si tukang madu yang malas yang ingin menjadi kaya; dan seorang wartawan yang bermimpi menjadi presiden, lantas mengalpakan tugasnya sehingga terperangkap dead line, yang sudah saja jelaskan pula dalam tulisan saya.  Namun satu  jawaban lagi dapat saya berikan dalam ilustrasi sebagai berikut: apabila seorang pria melihat seorang gadis yang sedang mandi di sungai lalu berkembanglah dalam imajinasinya bayangan-bayangan yang ‘aduhai’ dan ‘menggairahkan’ sehingga berkobarlah ke-birahian-nya, apakah itu tidak bersifat buruk? Terhisab ke dalam aspek yang mana keburukan itu SU pasti tahu, sebab Yesus berkata, “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.”

Namun, yang perlu SU ketahui, yang saya maksudkan dengan  “imajinasi negatif” dalam tulisan saya itu ialah “imajinasi” dalam pengertian “conception or mental creation baseless one” yang telah saya kemukakan dalam tulisan saya, tetapi mungkin lantaran silau atau kegerahan,  SU tidak memperhatikannya secara jelas. Dengan sendirinya yang dimaksudkan pula dengan “imajinasi positif” adalah “imajinasi” dalam pengertian yang sebaliknya dari pengertian imajinasi negatif yang disebutkan di atas. Dalam buku Heteronomia (1992:37,39) Fuad Hassan mempergunakan kata negatif  dan positif tentang persoalan manusia, yaitu kualitas emosi yang negatif, dan perasaan yang berkualitas positif tetapi bukan untuk mengungkapkan kualitas nilai dalam arti baik dan buruk. Dengan demikian, pendapat SU tentang nilai baik-buruk yang terkait dengan pemakaian kata positif-negatif yang berhubungan dengan persoalan manusia, tidak mutlak, mengada-ada, dan mubazir.

Ketiga, SU katakan, berkaitan dengan persoalan sumber, sayang sekali bahwa saya mengambil literatur yang membahas tentang imajinasi, khayalan, fantasi dalam sastra murni dan bukan dalam jurnalisme sastra, padahal konteks pembicaraan MM adalah jurnalisme sastra. Pernyataan SU ini pun menunjukkan lagi keterbatasan dan ketidaktahuannya. Saya persilakan SU melihat catatan kaki dalam buku 15 tahun Pos Kupang pada halaman 175,176,178. Bukankah MM merujuk pada literatur sastra murni di samping satu buku H. Tedjoworo, Imaji dan Imajinasi Suatu Telaah Filsafat Postmodern? Selain itu, bukankah dalam tulisan saya sudah saya kutip pandangan Nesfield, “Imagination or the power to realize a situation not one’s own, is quite as necessary to an historian as to a novelist or even to a poet?” Apa yang dikatakan Nesfield ini berlaku pula bagi seorang jurnalis, seorang arsitek, seorang teknokrat, teknikus, pengacara, hakim, jaksa dan lain-lain.

Catatan penutup

Terlalu  mubazir apabila saya melanjutkan  catatan ini buat SU.  Sebab sembilan puluh sembilan persen argumentasi yang dibangun oleh SU dalam tulisan yang ditujukan kepada saya “hanyalah rabaan-rabaan dalam kegelapan belantara ‘fallacy’ yang melingkupi SU. Empat catatan yang telah saya kemukakan di atas sudah memberikan petunjuk yang jelas mengenai ‘nilai apa’  yang tersirat di dalam tulisan SU yang   dibangun dengan metode penulisan reductio ad absurdum yang belum dikuasai dengan baik. Dan ‘nilai’ yang saya maksudkan itu ialah nilai  falsus in uno, falsus in omnibus. Itulah sebabnya, ucapan Nietzsche yang SU alamatkan kepada saya, “Keyakinan yang serba pasti akan kebenaran dapat menjadi musuh kebenaran yang lebih berbahaya daripada penipuan”, saya alamatkan kembali kepada SU untuk dijadikan sebagai cermin buat berkaca diri, dan untuk direnungkan  dalam hubungannya dengan tulisan SU sendiri. Karena bukankah dari empat catatan di atas telah saya buktikan  falsus yang SU praktikkan di dalam berargumentasi, konon, untuk pencarian kebenaran dan pemahaman utuh! Padahal ‘tipu diri’?

Menurut pandangan dan prinsip hidup Nietzsche, siapa pun yang hendak menjadi kreator, sungguh-sungguh, ia lebih dahulu harus menjadi pendobrak nilai-nilai. Seorang pencipta yang demikian itu harus berani menyatakan apa yang benar menurut anggapannya. Adakalanya kebenaran sungguh pahit untuk dinyatakan; akan tetapi kebenaran harus diungkapkan. Sebab kebenaran tidak bisa dipendam dan disembunyikan tanpa berbalik menjadi racun yang membinasakan. Orang yang bijaksana niscaya tidak akan ingkar terhadap kebenaran serta sanggup mengungkapkannya. Sebab, diam adalah lebih buruk, semua kebenaran yang disembunyikan akan menjadi racun. Karena itu pula maka Nietzsche mengganas dalam mengungkapkan apa yang baginya dianggap benar (Fuad Hassan. Berkenalan dengan Eksistensialisme. 1976:54,55).

Semangat Nietzsche di dalam mengungkapkan kebenaran, yang saya kutip di atas ini ternyata tidak senafas dengan pernyataan SU, yang dikatakannya sebagai ucapan Nietzsche. Saya cenderung untuk meragukan kutipan SU dan menganggapnya suatu kepalsuan dan kebohongan! Sebab, Nietzsche (15 Oktober 1844), sang rajawali kaum filsuf yang kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan pada usianya yang kedelapan belas tahun, dan kemudian menemukan dirinya sendiri dalam imago Zarathustra, sampai matinya pada 25 Agustus 1900, tetap teguh keyakinannya akan kebenaran menurut anggapannya, dan tetap mengganas mengungkapkan apa yang baginya di anggap benar.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar